49 | IMIGRAN (?)
Ternyata janjiku buat up hari Senin meleset.
Jadi aku langsung kasih 3 bab sampai Epilog.
***
Walaupun Mia telah mengikrarkan Sumpah Dokter dan lulus ujian sertifikasi dengan nilai membanggakan, bukan berarti Mia sudah jadi Dokter sesungguhnya. Tidak semudah itu.
Itulah mengapa Mia mensyukuri keputusan Aiden untuk mengajaknya nikah siri kemarin. Pernikahan resmi mereka ditunda. Penyebab utamanya juga karena Mia dan Abah. Abah menyuruhnya untuk mendapatkan STR (Surat Tanda Registrasi) –diterbitkan oleh Konsili Kedokteran Indonesia- sekaligus SIP (Surat Izin Praktik) –diterbitkan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI)- sebelum pindah ke Alois dan jadi Putri. Abah ingin pendidikan dan usaha keras Mia selama ini tidak berakhir sia-sia. Abah ingin anaknya jadi berguna meskipun tinggal di tengah-tengah masyarakat asing. Ditambah, Abah juga ingin Mia tidak dituduh melakukan malpraktik karena jika suatu saat ilmunya dibutuhkan, dia tidak punya izin praktik apa-apa.
Sekarang Mia sudah mengantongi semua izin yang ia perlukan. Izin-izin itu nantinya akan ia bawa ke Alois sebagai bekal untuk mendapat izin praktik sesuai ketentuan di sana. Bulan-bulan masa terakhirnya jadi WNI ia curahkan untuk mewujudkan syarat dari H. Moris. Selama itu pula Aiden setia mendampingi Mia. Suaminya itu memastikan kalau dirinya ada saat Mia membutuhkan dukungan moral di tengah keruwetan mendapatkan sertifikasi, persiapan pernikahan, sekaligus pelantikan. Ia mengagumi Mia karena cewek itu berhasil melalui semuanya tanpa jadi gila, padahal dia sendiri sudah cukup tertekan.
Kini Mia sudah resmi jadi Warga Negara Alois. Sayangnya semenjak pindah negara, menikah atau tidak menikah rasanya tidak berbeda!
Sudah satu bulan lebih mereka tinggal di le rouge, tapi jangankan sekamar, bertemu saja susahnya minta ampun!
Aiden sibuk dengan serah terima tugasnya sebagai Sovereign. Kerjaannya keliling Alois 24 jam selama tujuh hari. Sekalinya sedang di le rouge, ia pasti langsung mengurung diri di ruang kerja, satu-satunya orang yang boleh masuk hanya Alan dan Pangeran Bastien. Mia sendiri sibuk dengan pelajaran etika, sejarah, budaya, serta urusan keputri-putrian lainnya. Mereka sudah mirip pasangan ldr, tidak sempat merasakan rindu sama sekali karena tubuh dan pikiran terlanjur lelah ketika hari berakhir.
Belajar merupakan hobi Mia. Daya ingatnya bagus. Mau disuruh menghafalkan isi buku dan kamus sekaligus, dia pasti sanggup. Hasilnya, ia mampu menguasai bahasa Perancis dalam waktu beberapa bulan belajar secara intensif. Hanya saja lidahnya belum terlalu luwes, jadi bahasanya masih agak beraksen meski tidak parah-parah amat.
Hari Minggu. Tidak ada pelajaran apapun hari ini. Satu-satunya hari dimana Mia bisa bangun agak terlambat sebelum pergi kunjungan atau menghadiri acara amal. Sayangnya, mau seberapa keras-pun Mia mencoba atau seterlambat apapun ia pergi tidur malam sebelumnya, dia selalu bangun di jam yang sama. Setiap hari. Termasuk hari ini.
Aiden tidak terlihat dimanapun. Mungkin memang belum pulang. Mia tidur sendirian tadi malam, seperti malam-malam sebelumnya. Terkadang ia merasa hampa, tinggal di negeri asing sendirian dengan tekanan tanggung jawab berada di pundak. Suaminya tidak bisa menemaninya. Mia tidak keberatan. Ia tahu Aiden juga punya beban tanggung jawab yang tak kalah besar. Mereka berdua sama-sama ditempa di tempat terpisah agar siap memimpin sesegera mungkin. Mia juga tidak kecewa. Toh dia sendiri yang memilih takdir ini. Ia hanya kecewa karena tidak bisa mengatasi rasa sedih karena rindu ditinggal suami. Bagaimanapun mereka kan masih pengantin baru.
Dengan hanya mengenakan gaun tidur berbahan satin, Mia bangkit dari tempat tidur menuju balkon. Jarang-jarang dia bisa menikmati laut biru mediterania sepagi ini.
Tirai putih berkibar terkena angin laut. Mia memang sengaja membiarkan balkonnya terbuka karena ia merasa agak sesak semalam. Ia menyandarkan tubuhnya ke pagar balkon, memandang jauh ke horizon.
Tidak ada teman. Tidak ada hiburan. Tidak ada suami. Tidak ada waktu.
Semuanya menyesakkan.
Mia sadar kalau dia sudah berada di tengah jalan. Tidak ada jalan kembali. Ia bahkan sudah mempertimbangkan keputusan untuk menyerah pada cita-citanya jadi dokter forensik.
Ah, hati Mia sakit sekali kalau teringat cita-citanya itu. Ia ingin melepas dengan ikhlas, tapi kok rasanya berat sekali.
Ia juga rindu H. Moris dan Hj. Uway, bahkan Rara juga. Padahal dulu waktu masih sekolah di Surabaya, Mia tidak pernah merasakan rindu sama sekali kecuali kalau sudah kehabisan uang bulanan. Kali ini lain. Sejak menginjakkan kaki di Alois serta kewarganegaraannya berubah secara resmi, Mia selalu ingat keluarganya. Mereka tinggal di benua yang berbeda.
Mendadak air mata turun membasahi pipinya. Ia sudah tak bisa menahannya lagi.
Sepasang tangan besar melingkari tubuhnya dari belakang. Mia terkejut dan buru-buru mengusap air mata di wajah dengan punggung tangan agar Aiden tak sempat melihat kalau dia menangis.
"Hai, chéri." Aiden membenamkan kepalanya di ceruk leher Mia, menghirup aromanya dalam-dalam.
Mia mengangkat satu tangannya untuk mengelus kepala sang suami. "Hai, juga." Ia berusaha menarik senyum. Hatinya lega karena pagi ini bisa bertemu Aiden.
"Saya kangen sekali sama kamu." Suara Aiden teredam di leher Mia.
Mia berbalik agar bisa memandangnya.
Dahi Mia berkerut tak setuju saat melihat penampilan laki-laki yang sudah tak ditemuinya selama seminggu itu. Rambut Aiden berantakan, wajahnya lesu, kalau Mia tidak salah lihat, keriput di kedua ujung matanya makin dalam. Belum lagi rambutnya, astaga! Baru seminggu tidak berjumpa, rambut putih alias uban di kepalanya makin banyak. Mia sih tidak keberataan karena suaminya ini tipikal laki-laki sejenis 'makin berumur, makin seksi' dan 'makin matang, makin berkualitas'.
"Nggak tidur berapa hari?" Kini dahi Mia sudah berkerut. Ia cemas dengan kesehatan Aiden.
"Kok tau?" Pelukan di sekeliling tubuh Mia makin mengerat. Kalau sudah pulang begini, Aiden tidak ingin jauh-jauh dari Mia. "Tidur saya memang nggak nyenyak. Nggak ada kamu."
Bahu Mia merosot. Hatinya sudah sedih tadi. Melihat suaminya begini malah membuatnya makin sedih. "Hari ini ada jadwal kemana?"
"Ke parlemen. Gedungnya di Aragon sini. Kamu?"
"Sama. Di Aragon juga. Ada kunjungan ke yayasan."
"Selesai jam berapa?"
"Sore. Setelah itu saya kosong sampai besok pagi."
Senyum di wajah Aiden terbit. "Syukurlah. Saya juga kosong sampai besok pagi."
Mia ikut tersenyum, merasa kalau hari ini ia habis kejatuhan durian runtuh. Jarang-jarang mereka punya waktu kosong bersamaan. "Mau kencan?" Tawarnya langsung.
Aiden langsung menggeleng, "Saya mau semalaman sama kamu di kamar aja. Saya ragu kita punya waktu kosong lagi sampai hari pernikahan dan pelantikan minggu depan."
Ide bagus. Pikir Mia.
Aiden menundukkan kepalanya agar bisa mencium bibir sang istri. Ciuman itu awalnya manis. Mia membalas dengan antusias, membalik keadaan jadi lebih menggairahkan. Aiden mengangkat tubuh Mia agar mereka bisa pindah ke dalam kamar tanpa melepas ciuman. Ia khawatir kalau aktivitas mereka di balkon akan berakhir dengan Mia yang tanpa sengaja jatuh ke laut.
Selagi Aiden berjalan menuju tempat tidur, Mia melepas satu persatu kancing kemeja suaminya. Ketika Aiden meletakkan tubuhnya di atas tempat tidur mereka, gaun pendek Mia sudah terangkat sampai perut.
"Saya cuma punya waktu lima belas menit untuk siap-siap." Ujar Aiden di sela-sela ciuman mereka. Kini ia memposisikan tubuhnya di antara kedua kaki Mia.
"Cukup, kok." Mia menarik kemeja Aiden dari celana. Suaminya membantu untuk melepas kemeja mengganggu itu sebelum ia menurunkan celana dalam Mia. Kedua tangan Mia terangkat untuk menyentuh lengan Aiden dan bergerak ke atas sampai bahu. Ia menarik tubuh Aiden agar bisa menciumnya lagi.
Tonjolan di balik celana Aiden menunjukkan kalau suaminya itu sudah lebih dari siap. Tak butuh waktu lama untuk membuat Mia siap juga.
***
Sebelum hari ini, Mia tidak pernah dapat kesempatan untuk tahu tentang bagaimana respon rakyat Alois mengenai rencana pelantikan Aiden atau pernikahan Pangeran Alois itu dengan perempuan asing dari benua jauh.
Seharusnya dia sempat baca artikel atau menonton berita tentang dirinya di TV Nasional supaya tidak merasa begini.
Insiden yang melibatkan Aiden dan Bastien bertahun-tahun lalu masih meninggalkan luka di hati segelintir orang. Akibatnya, pelantikan Aiden menjadi isu paling sensitif di negeri ini. Belum lagi tentang pengantin Aiden yang merupakan orang asing. Seorang anggota kerajaan seharusnya dapat pasangan yang berasal dari Alois juga supaya bisa menurunkan darah Alois murni mereka. Idealnya sih begitu.
Mia merasa kalau gaun selutut berwarna kuning terang keluaran Gucci tidak bisa membuatnya lebih percaya diri. Kedua tangannya berkeringat di balik sarung tangannya. Ia melipat kedua tangan di atas paha, duduk dengan wajah kaku di sebelah ketua yayasan, Ny. Adalene. Sejak tadi ia mengamati perdebatan para wanita di kursi penonton. Mereka kira Mia terlalu bodoh untuk mengerti apa yang sedang mereka perdebatkan.
"Aiden bukan Pangeran, dia hanya pembunuh!"
"Jaga mulutmu! Pangeran Aiden tidak membunuh siapa-siapa!"
"Oh, ya? Bagaimana dengan Pangeran Bastien? Dia cacat seumur hidup gara-gara dirinya!"
"Ayolah, itu kan cerita lama! Bukankah Pangeran Bastien sendiri sudah mengonfirmasi tentang apa yang terjadi belasan tahun lalu itu!"
"Dia tidak pantas jadi Pangeran! Dia tidak bisa memimpin!"
"Pangeran Aiden adalah cucu tertua mendiang Pangeran Phillipe! Dia pantas! Yang tidak pantas adalah wanita asing di sana itu!"
Mereka menunjuk Mia yang duduk tegang di atas panggung. Perhatian semua orang kini tertumbuk padanya. Mia pintar mempertahankan ekspresi polosnya. Ia menjaga sikapnya agar tak terlihat kalau ia mengerti dengan isi perdebatan mereka.
"Dia hanya wanita bodoh yang mencari keberuntungan di sini dengan menikahi seorang Pangeran!"
Mereka semua berbicara dengan bahasa Perancis, seakan menganggap Mia cukup tolol untuk mengerti apa yang sedang mereka bahas di depan matanya.
Acara ini berlangsung tertutup. Tidak banyak media yang meliput. Namun Mia tahu kalau perdebatan mereka barusan pasti sudah terekam kamera. Hanya menunggu waktu sampai beritanya muncul di TV.
Ny. Adalene selaku pemilik acara-pun sepertinya tidak terlalu ambil pusing dengan keributan singkat yang baru terjadi. Mia merasa kalau dirinya sengaja diundang kemari untuk jadi bulan-bulanan masyarakat.
"Kita bisa keluar dari sini jika anda merasa tidak nyaman, Yang Mulia." Candence, sekretaris pribadi Mia yang mahir berbahasa Indonesia, berbisik dari belakang. Mia hanya menggeleng samar seraya tersenyum kecil. Ia mempertahankan posturnya untuk tetap tegap di hadapan para penonton. Mia tahu ia tak akan diberi kesempatan untuk membela diri, jadi dia bertahan. Ia tak akan membuat keluarga kerajaan malu hanya karena tersulut oleh perdebatan ibu-ibu di forum kecil begini.
Usai paduan suara anak-anak selesai menyanyikan lagu kebangsaan Alois dan satu lagu tradisional lain sebagai sambutan, Mia diajak berkeliling oleh Ny. Adalene.
Sepanjang acara itu, semua orang mengajaknya bicara dengan bahasa Inggris yang patah-patah (broken English). Mia-pun menjawab dengan bahasa Inggris pula. Hal itu membuat semua orang jadi leluasa untuk membicarakannya secara terang-terangan dengan Bahasa Perancis.
Tenang. Mia harus tenang. Kalau tidak begini, dia tak akan tahu apa saja gosip dan isu-isu yang terjadi di masyarakat. Anggap saja ia melakukan ini untuk membantu Aiden.
Di acara perjamuan, Mia dikenalkan pada semua istri bangsawan ataupun wanita-wanita yang punya kedudukan di Parlemen. Mereka semua menatap Mia dengan sebelah mata.
Perawakan Mia tidak setinggi wanita Eropa, itu jelas. Rambut Mia hitam. Kulitnya juga kuning langsat, bukannya putih pucat seperti kompeni. Para wanita sosialita ini menganggap cewek-cewek melayu tidak akan mendekati standarisasi mereka. Mereka sering mendenguskan kata-kata tak mengenakkan hati ketika berkenalan dengan Mia, menyayangkan pilihan buruk sosok sesempurna Aiden yang memungut istri secara random.
Jika saja Mia tidak ingat kalau dia-lah yang dipilih Aiden sebagai istri, mungkin Mia sudah menangis di pojokkan. Ia harus berusaha keras untuk tetap tenang demi menjaga harkat dan martabat keluarga kerajaan.
"Amelia." Mia menoleh saat seseorang menyentuh lengannya dari belakang. Ternyata Alizée. Penampilan adik kandung Aiden itu selalu sukses membuat Mia terkagum-kagum. Sama seperti kakaknya, Alizée dianugerahi gen di atas rata-rata, bahkan bagi ukuran Alois sekalipun. Hari ini ia mengenakan gaun putih berbelahan dada rendah dari Christopher Kane. Cantik sekali. Kontras dengan rambutnya yang gelap.
"Mademoiselle." Sapa Mia dengan senyum lebar. Ia merasa senang karena bertemu wajah familiar di acara ini. "Je pensais pas vous voir (Saya kira kamu nggak akan datang)." Kemarin Mia diberitahu oleh Candence kalau Alizée tidak suka hadir ke acara kumpul-kumpul sosialita berkedok acara amal ini.
"Je m'inquiète pour toi (Saya mencemaskan kamu)." Jawab Ali sambil memandang sekeliling dengan penuh arti. Yang ia maksud pastilah mulut-mulut julid sosialita Alois yang hadir di sini.
"Ah, ne vous inquiétez pas (Nggak usah cemas). J'y suis habituée, tu sais (Saya udah biasa, kok)." Mia sering dihujat akibat mulutnya yang pedas atau sikapnya yang barbar selama hidupnya di Indonesia, jadi dia sudah biasa.
Ali memandanginya sambil tersenyum tipis, "Je suis heureux d'entendre ça (Bagus, deh. Senang mendengarnya)."
Dari balik bahu Ali, seorang bocah laki-laki yang sedang duduk sendirian menarik perhatian Mia. Ia sempat mengamati wajahnya yang pucat sebelum bocah itu menunduk. Tak ada orang dewasa yang duduk semeja dengannya. Ibunya pasti berada tak jauh dari sini.
"Comment se passe la fête (Jadi, bagaimana pestanya)?" Pertanyaan Ali membuat fokus Mia kembali pada sosok adik iparnya itu.
Mia hanya tersenyum kecil sebelum menjawab, "Ce n'est vraiment pas si mal (Sebenarnya nggak buruk-buruk amat)." Entah kenapa ia merasa terusik dengan sosok bocah yang duduk tak jauh dari mereka. Akhirnya Mia mengintip lagi. Bocah itu kini meringis sambil memegangi dadanya. Insting Mia langsung mengambil alih. Ia berlari ke arah bocah itu.
Mia menjatuhkan dirinya hingga berlutut di depan si bocah. "Qu'est-ce que tu ressens (Apa yang kamu rasakan)?" Ia memegangi kedua pundak si bocah. Mia bersikap tenang, cemas membuat bocah itu ketakutan dan membuat sakitnya makin parah.
"Hey! What are you doing?" Seorang wanita tiba-tiba datang dan mengangkat tubuh bocah itu. Ia menatap Mia dengan pandangan tak suka.
"He's in pain (Dia kesakitan)." Mia masih tak bisa menghilangkan kecemasannya pada bocah yang kini menenggelamkan wajah di bahu sang ibu.
"Worry about yourself (Cemaskan saja dirimu sendiri)!" Kemudian wanita itu pergi.
Ali membantunya berdiri. Mia masih belum pulih dari keterkejutannya. Ia merasa kalau statusnya di sini tak lebih dari seorang imigran. Ia mengira kalau hinaan yang ia dapat sepanjang acara sudah cukup buruk, ternyata ia salah. Semua orang di sini nampaknya sedang berlomba untuk memperlakukan Mia dengan kasar.
"C'est la femme d'un homme qui a une galerie d'art dans le Aragon (Dia istri pemilik salah satu galeri seni di Aragon). Il possède une personnalité narcissique et il est très arrogant (Terkenal punya kepribadian narsis dan arogan). Ne soyez pas offensé (Semoga kamu nggak tersinggung)."
Tatapan Mia masih mengikuti punggung wanita itu yang makin menjauh, "Gue cuma khawatir sama anaknya." Gumam Mia tanpa sadar.
Belum sedetik Mia mengatakan itu, terdengar teriakan yang asalnya tak jauh dari tempat mereka berdiri. Ali dan Mia kompak saling berpandangan.
Semua orang langsung berkerumun ke tempat asal teriakan. Ali dan Mia juga ikut menyusul mereka, ingin melihat apa yang terjadi.
Seperti dugaan Mia, bocah yang tadi dilihatnya kini terkapar di tanah. Sang ibu berteriak-teriak minta dipanggilkan ambulans. Mia menyeruak di antara kerumunan. Sepatu hak tingginya sudah ia lepas agar bisa bergerak fleksibel. Ali membantunya untuk membuka jalan.
Mia berlutut di samping tubuh bocah itu untuk memeriksa denyut nadinya. Ia tak mengatakan apa-apa saat ia membuka ikat pinggang dan kancing baju si bocah.
"Qu'est-ce que tu fous (Kamu ngapain, sih)?" Sang ibu coba menarik tangan Mia dari anaknya. Ali menahan bahu wanita itu.
"Elle est docteur (Dia seorang dokter)." Ujar Ali. Wanita itu memandang Mia lagi. Wajahnya sudah tidak terlalu menunjukkan ekspresi permusuhan.
Mia menegakkan punggungnya. "C'est un infarctus (Ini serangan jantung). Nous ferions mieux d'appeler une ambulance (Sebaiknya panggil ambulans). Avez-vous un AED* (Ada yang punya AED)?" Cewek itu mengikat rambutnya asal-asalan dengan ikat rambut yang selalu ia kenakan sebagai gelang untuk jaga-jaga. Semua orang terkesiap ketika mendengar Mia berbicara pakai bahasa Perancis. Muncul kecemasan dalam diri mereka. Orang-orang saling berbisik, dan beberapa sudah memisahkan diri dari kerumunan. Mereka memilih pergi.
Satu-satunya orang yang dapat berfungsi dengan benar hanya Ali. Ia keluar dari kerumunan untuk menyuruh Candence menghubungi ambulans, sedangkan ia sendiri pergi mengambil AED yang biasanya disimpan di ruang kesehatan.
AED: Automated External Defibrillator. Sebuah alat medis yang dapat menganalisis irama jantung secara otomatis dan memberikan kejutan listrik untuk mengembalikan irama jantung jika dibutuhkan. Berfungsi untuk menolong orang yang mengalami henti jantung.
Mia bersiap untuk memulai CPR*. Ia meletakkan satu telapak tangan pada bagian tengah dada si bocah, lalu tangan lain diletakkan di atasnya. Ia mengeratkan jari-jari kedua tangan dan melakukan penekanan pada dada berulang kali. Sambil menekan, mulutnya tak berhenti bergumam untuk menghitung. Tindakan kompresi dada itu ia lakukan 100-120 kali tiap menit dan diikuti dengan bantuan napas buatan. Sesekali ia mengecek jam tangan, sebelum mulai melakukan kompresi lagi.
CPR: Cardiopulmonary Resuscitation (Resusitasi Jantung Paru). Langkah darurat pertolongan medis untuk mengembalikan fungsi napas dan sirkulasi darah di dalam tubuh yang terhenti.
Ali membelah kerumunan lagi untuk menyerahkan kotak AED pada Mia. Cewek itu langsung bergegas melepas semua pakaian si anak beserta sabuk yang mengelilingi pinggang. Dengan cekatan namun penuh kehati-hatian, Mia memasang dua lempeng elektroda ke dada si bocah sebelum menekan tombol analisis untuk mendapat informasi apakah si anak perlu diberi kejutan listrik atau tidak.
"Où est l'ambulance (Dimana ambulansnya)?" Tanya Mia tanpa menoleh.
"Encore en route (Sedang dalam perjalanan)." Jawab Candence yang berdiri di belakang Mia.
Alat AED memberi instruksi kalau si anak perlu diberi kejut listrik. Mia langsung menekan tombol 'shock'. Tidak ada tanda-tanda si anak akan segera sadar. Mia tak menyerah. Ia melakukan CPR lagi sebelum mengulang proses yang sama sampai bantuan medis tiba.
Semua orang memberi jalan pada tiga orang paramedik yang baru datang.
Mia langsung menjelaskan situasi si anak pada mereka. Tubuhnya sudah berpeluh deras. Kedua lengan dan bahunya pegal karena habis digunakan melakukan CPR tanpa henti. Hasilnya, denyut anak itu sudah kembali tepat sebelum paramedik datang. Mia sampai jatuh terduduk saking leganya.
Ali memandangi Mia yang kelelahan dengan senyum lebar terkembang di bibir.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top