J-A :: [2] The Shade

2.


"Lo mau kemana?" tanya Ana begitu melihat Julian turun dari lantai dua dengan jaket varsity hitam dan celana demin Levis.

Ana sudah kuliah, namun kelasnya dimulai pertengahan Agustus. Jadi, dia bisa bermalas-malasan di rumahnya sebelum berkutat dengan segala macam tugas. Kebiasaannya saat bermalas-malasan adalah menanyai Julian ini-itu, seperti sekarang. Pernah Julian jengkel pada Ana dengan berkata "kepo banget sih, jadi orang". Membuat Ana menunjukkan cengiran andalannya.

Julian mengecek penampilannya dulu di cermin ruang keluarga. Seseorang tengah menatap Julian balik, dengan ketenangan luar biasa. Pupil mata orang itu cokelat tua, sama seperti milik ibunya. Rambutnya berwarna senada dengan pupil mata, membuat orang itu dua kali lebih menarik. Jaket varsity hitam membalut tubuhnya yang kurus, namun cukup atletis. Punggungnya agak bungkuk karena kebiasaan bandel tertidur di kelas. Orang itu Julian.

"Gue mau ke rumah Revon," jawab Julian hati-hati. Sengaja tidak menyebutkan nama "Mika". Padahal tujuan utamanya adalah bertemu Mika—salah satu temannya. Revon dan Mika kembar, omong-omong. Mereka berdua dulu tidak mengetahui fakta itu, hingga suatu insiden terjadi. Dan mereka akhirnya tinggal bersama-sama dengan ayah mereka.

Sedetik, Ana berkedip. Ia menurunkan majalah model dari pandangannya. Mata cokelat itu menatap adiknya sayu. "Dek, gue gak apa-apa. Gak usah lo sembunyiin."

Kepala Julian menunduk, menatap sepasang sepatu ketsnya yang telah kumal dimakan usia. Julian tau kakaknya masih memendam perasaan pada Mika, karena Mika pun begitu. Tapi keduanya tidak ditakdirkan bersama. Oke, ini memang berlebihan. Tapi kenyataannya seperti itu. Mereka berdua memang memilih saling menjauh, meski menorehkan luka.

Oh, sejak bertemu dia, Julian semakin melankolis.

"Mata lo berkata lain, Kak," cetus Julian, menatap mata sayu Ana, lalu mulai melangkah. "Gue pergi dulu."

Sesaat sebelum Julian sampai ke ambang pintu, Ana bersuara. "Yan, gue gak selemah yang lo pikir. Gue jadian sama Faren."

Gue jadian sama Faren.

Langkah Julian berhenti. Kemarahan menyulutnya. Secepat api berkobar. Dia berbalik, menengok ke arah kakaknya dengan pandangan tak percaya. Mendengus geli. "Apa gue bilang lo lemah karena putus sama Mika? Enggak. Apa gue bakal bilang lo lemah karena gak jadian sama Faren? Enggak. Setelah semua yang lo lewati bareng Mika? Seriously, Kak. Apa lo gak bisa jaga perasaan Mika? Lo tau sendiri—shit," Julian mengumpat. "Lo tau sendiri Mika sama Faren temenan! Kalian bertiga temenan."

Ana berdiri. Menantang.

"Lo sendiri apa? Lo gak bisa mertahanin persahabatan lo sama Sashi dan Tatya. Lo gak bisa nepatin janji lo. Lo yang ninggalin Sashi. Lo yang ngebuat Sashi dan Tatya pergi dari lo, Yan!"

Julian mematung. Membatu.

Sadar akan ucapannya yang kelewatan, Ana menutup mulutnya. Ia berjalan mendekat, merangkul Julian yang tetap membatu di tempat. Ana mengalungkan kedua lengan pada leher kaku adiknya, merasa sangat bersalah.

"Sori, Dek. Gue ... gue ... gue kelepasan," ucapnya.

Menggeleng. "Gue yang duluan sensi. Gue akhir-akhir ini sensi, mau PMS mungkin," Julian mencoba bergurau, meski candaannya buruk.

Ana tetap tertawa. "Gue gak maksud buat nyalahin lo, Dek ...."

Senyum Julian terukir, "Gue ngerti, Kak."

Dan pikiran Julian lagi-lagi terjebak dalam kenangan masa lalunya bersama Sashi ... juga Tatya.


"PAGI!!" teriakku.

Aku memasuki kelas 4-1, tersenyum simpul pada teman-teman yang menatapku iba. Gak apa-apa, udah oke, begitu kataku pada mereka dalam arti tatapan. Mereka hanya mengangguk mengerti. Sejak Mama pergi, aku memang jarang berbicara pada teman-temanku lagi. Aku selalu bertingkah seolah hanya ada aku di sini, mata memandang kosong, kedua tangan tertelungkup di meja. Aku baru sadar betapa menyedihkannya aku waktu itu.

Begitu aku duduk di meja biasa, Sashi yang sebangku denganku langsung menurunkan novel dari pandangannya. Kulirik novel itu, membaca judulnya. Oh, KKPK. Kukira novel sadis yang biasanya ia bawa. Sashi benar-benar mengabaikan buku itu, menyurukkannya ke dalam kolong meja. Memberi perhatian sepenuhnya padaku.

"Akhirnya, kamu mau bicara," ucapnya senang, nyengir.

Sashi jarang nyengir, dia akan nyengir saat suasana hatinya benar-benar baik. Itu membuatku curiga. Kutatap Sashi lamat-lamat, saat ia membalas tatapanku, aku menoleh ke arah lain. Kulihat Tatya—tetangga sebelah Sashi, kami sering bermain sepatu roda bertiga, Tatya selalu kesal karena payah dalam hal itu—berjalan ke arah kami, lantas berlari dan memelukku erat-erat.

"Jul-Jul! Akhirnya," jerit Tatya senang.

Pelukan Tatya hangat, mirip pelukan Mama. Aku akui, aku senang dipeluknya. Bukan karena dia cantik atau apa, tapi karena rasa aman yang diberikan Tatya. Sashi juga suka jika Tatya memeluknya. Yah, kami berdua tidak pernah mengakui itu pada Tatya. Dia bisa-bisa ge-er.

"Halo lagi," aku nyengir, membalas pelukannya singkat, lalu melepasnya.

Beberapa pasang mata melihat kami, ikut tersenyum haru. Pertemanan kami bertiga memang sering dijadikan sorotan siswa lain. Betapa lengketnya kami dari kelas satu sampai kelas empat. Dulu hanya Sashi dan Tatya, lalu aku hadir dan ikut ke kelompok kecil mereka. Bukan karena aku tidak punya teman cowok, namun aku lebih nyaman bersama kedua cewek ini. Teman-teman cowokku sering mengejek fisik lemahku, sementara mereka tidak pernah mengungkitnya. Bahkan berkata bahwa bukan hal aneh memiliki fisik lemah. Semua orang punya kekurangan. Begitulah, setelah mereka berkata seperti itu, aku lengket dengan mereka.

"Sashi udah nyatetin semua pelajaran yang kelewat sama kamu. Tiap diterangin guru, kamu diem aja sih gak ikut nyatet," oceh Tatya, matanya berbinar. Ia duduk di bangku di depanku, poni berwarna cokelat kemerahannya agak menutup dahi saat berkata. "Kamu harus tau, Sashi bahkan rela begadang buat beresin catetan itu."

Tatya menyodorkan buku catatan milikku, yang telah diisi Sashi. Kutatap Sashi berterimakasih, dia hanya mengedikkan bahu, bukan masalah besar. Begitu katanya. Entah sejak kapan, aku terbiasa bertelepati dengannya. Hanya melihat bahasa tubuhnya, aku langsung mengerti. Begitupun Sashi. Tatya menatap kami berdua bergantian, cemberut.

"Mulai lagi, deh," ucapnya sebal. "Ngomongin apa, sih?"

"Bukan masalah besar," ulang Sashi, kali ini berbicara. "Aku bilang gitu ke Julian."

Tatya ber-oh ria, bertepatan dengan guru yang memasuki kelas. Tanda pelajaran akan segera dimulai. Aku membuka isi tas dan mengeluarkan kotak pensil, buku tulis dan buku paket, begitupun Sashi. Sashi menatapku, sekilas. Lalu memperhatikan ke depan. Aku pun menatap ke depan, tapi tak lama. Mataku tak tahan untuk melihat buku catatan yang Sashi tulis. Senyumku terukir. Tulisannya benar-benar rapi.

"Eh, Suz."

"Hm?" dia menoleh, sekilas.

Aku mengangkat buku catatan itu tinggi-tinggi, terimakasih.

Ia tersenyum.

Bukan masalah besar, katanya.

====

Julian sampai di rumah Revon lima belas menit lebih cepat dari yang ia duga. Jalanan Jakarta sedang berbaik hati membiarkan Julian lewat tanpa macet sedikitpun. Kepala Julian sudah pusing, bisa-bisa ia pingsan di jalan jika macetnya Jakarta mencolok matanya.

Rumah Revon berupa town house mungil di selatan kota Jakarta. Terdiri dari enam rumah dengan tetangga-tetangga yang Julian anggap sangat baik padanya. Karena Julian sering main ke rumah Revon, tak jarang para tetangga menyapanya. Benar-benar ramah. Rumah-rumah di town house itu minimalis juga modern. Cukup artistik karena dari gerbangnya saja mata telah disuguhi corak batik khas Indonesia. Di dalamnya, semuanya jauh berbeda dengan yang Julian lihat di jalan raya. Jalanan asri dengan pepohonan rimbun. Benar-benar menyegarkan mata, juga pikirannya.

Sejak kehadirannya kembali muncul, atmosfer di sekililing Julian memburuk. Tidak, lebih memburuk.

Membuang pikiran itu jauh-jauh, Julian pun keluar dari mobil, berjalan di setapak batu alam rumah Revon, lalu begitu sampai teras, ia mengetuk pintu depan. Terdengar suara "ya, bentar!" dan adik Mika, Mello, muncul di hadapannya. Tampak rapi dengan kemeja putih dan rok katun kuning cerah. Mello menunjukkan senyum sopan, "Eh, Kak Liyan."

Julian tersenyum tipis. "Halo, Mello. Rapi banget, mau rekaman ya?"

Adik Mika ini vokalis dari band Breathless, omong-omong. Terkenal dan sebagainya. Rekaman, konser, dan Meet&Greet bukan hal baru lagi bagi Mello.

Baru saja Mello ingin menjawab, sang kakak tiba-tiba nongol dengan sisir tersangkut di rambutnya—Julian sendiri tidak tahu kenapa sisir merah jambu itu menyangkut di kepala Mika. Cowok itu melihat Julian dengan tatapan haru, seolah menemukan keajaiban atau apa.

"Yaaan, kebetulan lo dateng ke sini!" jerit Mika, persis seperti anak kecil yang menemukan mainan baru. Julian tau apa yang akan Mika lakukan setelahnya, pasti—"Tolong anterin Mello dong, gue gak bisa anterin dia. Liat nih, nyangkut!"—merengek.

Sebenarnya Julian tidak keberatan mengantar Mello, tapi ada beberapa urusan yang perlu ia selesaikan di kamar Mika—merampas balik komik-komik yang Mika "pinjam". Jadi Julian mengangkat bahu, meminta Mello menunggu, dan tak segan masuk ke dalam rumah Mika. Langsung saja Julian menaiki lantai atas, berjalan di lorong panjang, dan berhenti di pintu hitam yang tengah-tengahnya ditempel stiker; Hi, This is Mika. Leave a message after beep. Stiker itu benar-benar mencerminkan Mika yang agak-agak songong.

Mika tidak mengekorinya, dia membiarkan Julian masuk dengan leluasa ke dalam kamar. Katanya, dia lagi sibuk melepas sisir merah jambu dari rambutnya. Membuat Julian geleng-geleng kepala. Apa sih yang ada di otak Mika sampai-sampai sisir pun nyasar mencium kepalanya?

Harum sinar matahari tercium dari kamar Mika, benar-benar khasnya. Membuat Julian pening. Hal kedua yang ia benci setelah olahraga adalah bau matahari. Apalagi yang semenyengat ini. Tak berlama-lama, Julian langsung mengambil tumpukan komik di meja belajar Mika—bukan seperti meja belajar, sih. Karena penuh oleh DVD dan Wii, buku pelajarannya tergeletak mengenaskan di kolong meja belajar.

Baru saja Julian ingin berbalik dan pergi, berniat mengomeli Mika tentang bau matahari, menanyakan kegunaan pengharum ruangan pada cowok itu. Tapi Julian berhenti bergerak kala matanya menangkap bayangan seseorang di balkon sebelah. Balkon itu seharusnya kosong, karena setau Julian, rumah itu sudah lama tidak ditinggali penghuni aslinya.

Atau penghuni baru sudah menempati tempat itu.

Julian menyibak tirai kamar Mika, membuka jendela kaca, menggeser jendela itu. Dia berdiri di balkon, menyipit memandang sang bayangan. Bayangan itu bergerak-gerak, seolah tengah memainkan ... tunggu, biola?

"YAAAN, bantuin ini sisirnya gak mau lepaaas ...," suara nyaring Mika terdengar memekakkan telinga, membuat Julian lantas tersadar dan cepat-cepat pergi dari tempat itu. Pikirannya mengusir jauh-jauh apapun yang berhubungan dengan dia. Maksud Julian, kenapa harus ... biola? Kenapa penghuni balkon sebelah tidak memainkan gitar? Ukulele? Atau apalah.

Berkali-kali Julian menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin 'kan dia tinggal di sebelah rumah sahabatnya?

Begitu melihat Mika, Julian langsung menatap matanya. Tak peduli Mika sedang sibuk melepas sisir itu susah payah. "Mik."

"Ha?" Mika balik menatapnya.

"Lo gak nutupin apa-apa dari gue?" tanya Julian.

Mika berkedip terlalu cepat, wajahnya terkejut untuk beberapa saat, namun ia berhasil mengontrol emosinya. Matanya melihat Julian sekali, lalu mengalihkan pandangan seraya berbicara. "Enggalah."

Mika bohong, simpul Julian, tersenyum. "Baguslah. Gue kira lo nyembunyiin fakta kalo 'temen lama' gue sekarang jadi tetangga lo," jeda, Julian menatap Mello, cewek itu tampak risi dengan atmosfer yang terjalin. "Berangkat, Mell."

Mello hanya mengangguk patuh. Sementara Mika sama sekali tidak bereaksi,

hanya diam mematung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top