47 | FIRE

Sosok itu tersenyum lebar, memamerkan deretan giginya yang berbaris rapi.

"Lo bawa temen berapa, sih?" Tanya Mia pada Clara. Kalau memang dr. Irwan dan Clara membayar banyak orang untuk mengurungnya di sini, Mia akan merasa terharu sekali. Tandanya mereka telah bekerja keras demi dirinya. Logika Mia agak kepelintir sejak minum kopi GHB.

"Kamu siapa? Mana dr. Irwan?" Clara justru terlihat panik.

"Cowok kamu lagi kekunci di luar." Mendengar kalimat itu, Clara langsung berlari ke arah pintu. "Kamu Amelia Bintang Putri Moris, kan?" Kini sosok itu memandang Mia.

Mia mengernyit heran, "Lo nyebut nama lengkap gue kayak lagi ngabsen aja. Lo siapa?"

"Aku penyelamatmu. Khusus dikirim dari langit untuk menyebar kebaikan."

Kerut di dahi Mia makin dalam. "Lo Janesa?" Meski ia tidak bisa melihat sosok yang berdiri di depannya itu dengan jelas, Mia cukup yakin kalau cowok tengil itu pastilah Janesa yang pernah diceritakan oleh Aiden.

"Si Pangeran udah cerita, ya?"

"Udah. Buruan turunin gue!"

Mia dapat mendengar Janesa mendecakkan lidah, "Belum resmi jadi Putri udah berani merintah-merintah. Huft, nasib buruh ya begini. Kalo nggak disuruh-suruh ya nggak makan." Gerutunya sambil bekerja. Mia baru akan merespon ketika tiba-tiba ia terjatuh menghantam lantai dengan kepala mendarat lebih dulu.

"Aduh!" Ia memegangi kepalanya yang mendadak benjol.

"Oops." Janesa membantunya melepaskan sisa-sisa tali tambang yang masih melilit pergelangan kaki.

"Kaki gue mati rasa, coy! Bentar!" Mia membentak Janesa yang mendadak menarik tubuhnya agar lekas bangkit. "Gue selonjoran bentar."

"Nggak bisa! Si penculikmu bisa dateng sewaktu-waktu. Tadi aku cuma ngunci dia dari dalem pas dia keluar buat ngecek listrik."

"Om Aiden mana? Dia pulang ke Surabaya?" Mia tak perlu menebak-nebak kalau Janesa ini pastilah kiriman dari Aiden.

"Lagi perjalanan kesini."

Mia mendesah lesu, "Hadeh, tuh dua orang pasti dimampusin sama om Aiden." Suaranya terdengar cemas. Dalam kegelapan, Janesa dapat melihat jejak kegelisahan pada diri Mia. Hal itu membuatnya penasaran sekaligus tertarik.

Lampu menyala. Sekeliling jadi terang benderang.

"Waktu habis." Janesa menarik tubuh Mia lagi, setengah menyeretnya agar segera bangkit berdiri.

Kini Mia dapat memperhatikan sosok Janesa lebih jelas. Cowok itu mengenakan setelan warna hitam dari kepala sampai kaki, mirip maling. Ia pakai topi, kaos lengan panjang, celana kargo, serta sepasang sepatu combat boots. Tubuhnya jangkung. Kulitnya putih pucat seperti jarang kena sina matahari. Hidungnya mancung dan bibirnya tipis kemerahan. Aduh, bisa dibilang Janesa ini cantik sekali. Kalau rambutnya panjang mungkin bakal disangka perempuan. Belum lagi ia memasang empat anting kecil yang berjejer di cuping telinga kanannya.

"Eh, apaan sih?" Janesa menepis tangan Mia yang meraba dadanya tanpa permisi.

"Mastiin doang. Lo cewek apa cowok."

Kedua mata Janesa yang tadinya menunjukkan sorot ketengilan mendadak memicing tak suka. Mia hanya meringis tanda penyesalan.

Mia baru akan membuka mulut saat Janesa membekapnya, "Ngobrolnya ntar. Badanmu berat. Jalan sendiri lah!"

Mia langsung menepis tangan Janesa yang tertutup sarung tangan. Ia gatal sekali ingin mengatainya, tapi rasanya kok tidak tahu diri amat. Sudah repot-repot diselamatkan malah dihujat.

Cowok itu memapah Mia agar bisa berjalan. Kaki-kaki Mia serasa berubah jadi ubur-ubur saking tak ada tenaganya. Tubuh Mia masih kepayahan kalau harus disuruh bergerak terlalu banyak.

"Kamu siapa?!" Hardik dr. Irwan. Ia menenteng sebuah linggis. Linggis itu tadinya ia gunakan untuk mencungkil pintu sampai terbuka agar ia bisa masuk. Kalau sekarang pasti digunakan sebagai senjata.

Clara berdiri agak jauh dari mereka. Ekspresinya tegang.

"Oh, hai!" Janesa mendorong tubuh Mia agar cewek itu bisa berpegangan pada dinding di dekat mereka. "Kamu pasti dr. Irwan, ya? Kenalin, namaku Janesa." Cowok itu mengulurkan tangan disertai wajah ramah.

"Gimana kamu bisa menemukan tempat ini?" dr. Irwan tak mengindahkan basa-basi Janesa barusan.

"Lewat satelit." Janesa menunjuk langit-langit. "Aku mau bawa istri klienku pulang. Berhubung aku cinta damai, jadi aku minta dengan hormat kamu minggir sedikit supaya bisa ngasih kami jalan."

"Istri?" Ulang dr. Irwan.

Janesa menoleh pada Mia, "Mereka belum tau?"

Mia mendengus, "Perlu emang?"

"Ya... terserah, sih. Aku cuma ngerasa bersalah aja karena jadi orang pertama yang ngabarin mereka." Janesa menggaruk pelipisnya.

"Kamu kiriman si bule itu?" Tanya dr. Irwan lagi.

"Yup." Janesa mengeluarkan sebuah pisau lipat dari sepatunya. Ia memainkan pisau itu di antara jemari. Tak ada ekspresi tertentu di wajahnya. Rautnya tengil sekali. Seakan semua ini hanya permainan yang dipilihnya ketika dilanda kebosanan.

"Nggak usah bunuh-bunuh orang!" Kedua mata Mia membulat ngeri melihat benda tajam di tangan Janesa.

"Suami kamu yang minta." Balas Janesa tanpa memandangnya. "Becanda, deng. Aku nggak tegaan orangnya." Ia memasukkan pisau lipat itu kembali. Senyum tengil yang mengesalkan itu muncul lagi.

Di antara kengeriannya, Mia geleng-geleng kepala. Dia tak menyangka kalau sosok Janesa yang selama ini ia bayangkan sangat berbeda jauh dengan kenyataan.

Tampang mirip boyband begitu mana mungkin bisa bunuh orang, iya kan?

"Kamu kira bisa semudah itu keluar dari sini?" Lagi-lagi dr. Irwan membentak.

"Gampang aja, ah. Villa ini nggak ada pengamannya, kok." Nada Janesa jelas-jelas menyepelekan. "Minggir, deh. Biar kita semua bisa istirahat. Kepalaku pusing ditelponin mulu sama bule Alois itu. Asal kalian tau, suaminya lagi perjalanan kemari bawa tukang pukul banyak banget."

Bukannya mundur atau kabur, dr. Irwan justru maju ke depan sambil mengacungkan linggis. Agaknya dr. Irwan sudah habis kesabaran. Tubuh Janesa lebih gesit. Ia dapat menghindar tanpa terlalu berusaha. Tubuhnya hanya meliuk sedikit. Mia hampir bertepuk tangan karena takjub kalau saja tubuhnya tidak selunglai ini.

Mia melangkah mundur untuk menjauh. Ia menyeret kaki, berusaha bergerak secepat yang ia bisa. Melihat dr. Irwan bawa-bawa linggis cukup membuatnya keder. Ia mendekat ke arah Clara dengan susah payah. Sayang, target utama dr. Irwan bukanlah Janesa. Melihat Mia menghindar, ia menarik rambut bagian belakang cewek itu sampai tubuhnya terjungkal ke belakang.

"Argh!" Kepala Mia serasa dikuliti begitu rambutnya ditarik.

Janesa reflek mencengkeram tangan dr. Irwan yang dipakai untuk menarik rambut Mia sebelum memelintirnya tanpa ampun. Meski dr. Irwan sudah berteriak kesakitan, Janesa masih memelintir lengan cowok itu sampai terdengar bunyi tulang berderak.

"Stooppp!" Clara memekik lalu berlari ke arah dr. Irwan yang kini sudah meringkuk di lantai dengan posisi lengan agak ganjil.

"Kamu nyakitin istri klienku. Lebih baik tanganmu yang kupatahkan daripada kepalaku yang melayang." Janesa setengah bergumam. Ia tersenyum kecil.

Tidak puas hanya dengan mematahkan lengan dr. Irwan, Janesa meraih pergelangan kaki cowok itu dan memelintirnya juga hingga dr. Irwan berteriak parau. Tak ada jejak rasa bersalah sedikitpun dari sorot matanya. Justru ia melakukannya sambil menyeringai lebar, seakan sudah menunggu saat-saat terdengar suara retakan tulang. Janesa menguasai anatomi tubuh manusia, dia tahu tulang rawan mana yang bisa dilukai dalam sekali percobaan. Puas membuat dr. Irwan terkapar di lantai, ia berjalan menghampiri Mia yang sedang mencoba untuk berdiri. "Kita harus cepat pergi. Aku masang bom di dapur." Ujar Janesa seraya meletakkan satu lengan Mia di bahunya.

"Hah?" Mata Mia membulat ngeri. "Gila lo, ya?!"

"Kalo mereka mati, upahku tambah gede. Suamimu sendiri yang janjiin begitu."

Mia mendorong tubuh Janesa menjauh.

"Clara! Ayo keluar dari sini!" Mia berjalan tertatih menuju Clara yang sedang menangisi dr. Irwan.

"Jahat!" Seru Clara dengan wajah basah oleh air mata.

"Ntar aja ngomongnya! Kalo lo nggak mau mati konyol di sini, kita harus keluar. Ayo!" Kini Mia menarik tangan Clara namun ditepis.

Tiba-tiba tubuhnya diangkat. Janesa meletakkannya di atas bahu. Mia berontak heboh.

"Turunin gue! Kita harus keluarin mereka dari sini!" Mia berteriak meski sia-sia. Tubuhnya sudah dibawa keluar sampai teras. "Biar gue yang bawa mereka. Gue yang bakal tanggung jawab. Upah lo bakal tetap dibayar penuh! Turunin gue, bangsat! Lo nggak denger gue? Dasar psycho!!"

Janesa melemparnya ke tanah berumput. Mia sibuk memaki karena pinggulnya nyeri.

"Kamu kenapa, sih? Mereka itu orang-orang yang nyulik kamu! Kenapa masih mikirin keselamatan mereka?!"

Ucapan Janesa tertelan oleh suara ledakan besar dari arah bangunan belakang. Mia terkejut bukan main. Lain halnya dengan Janesa yang tetap bergeming sambil menatap Mia.

"A-api!" Mia bangkit berdiri dan berniat masuk ke dalam rumah lagi. Janesa lebih dulu mencekal lengannya. Mia panik. Sekarang ia bisa melihat api menjalar dari semua jendela. Lampu villa padam. Namun berkat api besar yang menari-nari dari dalam bangunan, Mia bisa melihat sekeliling.

"Kita punya banyak waktu untuk pergi dari sini. Biarkan mereka." Wajah tengil Janesa sudah hilang. Kini raut wajahnya berganti datar dan dingin. Tak berperasaan.

Mia menepis tangan Janesa. Cewek itu menatapnya penuh benci.

"Kalo mau jadi monster, jangan ngajak gue, sialan!" Desisnya marah sebelum berlari tergopoh masuk ke dalam rumah.

Janesa mendengus. Ia memandangi bangunan yang perlahan dilalap api. Ia hanya berdiri di sana. Menunggu.

***

"CLARA!" Seru Mia keras-keras. Bagian dalam villa sudah dipenuhi asap tebal yang menyesakkan paru-paru. Ia memaksa kakinya untuk terus bergerak, tak memedulikan rasa pusing yang menjalari kepala. Jantungnya berdegup tanpa aturan. Fokusnya hanya menemukan Clara.

Orang yang dicarinya masih berada di tempat yang sama. Clara nampak sedang sibuk mengurusi lengan dr. Irwan yang patah. Ia berusaha melakukan pertolongan pertama dengan memasang lipatan majalah pada bagian yang cidera agar tulang tidak bergerak. Kemudian ia melilitnya dengan robekan kain yang entah ditemukan dimana.

"Clara!" Mia mencengkeram bahu Clara, namun ditepis. Cewek itu tak menyerah. Ia tak memedulikan dr. Irwan yang berteriak pilu karena kesakitan. "Kita harus keluar sekarang! Bangunannya mau runtuh!"

Belum lima detik Mia mengatakannya, lalapan api sudah mulai meremukkan pilar di seberang ruangan. Api sudah menjalar cepat menuju bangunan utama. Suara retakannya membuat Mia panik.

"Lo bantu gue!" Mia mengambil alih tubuh dr. Irwan yang masih tak berdaya akibat lengan dan kaki dipatahkan oleh Janesa. Rasa sakitnya pasti melumpuhkan otak hingga membuatnya tak dapat bergerak. Clara membantu Mia untuk memapah dr. Irwan. Beberapa kali Mia terjatuh akibat otot dan sendinya tidak sekuat pompaan adrenalin. Clara ikut roboh karena tak mampu menjaga keseimbangan sekaligus menahan bobot dua orang.

"Lo pasti bisa! Selamatkan diri kalian!" Mia mendorong bahu Clara saat dia mulai kehabisan tenaga. Kepalanya terlalu pusing, paru-parunya juga sesak oleh asap.

Clara batuk-batuk karena asap mulai mengelilingi mereka. Udaranya pekat dan terasa amat panas. Clara mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk mencari jalan keluar yang terdekat. Penglihatannya terbatas karena asap tebal.

"Itu pintunya!" Clara menoleh ke arah Mia yang setengah terkapar di lantai. "Mia!"

Mia mengangkat kepala, "Badan gue nggak bisa support. Lo duluan aja."

"Nggak! Kita keluar bareng!" Ia meletakkan tubuh dr. Irwan di lantai. Cowok itu melenguh kesakitan.

"Gue nggak bisa jalan. Lo duluan aja bawa si kampret ini keluar." Mia batuk-batuk, paru-parunya terasa makin sesak.

Clara kebingungan. "Tapi-"

"Udah, ah. Gue lagi pengen jadi hero buat nyelamatin lo berdua." Mia bekerja keras untuk mempertahankan kesadarannya. "Sumpah kopi GHB lo efeknya nggak ilang-ilang. Makin pening pala gue, sialan." Gumamnya.

"Aku bisa bawa kalian berdua. Ayo! Jangan tidur dulu!"

"Kelamaan. Lo mau kita bertiga mati di sini? Mending lo keluar bawa cowok lo. Cari bantuan! Jangan deket-deket cowok psikopat yang tadi!"

"Mia..." Clara mengusap air mata dengan lengan bajunya. Ia ketakutan setengah mati. Bahunya sampai gemetar karena menahan panik.

"Udah sana! Gue mau tiduran bentar. Pusing." Selang berapa lama, kepala Mia terkulai di lantai.

"MIA!!" Pekik Clara.

***

Janesa memandangi jam sakunya. Jam itu berlapis emas 24k. Modelnya vintage. Ini jam saku favorit Janesa yang selalu ia bawa kemana-mana karena nilai historisnya. Rantai tipis jam saku itu saling bergesek ketika Janesa mengumpulkannya dalam genggaman. Ia menghela napas berat sebelum memasukkan jam itu ke dalam saku.

Bangunan itu sudah separuh hancur dilalap api. Mia belum keluar juga. Padahal apinya makin menggila dan membumbung di angkasa, menerangi hutan gelap di sekitarnya.

Suara ribut-ribut yang sejak tadi ia dengar dari kejauhan makin mendekat. Ketika ia menoleh, banyak mobil sudah berhenti di dekat villa yang terbakar. Semua penumpangnya turun. Suasana yang tadinya sunyi, sekarang mendadak ramai.

"Akhirnya datang juga." Janesa menepuk tangannya sekali begitu melihat Aiden turun dari mobil. Pangeran Alois itu memegangi kepalanya dengan wajah panik.

"Where is she (Dimana dia)?" Pandangan Aiden tak lepas dari bangunan yang terbakar.

"Inside (Di dalem). Refused to be saved by me (Menolak buat diselamatkan)." Sahut Janesa ringan.

Tanpa pikir panjang Aiden langsung berlari ke arah bangunan yang terbakar hebat. Semua anak buahnya mengikuti.

"Hai, cantik." Janesa menyeringai kecil saat melihat Lisa berdiri gelisah di dekatnya.

"Kuharap kamu sudah menelepon pemadam kebakaran." Suara Lisa terdengar amat dingin menusuk.

Janesa hanya memiringkan kepalanya sedikit. Ia memandangi Lisa dari kepala sampai kaki dengan tatapan menilai.

"Kalau miss Amelia tidak selamat, kupastikan kamu juga akan habis." Desis Lisa penuh dendam kesumat. Asisten Aiden itu dapat cepat menduga kalau sumber kebakaran ini pasti karena ulah Janesa.

Janesa hanya mengerucutkan bibir. Ia tak merasa perlu menjawab karena dua unit mobil pemadam kebakaran telah tiba. Lisa belum bisa menghela napas lega kalau ia tak melihat dengan mata kepala sendiri istri bosnya keluar dari villa itu hidup-hidup.

"Mereka pasti selamat." Janesa memasang helm ke kepalanya. "Perhitunganku belum pernah meleset, kok. Aku tepat waktu." Ia mengedipkan sebelah mata pada Lisa sebelum menurunkan kaca helm. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia berjalan kaki menuju kegelapan hutan, dimana motornya menunggu.

***

Mia langsung menyadari sedang berada dimana ia sekarang tanpa perlu membuka mata terlebih dahulu. Bebauan khas rumah sakit memenuhi indra penciumannya. Ia menghela napas dalam-dalam, menikmati sambutan kehidupan.

"Amelia." Aiden mencondongkan tubuhnya ke arah Mia yang sedang terbaring di atas ranjang rumah sakit.

Ingatan tentang kejadian terakhir yang menimpanya berkelebatan di kepala. Mia membuka kedua matanya perlahan, memberikan kesempatan pada diri sendiri untuk beradaptasi dengan cahaya. Titik-titik buram perlahan terbentuk dan menjadi fokus. Raut khawatir Aiden jadi hal pertama yang dilihatnya.

"Clara?" Mia berhasil mengeluarkan suara walaupun parau.

"Di ruangan sebelah." Jawab Aiden datar. Ia tak mengerti kenapa istrinya malah memikirkan orang yang menculiknya saat pertama kali membuka mata.

"Si Irwan?" Tanya Mia lagi.

Rahang Aiden mengeras. Melihat reaksi Aiden membuat Mia jadi gelisah.

"Kita cerai kalo om bunuh dia. Saya nggak becanda." Ancamnya.

Aiden tertegun.

"Saya nggak mau punya suami pembunuh." Desis Mia sungguh-sungguh. Pengakuan Janesa tentang permintaan Aiden untuk melenyapkan nyawa seseorang membuatnya terus kepikiran.

"Dia belum mati." Sahut Aiden sambil menekan emosi agar tak meluap.

Mia menghela napas lega. "Kalo mau bales dia, lebih baik om buat dia dipenjara. Hukuman yang dia terima nggak sepadan dengan kesalahan yang dia buat."

"Nggak sepadan?" Aiden menegakkan tubuhnya. Sekarang Mia dapat melihat salah satu lengan Aiden yang tertutup perban. "Dia menculikmu!" Lanjut Aiden.

"Janesa udah matahin tangan-kakinya, hampir membakar dia dan Clara hidup-hidup, masih kurang?!" Balas Mia setengah menghardik. Kekhawatirannya tentang luka di lengan Aiden sudah menguap. Ia lebih mengkhawatirkan dua nyawa manusia yang terancam melayang di tangan anak buah Aiden. Mendadak kepalanya berdenyut. Ia memegangi pelipis dengan tangan yang dipasangi infus.

"Mana yang sakit?" Ekspresi Aiden berganti dengan kecemasan. Ia menekan tombol di sebelah tempat tidur untuk memanggil dokter. Mia menurunkan tangan Aiden yang menyentuh dahinya.

"Serahkan Irwan ke polisi. Jangan melakukan hal ekstrim buat ngatasin masalah sepele kayak gini. Janji, ya?" Mia menggenggam tangan Aiden. Wajahnya pucat pasi.

"Masalah sepele katamu?" Ulang Aiden tak percaya.

Pintu ruangan dibuka oleh Lisa. Dokter dan perawat mengekor di belakangnya. Aiden langsung menyingkir untuk membiarkan Mia diperiksa. Tidak. Bukan hanya menyingkir. Aiden langsung keluar dari ruangan dengan langkah lebar. Lisa hanya memandangi punggung Aiden yang menghilang di balik pintu. Ia hampir yakin kalau Aiden sedang membutuhkan tempat yang jauh dari Mia untuk meluapkan perasaan meledak-ledaknya.

Usai memeriksa keadaan Mia, dokter dan perawat keluar dari ruangan. Tak ada masalah berarti pada tubuh Mia selain kadar GHB dalam darahnya yang hampir selesai dinetralisir. Sekarang hanya ada Lisa di sana. Asisten Aiden itu sedang duduk di kursi samping tempat tidur sambil mengupas apel untuk Mia.

"Apa yang terjadi kemarin?" Sandaran kepala Mia sudah ditinggikan, jadi sekarang ia bisa duduk dengan nyaman.

"Pemadam datang tepat waktu. Janesa yang menghubungi mereka jauh sebelum dia memasang bom."

"Kenapa?"

"Jarak villa itu dengan pemadam kebakaran terdekat sangat jauh. Dia memperhitungkan segalanya. Hanya jaga-jaga jika terjadi sesuatu di luar rencana."

Maksudnya Mia yang bersikukuh menyelamatkan para penculiknya dari dalam villa yang terbakar.

"Terus tangan om Aiden kenapa?"

Pisau yang sedang mengupas kulit apel di tangan Lisa berhenti bergerak. Ia memandang Mia lekat-lekat, ragu apakah harus memberitahunya atau tidak.

"Ceritakan." Ujar Mia ketika mendapati raut penuh keraguan di wajah cewek blasteran itu.

Lisa menelan ludah sebelum memulai, "Mr. Delavega menyelamatkan anda. Tangannya begitu karena luka bakar. Kata dokter lukanya nggak parah, pasti sembuh dalam beberapa hari."

"Yang nyelamatin gue bukan petugas pemadam kebakaran?"

Lisa menggeleng, "Pemadam baru datang setelahnya. Mr. Delavega sangat panik sampai tidak memedulikan hal lain. Beliau nekat masuk ke dalam villa itu untuk membawa anda keluar. Saya lihat beliau menangis waktu dalam perjalanan ke rumah sakit, benar-benar takut kehilangan anda."

Mia memalingkan wajah untuk menatap pigura di dinding. Perasaannya berkecamuk.

"Clara dan dr. Irwan selamat bukan karena Mr. Delavega punya belas kasihan pada mereka. Beliau hanya terlalu cemas dengan keadaan anda sampai tidak sempat memikirkan apa yang harus dilakukan pada kedua orang itu." Lanjut Lisa lagi.

"Ngirimin psikopat kayak Janesa nggak akan menyelamatkan siapa-siapa. Justru karena ulahnya kami hampir mati terpanggang di dalam villa." Sahut Mia datar.

Lisa tak berani membantah. Meminta bantuan Janesa merupakan idenya pertama kali.

***



Yang masih suka Janesa setelah baca part yang ini, fix selera kalian memang nggak biasa.

Om Aiden lagi kacau banget perasaannya. Maklumin ya dia ngelipir dulu buat netralin emosi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top