J-A :: [1] Intro
1.
"Lo nyari-nyari dia, gak bakal ketemu di lautan manusia kayak gini," cetus Julian, menyumpalkan headset lebih dalam ke kedua telinganya.
Kaki Julian mengetuk seirama dengan lagu rock yang ia dengarkan. Sesekali ia melirik kakaknya, Ana, yang tengah menyetir di sampingnya. Tampak sibuk menatap sekitar. Katanya, Ana ingin mengantar Julian ke sekolah. Tapi Julian sendiri tahu motif kakaknya mengantarnya; untuk melihat Mika—mantan pacar Ana, salah satu sahabat Julian.
Ana melirik adiknya, sebal. Lalu melanjutkan aktivitasnya melongok ke lautan manusia di depannya. "Diem bisa gak, Dek?" tanyanya. Beberapa sekon kemudian, bagian kiri mobil menabrak seorang perempuan yang lewat. Ana maupun Julian melotot.
"Tuh, makanya konsen kalo nyetir!" bentak Julian pada Ana.
Buru-buru Julian keluar dari mobilnya. Susah payah. Lautan manusia di sini benar-benar menghambat pintu mobil yang mau Julian buka. Dia pun membantu perempuan yang tadi jatuh karena tersenggol bodi mobil Ana. Untung tidak terlalu keras, jadi tidak menarik perhatian lautan manusia ini.
"Lo oke?" tanya Julian sembari menariknya berdiri.
Perempuan itu menunduk, Julian tidak bisa melihat wajahnya. Dari seragamnya, dia satu sekolah dengan Julian. Yang mana membuat Julian bingung. Seragamnya baru, tapi penampilannya seperti anak kelas akhir. Padahal seragam baru identik dengan junior mereka, kelas 10. Dalam diam, ia menggeleng-geleng kepala. Kelas 10 ternyata cepat dewasa juga.
"Lo oke?" tanya Julian lagi, barulah perempuan itu merespon; dia mengangguk. "Kita satu sekolah. Mau bareng gue?" dia menggeleng.
Julian pun bukan cowok yang akan memaksanya hingga mau berangkat bersama. Dia mengangguk, meninggalkan perempuan itu sendirian dan kembali ke mobilnya. Masih menunduk. Aneh. Julian mengernyit kala perempuan itu tetap berada di sana, menundukkan kepalanya. Namun Julian mencoba tidak peduli. Orang-orang jaman sekarang memang aneh-aneh. Memangnya Julian mau ngapain dia misalkan wajahnya terlihat?
"Dia baik-baik aja?" tanya Ana cemas.
Mata Julian melirik kakaknya sinis saat berkata. "Dia gak kenapa-kenapa."
Ana mengembuskan napas amat lega. Membuat Julian jengkel sendiri. Kakaknya ini benar-benar ceroboh. Hanya Mika yang berhasil bertahan dengan kecerobohannya. Tapi, kakaknya malah meninggalkan cowok itu. Benar-benar membuat bingung seluruh teman-temannya. Meski sebenarnya, semua orang tahu alasan mereka putus. Tapi tetap saja. Sebagian orang merasa mereka berlebihan. Julian sendiri memilih netral.
Kantuk menyerang Julian, ia mengerang kesal. Ditutupnya kedua mata. Menurunkan sandaran kursi. Lalu mencoba rileks.
Dan suara-suara menjadi lebih nyata daripada sebelumnya.
Suara deru mesin mobil. Suara klakson di luar sana. Umpatan pengendara motor yang kesal karena macet. Gerutuan kakaknya. Detak jantung. Kepakan sayap burung-burung gereja. Teriakan kenek bus yang mencari penumpang. Suara tawa sekelompok mahasiswa. Petikan gitar maupun ukelele pengamen jalanan. Suara gemerincing uang yang dimainkan anak kecil.
Apa dengan maaf, semua orang berhenti ngolok-ngolok gue? Iya?
Suara itu. Lagi-lagi terdengar memilukan di kepala Julian. Matanya membuka. Keringat membanjiri badannya. Napas Julian terengah, ia mengusap dahinya pelan. Inilah yang terjadi jika ia mencoba tidur. Semua suara tampak jelas. Was-was merayapi sekujur tubuh. Mata menutup namun pikiran tetap bersuara. Kantuk menyerang namun tak sekalipun dapat jatuh tertidur tanpa obat.
Julian mengidap insomnia, sejak ibunya meninggal.
"Lo tadi malem gak minum obat tidur, Dek?" tanya Ana cemas—lagi.
Julian mengambil tisu yang ada di dasbor mobil, mengelap wajahnya yang bercucuran keringat. Suaranya parau saat menjawab, "Gue gak mau ketergantungan."
"Dosisnya kan sesuai dokter," ucap Ana. "Aman."
"Gue mau sembuh, Kak."
"Nanti ngantuk di hari pertama masuk sekolah, lho," Ana melihatnya sekilas. Yang membuat Julian melotot¸ fokus pada jalanan! Ana terkekeh dan kembali melihat jalan raya. "Malu 'kan, udah kelas akhir tapi tidur."
"Gue bisa pura-pura sakit dan masuk UKS. Tidur," ucap Julian simpel.
"Dan ketinggalan pelajaran? Dek, lo tau sendiri National High ketat sama tugas dan catetan. Mati lo entar," ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Masih terkekeh puas.
Julian tanpa sadar menceletuk. "Mika tiga minggu gak sekolah bisa ngejar ketinggalannya. Masa gue sehari gak mampu."
Kekehan Ana lenyap, diganti kesunyian yang membuat Julian sadar ia salah omong. Dia melirik kakaknya takut-takut. Ekspresi Ana datar. Seolah nama Mika yang baru saja Julian sebut memberi efek besar pada diri perempuan itu. Ana menghela napas, lalu benar-benar terdiam.
Julian mengganti lagu rock, menjadi blues.
"Sori," Julian menatap langit biru berawan, tanda hujan akan turun.
Samar-samar suara lirih kakaknya terdengar. "Gak apa."
====
12 IPS A.
Julian benar-benar tertidur di kelas barunya, di hari pertama masuk sekolah. Saat masuk ke dalam kelas, ia langsung menempati bangku yang menurutnya paling enak. Di samping jendela, pojok belakang. Julian bisa merekam suara guru-guru yang menjelaskan sejarah ini-itu. Sementara ia tertidur dengan headset menyumpal telinganya. Barulah pulang sekolah hingga naik ke tempat tidur, Julian memutar rekamannya. Ajaibnya, Julian ingat seluruh kata-kata gurunya, sehingga nilai Julian cemerlang di tiap mata pelajaran.
Tapi kali ini, guru-guru tidak ada yang datang menjelaskan. Mereka sibuk mengurus anak kelas 10, MOPDB. Anak-anak OSIS juga ikut membantu. Teman Julian, Alvaro sang Ketua OSIS sekarang pasti lagi sibuk-sibuknya. Sejak semalam, Roo tidak bisa dihubungi. Sibuk mengatur MOPDB, mungkin.
Meski mata Julian tertutup, suara-suara tetap terdengar bergema di otaknya. Termasuk saat pintu terayun membuka dan dua langkah manusia mendekati kelas. Seisi kelas senyap. Berganti bisik-bisik seperti "anak baru", "pindahan dari mana, ya?", "cantik juga tuh lumayan, rambutnya berkilau", "gebet-gebet, yuk", dan semacamnya. Julian mendengus. Anak baru saja heboh sendiri. Berlebihan. Anak jaman sekarang. Ck.
Suara guru wanita yang tegas pun terdengar. "Perhatian, Anak-Anak! Kalian kedatangan teman baru dari Palembang. Ayahnya dimutasi ke Jakarta lagi setelah lima tahun menetap di sana. Perkenalkan dirimu, Nak."
Napas Julian tercekat. Palembang ....
Gue pergi, ya? Nanti malem gue udah ke Palembang.
Julian membuka kedua matanya, perlahan. Ia menegakkan punggung, menatap ke depan dengan mata elang miliknya. Benar. Julian tersenyum ironis. Benar. Itu benar dia. Tengah tersenyum kepada seisi kelas. Rambutnya tetap dikuncir, dan bergoyang-goyang seiring ia bergerak. Mata bulatnya menatap teman-teman barunya dengan pandangan polos, pandangan yang salah menurut Julian. Perut Julian melilit akan berbagai rasa. Rindu, marah, bersalah. Sekarang faktor yang membuat Julian insomnia berada di depan kelas.
Secepat itu. Secepat berkedip.
Dan mata orang itu jatuh pada Julian.
Dia tersenyum ironis, halo lagi.
Julian tidak membalasnya, hanya mengatupkan bibir dan menutup kedua mata. Kembali tertidur. Meski jantungnya berdetak liar dan pikirannya berkelana pada masa lalu. Masa itu. Dimana awal bencana itu terjadi.
Jam pelajaran olahraga, jam yang paling aku benci.
Aku menghela napas gusar, mengambil baju olahraga dari tas dan berjalan seorang diri ke kamar mandi laki-laki. Dengan segera, kuganti seragam merah-putih menjadi seragam olahraga khas sekolahku, warnanya oranye muda dengan garis-garis putih. Benar-benar norak, sangat eksentrik. Tapi nyaman dipakai. Membuatku berkali-kali bersyukur. Setidaknya ada hal yang membuatku nyaman dalam olahraga. Meski hanya seonggok baju.
Setelah keluar dari kamar mandi, aku langsung bersitatap dengan Sashi. Tangannya tengah sibuk menjalin seluruh rambut hitam legamnya dengan kunciran rambut. Tersenyum, ia melambaikan tangan ke arahku, mendekat.
"Pelajaran yang paling Julian benci dari bayi hingga umur 10 tahun, eh?" ledeknya.
"Hingga selama-lamanya," koreksiku, menjulurkan lidah, balas meledek.
"Kau tau, selama-lamanya itu gak sebentar," ucap Sashi seiring kami berjalan bersama-sama menuju lapangan olahraga. "Selama-lamanya itu lamaaa ... banget," ia merentangkan kedua tangannya hingga menubruk dadaku.
"Lama?" tertawa, "Lama? Berapa tahun? Dua? Tiga? Empat? Lima?"
Sashi menggeleng. Aku menatapnya, bertanya. Rambut hitam legamnya yang kini terjalin menjadi satu itu bergoyang-goyang seirama dengan langkah pelannya. Pancaran sinar matahari memgenai rambut itu, membuatnya berkilau. Cantik, tapi aku tidak mau mengakuinya. Bisa-bisa dia ge-er seperti Tatya. Jujur, aku pernah suka padanya tahun lalu. Tapi perasaan itu lama-lama sirna dimakan waktu saat aku sadar, pertemanan kami lebih berharga daripada apapun.
"Lama itu secepat kita berkedip. Saking gak sadarnya, tiba-tiba semuanya diambil. Semua yang udah lama ada di diri kita," ucapnya, "Karena pada dasarnya, semua gak akan berlangsung selama yang kita pikirkan. Detik berganti detik. Menit berganti menit. Jam berganti jam. Hari berganti hari. Minggu berganti minggu. Tahun-"
Aku mengoreksi. "Bulan dulu."
"—Ya, bulan berganti bulan. Tahun berganti tahun. Dan kita gak sadar. Kalo semua itu secepat kita berkedip, benar-benar cepat."
Senyumku mengembang, sementara Sashi terus mengoceh selama kami melakukan peregangan di lapangan olahraga. Tatya berada di baris depan, paling semangat saat pelajaran olahraga. Sekilas aku melirik Tatya, lalu terkekeh. Tanpa sadar, ternyata Sashi mengikuti arah pandangku. Aku lagi-lagi tak sadar, ia tersenyum getir. Seperti ironis.
"... Aku yakin, kita juga gak bakal selamanya kayak gini, Yan."
Kekehan itu lenyap. Kutatap Sashi, bingung. "Apa maksudnya?"
"Kita," dia berucap lirih. "Aku, kau, Tatya. Kita gak selamanya bakal bareng gini." Aku tak pernah memikirkan itu, yang kutahu pasti, kita akan tetap bersama. Dari kelas satu, kita sudah seperti itu 'kan? Tidak terpisahkan? Kenapa aku malah meyakinkan diriku sendiri? "Tapi, dua tahun ini mungkin cukup bagi kita buat terus bareng," lanjutnya.
Kecurigaan saat melihat Sashi nyengir aneh, kini terselimuti perasaan takut. Jangan bilang dia juga akan pergi, selama-lamanya. "Kau tidak akan pergi—maksudku, pindah atau apalah itu, ya kan?" aku bertanya, takut-takut.
Sashi tersenyum tipis. Maaf. Aku bisa mendengar ia mengucapkan kata itu dari mimik wajahnya. Aku selalu tau.
Dan dia berlari meninggalkanku.
Tanpa sadar, setitik air mata Julian luruh. Ia buru-buru mengusapnya. Mengembuskan napas. Dan kembali tertidur dengan suara-suara bergema di pikirannya. Termasuk suaranya.
Dan Julian ingat, orang yang tadi ia tolong adalah dia.
Sashi Ananta.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top