50 | CORONATION

Coronation = Pelantikan

Nggak ada hubungannya sama virus Corona.

***

Mia baru selesai mandi dan sedang mengoleskan lotion ke kakinya saat pintu kamar dibuka. Aiden masuk dengan wajah ditekuk. Ia menyeberangi kamar dengan langkah lebar untuk menghampiri istrinya.

"Ali bilang mereka semua membicarakan hal buruk tentangmu." Ujarnya tanpa basa-basi.

Mia hanya mengangguk singkat, tidak ada gunanya ditutup-tutupi. "Wajar. Saya orang asing bagi mereka."

"Kamu bisa bertindak tegas tanpa menunggu ijin dari saya, chéri." Dahi Aiden berkerut saat mengatakannya.

"Tegas yang bagaimana? Mecat Ny. Adalene dari jabatan ketua yayasan? Atau... ngirim orang-orang yang berkata hal buruk tentang kita berdua ke penjara?"

Aiden mengangguk. Mia spontan memutar bola mata. Ia mendekati Aiden, mengusap dadanya yang terlindung oleh kemeja dan jas. "Itu bukan solusi. Kalau kita melakukan itu, kepercayaan publik ke kita makin rendah." Cewek itu mendongak agar bisa menatap Aiden tepat di kedua mata. Berkat kunjungan hari ini, Mia jadi tahu kalau dirinya dan Aiden bukanlah publik figur terfavorit se-Alois.

"Saya nggak suka mereka membicarakan hal buruk tentang kamu."

Sama, pikir Mia sendu. Dia juga tidak suka kalau ada yang berbicara buruk tentang Aiden.

"Ini konsekuensinya, sayang. Semua orang berhak beropini." Sahut Mia coba menenangkannya. "Apapun yang kita lakukan, pasti ada aja yang ngomongin hal buruk tentang kita. Itu wajar. Kita nggak bisa berbuat apa-apa untuk membungkam mulut mereka. Yang bisa kita lakukan cuma berusaha jaga sikap dan memberi contoh yang baik." Mia merasa jadi munafik karena harus mengatakan ini. Tapi seseorang perlu mengatakannya, kan?

Aiden menghela napas berat.

"Maaf. Saya nggak bisa kasih ketenangan seperti yang kamu mau. Saya harap kamu nggak menyesal nikah sama saya." Kata-kata Aiden membuat hati Mia serasa diremas. Ia berusaha keras untuk tak menangis. Beberapa bulan belakangan memang terasa sangat berat untuknya. Jika ia bisa memilih, dirinya tidak mau jadi Putri.

Aiden menyentuh wajahnya, mengusap sebulir air mata yang jatuh ke pipi. Mia menempelkan dahinya ke dada Aiden, tidak ingin suaminya melihat ia menangis. Ia merasakan kalau puncak kepalanya dikecup. Air mata Mia keluar makin deras. Cewek itu sudah menahan perasaan ini selama berbulan-bulan. Ia tak berniat untuk menyerah secepat ini.

"Maaf, chéri." Bisik Aiden. "Saya nggak bermaksud membuat kamu sedih." Lanjutnya.

"Saya nggak sedih." Mia terisak dengan suara parau. "Saya cuma kangen keluarga saya. Teman-teman saya. Hidup saya. Suami saya. Saya merasa sendirian di sini." Mia mengeratkan pelukannya ke sekeliling tubuh Aiden, menenggelamkan wajah ke dadanya yang bidang. Aiden balas memeluk Mia.

"Saya di sini." Aiden mengusap kepala Mia penuh sayang. "Menangislah. Kamu membutuhkannya. Kamu sudah melakukan yang terbaik sampai hari ini. Saya bangga sama kamu." Aiden merasa buruk karena telah membuat Mia jadi begini. Biasanya emosi negatif selalu Mia keluarkan lewat amarah. Kali ini tidak. Aiden tak suka melihat Mia begitu sedih dan lesu. Seakan tidak ada lagi hal yang bisa membuat cewek itu bahagia. Ini bukan Mia yang dikenal Aiden.

***

Pangeran Bastien memandang Aiden heran ketika sepupunya itu datang ke kamarnya.

"Ini satu-satunya waktu liburmu, kan? Kenapa kesini?" Dan bukan menghabiskan waktu bersama istrimu, lanjut Pangeran Bastien dalam hati. Wajah Aiden tidak menunjukkan ekspresi tertentu. Namun dari gelagatnya, ia tahu kalau ada hal serius yang perlu dibahas. "Dimana Amelia?"

"Istirahat. Dia tertidur sejak sore." Jawab Aiden singkat. "Ada yang perlu kubicarakan."

Pangeran Bastien meletakkan buku yang tadi sedang dibacanya ke atas meja. "Ada apa?"

"Waktu itu kamu pernah menawarkan satu permintaan pada Amelia sebagai hadiah pernikahan kami. Aku ingin menagihnya."

"Tentu. Katakan apa yang kalian mau."

"Ubah peraturan tentang Putri yang harus melakukan kegiatan selama seminggu penuh setiap harinya."

Pangeran Bastien agak terkejut. "Itu peraturan tidak tertulis yang harus ditaati oleh setiap anggota keluarga kerajaan. Bahkan Ali juga melakukannya."

"Peraturan itu dibuat sendiri oleh seorang Pangeran dan tidak disahkan oleh Parlemen. Artinya, seorang Pangeran juga punya kekuasaan untuk merevisi atau bahkan menghapusnya."

"Amelia perlu membiasakan diri untuk bisa jadi Putri."

"Aku sudah merenggut seluruh hidup Amelia dengan membawanya kemari. Beri dia sedikit kemudahan, Bastien. Istriku sengsara."

Pangeran Bastien mengamatinya lekat-lekat, "Sebentar lagi kamu juga akan dilantik. Kenapa nggak nunggu sampai kamu resmi memegang kekuasaan untuk merubah semua peraturan yang kamu mau?"

"Nggak ada waktu." Aiden menggeleng, "Amelia seperti bukan dirinya sejak dia pindah kemari." Sekarang Pangeran Bastien bisa melihat kekalutan pada raut wajah sepupunya. "Beri dia tiga hari dalam seminggu untuk melakukan apa yang dia mau. Amelia akan meneruskan pendidikan forensiknya di sini."

"Tiga hari terlalu banyak, kak. Publik nggak akan suka melihat anggota kerajaan melakukan hal yang nggak berkaitan dengan tugas-tugas mereka. Hidup kita berasal dari uang pajak rakyat."

"Aku suaminya. Aku yang akan membiayai dia. Nggak ada urusan sama pajak rakyat. Aku juga nggak sudi menerima fasilitas dari pajak rakyat!"

Pangeran Bastien terkekeh, "Maaf kalo bikin kamu tersinggung, kak."

"Jadi bagaimana? Kamu bersedia?"

"Hmm..." Pangeran Bastien mengetukkan jarinya di atas sandaran tangan kursi roda. "Akan kulihat apa yang bisa kulakukan untuknya." Kemudian ia tersenyum.

Aiden mendesah lega, "Terima kasih."

Pangeran Bastien memiringkan kepala. Kini ia mengamati kakak sepupunya dengan sudut pandang baru. "Kalau bukan karena Amelia bersedia menikah denganmu, apa kamu pernah terpikir untuk menggantikan posisiku?"

Aiden mengangkat kepalanya, balas menatap Pangeran Bastien. "Dulu aku berencana untuk nggak akan kembali ke sini sama sekali."

"Jadi aku harus berterima kasih pada istrimu." Pangeran Bastien manggut-manggut mendengarnya, "Bagaimana rasanya jatuh cinta sedalam ini pada seseorang?"

"Rasanya?" Ulang Aiden, "Rasanya seperti kamu bersedia menyerahkan seluruh hidup dan jiwamu untuk orang itu. Kamu akan merasakannya nanti jika menemukan perempuan yang tepat."

"Menurutmu begitu?" Pandangan Pangeran Bastien mengawang saat menanyakan itu. Dengan kondisi kesehatannya yang begini, ia ragu kalau ia akan menemukan sosok yang dimaksud Aiden.

"Dulu aku juga ragu bisa merasakan kebahagiaan seperti yang aku dapat sekarang, Bastien. Dulu, sebelum aku bertemu Amelia." Aiden muram saat mengatakannya. "Ketika dia datang ke hidupku, aku langsung tahu kalau aku menginginkannya." Lanjut Aiden. Ia berbalik menuju pintu, berniat untuk kembali ke kamarnya sendiri. Ketika mencapai pintu, ia menoleh lagi. "Kamu-pun juga begitu nantinya. Tunggu dan lihat saja." Ujarnya kemudian.

***

Aiden sempat menutup pintu balkon agar angin laut tidak membuat mereka berdua sakit. Hawa sudah sedingin ini di dalam kamar, tapi Mia masih bersikeras untuk meninggalkan balkon tetap terbuka lebar. Padahal dulu Mia pernah mengomel tentang ancaman masuk angin kalau tetap membiarkan pintu balkon kamar terbuka saat malam.

Ia naik ke atas ranjang dengan hati-hati, dimana Mia sudah jatuh tertidur lebih dulu setelah menangis selama berjam-jam. Wajah Mia masih merah.

Aiden membetulkan letak selimut yang menutupi mereka berdua sebelum menarik tubuh Mia ke dalam pelukannya. Cewek itu menggeliat sedikit, namun tidurnya tidak terusik. Ia masih lelap.

Aiden memandangi wajah damai istrinya. Di balik ekspresi tegar yang selalu Mia tunjukkan tiap kali bertemu dengannya, Aiden sebenarnya tahu kalau Mia rapuh. Mia tidak sekuat yang ia perlihatkan. Aiden tahu Mia sering menangis diam-diam saat ia tak melihat. Kerinduan pada keluarga, teman-teman, serta hidupnya dulu di Surabaya pasti sudah mencapai batasnya. Aiden menghela napas berat. Ia harus melakukan sesuatu. Istrinya tak akan bertahan jika dibiarkan dalam kondisi seperti ini.

***

Di tengah kegugupannya, Mia mematut diri di depan cermin besar di kamar utama yang resmi ia dan Aiden tempati sejak tadi malam. Kamar ini selalu ditempati oleh Pangeran yang sedang bertakhta, artinya Pangeran Bastien juga pernah tinggal di kamar ini sebelum ia pensiun dini.

Gaun sutra berwarna putih gading yang dihiasi oleh bordiran emas di bagian bawahnya sangat cocok di tubuh Mia. Rambutnya digerai lurus di belakang kepala tanpa hiasan apa-apa. Meskipun wajah Mia bebas dari polesan make up, ia tetap terlihat cantik berkat perawatan rutin yang ia terima sejak tinggal di le rouge.

"Madame le Roi (Yang Mulia)." Suara Candence membuat Mia menoleh.

Kini ia punya gelar Madame la Princesse d' Gaël atau Madame le Roi sebagai panggilan sehari-harinya. Dua gelar itu sama-sama membuat beban hidupnya makin berat. Namun lagi-lagi, Mia pandai menyembunyikan itu semua.

"Ce que c'est (Ada apa)?"

"Quelqu'un a donné ça pour vous (Seseorang mengirimkan ini untuk anda)." Candence menyerahkan sebutir telur Fabergé yang dihiasi berlian kecil dengan mahkota berupa batu rubi berkilau. Bersama telur itu juga datang sepucuk kartu dengan tulisan tangan indah di atasnya.

Isinya berbunyi:

Yang terhormat Putri Amelia,

Keluarga kami memberikan telur berharga kami untuk anda sebagai token dan ucapan syukur karena telah menyelamatkan putra kami, Louis. Semoga anda berkenan menerimanya.

Penuh cinta,

Joyce.

Mia mengernyit. Siapa Joyce?

"Vous avez sauvé son fils la semaine dernière (Anda menyelamatkan putranya minggu lalu)." Candence coba memberi penjelasan agar Mia ingat.

"Ohhh..." Mia langsung ingat istri pemilik galeri seni yang anaknya kena serangan jantung saat acara yayasan pekan lalu. Ia mengamati telur itu lekat-lekat. Mulai sekarang ia harus terbiasa untuk menerima telur Fabergé sebagai hadiah. Dia perlu menyiapkan lemari khusus untuk telur-telur ini.

Candence tersenyum lebar, wajahnya kelihatan amat senang. "J'ai une surprise pour toi (Kami punya kejutan untuk anda)."

Mia hanya mengangkat sebelah alis saat melihat Candence berbalik menuju pintu. Sekretaris pribadinya itu lagi-lagi tersenyum lebar begitu ia memegang daun pintu di depannya. Tak lama, ia menarik pintu itu agar terbuka lebar untuk menunjukkan kejutan yang menunggu di baliknya.

"Kejutaaaaaaan!" Ullie berseru kencang sambil mengangkat kedua tangan lebar-lebar. Ia berlari ke dalam agar bisa memeluk Mia. Di belakangnya sudah ada Fabian, Gie, Galang, Anton, Elsa, Rara, dan juga kedua orangtuanya. Mia tak sanggup berkata-kata saat Ullie hampir meremukkan tubuhnya lewat pelukan erat. Candence sudah meninggalkan mereka semua dan menutup pintu kamar rapat-rapat.

"Kok- kok bisa?" Mia tergagap. Air matanya sudah tumpah tanpa aba-aba.

"Kapan lagi kita bisa dateng ke acara pelantikan Ratu? Nggak mau rugi, dong! Ntar foto-foto dulu! Biar seluruh Indonesia tau kalo aku pernah serumah sama Ratunya Alois!" Cerocos Ullie tanpa spasi.

"Putri, dek. Di Alois nggak ada ratu-ratuan." Koreksi Anton.

"Sirik aja!" Ullie mendengus. Ia melepaskan pelukannya pada Mia agar bisa memandangi sahabatnya dari ujung kepala sampai kaki. "Ck. Mantap banget kostum kamu. Udah kayak abad pertengahan aja."

Mia tertawa, "Ini baju pelantikan. Warnanya putih untuk menggambarkan kesucian."

"Ha. Suci?" Ullie tertawa sumbang sekaligus tak percaya. "Mia kok suci?" Gumamnya pelan, cemas didengar H. Moris atau Hj. Uway.

Anton menarik kerah belakang baju adiknya untuk memberi kesempatan pada orangtua Mia melepas rindu pada si anak bungsu.

"Abah... Mamah..." Tangis Mia makin menjadi-jadi saat tubuhnya dipeluk secara bersamaan oleh kedua orangtuanya. "Ulun kira orang pian kada datang (Mia kira kalian semua nggak akan datang)." Pelantikan di Alois memang hanya boleh dihadiri oleh orang-orang Alois saja. Media luar negeri-pun dilarang meliput secara langsung untuk mencegah pemberitaan secara berlebihan.

"Suami lo yang minta kami datang di menit-menit terakhir. Dia ngirim pesawat jet ke Sampit biar kami semua bisa diangkut langsung ke sini." Rara menawarkan diri untuk menjawab.

"Bengkengnya anak mamah (Cantiknya anak mamah)." Hj. Uway memuji anaknya sambil berurai air mata. Mamah memandangi anaknya dari kepala sampai kaki, merasa tak percaya kalau anak bungsunya punya jalan hidup sespektakuler ini.

Abah juga menepuk-nepuk lengan Mia dengan canggung. Beliau memang tidak terbiasa menunjukkan kasih sayang pada anak-anaknya. Meski begitu, Mia dapat melihat kedua mata Abah yang berkaca-kaca saat memandangnya.

"Kamu cantik." Puji Gie tanpa melepas kacamata gelap yang ia kenakan. "Tapi gaun kamu mirip kostum korban persembahan. Kalau ditumbalkan bisa gentayangan jadi hantu perawan." Lanjut Gie.

Semua orang sontak memandangnya.

Dipandangi dengan tatapan serius begitu, Gie terkekeh kecil. "Cuma becanda. Selera humor kalian kenapa, sih?"

Mia mengeringkan pipinya yang basah. Suasana hatinya naik setinggi langit karena melihat wajah familiar keluarga dan teman-temannya.

"Anak sama laki lo nggak dibawa sekalian?" Tanya Mia pada Rara yang kelihatan adem ayem tanpa anak-anaknya.

"Perjalanannya kan jauh. Kesian anak-anak gue kelamaan di pesawat ntar stress. Biar di rumah aja sama bapaknya." Jawab Rara.

Mia memandangi mereka semua bergantian sebelum memeluk kedua orangtuanya lagi lebih erat dengan senyum lebar menghiasi wajah. "Kalian nggak tau sebesar apa pengaruh kehadiran kalian di sini."

"Lo kurusan." Celetuk Elsa.

"Gimana nggak kurus, paling makanannya nggak cocok sama lidah dia." Anton menimpali.

Mia tertawa kecil, "Emang cuma mas Anton yang paling ngerti selera gue."

"Aku bahkan baru tau kalo ada negara bernama Alois." Celetuk Fabian yang sedari tadi diam. Ia tak memungkiri kalau ia merasa amat takjub karena dapat kesempatan untuk menginjakkan kaki ke negeri seindah ini.

"Gue pernah denger dulu. Penghasil berlian bukan, sih?" Galang ikut menimpali.

"Berlian?" Kedua mata Gie membulat.

Uh oh... Gie sudah mulai tertarik.

"Tambangnya dirahasiakan." Mia buru-buru menyahut, "Lagipula tambang itu bukan milik perusahaan manapun. Semuanya dikuasai oleh kerajaan. Parlemen aja nggak bisa ikut campur buat ngelola secara langsung."

"Ah, sayang sekali." Kedua bahu Gie langsung merosot. Padahal ia sudah membayangkan punya saham di perusahaan tambang berlian. Dia kan suka sekali dengan batu permata. Suaminya mengelus punggung Gie sambil mengulum senyum. Semua orang sepertinya sudah maklum dengan sifat Gie yang satu ini.

"Gue denger lo mau nerusin pendidikan jadi forensik, keukeuh juga lo ternyata." Rara mengerling, sengaja menggoda Mia dan sang Abah.

Mia hanya sanggup meringis takut-takut sambil memandang H. Moris, "Udah dapet ijin kok, bah. Biar Mia menyalurkan minat dan bakat gitu, lho."

Abahnya hanya mendengus kecil, "Terserah. Kamu udah jadi tanggung jawab Aiden." Begitu responnya.

"Punya minat bakat kok supaya deket-deket sama mayat?" Gerutu Rara sambil memutar bola mata.

Mia baru ingat sesuatu, "Eh, kalian udah ketemu om Aid- maksudnya suami gue?"

"Udah." Jawab Ullie. "Dia yang nyuruh orang buat nganter kita kesini. Gagah banget dia pake baju karnaval putih kayak punya kamu."

"Kok baju karnaval, sih?" Fabian mengernyit karena perumpamaan yang digunakan istrinya.

Ullie terkekeh, "Ngomongin baju Pangeran Alois nggak akan bikin aku dihukum, kan?"

Mia hanya tertawa kecil, "Enggak lah!" Ia terdiam sesaat, "Tapi jangan ngomong di depan orang Alois. Ntar lo dipenjara atas perbuatan tidak pantas." Kali ini ekspresinya serius.

***

Seperti kata Ullie, Aiden nampak gagah dengan mantel putih beraksen emas di bagian belakangnya. Mantel itu sudah digunakan secara turun temurun sejak dahulu kala. Penjahit kerajaan membuat mantel replika semirip aslinya setiap sepuluh tahun sekali. Mantel pelantikan yang telah usang dipensiunkan dan disimpan di dalam museum istana untuk dipamerkan kepada generasi penerus.

Selain mantel yang membungkus tubuh Aiden, ia mengenakan kostum Pangeran berwarna putih yang serasi dengan yang dikenakan Mia. Tidak ada perhiasan atau aksesoris mencolok yang terpasang di tubuhnya selain mantel besar yang kelihatan berat itu.

Umumnya, pernikahan Pangeran dan Putri Alois dilaksanakan di sebuah katedral milik kerajaan yang berlokasi di jantung kota Aragon. Berhubung Aiden dan Mia punya keyakinan berbeda dengan sebagian besar penduduk Alois yang mayoritas beragama katolik Roma, maka acara pernikahan dilakukan secara simbolis saja di tepi danau Larmes de Sirène. Lokasi itu juga menjadi lokasi pelantikan mereka berdua.

Inilah kenapa danau Larmes de Sirène cukup dikeramatkan oleh kerajaan. Di setiap acara pelantikan, calon Pangeran dan pasangannya akan bersama-sama berendam di dalam air danau yang dingin. Upacara itu menyimbolkan penyerahan diri sekaligus tanda pengabdian seluruh hidup mereka untuk rakyat Alois. Dengan begitu, Aiden dan Mia tidak lagi tunduk pada siapapun selain pada Tuhan.

Seperti gladi bersih mereka kemarin, pasangan itu berjalan perlahan menuju danau yang airnya sejernih kristal dan bersuhu dingin. Kontras dengan cuaca hangat di Alois. Mereka sama-sama bertelanjang kaki. Semua tamu undangan berdiri dengan khidmat di tepi danau, menonton dua calon pemimpin mereka melakukan upacara pelantikan.

Seorang Uskup Agung dari katedral istana memimpin upacara pelantikan ini. Usianya sudah hampir delapan puluh tahun, namun suaranya masih lantang saat membacakan isi perkamen dalam bahasa Latin. Mia sudah hafal isinya. Candence pernah memberikannya terjemahan isi perkamen itu.

Tanah, tempatmu berasal

Takhta, tujuanmu hidup

Rakyat, orang yang kau layani

dan Tuhan, satu-satunya tempatmu kembali

Begitu sang Uskup Agung selesai membacakan isi perkamen, Mia dan Aiden menenggelamkan tubuh mereka ke dalam danau untuk melepaskan semua beban dunia demi terlahir kembali menjadi sosok pemimpin Alois yang baru. Selama berada di dalam air, Aiden tak pernah sekalipun melepaskan genggamannya pada Mia.

Saat kepala mereka muncul ke permukaan, seruan 'Vive le Roi' dan 'Vive la Reine' terdengar bersahut-sahutan. Keduanya memiliki arti 'Hidup, Yang Mulia (Pangeran dan Putri)'.

Wajah Mia dan Aiden sama-sama sumringah. Apalagi ketika semua orang mulai melemparkan bunga lavender untuk mereka. Sejauh yang Mia pelajari selama di sini, bunga berwarna ungu itu memiliki makna 'kesetiaan' bagi orang Alois.

Sepanjang sejarah pelantikan di Alois, belum pernah ada yang melempar bunga itu pada Pangeran dan Putri. Ini hal baru.

Aiden menuntunnya untuk naik ke daratan. Ia tersenyum saat mengamati ekspresi bingung Mia. "Mereka melihatmu di TV. Kamu dianggap sebagai seorang Saint (penyelamat/orang suci) karena telah menyelamatkan nyawa seorang anak. Tindakanmu spontan, tapi punya kesan mendalam di hati mereka. Bunga-bunga itu untukmu, chéri. Mereka mengikrarkan sumpah setia padamu." Ujar Aiden memberi penjelasan.

Mia makin bingung, "Gara-gara itu? Bukannya mereka nggak suka sama kita?"

"Beberapa memang masih nggak suka, tapi jumlah rakyat yang mendukung kita jauh lebih banyak. Mereka menerimamu." Aiden mengangkat satu tangan Mia untuk mengecupnya.

"Oh." Serius, Mia tidak tahu harus berkata apa lagi. Tubuhnya basah kuyup tapi dia tidak merasa kedinginan sama sekali. Ada perasaan hangat yang menjalar di hatinya. Hangat yang menyenangkan sekaligus membuat haru. Mia sampai harus mencubit pahanya sendiri agar ia percaya kalau ini semua bukan sekedar mimpi. Setelah semua yang terjadi, sekarang rakyat Alois bersumpah untuk setia padanya!

"Par la présente je vous annonce pour être notre prince et princesse (Dengan ini saya umumkan anda berdua menjadi Pangeran dan Putri kami)." Sang Uskup Agung meletakkan mahkota ke masing-masing kepala mereka.

"Monsieur le Roi. Madame le Roi." Semua orang memberi hormat lewat curtsy sambil menundukkan kepala dalam-dalam.

Kesakralan momen itu terhenti ketika seseorang memekik. Mia dan Aiden sama-sama menoleh ke sumber suara.

Ullie jatuh pingsan.

***

Tanpa berganti baju terlebih dahulu, Mia memeriksa keadaan Ullie di dalam kastil. Fabian terus menemani istrinya. Wajahnya betul-betul cemas. Sekarang mereka semua sedang menunggu ambulans untuk menjemput Ullie. Dokter istana juga sedang dalam perjalanan kemari. Tubuh Ullie direbahkan di atas sofa besar terdekat. Mia setengah berjongkok di sampingnya.

"Ullie nggak mau makan sejak semalam. Dia bilang mau diet." Fabian coba menjelaskan situasi Ullie.

Mia mendengarkan degup jantung Ullie lewat stetoskop sambil menyentuh pergelangan tangannya. Setelah diberi minyak angin oleh Anton, kesadaran Ullie perlahan kembali. Ia mengerang sedikit sambil memegangi kepalanya yang pusing.

"Kapan terakhir kali lo haid?" Tanya Mia sembari melepaskan stetoskop dari telinganya.

Ullie hanya mengerjap bingung, tapi ia mendengar apa yang ditanyakan Mia barusan. "Nggak tau." Jawab cewek itu akhirnya. Kepala Ullie sedang tidak dalam keadaan sanggup mengingat-ingat.

"Lo hamil."

Fabian dan Ullie, serta semua orang yang ada di ruangan itu kontan terkejut oleh diagnosa Mia.

"Lo nggak inget kapan bini lo dapat tamu bulanannya?" Kali ini Fabian yang jadi sasaran pertanyaan Mia.

"Sudah lama kayaknya. Kami belum sempat periksa ke dokter." Jawab Fabian dengan wajah masih terkejut.

Mia memutar bola mata sebelum bangkit berdiri. Aiden membantu menutupi tubuhnya yang basah dengan bath robe. "Kalian berdua sama-sama bego, deh. Perut Ullie udah buncit begitu masa nggak curiga sama sekali?" Ia menunjuk perut Ullie yang tertutup gaun panjang. Mia sempat merabanya tadi. Sekarang ia geleng-geleng kepala karena mulai berpikir kalau kadar kepintaran Fabian jadi makin tiarap sejak menikah dengan Ullie.

"Aku kira ini buncit biasa. Karena sembelit atau gara-gara aku kebanyakan makan." Ullie seperti sedang bicara sendiri. Pandangannya kosong. Antara masih lemas atau terkejut, atau malah gabungan keduanya.

"Nggak ada mual-mual?" Tanya Mia sekali lagi untuk memastikan.

Ullie menggeleng.

"Tapi makan lo lebih banyak?"

Kali ini bukan hanya Ullie yang mengangguk, namun Fabian juga.

"Biar lebih yakin, Ullie harus ke rumah sakit."

Gie dan Galang masuk ke dalam ruangan, "Mereka bilang ambulans lagi dalam perjalanan. Jalanan macet banget karena semua orang pada turun ke jalan buat ngerayain pelantikan kalian." Ujar Gie memberi informasi.

"Nggak apa-apa. Ullie cuma lagi hamil aja." Mia mengedikkan sebelah bahu.

Anton yang sedari tadi masih shock karena berita kehamilan adiknya, langsung melompat kegirangan. Ia memeluk Elsa yang berdiri di sebelahnya.

"Puji Tuhan, abis ini aku jadi pakdhe!"

Elsa juga tersenyum lebar. Ia memberi selamat pada Fabian dan Ullie yang masih kebingungan karena situasi mereka. Agaknya rencana untuk memiliki anak belum masuk ke daftar rencana jangka pendek mereka saat ini.

"Kamu harus ganti baju." Bisik Aiden. Mia mengangguk sekilas. Ia berjalan mengikuti suaminya untuk keluar dari ruangan itu. Candence dan Alan berjalan mengekor di belakang mereka.

***

Oke, bagi yang bertanya-tanya kenapa ada Uskup Agung segala biar aku jelasin kalo nggak keberatan.

Alois itu kan lokasinya di laut mediterania, berdekatan dengan negara-negara Eropa seperti Perancis dan Italia. Hampir 100% penduduknya beragama Katolik Roma (Dekat sama Vatikan). Kerajaan semi-monarki mereka juga berlandaskan keyakinan pada Tuhan. Kehadiran Uskup Agung udah dari jaman dahulu kala. Salah satu tugasnya memang melantik pemimpin baru.

Nah, meskipun agamanya Mia sama Aiden itu islam, mereka tetap harus mengikuti kultur asli budaya di Alois alias kampungnya Aiden. Sekalipun ada Uskup Agung, ritual pelantikan mereka nggak ada hubungannya sama ritual agama.

Semoga infonya membantu dan nggak bikin salah paham, ya.

Isu agama memang sensitif. Perlu diingat kalau ini cerita fiktif dan penulis tidak pernah secara eksplisit condong ke salah satu agama manapun. Penulisnya suka memegang teguh keyakinan kerukunan antar umat beragama. Semoga readers juga.

luv luv luvvv....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top