7 | PERJODOHAN

"Geser, om!" Mia menyentuh betis Aiden dengan kakinya. Cowok bule itu sedang sibuk membalas email dari hp ketika Mia datang sambil membawa panci, sebuah sumpit, sebuah garpu, dan dua buah sendok.

Mia meletakkan panci panas di atas tatakan berbahan silikon. Ia duduk bersila di atas karpet. Aiden mencondongkan tubuh ke depan untuk melihat apa yang dimasak Mia dalam panci. Mie instan berkuah oranye dengan topping sayur, telur setengah matang, dan sosis. Cewek itu menyerahkan sepasang sendok garpu pada Aiden yang masih duduk di atas sofa.

"Duduk bawah, om."

Memang pada dasarnya Aiden ini lahir dan besar di luar negeri, jadi dia kesulitan duduk bersila seperti Mia. Cewek itu sampai harus turun tangan untuk membenahi posisi duduk Aiden agar lebih nyaman. Berada di sebelah Aiden membuat Mia merasa seperti kurcaci di samping raksasa.

"Nggak ada mangkok?" Aiden merasa aneh harus makan satu panci dengan Mia. Cewek itu justru kelihatan cuek-cuek saja saat menyalakan TV dengan remot.

"Kebanyakan cucian ntar. Udah, ah! Keburu mbedodog mie-nya."

"Be- what?" Ulang Aiden.

Mbedodog adalah bahasa Jawa yang dipelajari Mia dari Ullie. Mantan teman serumahnya itu jago bikin mie instan tanpa membuatnya mengembang karena kelamaan dimasak.

"Overcooked." Akhirnya Mia menemukan kata ganti yang cocok untuk mbedodog.

"Oh."

Mereka makan dengan khidmat sambil menonton acara berita di TV. Karena khawatir Aiden kepedasan, Mia tidak menambahkan cabe ke dalam mie mereka. Cowok bule itu makan dengan lahap.

Doyan atau laper?

"Mau bir dingin?" Tawar Mia begitu panci mereka kosong.

Aiden mengangguk. Ia kembali menekuri hp di tangan.

Mia beringsut pergi ke dapur untuk mencuci peralatan makan sebelum mengambil dua kaleng bir dari kulkas. Hawa dingin kulkas membuat Mia merinding. Ia ingat kejadian petang tadi saat ia hampir mati kedinginan diapit dua jenazah.

Libur dulu, deh. Pikirnya seraya mengembalikan sekaleng bir ke kulkas.

"Sekaleng aja ya, om. Kan nanti nyetir." Ujar Mia sambil meletakkan kaleng bir di depan Aiden. Cowok itu mengangguk tanpa mengangkat kepala. Wajahnya kelihatan serius.

"Jam segini masih kerja aja."

Aiden mendongak. "Besok saya mau keluar kota. Ada proyek yang harus dilihat karena bermasalah. Ini lagi kordinasi sama asisten saya di kantor."

Mia manggut-manggut. "Kerja kantoran enak, om?"

Aiden bingung harus menjawab apa. "Semua pekerjaan sama saja. Kamu sendiri? Di rumah sakit enak?"

Mia mengangguk. "Nggak kepanasan kena matahari. Cuma kuat-kuat mental aja ngeliat orang sakit atau kecelakaan."

Aiden memasukkan hpnya ke dalam saku celana. "Kamu dokter?"

"Calon."

"Ambil spesialisasi apa?"

"Sekarang masih koas di stase forensik. Saya mau lanjut sekolah biar jadi spesialis forensik. Seru ternyata."

Aiden mengangkat alis, merasa kagum. "Kamu nggak takut lihat mayat, ya?"

"Kerja di forensik nggak melulu ngurusin mayat kali, om. Visum orang hidup juga."

"Jadi mental kamu jelas kuat ya lihat korban-korban kecelakaan?"

Mia terdiam sejenak, mengingat-ingat. "Sebelum ke Swiss kemarin pernah bantu otopsi jenazah yang tewas karena kebakaran. Susah dan lama banget karena DNA-nya udah rusak. Kalo korban kecelakaan masih mending karena bisa dikenali, jadi nggak perlu lama-lama otopsinya."

Aiden membuka kaleng bir lalu minum banyak-banyak. Tuan rumahnya belum memberinya minum selepas makan tadi.

"Kenapa milih buat meneruskan pendidikan forensik?"

Mia tersenyum getir tanpa sadar. "Di kampung saya jarang ada dokter forensik. Saya pengen mengabdi di sana. Sekalian bantu korban-korban supaya dapat keadilan."

"Dokter forensik itu yang bisa mecahin kasus kriminal juga, kan?"

"Iya, lewat hasil visum mereka, polisi jadi kebantu."

"Harus pintar sekali biar bisa jadi dokter forensik."

"Saya pinter kok, om. Ngibulin om juga bisa."

Aiden tertawa karena tahu maksud Mia.

"Ketawa mulu. Udah malem nih, om. Nggak pengen balik?"

Aiden mengangguk begitu tawanya reda. "Iya, saya juga belum packing untuk besok." Ia bangkit berdiri. "Terima kasih makanannya." Ekspresinya tiba-tiba berubah bingung. "Saya taruh hp dimana, ya?"

"Tadi kan dipegang sama om."

Aiden celingukkan mencari hp. "Boleh pinjem hp kamu sebentar? Untuk misscall."

Mia menyerahkan hpnya. Aiden sibuk mengetik nomornya sendiri sebelum menekan dial. Suara getar hp terdengar dekat-dekat sini. Aiden mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celana. Hpnya.

"Dasar pelupa." Sindir Mia seraya menerima hp dari tangan Aiden.

Di lain pihak, Aiden hanya tersenyum tipis.

Begitu Aiden pergi dari rumahnya, Mia mendapat dua pesan baru.

From: +62 813 xxxxxx
Terima kasih makan malamnya. Sweet dreams.
Aiden.

Ha. Jadi tadi hanya modus untuk dapat nomor hp Mia. Cewek itu langsung membuka pesan kedua tanpa membalas pesan Aiden.

From: Hj. Uway Cantik

Hanyar ditukar akan abah ikam tiket bulik san lusa (Baru dibelikan bapak kamu tiket buat lusa).

Mia buru-buru mengetik balasan.

From: Meadoobedoo

Ulun kada kawa bulik (Mia nggak bisa pulang).

From: Hj. Uway Cantik

Mun wani, bepadah sorang wan abah (Kalo berani ngomong sendiri sama bapak). Nyaman ikam ditimbai geder (Biar kamu dilempar baskom dari sini).

Issshhhh! Mia mengacak rambutnya frustasi bersamaan dengan masuknya kiriman screenshot tiket pesawat dari Abah.

Loh, ini kok tujuannya ke Sampit bukan Jakarta Selatan?

From: Meadoobedoo

Kenapa ulun bulik ke Sampit (Kenapa Mia pulang ke Sampit)???

From: H. Moris

KAN SUDAH DARI KEMARIN PINDAHNYA

Abahnya ini memang kurang mahir mengetik dengan gadget. Beliau tidak tahu caranya menulis tanpa capslock.

Mia coba mengingat-ingat kapan orangtuanya pindah.

Ah, minggu lalu. Saat Mia ke Swiss untuk kondangan pernikahan Ullie. Abah resmi pensiun dan meninggalkan rumah dinas di Jakarta Selatan untuk pindah ke kampung halaman Hj. Uway, istrinya. Dia memang bukan anak berbakti, sampai-sampai tidak ikut membantu pindahan demi jalan-jalan keluar negeri. Untung Mia perginya diam-diam pakai alasan sibuk koas jadi tidak bisa pulang membantu.

Nah, pantas dia ditegur oleh Tuhan sampai terkurung di mortuary. Mungkin gara-gara ini. Tapi...

Ada apa sih kok orangtuanya menyuruh pulang mendadak?

Masa harus ijin dari koas lagi?

Alamat tugas segunung, nih!

***

Tidak banyak pilihan maskapai yang melayani penerbangan dari Surabaya ke bandara H. Asan – Sampit. Maskapai langganan Mia adalah Nam Air. Itu sudah yang paling nyaman meski kelasnya ekonomi. Perjalanan yang memakan waktu tak sampai satu jam dilalui Mia dengan membaca jurnal forensik yang ditulis oleh dokter lulusan Universitas Indonesia.

Amang Wawah berseru memanggil nama Mia saat ia baru keluar dari bandara. Adik Hj. Uway itu melambaikan tangan ke arahnya dengan semangat dan senyum lebar. Mia meletakkan kacamata bundarnya di atas kepala. Jurnal ia masukkan dulu ke dalam tas ransel.

"Akuy, makin ganal awak ikam neh (Ya ampun, makin gede aja badanmu sekarang)." Komentar Amang Wawah seraya mengambil alih tas ransel dan tas oleh-oleh dari tangan Mia.

"Lebay. Hanyar lebaran semalam ulun bulik (Baru lebaran kemarin Mia pulang)." Ia mendelik sebal lalu melihat sekeliling parkiran. "Pian kada bawa pick up kalo (Om nggak bawa mobil pick up, kan)?" Kecemasan Mia beralasan. Amang Wawah ini punya mobil tua serupa mobil derek bak terbuka yang disebut Mia sebagai pick up. Saking tuanya, mobil itu tidak ber-AC dan mengeluarkan asap pembakaran solar yang bikin sesak napas. Sayangnya Amang Wawah cinta sekali dengan mobil itu hingga tak rela dijual.

"Kada (Enggak)."

Mia menghela napas lega begitu mengetahui mobil yang dibawa Amang Wawah adalah mobil keluarganya.

"Pian tahu kada ulun disuruh bulik gara-gara apa (Om tau nggak kenapa Mia disuruh pulang)?" Tanya Mia saat mereka sudah dalam perjalanan menuju rumahnya.

Amang Wawah menggeleng tak tahu. "Lawas kada tedapat paling (Lama nggak ketemu mungkin). Kangen."

"Ulun semalam ngalih minta ijin san bulik (Kemarin susah banget minta ijin buat pulang kampung). Amun alasannya kada jelas kena ulun sangkal (Kalo alasannya nggak jelas, nanti Mia sebel/nyesal)." Tukas Mia separuh curhat.

"Hau (sebuah ungkapan untuk menekankan emosi)!" Pekik Amang Wawah seakan ingat sesuatu.

Mia melirik Omnya.

"Uma ikam (Mama kamu) ada arisan di rumah." Lanjut Amang Wawah.

"Iya kah?"

Omnya itu mengangguk antusias. "Hanyar ingat amang (Om baru inget). Keluarga acil Hana gin datang jua jar (Keluarga tante Hana juga dateng katanya)."

"Acil Hana yang rumahnya di Muara Teweh (Tante Hana yang rumahnya di Muara Teweh)?"

"Hi'ih (Iya). Julak-julak ikam gin datang (Pakdhe budhe kamu juga pada dateng). Hayuk nya (Hayo loh)! Ada apakah ini?" Ekspresi Amang Wawah penuh konspirasi, seakan sedang menutupi sesuatu, membuat Mia makin sebal.

Daripada meladeni Omnya itu, lebih baik Mia tidur.

***

Rumah keluarga Mia berdiri di pinggir sungai Mentaya. Di sebelahnya ada dermaga pribadi yang disewakan untuk tempat berlabuh kapal-kapal ikan. Rumah itu terbuat dari kayu ulin atau kayu besi dari hutan Kalimantan. Garasi dan ruang tamu masih berdiri di atas daratan, sedangkan sisanya disangga oleh kayu-kayu ulin di atas air. Meski terbuat dari kayu, rumah Mia sangat besar dan berlantai dua. Interiornya juga modern. Tidak kalah dengan rumah-rumah lain yang berbahan semen dan batu bata.

Mia adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Kakaknya perempuan dan sudah menikah dengan orang Sampit. Hasil perjodohan di usia ke dua puluh. Keluarga besar Hj. Uway masih kental dengan budaya. Jadi perjodohan dianggap wajar di sini. Begitu juga dengan H. Moris, meskipun orang betawi asli, beliau mengagumi budaya istrinya sampai-sampai rela pindah ke Sampit dan meninggalkan kehidupan hingar-bingar ibukota.

Berhubung Mia pintar, jadi Hj. Moris merasa sayang kalau kepintaran anaknya disia-siakan jika langsung disuruh menikah. Akhirnya beliau menuruti kemauan Mia agar sekolah kedokteran. Kalau sudah lulus, bisa buka klinik di Sampit.

"Masak apa pian, mah?" Mia baru selesai mandi dan membiarkan rambutnya basah tanpa dihair dryer. Hj. Uway sedang sibuk di dapur bersama beberapa tetangga.

"San suguhan kena (Masak buat suguhan nanti)."

Mia duduk di lantai kayu di sebelah kakaknya. Ia mengambil sebatang humbut pekat (tunas rotan muda; rasanya pahit; bergetah; biasa dimasak menjadi sambal) yang sudah dikupas agar bisa ia potong-potong.

Saat Hj. Uway menoleh dan mendapati anaknya hanya pakai piyama pendek, berambut basah, serta tampang masih polos, wanita itu memekik.

"Kenapa di sini?? Naik sana, bebengkeng (Dandan yang cantik)!" Usir Hj. Uway, hingga membuat adik kakak itu terkejut.

"Mamah kenapa sih, Ra? Kaget gue!" Mia menyikut rusuk kakaknya.

"Lo ikut gue deh, dek!" Rara menarik tangan Mia agar adiknya itu mengikutinya naik ke kamarnya sendiri.

Usai menutup pintu kamar, Rara menarik Mia lagi agar bisa duduk di tepi ranjang.

"Lo inget acil Hana, nggak?" Tanya Rara.

Mia mengangguk. "Inget. Kenapa?"

"Berarti lo inget juga sama Doni, anak pertamanya."

"Inget. Tuh anak sering gue bully dulu waktu TK. Kenapa emang?"

"Sekarang jadi letnan di Angkatan Laut. Tugas di Surabaya."

"So?"

"Dijodohin sama elo."

Krik – krik – krik

Mia hanya bisa berkedip sambil memandangi wajah serius kakaknya. Tak lama, sebuah tawa lolos dari mulut Mia.

Rara melotot, "Serius gue, dek! Gue denger sendiri waktu abah nerima perjodohan itu. Sore ini keluarganya bakal dateng ke rumah. Sekalian lamaran."

Tawa Mia makin kencang. "Absurd lo, nyet!"

"Nih anak bongol (bodoh/bebal) memang." Gerutu Rara gemas.

Mia mencibir, "Bujur jua kah (Bener emang)?"

"Gue pernah ngibulin lo emang??"

Tiba-tiba Mia menelan ludah.

"Bangsat lo, Ra! Udah tau adek lo dijodohin malah diem-diem aja nggak ngabarin gue!" Mia langsung murka. "Tau gitu gue nggak balik ke sini, nyet!!"

"Gue juga baru ngeh kemarin, nyet! Mana sempet ngabarin lo?"

"Bokis banget! Eh, lo punya waktu dua hari ya buat ngabarin gue! Kemana aja lo dua hari kemarin, hah??" Mia mendelik pada Rara. Karena selisih umur yang hanya dua tahun, Mia jarang bicara sopan pada kakaknya itu. "Gue nggak mau tau, gue mo balik ke Surabaya sekarang! Lo bantu gue kabur!" Ia sudah bangkit berdiri untuk mengambil tas ranselnya.

"Gila, lo!"

"Cita-cita gue masih banyak, Ra! Gue pengen nerusin sekolah gue biar jadi dokter forensik! Mana mau gue kawin sekarang? Sama Doni? Hidih!" Mia mengernyit jijik. "Ogah banget! Gue masih denger kabar dia ya dari temen-temen SD gue di sini. Pacar dia banyak! Mentang-mentang jadi pegawai negeri, berseragam, bacotnya dia udah kek penjual obat! Manis banget! Temen gue yang cewek banyak dikibulin tuh sama dia!" Ia nyerocos tanpa henti dalam satu helaan napas. "Tambuk (Kata makian dalam bahasa Banjar)!" Dengus cewek itu akhirnya.

Rara hanya bisa geleng-geleng kepala. "Lo tau kalo abah udah bersabda, maka nggak ada yang bisa lawan. Gue aja dulu udah berusaha biar perjodohan gue batal, tapi akhirnya jadi kawin juga."

"Nah. Waktunya gue ngomong sama abah sekarang!" Mia meraih knop pintu lalu menghambur keluar dari kamarnya.

"Gila lo, ini bukan keluarga penganut paham demokrasi, woy!!" Seru Rara begitu Mia lolos dari cengkeramannya. Adiknya itu sudah berlari menuju tangga.

"Abaaah!!!" Seruan Mia tertelan oleh suara ribut-ribut di ruang tamu.

"Ah, shit! Kok udah dateng, sih?!" Rara langsung menyeret Mia kembali ke kamar begitu melihat tamu-tamu keluarga mereka baru tiba.

"Itu keluarganya acil Hana, kan??" Mia ikut kebingungan.

Bukannya mereka datang sore nanti? Kok sudah nongol aja sekarang?

"Lo cepet ganti baju!" Rara mengeluarkan sebuah gamis berpayet warna peach dari dalam lemari Mia. Gamis itu masih terbungkus plastik. Kelihatan baru.

"Njir! Gue ogah pake itu!" Mia hampir memekik. "Kayak orang mo kondangan!"

"Lo disuruh pake ini sama mamah! Udah ah buruan!"

"Ra! Yang bener aja lo! Gue nggak mau kawin!"

"Masih lama kawinnya, nyet! Ini lamaran dulu!"

"Nggak mau, Ra!" Mia sudah hampir menangis, meratapi nasib sialnya karena memilih pulang kampung.

"Aduh, jangan nangis, dong! Kayak mo dikawinin akik-akik aja! Doni kan cakep, mana tentara lagi!"

"Cakep biji mata lo!" Semprot Mia luar biasa kesal. Ingin sekali ia merobek gamis yang diacungkan Rara ke hadapan wajahnya. "Ini tuh ngelanggar Hak Asasi gue sebagai manusia! Nggak ada briefing tiba-tiba lamaran!" Ia menumpahkan perasaan kesalnya dengan menendang kaki ranjang. Pilihan bodoh. Sekarang kakinya sakit.

"Jangan kayak anak kecil dong, dek! Lo turutin aja apa kata abah hari ini. Jangan bikin malu keluarga! Kalo mau bertingkah ntar aja pas tamu-tamu pada pulang. Please?"

Wajah Rara sudah memelas. Kakaknya itu memang anak sulung penurut. Gen baik dan budi luhur semua diwariskan pada Rara. Mia hanya kebagian ampasnya saja. "Lo kakak macam tai, Ra! Sumpah!" Mia merebut gamis di tangan Rara dengan kasar.

***

Canda tawa memenuhi ruang tamu keluarga Mia. Semua orang duduk di lantai beralaskan karpet bulu. Sofa di sini tidak muat untuk dipakai semua tamu yang hadir. Mia duduk menunduk seperti anak manis diapit Rara dan Hj. Uway. Keluarga Doni tidak henti-hentinya memuji Mia yang jadi calon dokter. Mereka merasa tersanjung dapat kesempatan meminangnya.

Doni sendiri belum kelihatan. Acil Hana bilang kalau Doni sedang dalam perjalanan dari bandara. Langsung kesini.

"Assalamualaikum." Salam itu dibalas bersamaan oleh semua orang. Acil Hana langsung bangkit untuk menyambut anaknya.

Mia mendengus saat melihat Doni, dengan atribut lengkap masuk ke dalam rumah. Sepatu larsnya berbunyi nyaring saat bertemu lantai kayu. Kulitnya makin gelap dari terakhir kali Mia melihatnya.

"Lepas dulu, nak!" Doni buru-buru berjongkok untuk melepas sepatu yang bisa dipakai membunuh orang dalam sekali tendang.

"Hai, Mia!" Doni menyapa dengan senyum mautnya begitu melihat Mia menatap.

"Apa kabar, lo?" Balas Mia dengan nada dan ekspresi datar.

"Baik, alhamdulillah."

Rara berbisik di telinga Mia, "Anaknya santun."

Mia hanya merespon dengan sebuah lirikan dingin.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top