8 | ALUN-ALUN

Hai lagi!
Selamat malam!

Nggak tau lagi mau ngomong apa selain makasih udah ngikutin cerita sampai sini.
Memberikan vote merupakan salah satu bentuk dukungan kalian ke penulis.

Jadi jangan pelit-pelit, yaaa!

Kalau mau ngeramein komen silahkaaaan!

Masukan dan kritik dari kalian itu yg paling aku tunggu.

Udah suka belum nih sama Mia atau Aiden?

Mia terlalu nggak beradab?

Aiden terlalu misterius karena belum ada latar belakangnya?

Sabar-sabar ya... Dinikmati aja dulu, siapa tau nanti tetiba kalian engaged sama mereka berdua.

Yaudah, silahkan lanjot baca!

***

Tanpa persetujuan Mia, lamaran hari itu berujung penetapan tanggal pernikahan. Begitu saja.

Saking syoknya Mia, lidahnya sampai kelu. Suaranya lenyap. Sepanjang acara, ia sibuk menahan air matanya agar tak jatuh. Rara terus tersenyum di sebelahnya, mengabaikan kedua tangan Mia yang sudah sedingin es.

Selepas bedug isya, tamu-tamu mereka akhirnya pulang. Keluarga Hj. Uway juga satu persatu pamit. Mereka semua bergantian untuk menyelamati pasangan H. Moris dan Hj. Uway karena sebentar lagi akan mengadakan acara pernikahan. Semua orang kelihatan bahagia. Kecuali Mia.

Mia masih duduk bersimpuh di tempatnya sejak sore. Nampak linglung. Diajak bicara-pun tidak menyahut.

Rara membantunya bangkit, namun tangannya langsung ditepis.

Si bungsu keluarga itu mendongakkan kepala, menatap orangtuanya dengan sorot bengis.

"Mia nggak mau nikah." Ia mengatur suaranya agar tak bergetar saat bicara dengan Abah yang sedang duduk di atas sofa. Di rumah ini hanya tinggal keluarga intinya saja, termasuk Amang Wawah.

"Sudah waktunya. Umurmu cukup untuk menikah." Tukas Abah.

"Mia masih koas, bah."

"Sebentar lagi kan lulus. Buka praktik di sini." Balas sang Abah dengan nada tenang.

"Mia masih mau lanjut biar jadi dokter forensik."

Keluarganya terkejut bukan main.

"Ngapain jadi forensik? Kerja di rumah sakit ngurusin mayat nggak sepadan dengan gajinya!"

"Mia pengen jadi forensik bukan semata-mata karena uang, bah!"

"Terus untuk apalagi? Hidup itu kan juga pakai duit!" Suara Abah mulai meninggi. "Untuk apa kami membiayai sekolahmu tinggi-tinggi kalau akhirnya kamu milih jadi pengurus mayat?"

"Forensik bukan cuma ngurusin mayat, bah!" Mia gemas sekali karena harus meluruskan paham yang sesat ini.

"Abah nggak mau tau, pokoknya kamu lulus jadi dokter umum, buka praktik di sini lalu menikah dengan Doni. Anak itu udah pilihan terbaik. Angkatan laut, sopan, imannya nggak perlu dipertanyakan lagi!"

"Mia kecewa sama abah. Keputusan besar kayak gini, Mia nggak diajak musyawarah!" Kedua mata Mia sudah berkaca-kaca. "Mia masih pengen sekolah."

"Kalau kamu nggak mau menikah ya sudah! Mau sekolah ya sudah! Biayai sekolahmu sendiri! Abah nggak sudi lagi membiayai sekolahmu kalau hanya buat jadi pengurus mayat!"

Mia sudah sesenggukkan. Ia ingin membantah tapi tenggorokannya sudah tercekat. Hj. Uway, Amang Wawah, dan Rara hanya bisa menonton dari pinggir. Terlalu takut untuk ikut campur.

Si bungsu di keluarga itu langsung berlari naik ke kamarnya.

***

Mia memang sedih. Tapi sedihnya tak lama. Contohnya seperti sekarang. Daripada dia sibuk menangisi nasib, lebih baik dia mengerjakan tugas-tugasnya.

Kalau di rumah sih enak ada wifi buat nugas. Nah kalau di sini?

Kudu nyari dulu.

Mia berencana untuk pergi ke sebuah kafe milik salah satu teman SD-nya. Katanya kecepatan wifi di sana sampai 100mbps. Mantap betul kencangnya. Bisa dipakai nonton youtube sampai mabok.

Setelah mengepak laptop dan beberapa jurnal ke dalam tas ransel, Mia mencuri sebuah kunci motor dari ruang tamu. Ia tak bisa kabur lewat pintu depan. Bunyi kuncinya akan langsung terdengar sampai kamar Abah.

Ia buru-buru naik ke atas lagi, lalu membuka jendela di ujung koridor yang bersebelahan dengan kamarnya. Mia memanjat jendela lantai dua agar ia bisa langsung turun di depan garasi. Jaraknya cukup tinggi, tapi Mia sudah terbiasa. Waktu kecil ia sering kabur lewat jendela jika keluarganya menetap di rumah ini untuk liburan. Biasanya Mia kecil ingin ikut bermain dengan teman-temannya di kampung namun tak dapat ijin dari sang Abah. Jadi ia nekat kabur.

Dalam satu lompatan, Mia berhasil mendarat di atas permukaan semen tanpa terkilir. Diam-diam ia membuka gembok pagar. Berhati-hati agar tak bersuara. Motor ia tuntun pelan-pelan. Sesekali ia mengecek keadaan rumah yang sudah gelap karena lampu di dalam dimatikan semua. Tak lupa ia mengunci gembok lagi agar rumahnya tidak kemalingan.

Padahal masih jam sembilan malam, kampungnya ini sepinya sudah mengalahi kuburan. Satu-satunya aktivitas yang terdengar hanya bunyi klotok (perahu motor) yang hilir mudik di sepanjang sungai Mentaya.

***

"Woiii!! Pada kemana ini?" Teriak Mia di depan mic hpnya.

"Ikam di Sampit, kah?" Miko, teman SD-nya sekaligus pemilik kafe tempat Mia sedang mangkal sekarang, malah balik bertanya. Kafe itu gelap. Ada plakat TUTUP di depan pintunya. Ah, Mia kecewa sekali.

"Hi'ih (Iya). Kenapa kafe lo tutup?"

"Bubuhan kami di alun-alun nah (Kita-kita lagi di alun-alun). Ada festival budaya. Yang meresmikan gubernur. Kesini ja ikam (Kamu ke sini aja)!"

"Oke, oke. Tunggu gue!"

Usai mematikan telepon. Mia langsung tancap gas menuju alun-alun kota.

***

Menurut pesan Miko, mereka sedang berkumpul di dekat panggung. Mia memarkirkan motornya di depan trotoar yang digunakan sebagai lapak-lapak dadakan. Suasana di sini kontras dengan suasana di kampung Mia. Seakan-akan, semua keramaian Sampit terserap di satu titik ini saja.

Sebelum masuk ke alun-alun, Mia mampir ke toko kelontong untuk beli rokok. Lumayan. Dia bisa curi-curi nyebat di luar rumah. Soalnya kalau nekat nyebat di rumah, bisa-bisa langsung dipecat jadi anak.

Sambil nyebat rokok dunhill kesukaannya, Mia berjalan ke dalam alun-alun. Kepalanya celingukkan untuk mencari sosok-sosok yang ia kenal. Daripada capek muter-muter, ia mengirim pesan ke Miko agar dijemput di dekat pintu masuk.

"Oiii, bu dokter!" Miko berseru di kejauhan.

Mia melambaikan tangan lalu menghampirinya.

"Akuy, tambah bengkeng ja kawal satu ni (Ya ampun, makin cakep aja temenku satu ini)." Miko menyenggol bahu Mia.

Mia menghembuskan asap rokok dengan cuek. Sebenarnya mood cewek itu sedang tidak bagus. Tapi mau bagaimana lagi, sudah terlanjur di Sampit, lebih baik dia nongkrong dengan teman-teman lamanya.

Miko sendiri sudah tidak kaget melihat Mia sebal-sebul asap rokok. Konotasi cewek perokok memang buruk. Hanya saja dia sudah kenal Mia cukup lama. Jadi dia mengerti kebiasaan Mia yang suka nyebat begini kalau sedang gundah gulana. Namun sebelum Mia memulai sendiri pembicaraan tentang masalah apa yang sedang ia hadapi, Miko lebih baik tutup mulut.

Gemuruh alat musik tradisional memenuhi udara. Dari nadanya, Mia tahu kalau yang sedang dimainkan ini adalah musik pengiring tari pesisir melayu. Ketika ia mendongakkan kepala, dilihatnya sekelompok grup penari di atas panggung sedang lincah bergerak di bawah iringan pemain musik tradisional.

Tepuk tangan dan seruan membahana untuk memberi semangat para penari itu.

"Nggak tuli emang bediri dekat panggung?" Tanya Mia heran ketika keduanya berjalan bersama menuju teman-teman mereka sedang berkumpul.

"Ya tuli. Tapi bubuhannya ketuju melihati penari nah (Tapi anak-anak pada suka ngeliatin para penari). Bengkeng-bengkeng (Cakep-cakep). Yang bebinian gin ketuju parak panggung supaya melihati tamu agung (Yang cewek-cewek juga demen nonton dekat panggung biar bisa ngeliatin tamu agung)."

"Siapa tamunya? Artis?" Mia mengangkat alis tinggi-tinggi.

Miko menggeleng. "Ujar bapak gubernur sih pengusaha." Ia menunjuk kerumunan. "Bule. Pengusaha plus bangsawan Eropa jar."

Mia manggut-manggut. Telunjuk dan jari tengahnya memainkan putung rokok, sambil melihat sekeliling. Ia tidak benar-benar merasa menyatu dengan keriuhan yang sedang terjadi. Hatinya terus gelisah.

"Tuh, tuh!" Miko menarik lengan Mia agar mereka bergegas menghampiri kelompok mereka.

"Bu dokter dari Jekardah lagi kunjungan, nih!" Andari langsung memeluk tubuh Mia karena semangat bertemu teman lama. Mia membalas pelukannya sekilas.

"Apa kabar lo semua?" Tanya Mia sambil memamerkan senyum lebar. Suaranya agak keras agar dapat menyaingi suara musik dari panggung.

"Baikkk!" Jawab mereka serempak.

"Tumben kedida (Nggak ada) momen liburan bulik (pulang) ke sini. Biasanya rancak bulik pas lebaran ja (Biasanya rajin pulang kalo libur lebaran aja)." Celetuk Andari.

Mia menghisap rokoknya sambil tersenyum getir. "Gue dijodohin."

Respon teman-temannya biasa saja.

"Sama Doni." Lanjut Mia.

Hampir semua temannya membelalak. Terkejut bukan main.

"Doni SD yang TK-nya wan ikam jua (sama kamu juga)?" Miko ingin memastikan.

Mia hanya bisa mengangguk, lagi-lagi tersenyum getir.

"Doni kan masih pacaran sama Edna."

"Terus ngegebet Azizah."

"Emang udah putus dari Ghea?"

Mereka membuat sebuah kesimpulan. Dan begitu dapat, otomatis mereka geleng-geleng kepala, tidak habis pikir.

"Itu angkatan laut memang fakboi." Cetus Miko akhirnya.

"Rata-rata lakian berseragam di sini memang kayak gitu semua." Andari menggaruk dahinya yang tak gatal, merasa prihatin dengan nasib Mia.

"Ya apa am (Terus gimana)?"

"Apanya?" Mia justru bertanya balik sambil menaikkan sebelah alis pada Miko.

"Ikam menerima ja lah (Kamu nerima aja)? Kapan lamarannya?"

"Baru tadi sore." Mia menghela napas berat. "Belum tau gimana caranya ngeyakinin orangtua gue biar perjodohannya batal."

"Jujurannya berapa memang?"

Jujuran: Adat istiadat berupa penyerahan sejumlah uang dari pihak calon mempelai laki-laki kepada pihak calon mempelai perempuan. Berbeda dengan mahar. Biasanya uang yang diberikan itu akan digunakan sebagai salah satu sumber dana untuk pelaksanaan rangkaian resepsi perkawinan jika kedua keluarga sepakat.

"Seratus lima puluh."

"Juta??"

Mia mengangguk.

"Akuy akuy, jujuran anak bungsu H. Moris memang TOP!" Miko mengangkat satu jempolnya ke atas, diikuti yang lain juga.

Mia membuang putung rokoknya, bersiap untuk menyalakan batang kedua. Namun gerakannya berhenti saat tak sengaja melihat sosok yang sedang duduk di sebelah gubernur di depan panggung. Sosok itu tidak biasa dan amat mencolok di antara yang lain. Dia jadi satu-satunya bule yang ada di sana. Di kepalanya terpasang sebuah topi dengan hiasan bulu burung Enggang. Sosok itu sedang menonton tarian dengan khidmat, dari kedua matanya, Mia dapat menangkap binar kekaguman.

Mia buru-buru mengeluarkan hp.

From: Meadoobedoo
Om lagi di Sampit?

Tak lama, Mia memperhatikan sosok yang sedang dilihatnya tadi juga mengeluarkan hp. Mungkin untuk memeriksa pesan masuk. Ekspresinya mengernyit. Sosok itu kemudian mengangkat kepala, melihat sekeliling sebelum menulis balasan.

From: +62 813 xxxxxx

Where are you (Kamu dimana)?

From: Meadoobedoo
Arah jam 10.

Usai membaca pesan itu, Aiden langsung mendongak ke arah yang dimaksud. Tatapannya bertemu dengan Mia. Senyumnya langsung merekah ketika melihat Mia melambai kecil dengan sebuah rokok terselip di antara jarinya.

From: +62 813 xxxxxx

10 minutes.

Mia tak mengerti apa maksud pesan itu, jadi ia tak membalasnya. Ia cukup terkejut melihat Aiden di sini, jadi tamu kehormatan gubernur pula. Mia memutuskan untuk membiarkan Aiden menikmati malamnya.

"Nongkrong di sana, yuk? Handak ampih am neh (Acaranya udah mau kelar)."

Miko tak menunggu persetujuan teman-temannya karena ia sudah memimpin jalan menuju warung kaki lima di pinggir alun-alun. Teman-temannya, termasuk Mia mengekor di belakang.

Mereka duduk di sebuah warung kopi kecil dekat trotoar. Mia mengambil tempat di sebelah Miko, lalu meletakkan tas ranselnya di atas meja.

"Kenapa bawa tas?" Tanya Miko heran.

"Tadi niatnya mau nugas di kafe elo. Eh, malah kesini."

"Kayak kedida hari lain ja san nugas."

"Nugas bikin pala gue fokus. Jadi nggak inget-inget masalah."

"Pesan apa?" Andari berdiri, berniat memesankan minuman untuk teman-temannya.

"Biasa. Kopi." Sahut teman-temannya serempak. Andari memandang Mia.

"Sama, deh." Ujar Mia. Ia menghisap dalam-dalam rokok kedua yang baru ia nyalakan.

Miko menyenggol bahunya. "Kada usah jadi beban pikiran, kawal ai (Nggak usah dijadikan beban pikiran, sobat). Siapa tahu Doni tobat pas kawin wan ikam (Dengan kamu). Kada jadi fakboi lagi."

"Bukan itu yang gue pikirin sekarang. Bokap nyokap gue nggak mau biayain kuliah gue lagi kalo nggak mau kawin sama Doni."

"Kerja aja kalo gitu." Cetus Miko.

"Kerja apaan? Waktu gue udah kesita buat koas. Tidur aja kurang." Dengus Mia.

"Kerjaan online. Jualan, kek."

"Bukan gue nggak bersyukur sama saran lo. Tapi jualan juga butuh fokus."

Andari baru kembali dari memesan minuman, "Si Lani kada datang, kah?"

Miko menggeleng. "Begawi jar (Katanya lagi kerja)."

Andari mengernyit saat ia duduk di depan Mia, "Begawi apa malam-malam kaya ini?"

"Maka inya begawi di hotel (Kan dia kerja di hotel). Jadi simpanan om-om."

"Astaghfirullohaladzim. Muntung ikam nih handak ditimbai (Mulutmu mau dilempar), kah? Bepander sembarangan (Ngomong sembarangan). Kada bulih a (Nggak boleh, tau)!"

Miko mendecakkan lidah, "Kada mengeramput pang aku neh (Aku nggak bohong). Inya bepadah sorang wan aku (Dia sendiri yang ngomong ke aku). Nyaman kawa kuliah inya jadi sugar baby (Biar bisa kuliah dia jadi sugar baby). Biasa ja lah! Kekawalan kita gin banyak yang kaya itu (Teman-teman kita juga banyak yang kayak gitu). Jangankan jadi sugar-sugar an. Jadi PSK gin ada (Jadi PSK juga ada). Kada supan pang bubuhannya (Nggak pada malu tuh mereka)!" Balasnya panjang lebar.

Mia tiba-tiba jadi penasaran, "Emang apa bedanya sugar baby sama PSK? Kan sama-sama pekerja seksnya."

"Lain, kawal ai (Beda, sobat)! Kalo sugar baby itu khusus buat om-om yang kesepian. Yang ditarget yang kaya-kaya doang. Nggak melulu tentang seks. Ngehibur hati, ngasih perhatian, dan biasanya jangka panjang. Ada kontraknya kaya itu nah. Amun (Kalau) PSK kan cuma semalam ja, jamnya kelar, dibayar, udah."

"Buset, lo ngerti amat masalah ginian! Yakin lo nggak ngasal doang?"

"Yakiiinn! Si Lani sendiri yang bekisah (cerita)."

"Terus si sugar baby dapet apa?"

"Segala yang dimau lah! Tas, sepatu, baju, mobil, motor, tinggal sebut. Kawal si Lani di Jakarta malah ada yang dapat hadiah apartemen. Mantab, kan?"

"Serius, lo??" Kedua mata Mia membulat. "Lah terus om-omnya ngasih gitu doang cuma-cuma? Nggak pake seks? Nggak mungkin, ah!"

"Ck. Kalo masalah seks atau kada, unda kada tahu banar lah (Kalau masalah ada seks atau engga, aku nggak ngerti juga). Yang pasti, sugar baby itu pakai kontrak biasanya. Eksklusip."

Mia manggut-manggut. Dia baru tahu ada hal semacam ini. Ia baru akan menempelkan rokok di bibir ketika batang rokoknya diambil oleh seseorang. Tak lama, rokok itu ditekan ke asbak sampai apinya padam dan batangnya hancur. Mia tak sempat melihat ekspresi melongo teman-temannya karena dia keburu emosi ingin menghardik siapapun yang tiba-tiba datang mengganggu.

Aiden.

Dahinya berkerut tak suka saat memandang Mia.

"I've been calling you (Saya daritadi ngontak kamu)." Ujarnya dengan suara rendah.

Mia mengerjapkan mata. Buru-buru ia mengeluarkan hpnya dari dalam tas. Benar saja. Ada sepuluh panggilan tak terjawab dari nomor tak dikenal. Nomor itu milik Aiden. Nomor yang belum sempat disimpan Mia.

"You're not saving my number (Ternyata kontak saya belum disimpan). I see." Sindir Aiden.

Cowok bule itu seperti alien di tempat seperti ini. Tubuhnya tinggi besar di dalam warung kaki lima yang kecil. Mia menelan ludah, tidak tahu harus menjelaskan apa.

"Sa-saya kira om masih-" Ia malah tergagap.

"I told you to wait for me. Ten minutes (Sudah saya bilang untuk menungguku sepuluh menit)."

Mia baru ngeh. "Ya mana saya tau kalo disuruh nungguin sepuluh menit ah elah!"

Kerut di dahi Aiden langsung pudar begitu ia menyadari tatapan semua orang ke arah mereka. Ia menarik seulas senyum.

"Selamat malam. Saya boleh pinjam Amelia sebentar?" Pertanyaannya dijawab anggukan kosong dengan ekspresi melongo oleh teman-teman Mia.

Aiden memberi isyarat pada Mia agar mengikutinya keluar dari warung.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top