MAS ANTON BERHAK BAHAGIA
TRIBUTE TO ANTON & ELSA
Musik metal dipasang dengan volume tertinggi. Anton menyetir sambil menyanyi keras-keras. Daripada dia galau terus-terusan karena menangisi Elsa, lebih baik dia menghibur diri sendiri. Anton kan cowok mandiri.
Sekarang dia dalam perjalanan menuju rumah Galang dan Gie. Menyetir sendirian, tentunya. Mia dan Aiden menyusul di belakang. Mereka bilang harus mampir ke apartemen Aiden dulu sebentar untuk mengambil beberapa barang.
Dulu, Galang dan Gie berencana untuk membeli lahan di komplek yang sama dengan lokasi rumah lama. Rencananya batal. Opa Gie menghadiahi mereka sebuah lahan maha luas di Antares, daerah perumahan elit Surabaya yang terkenal dengan privasi dan luasnya lahan mereka. Setiap rumah di sana setidaknya pasti punya lapangan golf atau danau pribadi.
Segala hal yang berhubungan dengan nama Regie Tan pasti lekat dengan kemewahan. Rumah hanya salah satunya.
Pasangan itu mendapat empat rumah yang lahannya memiliki luas beberapa hektar jika digabungkan. Semuanya diratakan dengan tanah karena Gie tidak suka dengan model rumahnya.
Boros?
Tidak ada kata boros dalam kamus hidup Gie.
Galang sempat stress dan frustasi karena standarisasi yang dipasang istrinya menghabiskan banyak biaya. Meskipun keadaan finansial mereka bisa dikatakan jauh dari kata cukup untuk membiayai itu semua, tetap saja perbedaan visi sering membuat mereka ribut. Efek pertengkaran itu biasanya membuat Gie minggat dari rumah. Menghilang selama beberapa hari sampai Galang meminta Janesa untuk melacak istrinya.
Kalau sudah begitu, biasanya Anton yang akan jadi pendengar setia curhatan nonstop Galang. Sekaligus jadi satu-satunya teman untuk menemani Galang ngubek-ngubek Surabaya demi membawa Gie pulang.
Setelah melewati pos keamanan, Anton dipersilahkan masuk melewati gerbang otomatis setinggi pohon pinang. Dari pintu gerbang menuju rumah utama-pun jauhnya masih sekitar satu kiloan meter. Ada danau kecil buatan, taman bunga, serta kebun di kanan kiri jalan. Suasananya sangat asri. Galang dan Gie membangun tempat tinggal dalam waktu relatif singkat sejak mereka berdua menikah. Jika ditotal mungkin hanya hitungan bulan. Jadi kebunnya masih belum terlalu rindang karena baru ditanam. Para tukang kebun berkeliaran di sekitar sini untuk bekerja keras mewujudkan taman impian Gie.
Mungkin Gie mau sekalian bikin hutan lindung, hitung-hitung kontribusi sebagai pemasok oksigen di Surabaya. Pikir Anton sih begitu.
Mobil Anton berhenti di depan sebuah bangunan terpisah yang dijadikan garasi. Sudah ada petugas valet di sana.
Cuma Gie doang yang nyediain petugas valet di rumahnya. Batin Anton sambil mengelus dada.
"Di dalem rame, mas?" Tanya Anton pada petugas valet seraya menyerahkan kuncinya.
"Hanya ada bu Regie, pak Galang, bu Elsa, bu Ullie, dan pak Bian di dalam. Bu Regie memang ndak suka mengundang banyak orang ke rumah." Jawab si petugas valet.
Anton manggut-manggut sembari memperhatikan garasi. Hampir selusin super cars dan mobil mewah diparkir di dalam. Semuanya berkilau tanpa noda. Galang benar-benar jadi bos bengkel sport cars sejati sejak menikah dengan Gie. Hobinya untuk mengoleksi dan merakit mobil jadi tersalurkan sejak bengkelnya makin maju dan buka cabang.
"Suwun (Makasih), mas." Anton berlari kecil menuju rumah utama yang di depan terasnya dibangun sebuah kolam air mancur besar. Pancuran airnya membiaskan warna pelangi saat terkena matahari sore.
"Selamat datang, pak Anton." Mareta, asisten pribadi Gie datang menyambut di foyer. Ia tersenyum lebar. "Semuanya sedang berkumpul di kebun belakang. Silahkan, saya antar." Mareta memimpin jalan untuk menyeberangi ruang tamu menuju tempat yang dimaksud.
Anton tak berhenti mengagumi arsitektur rumah baru Gie dan Galang. Mewahnya tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Dia menerka-nerka berapa rupiah yang mereka berdua habiskan untuk membangun rumah ini dan melengkapi segala furniturnya.
Lampu kristal yang dipasang di ruang tamu saja sudah segede gaban. Harganya mungkin ratusan juta. Itu baru lampu di satu ruangan!
Ketika melewati common room, Anton berjalan sambil melongo karena seluruh dinding yang ia lewati berupa akuarium. Besarnya sudah menyerupai akuarium di wahana seaworld. Mau dimasukkan apa saja pasti cukup. Hiu, paus, putri duyung, sekalian dengan para penyelamnya juga bisa. Anton curiga kalau di atas akuarium ini pasti ada pulau buatan juga.
Anton terkesiap kaget ketika seekor hiu tutul raksasa tiba-tiba berenang melewatinya. Jantungnya hampir copot tadi. Untung mereka tidak berada di dalam satu ekosistem.
"Edan (Gila)." Gumam Anton takjub. Sekarang giliran seekor penyu berenang di dekatnya. Siripnya melambai-lambai seakan sedang menyambut Anton di rumah baru sang pemilik.
"Pak Anton?" Suara Mareta menyadarkan Anton. Ia sudah tertinggal jauh.
***
Elsa selalu mengapresiasi penampilan Gie yang nampak anggun kapanpun dan dimanapun. Seperti hari ini contohnya. Ia sebenarnya tahu kalau Gie hanya mengenakan gaun sehari-hari. Namun gaun sehari-hari yang sedang Gie kenakan ini harganya mencapai lima puluh juta rupiah.
Gie mengenakan gaun panjang berwarna hitam dengan aksen putih polkadot keluaran Erdem. Modelnya retro tahun 1920-an, lengkap dengan simpul di leher. Perut buncitnya kentara, namun hal itu justru membuat aura Gie makin bersinar. Ia memilih sepatu flat putih dari Malone Souliers dengan hiasan bulu-bulu berwarna senada sebagai alas kaki. Seperti hari-hari biasanya juga, Gie tak mengenakan polesan make-up sama sekali. Wajahnya cantik dan segar. Kulitnya sehat dan terawat, terbukti dari rona cantik merah muda yang muncul di pipi ketika Galang membisikkan sesuatu di telinganya.
"Empati sama yang jomblo, woy!" Ujar Elsa tak bersemangat karena jadi saksi kemesraan kakak kembarnya dengan sang istri.
Gie tertawa. Rona di pipinya makin kentara, membuat Elsa ikut tersenyum. Gie duduk di atas pangkuan Galang sambil menggigit apel yang baru dibawakan oleh seorang pelayan. Meja makan mereka penuh oleh bermacam hidangan. Seorang koki sigap membolak-balik daging barbeque di ujung meja.
"Makanya buruan cari pacar." Celetuk Galang sebelum menggigit apel yang ditawarkan oleh istrinya. Ia meletakkan satu tangan di atas perut Gie yang buncit. Kesannya agak protektif. Sesekali Galang mengelus perut istrinya. Gie hanya tersenyum sembari meletakkan kepalanya di bahu sang suami.
Elsa memutar bola mata sebelum merespon dengan acuh tak acuh, "Cariin." Ia menggoyangkan gelas berisi anggur rekomendasi Gie.
Ullie makan lahap di seberang Elsa. Fabian terus menawarinya macam-macam. Selera makan cewek itu sangat besar belakangan. Ia bisa melahap apa saja yang ada di depannya. Tapi anehnya tubuh Ullie tidak besar-besar. Bentuknya masih sama seperti saat belum menikah. Mungkin sistem metabolismenya cepat.
"Tuh, ada yang nganggur." Galang menunjuk sosok yang baru datang lewat anggukan dagu.
Elsa menelan ludah tanpa sadar. Anton sedang berjalan menuju tempat mereka sedang berkumpul.
"Makan apa mbadog (Istilah 'makan' dalam bahasa Jawa kasar)?" Anton muncul dari arah belakang Ullie lalu menarik sehelai rambutnya sampai membuat cewek itu memekik.
"Mas Antooon!" Ullie gatal ingin memaki tapi di sebelahnya ada Fabian. Lagipula cewek itu tidak pernah berani memaki di depan Anton, takut dismack down.
Anton menghempaskan tubuh di sebelah Ullie. Ia mencomot satu tusuk barbeque berisi ayam, paprika, dan bawang bombay dari piring adiknya.
"Ambil sendiri talah, mas! Ullie laper, lho!"
"Pelit!" Anton hanya sempat menggigit satu paprika dan ayam sebelum mengembalikan sisanya pada Ullie yang manyun. Fabian yang memperhatikan interaksi mereka berdua hanya bisa geleng-geleng kepala.
"Kesini nggak bareng Mia?" Tanya Galang.
Anton menggeleng, "Dia bareng suaminya."
Seisi meja langsung hening. Mereka semua menatap Anton. Bahkan Ullie sampai berhenti mengunyah.
Anton yang baru sadar sudah keceplosan hanya bisa menggaruk leher. "Mereka udah nikah siri katanya. Di Sampit. Abahnya Mia yang nikahin."
"Kurang ajar!" Ullie meremas sekaleng soda di tangannya. Ia merasa telah dikhianati. "Kapan, mas?"
"Lupa nanya."
"Nikah kok nggak bilang-bilang???" Ullie kelihatan tidak terima. Fabian mengelus punggung Ullie, menenangkan sekaligus menahannya agar tidak marah-marah.
"Nggak tau, dek. Paling si Aiden yang udah nggak tahan." Anton hanya mengedikkan bahu.
"Hello, everibadeee!" Yang lagi dibicarakan akhirnya muncul. Mia berjalan sambil melompat-lompat kecil antusias menuju arah mereka. Aiden mengekor di belakangnya.
Ullie langsung mencak-mencak begitu melihat Mia. "Kamu udah nikah? Apa-apaan? Hamil duluan, ya?!" Tuduhnya berapi-api.
"Ish, bacotnya. Kakak-adek sama aja ternyata!" Gerutu Mia. Aiden hanya tertawa kecil di belakangnya.
"Doakan aja." Ujar Aiden menimpali tuduhan Ullie. Ia berjalan menghampiri pemilik rumah, memberikan kado untuk mereka.
"Wah, kok repot-repot?" Gie memekik senang saat menerima kotak hadiah dari Aiden. "Ini apa?" Tanyanya dengan mata berbinar. Gie suka hadiah. Dia belum pernah menerima pemberian orang lain selama hidupnya kecuali dari Galang. Kali ini suaminya itu tidak merespon apa-apa ketika Gie menerima hadiah dari mantan tunangan. Toh Aiden tidak punya niat apa-apa.
"Buka aja." Aiden mengambil dua kaleng soda dari meja untuk dirinya dan Mia sebelum duduk di kursi kosong sebelah Anton.
"Teh Da Hong Pao!" Gie berseru senang saat kotak kayu di tangannya dibuka. Teh itu adalah jenis teh oolong kesukaan Gie. Jenisnya langka karena hanya tumbuh di pegunungan Wuyi di Cina. Rasanya kuat dan biasanya tidak terlalu pahit. Aroma manisnya sangat disukai Gie. Harganya jelas mahal. Bahkan harga satu gramnya lebih mahal daripada emas.
Aiden menyunggingkan senyum kemenangan pada Mia yang masih berdiri di dekatnya. Sejak tadi mereka berdua berdebat tentang hadiah apa yang cocok diberikan untuk Gie. Mia tak punya pendapat tertentu, namun ia bersikukuh untuk menolak ide memberikan teh sebagai hadiah pindah rumah. Kebetulan Aiden hanya menyimpan sekotak teh langka itu di apartemennya karena ia tidak suka teh. Teh itu ia dapatkan sebagai oleh-oleh dari klien yang berasal dari Cina. Karena ingat kalau Gie penggemar teh, akhirnya Aiden punya ide memberikan itu saja. Apalagi Da Hong Pao sangat sulit ditemukan di pasaran saking langkanya.
"Emang boleh minum teh pas lagi hamil, dek?" Dahi Galang berkerut. Pertanyaan itu ia lontarkan pada Mia.
"Boleh aja. Asal dibatasi. Teh kan juga ada kafeinnya. Sebaiknya minum yang nggak berkafein." Jawab Mia singkat.
"Gie punya gangguan tidur. Jangan banyak-banyak." Elsa ikut menimpali.
Mendapat wejangan dari dua ahli kesehatan, Gie langsung cemberut.
"Minggir! Gue mau ngobrol sama Ullie!" Mia menyenggol bahu Anton yang masih duduk di sebelah sang adik.
"Lah, dateng-dateng kok resek? Kan banyak kursi kosong!" Protes Anton.
"Gue pengennya duduk di antara suami sama temen gue. Udah, ah! Protes mulu! Sana!"
Anton mendengus namun tetap bangkit berdiri. Dilihatnya hanya ada satu kursi kosong di meja itu. Sebelah Elsa.
Begitu Mia duduk, Ullie langsung memborbardirnya dengan banyak pertanyaan. Meja mereka langsung ribut karena celotehan dua cewek mantan serumah itu.
"Kesini sendiri?" Anton berusaha sok cool meski hatinya ambyar.
Elsa hanya mengangguk. Ia terlihat agak salah tingkah.
Anton mengernyit karena jawaban Elsa barusan. Ia menarik kursi di sebelah Elsa, "Kok sendiri? Bukannya tadi kamu sama man- temenmu?"
"Tadi cuma pergi minum kopi sebentar. Abis itu gue lanjut kesini."
"Naik apa? Kamu kan nggak bawa mobil tadi."
"Naik taksi."
"Loalah." Anton menepuk jidatnya. "Kok ndak bilang, sih? Rugi banget tadi aku ke tempat Mia dulu."
Elsa menyesap anggur dari dalam gelasnya, "Elo nggak nanya, kok." Gerutunya. Dia gondok seharian karena mengira Anton batal menjemputnya tanpa penjelasan.
"Dari tadi salah paham dong aku?"
Elsa mengedikkan sebelah bahu.
"Tak kira kamu pergi sama temenmu, Els. Terus nggak butuh tak jemput lagi."
Cewek itu tak merespon.
"Ngambek, tah?" Anton mencondongkan tubuh ke arah Elsa. "Maaf, Els. Aku salah paham."
"Makanya nanya kalo nggak tau. Suka banget bikin kesimpulan sendiri!" Elsa bangkit berdiri sambil membawa piringnya, meninggalkan Anton yang melongo bingung.
Kejadian itu tak luput dari perhatian Mia.
"Mau daging, nggak?" Tawar Mia pada Aiden yang sibuk mengobrol dengan Fabian. Suaminya itu menggeleng sambil tersenyum.
"Aku! Aku mau!" Ullie mengangkat satu tangan.
"Ambil jeda dulu, sayang. Nanti perut kamu begah kalo makan nonstop begitu." Ujar Fabian sambil mengelus lengan istrinya. Wajah cowok itu agak khawatir. Sejak tadi ia melihat Ullie tidak berhenti makan.
"Biarin aja. Sekalian perutnya meledak." Timpal Mia sebelum bangkit sambil membawa piringnya.
Mia melewati Galang dan Gie yang sedang mengobrol sambil sesekali berciuman. Tangan Galang melingkari tubuh Gie yang duduk di pangkuannya. Untung Mia sudah punya Aiden, jadi tidak nelangsa-nelangsa amat karena melihat kemesraan mereka.
"Kak." Mia berdiri di sebelah Elsa yang sama-sama sedang menunggu daging barbeque matang.
"Sepuluh menitan lagi baru mateng katanya." Elsa memang sempat bertanya pada sang koki yang bertanggung jawab atas sajian daging malam ini.
"Ini rumah kok gede amat, sih?"
Pertanyaan retoris Mia hanya dijawab senyuman simpul di wajah Elsa.
"Mereka ngebangunnya berapa lama? Kan belum setahun mereka nikah." Lanjut Mia lagi.
"Beberapa bulan. Renovasi besar-besaran."
"Tapi tetep nggak masuk akal, kak."
"Masuk akal kalo pekerja bangunan mereka jumlahnya ratusan dan dipekerjakan siang-malam nonstop. Sampe dibikin dua shift buat ngejar deadline Gie. Dia sendiri yang mengawasi pembangunannya. Galang nemenin sesekali. Dia kan udah sibuk di bengkel."
Mulut Mia sampai melongo karena mendengar penjelasan Elsa.
"Buset dah tuh cewek. Gila bener. Kegiatannya banyak banget. Duitnya nyumber darimana coba?" Gumam Mia takjub.
Elsa tertawa melihat ekspresi Mia.
"Pantesan rumahnya kayak istana sultan begini. Dihuni mereka berdua doang?" Lanjut Mia lagi masih penasaran.
"Enggak, lah. Banyak pekerja kok di sini. Kan rumah barunya belum selesai 100% juga."
Mia manggut-manggut mengerti, "Kesini sama siapa?" Ia bertanya sambil lalu.
"Naik taksi."
"Kok nggak bareng sama mas Anton?"
"Gue nggak dijemput."
Mia sontak menoleh ke arah Anton. Kini cowok itu sedang terlibat obrolan dengan suaminya dan Fabian. "Kok gitu?"
"Dia salah paham. Seharian ngira gue pergi sama mantan gue. Terus bakal ngajak dia kesini juga. Dasar otak sinetron!" Dengus Elsa sebal.
"Maklumin lah, kak. Mas Anton kan nggak pernah pacaran. Sampe dulu gue pernah ngira dia homo."
"Lo bukannya juga pernah ngira laki lo homo waktu ketemu dia pertama kali?"
Mia terkejut, "Tau darimana dah?"
"Dia cerita ke gue pas kita terakhir nonton waktu itu. Aiden juga bilang kalo lo ngibul mulu kerjaannya. Ngaku-ngaku nama lo Penelope, padahal aslinya Putri Moris."
Mia tak bisa menahan tawanya, "Dia nggak pernah konfirmasi ke gue."
"Lo ada-ada aja." Elsa geleng-geleng kepala meski bibirnya juga tersenyum. "Kenapa milih nikah siri, sih?"
"Tau sendiri kan om Aiden itu umurnya berapa? Mottonya dia itu 'kalo bisa sekarang, kenapa nunggu besok'."
Giliran Elsa yang sekarang manggut-manggut sambil ber-ohh.
"Nah, balik ke kisah cinta lo, kak. Kalian kapan mau ngeresmiin hubungan? Kayak anak sekolahan aja pake malu-malu kucing." Lanjut Mia.
"Si Anton kayaknya takut buat maju, dek." Mereka berdua kompak memandang Anton. Hanya sekilas. "Gue bingung kudu gimana."
Mia garuk-garuk kepala. "Padahal sama-sama mau, kok ribet amat." Gumamnya sebelum melanjutkan, "Yaudah lo duluan aja kak yang bilang ke dia."
Elsa buru-buru menggeleng, "Gue kan cewek. Masa cewek duluan, sih?"
Mia mendecakkan lidah, "Kak, emansipasi wanita! Udah jaman kayak gini, masih aja nungguin cowok. Kalo suka ya bilang suka. Hajar aja. Loossss!"
"Nanti kalo dia ilfeel gimana?" Elsa merasa agak khawatir dengan kemungkinan itu.
"Si Ade Ray jadi-jadian itu udah bucin ke kak Elsa sejak kalian masih bocah! Nggak mungkin lah semudah itu perasaannya berubah. Buktinya dia masih deket-deket sama kak Elsa kan meskipun lamarannya gagal waktu di kebun binatang dulu?"
Elsa menggaruk dahinya yang tidak terlalu gatal. "Iya juga."
***
Acara mereka berlanjut sampai hampir tengah malam. Kalau saja Gie tidak kelelahan, mungkin acara itu bakal berlanjut sampai pagi. Semua tamu pulang dengan pasangan masing-masing. Anton otomatis bertugas untuk mengantar Elsa.
Mereka tidak saling bicara selama perjalanan. Hanya ada suara radio yang memecah keheningan di antara mereka. Anton sibuk dengan pikirannya, Elsa juga.
"Eh-"
"Apa? Kenapa?"
Mereka bicara bersamaan. Tak berapa lama, mereka tertawa. Kecanggungan itu tidak bertahan lama.
"Mau ngomong apaan?" Tanya Elsa begitu tawanya reda.
"Err... enggak. Tadi mau nawarin makan dimana."
Elsa mengernyit, "Lo lupa kita abis makan tadi?"
Anton terdiam beberapa detik sebelum menjawab, "Eh, iya. Habisnya gampang laper kalo udah tengah malam begini." Ia terkekeh.
Elsa menganggap wajar perut Anton yang mudah lapar. Cowok ini ototnya besar sekali. Dia perlu makan banyak untuk menyeimbangkan massa tubuh dan ototnya. Elsa pernah melihat dengan mata kepala sendiri kalau Anton sanggup menghabiskan empat bungkus nasi padang sekali makan. Padahal separuh porsi saja Elsa tidak habis. Keuntungannya, mereka tidak pernah menyia-nyiakan makanan saat pergi berdua. Semuanya habis oleh Anton. Tandas tak bersisa.
Selepas iklan obat puyer, sebuah lagu yang amat familiar langsung mengudara. Elsa dan Anton sama-sama salah tingkah ketika suara Bruno Mars terdengar.
It's a beautiful night, we're looking for something dumb to do
Hey baby, I think I wanna marry you
Lagunya mengalun seakan tidak tahu diri. Anton buru-buru mengecilkan volumenya. Padahal lagunya tidak berdosa, tapi Anton malah misuh-misuh dalam hati. Ini adalah lagu yang jadi soundtrack acara lamaran noraknya di kebun binatang. Mengingatkannya tentang tarian hina yang ia lakukan sebelum melamar Elsa. Semuanya ide Mia. Anton merasa konyol sekali sampai termakan iming-iming lamarannya bakal langsung diterima. Bocah itu memang kurang ajar karena sudah mengerjai orang tua.
"Gue penasaran, deh. Lo belajar nari berapa lama kemaren?" Tanya Elsa. Sesekali ia menggumamkan lirik bersama Bruno Mars.
"Semingguan." Sebenarnya Anton malas menjawab. Malu sekali dia kalau ingat-ingat kejadian itu.
"Pantes gerakan lo kaku banget. Lo nggak cocok nari. Mending ngangkat barbel aja, deh."
Aduh, hati Anton rasanya habis ditaburi garam akibat kena hujat bakal calon istri sendiri.
"Ndak usah diinget-inget kenapa, sih?" Anton suntuk mendadak.
Elsa malah tertawa. "Sori, sori. Abisnya kalian berdua lucu banget!"
"Percuma juga lucu tapi lamarannya digantung koyok umbahan (kayak jemuran)." Gerutu Anton. Elsa tidak mendengarnya. Ia sibuk mencari-cari sesuatu dari dalam tasnya. "Nyari apa?"
"Kabel. Mau nge-charge hp, nih. Baterainya udah abis."
"Di laci dashboard tuh ada. Coba cari."
Menyerah mencari kabelnya di dalam tas, Elsa menuruti apa kata Anton. Ia membuka laci dan menemukan kabel yang dimaksud. Namun bukan hanya kabel yang menarik perhatiannya.
"Ini..." Elsa mengeluarkan kotak hitam kecil familiar untuk ditunjukkan pada Anton.
Cowok itu hanya melirik sekilas, "Cincin buat kamu kemarin. Aku cari-cari nggak ada, taunya belum dikeluarin dari mobil toh?"
Elsa meletakkan kotak itu di pangkuan selagi ia menyambungkan kabel ke hpnya agar bisa diisi ulang daya.
"Lo kenapa bisa naksir sama gue, Ton?" Elsa membuka kotak itu, memperhatikan bentuk dan kilau cincin di dalamnya.
"Emang kalo naksir orang harus ada alasannya, ya?" Anton sungguhan bingung.
"Biasanya ada."
Cowok itu menggaruk pangkal hidungnya sambil berpikir, "Lupa kayaknya, Els. Wong aku seneng awakmu ket cilik, kok (Aku suka kamu dari kecil)."
"Cinta pertama?" Elsa agak terkejut.
Anton menggeleng, "Cinta pertamaku dulu mbak-mbak penjual jamu gendong yang sering lewat depan rumah. Cuantik."
Elsa memutar bola mata, "Terus dari kapan? SD? SMP? SMA kan kita pisah. Gue pindah ke Jakarta sama Galang sampe lulus kuliah."
"SMP kayaknya."
"Tapi elo nggak pernah pacaran?"
Anton menggeleng, "Belum sempat naksir siapa-siapa lagi." Nadanya santai.
Elsa harus menggigit bibirnya demi menahan senyum.
"Jadi itu sebabnya lo sigap banget kalo gue mintain tolong? Selalu ada kalo gue butuh? Gara-gara naksir?" Elsa masih ingin tahu.
"Nggak tau, Els. Udah kebiasaan aja."
Oke, anggap saja iya. Seperti kata Mia, Anton ini tidak pernah pacaran. Jomblo karatan. Meski begitu, nama Elsa bertakhta di hatinya selama bertahun-tahun. Wajar kalau dia akan melakukan apapun untuk menyenangkan Elsa.
Elsa tidak benar-benar yakin dengan keputusannya saat tiba-tiba ia menyematkan cincin itu ke jarinya. "Cocok, nggak?" Ia memamerkan jarinya pada Anton. Cowok itu hanya melirik sekilas.
"Ya cocok lah. Kan itu ukuranmu."
"Gue pake aja kalo gitu."
Krik krik krik.
Anton tidak salah dengar?
"Terserah, Els. Kan memang belinya buat kamu." Ujar Anton. Apakah salah kalau dia berharap?
Suasana di mobil hening lagi. Elsa menunggu Anton merespon. Namun tidak ada tanda-tanda cowok itu paham dengan apa yang sedang terjadi. Bahkan keheningan di mobil berlanjut sampai mereka tiba di depan rumah Elsa.
Elsa melepas sabuk pengaman. Ia menghela napas sebal.
"Els." Panggil Anton.
Elsa hanya menoleh dengan malas.
"Bukannya aku pelit sama kamu." Lanjut Anton, "Emang kamu nggak khawatir pake cincin itu di tanganmu?"
"Kenapa emang?"
"Nanti kalo dikira orang kamu udah tunangan, piye?"
Elsa mengangkat tangannya yang tersemat cincin dari Anton. "Emang udah tunangan, kan?" Ia malah balik bertanya.
Anton mengerjap. Kelihatan bingung.
"Haduh, lo ini bego banget, sih! Gue nerima elo!" Seru Elsa keras-keras, sampai membuat Anton hampir jantungan.
"Be-beneran?" Ia memegangi dadanya untuk menjinakkan jantung yang melompat-lompat. "Jangan guyon (becanda), ah! Jantungku lemah."
Mendadak Elsa beringsut maju untuk mengecup pipi kanan Anton. Kecupannya hanya sekilas dan cepat. Anton tidak keburu menikmati, tapi jantungnya sudah jingkrak-jingkrak.
"Weekend ini gue kosong. Bawa keluarga lo ke Jakarta buat ngelamar. Gue masuk dulu. Bye." Ujar Elsa tanpa memandangnya.
BAK
Pintu mobil sudah ditutup. Elsa berjalan menjauhi mobil Anton untuk masuk ke rumahnya. Selama itu pula Anton masih duduk mematung, lupa berkedip. Perlahan tapi pasti, senyum muncul di bibirnya.
***
Seperti judulnya, part yang ini didedikasikan untuk Mas Anton tersayang. Makanya nggak dikasih nomor bab.
Besok atau lusa udah Epilog. Prepare, ya.
*Penulisnya minta disambit pake cinta*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top