9 | TOUR GUIDE

Aiden membawa Mia ke pinggir alun-alun yang lebih sepi dan agak gelap karena rimbun oleh pepohonan. Aiden berbalik untuk memandang Mia. Cewek itu tidak dapat melihat ekspresi Aiden dengan jelas karena keadaan sekitar remang-remang. Topi berhiasan bulu Enggang di kepala Aiden sudah tidak ada.

"Om ngajak saya mojok gini ngapain dah?" Protes Mia.

"Supaya kita bisa ngobrol lebih nyaman."

"Saya nggak nyaman. Muka om nggak keliatan."

Aiden maju dua langkah. Langkahnya terlalu lebar bagi Mia. Kini sosok Aiden hanya berjarak beberapa senti darinya. Mia jadi harus mendongak kalau ingin memandang wajah cowok itu. Tingginya hanya sebatas dada Aiden. Ekspresi bule itu agak sulit ditebak. Mia menelan ludah karena mencium aroma familiar Aiden yang masih sama seperti saat pertama kali mereka bertemu di Swiss.

Aquatic, woody, spicy, bergamot...

"Saya tau harusnya saya nggak boleh ikut campur seperti tadi. Tapi saya nggak suka lihat kamu merokok, merusak tubuhmu sendiri." Suara Aiden membuyarkan lamunan Mia tentang parfum. Nadanya tenang namun tajam.

Mia mengangguk saja. Kepalanya kurang fokus kalau sedang ngobrol dengan jarak sebegini dekat. Jantungnya berdegup kencang. Dengan tubuh Aiden yang setinggi ini, Mia bisa gelayutan seperti monyet di lehernya. Aiden pasti kuat mengangkat tubuh Mia. Toh bebannya tidak berat. Dulu waktu di Swiss, Aiden betah-betah saja menggendongnya di belakang punggung.

"What are you thinking (Kamu mikirin apa)?"

"Monyet gelantungan-" Bisik Mia dengan tatapan fokus ke wajah Aiden. Begitu sadar apa yang ia ucapkan, Mia buru-buru menggeleng. "Om tadi bilang apa?"

"Kamu mikirin apa sampai jadi perokok begini?" Untung Aiden tidak mendengar.

Mia mengernyit. "Sebelumnya om nggak masalah saya ngerokok."

"Saya belum pernah lihat kamu merokok sampai tadi. Kamu kan calon dokter, seharusnya mengerti akibat dari gaya hidup kamu yang nggak sehat ini."

"Kok om jadi ngatur-ngatur saya, sih?" Mia mulai sewot.

"Saya nggak mengatur. Saya hanya menunjukkan rasa kecewa saya." Aiden menghela napas berat. "Kamu nggak lihat banyak anak kecil di sini?"

"Terus apa hubungannya sama saya?"

"Mereka lihat kamu." Jawab Aiden. "Pernah berpikir kalau kamu nantinya akan dijadikan contoh oleh mereka? Cewek saja bisa merokok, kenapa mereka tidak? Saya lihat Indonesia tidak terlalu ketat dalam mengatur siapa saja yang boleh merokok. Bea cukainya saja murah."

"Kok jadi ngurusin bea cukai rokok, sih?"

"Bukan begitu. Saya hanya menunjukkan rasa-"

"-kecewa om. Oke, saya udah dengar tadi." Potong Mia mulai jengah. "Kita lagi ngapain di sini? Bahas rokok?"

Aiden menggeleng. "Tadinya saya mau nanya kenapa kamu ada di sini?"

"Di Sampit maksudnya? Ini kampung mamah saya. Sekarang jadi kampung saya juga. Permanen tinggal di sini."

"Bukannya kamu tinggal di Jakarta?"

"Kemarin-kemarin iya. Ikut tugas abah saya. Sekarang udah pensiun, jadi milih tinggal di sini. Di Jakarta cuma rumah dinas."

Aiden memandangya sebelum bergumam, "Interesting (Menarik)." Ia manggut-manggut. "Sepertinya ini memang takdir."

Mia mengangguk setuju. "Terus kalo takdir emang kenapa om?"

"Jadi besok kamu bisa menemani saya."

"Eh? Jangan ambigu, om! Otak saya sering mesum kalo arah pembicaraannya ambigu."

Aiden menyemburkan tawa. Ia selalu lupa kalau Mia ini terlalu frontal dalam mengemukakan isi kepalanya.

"Bukan yang itu. Belum waktunya juga. Saya mau minta kamu menemani saya jalan-jalan besok. Saya kosong sampai sore."

Belum waktunya? Maksudnya apaan nih? Pikir Mia.

"Kok percaya diri amat kalo saya banyak nganggurnya?" Ia memilih untuk mengabaikan pertanyaan dalam kepalanya.

"Memangnya enggak?"

Mia menggaruk dahinya. "Ya nganggur, sih. Di rumah udah berasa kayak hidup segan mati tak mau." Ia menghela napas dalam-dalam karena mengingat masalah perjodohan yang sedang ia hadapi. "Paling cuma nugas aja." Bahunya merosot. Dia ingin buru-buru kembali ke Surabaya. Sampit sudah tak terasa menyenangkan lagi bagi Mia.

"Jadi kamu nggak mau?"

"Kalo saya nemenin om ada syaratnya, loh." Otak licik Mia saat ini sedang mendominasi.

Aiden menyilangkan kedua lengan besarnya di depan dada, menutupi logo Ralph Lauren. Otot-otot lengan menonjol di balik atasan polo hitam yang sedang ia kenakan. "Apa?"

"Kapan om balik ke Surabaya?"

"Besok sore."

"Nebeng ya, om? Bayarin tiket. Ekonomi juga nggak papa. Nam Air tuh mayan. Kayaknya masih ada kursi."

"Saya nggak pake pesawat komersil."

"Naik kapal?" Tanya Mia lagi, "Nggak apa-apa, deh. Minta yang ada kamarnya biar bisa rebahan di kasur. Perjalanan 24 jam pegel, om." Ngelunjak tipis-tipis harusnya tidak masalah.

"Saya nggak naik kapal. Wasting my time (Membuang waktu saya)."

"Terus naik apa, dong? Nggak mungkin kan teleportasi-"

"Jet pribadi. Kamu boleh ikut. Masih longgar, kok."

Mia megap-megap. "Je-jet pribadi? Emang ada orang yang kurang kerjaan beli jet? Nyimpennya dimana?"

"Di bandara. Biasanya ada hanggar khusus yang disewakan buat menampung pesawat pribadi. Kalo di sini ya ditaruh begitu aja di lapangan terbangnya. Nggak ada tempat lagi." Aiden menurunkan tangannya. "Dan saya bukan orang kurang kerjaan. Saya beli jet supaya mobilitas saya tidak terhambat hanya gara-gara jarak jauh atau macet di jalan. Waktu saya berharga." Lanjutnya.

Mia langsung kicep.

Melihat Mia kehabisan kata-kata, Aiden buka suara lagi, "Jadi bagaimana? Sepakat?"

"Iya, besok saya nenenin om."

Aiden menaikkan sebelah alisnya.

"Mak-maksud saya NEMENIN om." Mia memukul bibirnya sendiri. "Sori, om. Mulut suka kepleset kalo lagi bego begini." Mia malu bukan main. Rasanya ingin tenggelam ke dasar bumi. Sekalian meleleh di lahar panas.

Aiden mengulum senyum.

"Kesini naik apa?" Tanya Aiden akhirnya.

"Motor. Abis nyolong motor nyokap saya."

"Should I be worried (Haruskah saya cemas)?"

Mia mengibaskan tangannya. "Nggak perlu. Abis ini saya juga balik. Kaki saya pegel nih bediri terus ngikut om. Mau balik ke temen-temen dulu." Mia merenggangkan otot kakinya. "Om mau langsung pulang?"

Aiden mengangguk. "Setelah pamitan sama pak gubernur saya balik ke hotel."

"Yaudah sana, kasian pak gubernur jamuran nungguin om."

Aiden mengangguk lagi. "Jangan pulang malam-malam, ya?"

"Beres." Mia mengangkat satu jempolnya pada Aiden.

"Eh, om!" Panggilan Mia barusan mengurungkan niat Aiden untuk balik badan.

"Ya?"

"Salam buat pak gubernur!"

Aiden tertawa kecil sambil geleng-geleng kepala.

***

"Sori, lama." Mia menepuk punggung Miko sekilas sebelum duduk di bangku kosong sebelah cowok itu. Ia menyeruput kopi panasnya dengan nikmat. Namun kenikmatannya tidak berlangsung lama karena tiba-tiba ia hampir tersedak, kaget dengan ekspresi teman-temannya yang seakan sedang menunggunya bicara. Tubuh mereka condong ke arah Mia.

"Apaan, nyet?"

Andari meletakkan satu tangan di atas dagu, "Tadi si tamu agung. Siapa ngarannya (Siapa namanya)?"

"Aiden Delavega. Kenapa?"

"Kok kenal?"

"Iya kebetulan kenal. Nggak akrab, kok." Mia mengibaskan tangannya, menutupi kegugupan karena perasaan terintimidasi.

"Kada akrab? Keliatannya tadi malah kebalikannya."

"Ada hubungan apa?" Miko ikut-ikutan menambahi.

"Nggak ada hubungan apa-apa, sumpah!" Tukas Mia.

"Kenapa tadi bepanderan kadap-kadap (ngobrol gelap-gelapan)?"

"Ya nggak tau. Dia yang ngajak." Jawab Mia mulai panik dengan serangan pertanyaan.

"Kok manggilnya 'om'?"

"Gimana ceritanya bisa kenal sama tamu agung pak gubernur?"

"Yakin nggak akrab? Tadi si bule bepander wan ikam kayak handak menerkam (Tadi si bule ngajak ngomong kayak udah mau nerkam)."

"Kenapa rahasia-rahasiaan? Takut direbut, ya?"

"Kenapa kada diajak gabung?"

Mia menutup kedua telinganya lalu bangkit berdiri tiba-tiba. "Gue pulang aja, deh! Lo semua nggak asik!" Ia menyampirkan tas di pundak dan mengantongi hp di saku celana, namun suara notifikasi pesan masuk membatalkan niatnya.

From: +62 813 xxxxxx
Pulang sekarang. Nanti kamu kemalaman di jalan. Kabari kalau sudah di rumah. Take care.

Mia memutar bola mata tanpa sadar. Ini juga dia mau pulang. Tapi bukan karena disuruh oleh si bule.

"Lo bayarin kopi gue! Dah!" Ia melambai lalu langsung pergi.

"Kada bemanfaat lalu inya datang (Nggak bermanfaat banget dia kesini)!" Gerutu Miko sambil menatap kepergian Mia.

***

Mia menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur.

Dia sukses keluar masuk rumah tanpa ketahuan. Kini ia sudah ganti baju dan membersihkan diri, bersiap tidur. Niatnya untuk mengerjakan tugas malam ini jelas batal. Ia mendesah kecewa. Sambil menunggu kantuk datang, ia melanjutkan bacaan jurnal forensiknya.

Baru seperempat jam membaca, ia dikejutkan oleh suara getar hp.

Nomor asing yang menghubungi, tapi ia sudah hafal kalau nomor ini milik Aiden.

"Halo?"

"Amelia? Sudah di rumah?"

"Iya. Kenapa om?"

Aiden mendesah lega di seberang telepon. "You should have texted me (Harusnya kamu ngirimin aku pesan)." Nadanya terdengar agak kesal.

"Umm..." Mia tidak mengerti mengapa ia harus melakukan apa yang Aiden suruh.

"I asked you to tell me if you get home safely (Saya minta kamu buat ngabarin saya kalo udah pulang dengan selamat). Didn't you get my text (Dapat pesan saya nggak, sih)?"

Mia membalik posisi tubuhnya hingga berbaring menghadap langit-langit. Sekarang ia tak mengerti kenapa tiba-tiba merasa bersalah. Cewek itu menggaruk pipinya, agak bingung harus merespon apa.

"You there (Kamu masih di sana)?"

"Iya."

"Then say something (Ya jangan diem aja)."

Mia menghela napas, "Ternyata om ini cerewet banget, ya? Saya nggak nyangka."

"I am not usually talkative (Nggak biasanya saya banyak omong). Kamu yang bikin saya cerewet."

"Malah nyalahin orang." Dengus Mia. "Udah malem, om. Saya males ngobrol, nih."

"Okay. Saya cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja."

"I'm safe and sound (Saya sehat walafiat)."

"What about tomorrow (Besok gimana)? Saya jemput kamu dimana dan jam berapa?"

"Saya aja yang nyamperin ke hotel om. Jam berapa enaknya?"

"Biar lama dan puas, kamu datang pagi saja."

Mia hampir ngakak saat mendengar kalimat Aiden barusan. Ia menahan tawa sekuat tenaga, merasa otaknya makin kotor belakangan. Mungkin perlu disucikan lewat cipratan air zam-zam.

"What now (Sekarang apa lagi)?" Tentu saja Aiden menyadari kalau Mia sedang tertawa di seberang.

"Nggak apa-apa, om. Kalo dibahas makin dalem urusannya." Jawab Mia begitu ia berhasil mengendalikan diri.

Ada jeda beberapa detik sebelum Mia mendengar Aiden melanjutkan, "Otak dan mulut kamu benar-benar harus melalui proses filter sepuluh kali penyaringan."

Tawa Mia meledak. Ia tak tahan lagi. Didengarnya Aiden juga tertawa kecil di seberang. Selama beberapa detik mereka tertawa bersama. Mia butuh relaksasi seperti ini supaya otaknya tidak tegang.

"Jangan kebanyakan bergaul sama saya, om. Nanti otaknya ketularan kotor juga."

"I don't mind (Nggak masalah). Bikin saya awet muda."

"Lah, gimana urusannya? Yang ada justru makin mesum."

"Kamu anak kemarin sore. Dirty jokes (Lelucon kotor) seperti ini makanan saya sehari-hari. Kalau dibandingkan, kamu jauh lebih polos daripada saya."

"Iya, sih. Secara, dari umur aja udah keliatan."

Mia mendengar Aiden menguap di seberang. Kelihatannya om bule ini ngantuk berat. Ngantuk tapi dibela-belain menunggu kabar Mia. Cewek itu jadi merasa bersalah lagi. "Tidur deh, om. Nanti jangan lupa kirimin saya alamat hotelnya. Besok saya anter jalan-jalan. Seharian sama saya."

"Hmm, okay. Jadi tour guide yang baik, ya?"

"Beres. Dijamin om bakal puas."

Aiden mengerang, mengundang senyum kecil di bibir Mia. "Not again, Amelia."

Akhirnya Mia tertawa. "Sori, sori. Nggak sengaja. Selamat malam, om."

"Au revoir, chéri." Balas Aiden sebelum menutup telepon.

Senyum Mia masih belum hilang meski ia tak lagi mendengar suara Aiden. Meski tak mengerti arti kalimat terakhir si om, Mia tidak terlalu penasaran. Kalaupun penasaran, dia tidak tahu bagaimana cara mengucapkannya supaya bisa bertanya pada Ullie. Akan ia tanyakan besok pada Aiden langsung.

***

"Wuidihhh! Kayak couple-an aja kita!" Mia tersenyum lebar saat bertemu Aiden di lobi hotelnya. Cowok itu mengenakan celana pendek selutut, kaos lengan pendek berwarna putih, sepatu putih, dan topi adidas warna biru. Kaos itu membalut tubuh tegap Aiden dengan sempurna. Meski sudah lumayan sering bertemu, Mia tetap terpana saat melihatnya. Sebuah kacamata coklat menggantung di kerah kaos Aiden. Cowok itu menggenggam dompet dan hp. Penampilannya kelihatan segar sekaligus hot dalam waktu bersamaan. Aiden ikut tersenyum lebar begitu melihat Mia.

"Iya, kita couple." Aiden menunjuk atasan putih model crop top yang sedikit memamerkan kulit perut Mia. Cewek itu memadu-padankan atasannya dengan bawahan jeans pendek, sengaja pamer kaki. Sepatu mereka sama-sama putih. Mereka kompak mengenakan warna putih tanpa janjian. Di atas kepala Mia juga sudah bertengger sebuah kacamata hitam berbingkai bulat. Karena udara sedang terik, Mia memilih untuk mencepol longgar rambutnya ke atas.

"Kamu sarapan?" Lanjut Aiden.

Mia menggeleng, "Saya nggak biasa sarapan. Om mau makan dulu?"

"Nanti mampir minimarket beli roti. Saya laper."

"Jajan aja di pasar dekat sini."

Aiden mengangguk, "Apa kata kamu aja."

"Sip! Let's go!"

***

Asisten Aiden menyiapkan sebuah SUV agar bosnya bisa fleksibel kemana-mana tanpa menunggu supir. Aiden sendiri yang minta. Ternyata ada enaknya juga. Waktu istirahatnya hari ini bisa ia gunakan lebih berkualitas dengan berkeliling bersama Mia.

"Om ngerjain proyeknya dimana?"

"Barito Utara. Masang instalasi listrik di tambang batu bara."

"Panas banget itu di sana!"

Aiden mengangguk. "Sangat."

"Suka sama makanan di sini, om?" Mia melepas sabuk pengaman saat mereka tiba di depan sebuah pasar besar. Pasar itu dikenal dengan sebutan PPM (Pusat Perbelanjaan Mentaya). Lokasinya dekat dengan taman ikon kota Jelawat, patung ikan lokal yang jadi salah satu komoditas di sini.

"Lumayan. Saya nggak pilih-pilih makanan, kok. Semua suka."

Mereka turun bersamaan. Aiden mengenakan kacamatanya karena sinar matahari di sini hampir membuatnya sakit kepala. Berbeda dengan hawa Surabaya yang udaranya punya kadar kelembaban tinggi, hawa di sini panas dan kering. Jadi walaupun kepanasan, Aiden jarang berkeringat. Mia berjalan bersisian di sebelah Aiden, sesekali menunjuk sana-sini untuk menjelaskan sekilas. Dia kelihatan bersemangat karena jadi pemandu wisata dadakan.

Tatapan ingin tahu pengunjung pasar tidak terlalu mereka pikirkan. Kedatangan sosok bule ganteng bertubuh tegap seperti Aiden jelas bukan pemandangan sehari-hari di sini. Banyak pengunjung dan pedagang pasar yang terang-terangan mengambil foto dan video Aiden. Mia hanya tertawa dan sesekali menawarkan diri untuk mengambilkan foto ibu-ibu bersama Aiden.

Usai membeli beberapa kue bingka untuk dimakan sebagai sarapan, Aiden agak memohon pada Mia agar mereka segera pergi dari pasar. Cowok itu kelelahan meladeni permintaan foto dari warga sekitar. Dia agak ngeri membayangkan harus berada di sana lebih lama lagi.

"Kita kemana lagi?" Aiden menyalakan AC mobil dan mendesah lega karena sekarang tubuhnya mendingin.

"Beli jus terus naik klotok. Nyeberangin sungai. Belum pernah, kan?"

Aiden menggeleng, "Memang di seberang ada apa?"

"Nggak ada apa-apa. Kampung biasa. Kita cuma muterin sungai aja, kok. Nggak turun."

Tempat pemberhentian kapal bermotor yang dimaksud Mia tidak jauh dari pasar. Dalam waktu singkat mereka sudah turun lagi dari mobil. Mia mengajak Aiden untuk mampir beli minuman. Begitu dua cup jus buah sudah ada di tangan, keduanya beranjak mencari kapal. Aiden kebagian tugas menenteng kantong plastik berisi kue bingka dan minuman. Kepalanya aman terlindung oleh topi.

Setelah negosiasi singkat dengan beberapa Amang pemilik kapal, akhirnya mereka sepakat untuk memilih klotok yang belum ada penumpang sama sekali. Harganya memang lebih mahal karena Amang pemilik kapal hanya menerima mereka berdua sebagai penumpang. Namun Aiden tidak masalah. Cowok itu menyuruh Mia untuk mengambil uang di dompetnya di saku belakang.

"Jangan greper-grepe, ya?" Aiden tersenyum kecil saat Mia menarik dompet dari celananya.

"Ngerti bahasa grepe-grepe segala." Mia tertawa karena suara Aiden terdengar sengau ketika mengucapkan kalimat yang ada huruf 'r'-nya. Jatuhnya malah terdengar lucu.

Tak memakan waktu lama sampai mereka duduk di atas kapal, menikmati pemandangan di atas sungai keruh Mentaya.

"Kenapa air sungai di sini warnanya merah kecoklatan? Saya lihat hampir semua sungai warnanya sama. Nggak ada yang bening." Tanya Aiden sebelum menggigit kue bingka yang dibawa. Rasanya manis dan lembut.

"Gara-gara tanah gambut di bawahnya." Jawab Mia.

"Gambut?"

"Jenis tanah yang mengandung akumulasi sisa pembusukan tanaman. Di sini kan masih banyak hutan. Warna asalnya memang merah. Kalau kecampur coklat berarti ada endapan lumpur di bawah."

Karena penasaran, Aiden menjulurkan tangan ke air. Ia ingin memastikan sendiri tentang warna merah yang disebutkan Mia.

"Ati-ati, lho. Di sini masih banyak buaya."

Peringatan Mia barusan membuat Aiden menarik tangannya lagi, wajahnya agak ngeri. "Becanda, ya?"

"Memang ada, kok. Buaya Muara. Sungai-sungai di sini beberapa masih jadi habitat buaya Muara." Wajah Mia serius.

"Terus kenapa banyak anak kecil berenang di sini?" Aiden menunjuk kejauhan, dimana sekelompok bocah-bocah kecil melompat dari ketinggian dermaga kayu. Mereka semua telanjang bulat dan berteriak kegirangan.

"Udah biasa mereka. Nggak tiap hari juga buaya muncul ke permukaan. Kalo om kan orang baru. Siapa tau buaya-buaya di sini penasaran sama daging bule kayak om."

Aiden melindungi tangannya di depan dada. Wajahnya makin ngeri saat melihat permukaan air sungai.

Mia terbahak-bahak.

"Ternyata kamu bohongin saya." Gerutu Aiden.

Mia buru-buru menggeleng, "Bagian yang buaya-buaya itu beneran. Warga sini kan berenangnya di pinggiran aja. Nggak sampe tengah."

Suara kapal laut agak mengejutkan mereka. Di depan mereka lewat sebuah kapal penumpang berukuran raksasa.

"Kapal sebesar ini mau kemana? Kok lewat sini?"

"Sungai ini juga jadi teluk yang terhubung sama laut Jawa. Kapal-kapal barang atau penumpang selalu lewat sini kalau mau ke pelabuhan Sampit."

Aiden manggut-manggut. "Saya sering dengar tentang pasar apung. I see none (Saya nggak liat satupun)."

"Udah nggak ada. Jaman saya kecil masih banyak. Sekarang adanya paling di Banjarmasin-Kalimantan Selatan. Itupun nggak banyak."

Semilir angin menerbangkan rambut Mia hingga banyak helai yang terlepas dari ikatannya. Aiden mengulurkan satu tangan untuk menyibak beberapa helai rambut yang menutupi wajah cewek itu.

"Nggak apa-apa. Kalo nggak ada angin baru dibenerin lagi." Ujar Mia ketika Aiden bolak-balik membetulkan rambutnya.

Aiden tersenyum dan mengangguk.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top