6 | JADI FORENSIK
Beberapa bagian di part ini akan menimbulkan perasaan tidak nyaman saat membaca.
Ini hanya fiksi. Jangan terlalu dipikir. Dinikmati aja.
Selamat membaca. Kasih vote ya kalo suka.
Selamat malam minggu!
***
Mia dan dr. Gabriel berjalan beriringan menuju IGD Persalinan. Perawat menyambut dr. Gabriel untuk menyerahkan dokumen berisi Surat Permintaan Visum. Perawat itu bicara dengan suara rendah pada dr. Gabriel sambil menunjuk beberapa orang laki-laki berwajah garang di dekat mereka. Para pria yang merasa sedang dibicarakan itu datang menghampiri.
"Selamat malam, dokter. Kami dari Kasatreskrim Polrestabes Surabaya datang bersama korban, ibunya, dan Komnas Perlindungan Anak untuk melakukan visum. Korban berusia lima tahun dan diduga mengalami pencabulan oleh beberapa anggota keluarganya."
Mia memang tidak diajak bicara, tapi ia dapat mendengar dengan jelas apa yang sedang mereka bicarakan. Dilihatnya seorang gadis kecil seusia keponakannya di kampung sedang duduk diapit dua orang wanita. Gadis itu duduk tenang namun ia selalu menunduk. Hati Mia terasa dicabik-cabik saat memandangnya.
Dokter Gabriel masih bicara dengan para penyidik.
Mia menghampiri gadis kecil itu. Entah kenapa kedua kakinya tahu-tahu sudah berjalan ke sana.
"Selamat malam." Sapa Mia, berusaha ramah dengan tidak menunjukkan getar dalam suaranya. Padahal tenggorokan Mia sudah tercekat.
Salah satu wanita yang mengenakan blazer hitam berdiri. "Selamat malam. Saya Vita dari Komnas Perlindungan Anak." Tangan wanita itu terulur pada Mia. Genggamannya kuat, mencerminkan kepribadian yang kuat pula.
Kedua mata Mia tak lepas dari sosok gadis kecil di depannya. Setelah melepaskan tangan Vita, Mia mengeluarkan sebungkus permen chupa chups rasa ceri dari dalam tas. Mia dan Ullie punya kebiasaan menyetok permen untuk dibawa kemana-mana.
Mia berjongkok di depan gadis itu. "Halo, cantik." Gadis kecil itu mengeraskan rahangnya saat mendengar sapaan Mia barusan. Ia langsung memeluk wanita yang duduk di sebelahnya, mungkin sang ibu. Insting Mia mengatakan kalau sapaan itu bukan awal yang baik. Jelas gadis ini sedang mengalami trauma berat. Kecurigaannya terbukti dari ekspresi anak itu yang langsung ketakutan saat melihat permen di tangan Mia.
Mia memasukkan lagi permen itu ke dalam tas. Trauma anak ini pasti berhubungan dengan iming-iming permen yang diawali dengan sapaan 'cantik'. Mia ingin tiduran di mortuary lagi karena kebodohannya barusan. Tapi ia tidak menyerah.
"Tebak apa yang lebih buruk terjadi hari ini?" Tanya Mia dengan suara ceria.
Gadis itu tak mau menatapnya.
"Kakak habis lolos dari ruangan yang dipenuhi zombie." Mia menghela napas dengan ekspresi dramatis. "Untungnya mereka nggak mau makan kakak."
Gadis itu mengangkat kepalanya sedikit. Ekspresinya masih sama.
"Pernah dengar kalau di rumah sakit ada kamar mayat?"
Gadis itu masih diam. Tidak bereaksi.
"Di sini ada kamar mayat. Isinya ya mayat semua. Mereka bisa bangun kadang-kadang dan berubah jadi zombie lapar. Kalau orang jahat masuk ke sana, mereka nggak akan bisa keluar. Digigit zombie."
Mia tahu leluconnya terlalu buruk bagi anak usia lima tahun. Tapi ia tetap ingin mencoba.
"Kalau mereka nggak mau gigit kakak, tandanya apa?"
Pupil gadis kecil itu bergerak-gerak, sedang berpikir. "Kakak... baik?" Cicitnya. Suaranya amat kecil. Tidak akan ada yang mendengar kecuali orang itu betul-betul sedang berkonsentrasi padanya.
Mia mengangguk. "Dokter itu-" Ia menunjuk sosok dr. Gabriel yang sedang bicara dengan para penyidik. "-dia pengendali zombie. Dia yang menentukan orang jahat atau baik. Kalau dia bilang jahat, maka orang itu akan dimasukkan ke penjara dulu. Dilatih jadi umpan zombie."
Sumpah, dia makin ngelantur. Tapi anak itu justru kelihatan tertarik.
"Kamu mau bantuin bu dokter itu?" Lanjut Mia lagi.
Di luar dugaannya, anak itu mengangguk sekali. Senyum Mia merekah.
"Kakak juga mau bantu bu dokter buat ngehukum orang jahat biar digigit zombie. Kita sama-sama bantu, ya?" Anak itu mengangguk lagi, kali ini ditambah senyum samar.
***
Anak itu bernama Ocha, usianya masih lima tahun. Di usia sekecil itu ia harus mengalami trauma akibat kekerasan seksual. Hati Mia yang sudah borokan sejak melihat anak ini pertama kali jadi makin tercabik saat mendengar hasil visum dr. Gabriel. Labia lebam, selaput dara rusak, serta luka di sekitar paha, cukup membuat Mia makin berang. Ia sampai harus menggigit lidahnya sendiri agar tidak menangis.
Bagaimana ia bisa menangis sedangkan anak yang sedang berbaring di ranjang itu terus menggenggam tangannya untuk mendapat dukungan. Tatapan anak itu kosong saat dr. Gabriel melakukan tugasnya.
"Ocha suka sama binatang, nggak?" Mia agak menunduk agar Ocha dapat mendengar suaranya.
Ocha meliriknya sekilas, kemudian mengangguk.
"Kakak juga suka. Terutama anjing kecil sama kura-kura. Kalau Ocha suka apa?"
Ocha menelan ludah. "Ku-cing."
Mia mengangguk sambil tersenyum. "Kucing juga lucu. Ocha punya peliharaan di rumah?"
Ocha menggeleng. "Nggak boleh mama pelihara."
Mia mengernyit. "Kenapa?"
"Nanti dipukul sama papa."
"Kucingnya?"
"Ocha."
Ya Tuhaaaan! Mia ingin menangis saat itu juga.
"Papa Ocha-" Mia berusaha keras menelan ludah, "-digigit zombie boleh, nggak?"
Tak perlu waktu lama sampai Ocha mengangguk.
"Siapa lagi yang harus digigit?" Lanjut Mia.
Dokter Gabriel dan perawat mendengarkan obrolan itu dengan penuh perhatian meski tangan mereka sibuk.
"Om Hans. Sama..." Ocha kelihatan sedang berpikir. "Sama pak guru."
Mia memandang dr. Gabriel. Dokter itu paham apa maksudnya. Ia mengangguk untuk memberi isyarat Mia agar meneruskan.
"Pak guru punya nama?"
Ocha mengangguk. "Ocha nggak boleh panggil namanya. Nanti di...." Ocha enggan meneruskan.
Wajah Mia mendekat. "Biar zombie gigit mereka, zombie harus tau namanya siapa. Nanti kalau salah gigit gimana?"
Ocha kelihatan ragu sebelum menjawab, "Pak guru Doni."
Dokter Gabriel langsung menyuruh perawat untuk mengabari penyidik di luar. Sejak tadi Ocha memang tidak mau bicara sepatah katapun, sehingga menyulitkan penyidik untuk mendapat petunjuk tentang siapa saja orang yang menjahati Ocha. Akhirnya mereka memutuskan untuk menyelidiki sambil menunggu hasil VeR.
VeR: Visum et Repertum. Surat keterangan tertulis dari dokter ahli atas permintaan dari penyidik berwenang yang berisi hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup maupun mati, ataupun bagian yang diduga dari tubuh manusia untuk kepentingan pengadilan.
Sejak saat itu, Mia bersumpah untuk melanjutkan pendidikannya hingga menjadi dokter forensik agar bisa membantu anak-anak seperti Ocha. Dia akan mengendalikan zombie.
***
Meski tidak benar-benar turun tangan untuk membantu visum dr. Gabriel, Mia berpuas diri karena telah menghibur Ocha dan membantu penyidik mengantongi nama-nama tersangka. Betisnya pegal karena kelamaan berdiri. Dilihatnya jam sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh malam.
"Nih!" Dokter Gabriel menyerahkan sebotol minuman isotonik dingin padanya. Mia menerima minuman itu dengan senyum lebar. Diletakkannya permukaan botol berembun itu di depan dahi. Ia mendesah lega. Mereka sedang berada di lorong depan IGD. Ocha sudah kembali ke keluarganya. Bocah itu akan melakukan trauma healing bersama psikiater dan psikolog sekaligus. Banyak orang yang mendukungnya dan memastikan gadis kecil itu berhasil melewati masa-masa sulit.
"Dok, saya kan tadi harusnya assist dokter. Maaf ya."
Dokter bertubuh pendek itu menggeleng usai menenggak minuman dari botolnya sendiri. "Kan ada perawat tadi. Justru saya yang berterima kasih. Kalo nggak ada kamu, Ocha nggak akan buka mulut. Kata Komnas yang dateng bareng dia, Ocha diam terus tiap ditanya."
"Gimana nasib Ocha nanti ya, dok?" Hati Mia mencelos lagi saat mengingat bocah itu.
"Semoga dia mendapat keadilan."
"Dokter bantu dia di pengadilan, kan?"
Ia mengangguk. "Saya jadi saksi ahli kalau dibutuhkan."
Mia menghela napas lega.
"Waktu di pediatri, yang jadi pembimbing kamu siapa? Dokter Irwan?" Lanjut dr. Gabriel dengan raut penasaran.
Mia harus menahan diri agar tidak memutar bola mata. Sudah jadi rahasia umum di rumah sakit ini kalau dia pernah punya hubungan khusus dengan direktur muda rumah sakit. Alih-alih menjawab, Mia justru tersenyum tipis. Sangat dipaksakan.
"Pantesan kamu jago berurusan sama anak kecil." Dokter Gabriel tersenyum penuh arti padanya.
Mia hanya meringis meski tak rela. Dia ingin menyangkal kalau dr. Irwan –si mantannya itu- tak pernah mengajari dia hal-hal yang Mia inginkan selama di stase pediatri. Itu sebabnya stase pediatri jadi stase yang tidak terlalu menarik minatnya kemarin. Hanya gara-gara bisa dekat dengan dr. Irwan saja makanya dia betah.
"Speak of the devil (Baru juga diomongin)." Gerutu Mia tanpa sadar ketika dr. Irwan, orang yang barusan dr. Gabriel bicarakan tahu-tahu muncul di ujung lorong, sedang dalam perjalanan menghampiri mereka.
Mia hampir lupa kalau tadi ia bertemu dengan dr. Irwan jika saja ia tidak melihat pediatri itu di sini.
"Malam, dok. Mia." Sapa dr. Irwan dengan senyum lebar pada mereka berdua.
Mia diam-diam mendengus. Sungguh malas sekali bertemu cowok ini.
"Malem juga, dok. Kok belum pulang? Jemput adek koas, ya?" Goda dr. Gabriel.
Mia hanya melirik dengan senyum tipis sebagai respon. Begitupun dengan dr. Irwan. Ia hanya mengangguk sekilas.
"Udah selesai?" Kali ini cowok itu bertanya pada Mia.
"Sudah, kok. Tadi terpaksa ganggu Mia karena saya butuh asisten untuk visum. Sekarang udah selesai." Justru dr. Gabriel yang jawab.
"Yaudah saya ajak Mia pulang ya, dok?"
Mia tersenyum sinis.
PD amat ini orang. Sok-sok an mau ngajak pulang. Dikira gue seneng gitu? Pikir Mia sebal.
Usai berpamitan, dr. Irwan menuntun Mia agar berjalan mengikutinya. Ketika melihat dr. Gabriel sudah masuk IGD lagi, Mia langsung berjalan cepat mendahului dr. Irwan agar bisa menghindarinya.
"Mia!"
Mia tidak berhenti. Ia berjalan lurus terus sampai ke lobi. Sang pediatri masih mengejar di belakangnya.
"Mia, tunggu! Bisa nggak kamu berhenti sebentar untuk dengerin aku ngomong?"
Mia otomatis berhenti. Ia berbalik untuk memandang si mantan pacar, bersiap untuk mendengarkan omong kosong tentang sikap dan tanggung jawab.
"Aku kecewa sama kamu. Kenapa kamu tetap begini? Harusnya kamu itu berubah jadi lebih baik. Mentang-mentang kita udah pisah jadi mau bertingkah."
Nah, kan. Barusan juga diomongin.
Mia memutar bola mata, tanda jenuh.
"Tadi dokter kan bilang sendiri kalau kita sudah 'pisah', kenapa masih ngurusin hidup gue?"
"Gue?" Ulang dr. Irwan. "Aku lebih tua delapan tahun daripada kamu. Bisa nggak lebih sopan?"
Itulah dia. Selalu minta dihormati tanpa tahu caranya menghormati balik.
"Saya capek. Buruan mau ngomong apa?"
"Aku dengar tadi pagi kamu bertingkah di kelas Panji." Ada tuduhan di kalimatnya barusan.
"Dasar konsulen tukang ngadu." Cibir Mia setengah bergumam.
"Kalau sikapmu begini terus, gimana kamu bisa memperbaiki diri?"
Mia melongo. "Apanya yang dari saya yang perlu diperbaiki?"
"Semuanya, Mia. Sikap. Sifat. Tanggung jawab."
"Astaga, dok. Dokter ini bukan bapak saya, lho."
"Aku merasa bertanggung jawab karena gosip di rumah sakit-"
"Pak dokter yang budiman, kita memang sempat punya hubungan spesial. Dua minggu. Cuma dua minggu dokter bersikap seolah-olah jadi pacar saya. Dua minggu pula dokter nggak mengakui saya jadi pacar dokter di depan orang lain. Kemudian dokter putusin saya. Alasannya waktu itu apa ya..." Mia pura-pura berpikir. "Gara-gara 'bosan'." Lanjut Mia sambil geleng-geleng kepala. "Bagi dokter yang terhormat, saya ini membosankan. Terus kenapa sekarang bersikap kayak gini? Saya udah berusaha menghindari dokter, lho." Cerocos Mia tanpa henti.
"Kalau saja kamu menuruti apa kataku, kita nggak akan-"
"Menuruti apa kata dokter?" Ulang Mia lagi. "Selama dua minggu kemarin, dokter nyoba ngatur hidup saya! Gobloknya saya diem aja. Nurut aja. Jadi bucin demi dokter! Eh, akhirnya dibuang juga gegara kata-kata bangsat berjudul 'bosen'!"
"Jaga mulut kamu, Mia. Ini rumah sakit!" Desis dr. Irwan.
"Halah, sebodo amat!" Mia mengibaskan tangan. Ia ingin berbalik pergi namun lengannya lebih dulu dicekal.
"Aku belum selesai bicara, Mia!"
"Lepasin, nggak?"
"Nggak akan kalau kamu minta maaf dan dengerin aku bicara dulu!"
Ingin sekali Mia meludahi wajah dr. Irwan yang SOK ini.
"Amelia?"
Kepala Mia sontak menoleh saat mendengar nada suara familiar itu. Benar saja. Aiden sedang berdiri tak jauh dari mereka. Wajahnya heran. Terutama ke arah lengan Mia yang sedang dicekal.
"Sayang!"
Bukan hanya Aiden dan dr. Irwan, Mia sendiri juga terkejut dengan panggilannya barusan pada si bule.
"Kok lama banget?" Lanjut Mia lagi sambil menepis tangan dr. Irwan. Ia berlari kecil untuk menghampiri Aiden yang kebingungan.
"What's going- (Apa yang ter-)" Kata-kata Aiden dipotong oleh sebuah kecupan singkat Mia di pipinya. Cewek itu memberi isyarat lewat mimik wajah agar mengikuti sandiwara.
"I've been waiting for you too (Saya juga nungguin kamu dari tadi)." Aiden merasa konyol karena mengatakan ini. Ia juga merasa lebih konyol lagi karena menuruti permintaan Mia.
Cewek itu setengah menyeretnya keluar rumah sakit. Padahal dia barusan datang.
"Laki-laki tadi ganggu kamu?" Bisik Aiden.
Mia mengangguk. Aiden menghentikan langkah mereka. "Should I be worried (Apa saya harus khawatir)?" Wajahnya cemas. Kedua alisnya bertaut. "Or do you want me to stop him bugging you (Atau kamu mau saya membuat dia berhenti ganggu kamu)?"
Mia buru-buru menggeleng. Ia menarik lengan besar Aiden lagi, lanjut menyeretnya agar segera pergi dari sini.
"Parkir mana?" Tanya Mia.
Aiden menunjuk Bentley hitam yang diparkir tak jauh dari arah mereka sedang menuju. "Kamu nggak bawa motor?"
"Motornya di bengkel. Konslet, kali. Nggak ngerti."
"Gara-gara kehujanan semalam?"
Mia menggeleng. "Lama nggak diservis. Jadi ngambek akhirnya koit."
Wajah Aiden berkerut tak mengerti. "What?"
Mia tak menjawab. Mood-nya masih berantakan. "Anter saya sampe depan aja. Nanti saya lanjut naik ojek."
"Malam-malam begini?" Aiden membuka pintu pengemudi sebelum masuk ke dalam. Dilihatnya Mia sudah pakai sabuk pengaman.
"Nggak apa-apa, om. Yang penting jauh dari orang yang tadi."
"Saya antar pulang aja, ya? Malam-malam begini saya khawatir kamu kenapa-napa."
"Iya, deh terserah. Lumayan hemat ongkos."
Aiden tertawa kecil mendengar sikap positif Mia. Ia langsung menyalakan mobil dan berjalan perlahan meninggalkan area rumah sakit.
"May I ask about the man earlier (Saya boleh nanya tentang laki-laki tadi)?" Cowok itu memecah keheningan di dalam mobil setelah melirik wajah Mia yang terus cemberut.
"Mantan."
"Oh." Ada jeda beberapa menit sebelum Aiden melanjutkan, "Stalking you (Nguntit kamu, ya)?"
Mia menggeleng. "Dia dokter anak di rumah sakit itu. Nggak tau juga kenapa ganggu saya."
Aiden bersiul singkat. "Mantan kamu dokter. Kenapa putus?"
"Dia yang mutusin saya. Gara-gara saya membosankan." Mia mendengus. "Diakuin jadi pacar aja enggak." Ia menyesal sekali dulu pernah mengagumi direktur muda rumah sakit itu. Ah. Gara-gara wajahnya cakep. Kelemahan terbesar Mia.
"You (Kamu)? Boring (Membosankan)?" Aiden tertawa kecil lagi. "Kidding me (Becanda, ya)." Gumam Aiden. "Mungkin dia mau kembali sama kamu. Makanya ganggu." Lanjutnya dengan suara lebih keras.
Mia mengernyit jijik. "Kalopun bener ngajak balikan, saya yang ogah."
Aiden tidak penasaran alasannya.
"Eh ngomong-ngomong, om kok ada di sana tadi? Siapa yang sakit?" Tanya Mia penasaran.
"Saya kesana buat ambil obat. Psikiater saya nitipin obat ke salah satu apoteker buat saya."
"Loh, om sakit?"
Aiden menggeleng. "Cuma insomnia aja. Saya dikasih resep obat tidur. Pekerjaan saya selesai kemalaman, jadi ngebut ke sini. Malah ketemu kamu." Ia tersenyum dengan tatapan masih fokus pada jalan.
"Kerja dimana, om?"
"Di Surabaya."
Mia memutar bola mata. "Maksudnya pekerjaan sebagai apa? Pengusaha? Arsitek? Dokter? Tukang becak? Penjudi?"
"Pengusaha."
"Bidang?"
"Listrik."
"Wuidih, enak dong rumahnya dapat listrik gratis dari PLN?"
Aiden hanya menoleh sekilas. Saking kelirunya dugaan Mia, ia sampai speechless.
Sepanjang sisa perjalanan mereka habiskan untuk ngobrol hal random. Yang paling banyak bicara ya Mia. Energinya selama hibernasi di kamar mayat masih berlebih, jadi malam ini dia habiskan untuk berkomentar tentang banyak hal.
Aiden?
Fokus menyetir sambil mendengarkan cerocosan Mia. Dia tak perlu menyalakan radio atau pemutar musik kalau ada Mia di sebelahnya. Suasana dalam mobil jadi lebih hidup.
"Udah makan belum, om?" Tanya Mia begitu mereka sampai di depan rumah.
Aiden jadi teringat sesuatu. "Maafkan saya karena nggak menawarkan kamu makan malam tadi. Saya fokus dengerin kamu ngomong sampai lupa."
Mia mengernyit. "Saya nanya om udah makan atau belum, kok malah minta maaf?" Ia melepas sabuk pengaman.
"Belum. Saya belum makan malam. Kita makan di luar?"
"Nggak usah. Saya lagi pengen makan mie instan. Masuk, yuk! Saya bikinin, deh. Hitung-hitung terima kasih tadi udah bantu saya." Tanpa menunggu respon Aiden, Mia turun lebih dulu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top