46 | KIDNAP

Ini part serius, ya.

Nggak ada uwu-nya. Nggak ada ketawanya.

*tampang penulisnya juga serius*

Selamat baca!

***

Kepala Mia terasa sedang diombang-ambing oleh kesadaran. Sebentar-sebentar kelopak matanya bergerak-gerak, lalu ia mengerjap. Segala yang dilihatnya nampak buram. Ia masih lelah.

"... udah gila! Tunangannya bukan orang sembarangan!" Samar-samar ia mendengar perdebatan.

"Kalo bukan karena pelacur ini, aku nggak akan dipecat dari rumah sakit! Karirku hancur karena dia!"

"Tapi nggak harus kayak gini, kan? Kalau sampai kita tertangkap-"

"Nggak akan tertangkap selama kamu nurut apa kataku!"

Kemudian suara tangisan. Mia familiar dengan suara ini, tapi pikirannya sedang tidak pada tempatnya. Mia lelah. Dia masih ingin tidur lebih lama.

***

Aiden melempar hpnya sembarangan ke atas meja. Lisa terlonjak karena bunyi retakan permukaan meja bertemu hp. Bosnya itu benar-benar kalut. Sudah dua jam mereka mengudara menuju Indonesia, namun Janesa belum juga bisa dihubungi.

Sebenarnya Lisa paham bagaimana cara kerja Janesa. Cowok itu tidak akan mau diganggu atau diburu-buru.

Aiden tak bisa tenang. Dia tak sabar sama sekali.

Setiap detik yang ia habiskan di sini terasa sia-sia jika ia tidak tahu dimana istrinya berada. Aiden berjalan hilir mudik dari ujung kabin ke ujung satunya. Lisa tidak dapat berbuat banyak. Salah-salah bersikap, Aiden bisa makin kalap. Ia cukup mengenal bosnya itu hingga tahu sikapnya yang temperamental. Dia tidak segan-segan menyingkirkan apapun atau siapapun yang menghalanginya.

Bagi Lisa, sikap Aiden dulu lebih mengerikan. Baru beberapa bulan belakangan ini saja bosnya mendadak jadi jinak. Berkat siapa lagi kalau bukan Mia.

Dan sekarang si tirani mengerikan perlahan keluar dari tempat persembunyiannya. Hanya tinggal menunggu waktu sampai Aiden memutuskan untuk menyuruh semua orang melakukan tindakan ekstrim. Penyebabnya juga sama.

Mia.

***

Ketika Mia membuka mata, Clara adalah orang pertama yang dilihatnya. Cewek itu sedang mengganti cairan infus. Tubuh Mia terasa masih lumpuh, namun kesadarannya perlahan kembali. Ia menghirup napas dalam-dalam, mengisi ulang paru-parunya.

"Mia?" Menyadari tawanannya sudah sadar, Clara duduk di tepi tempat tidur. Ia mengecek denyut nadi di leher Mia.

"Berapa lama gue teler?" Suara Mia sudah amat parau. Lidahnya seperti habis ditaburi pasir.

"Tiga puluh enam jam. Haus?" Clara mengambil gelas dari atas nakas. Ia menyelipkan sedotan di antara bibir Mia yang pucat. Tawanannya minum dengan rakus. Air dalam gelas ia tandaskan dalam waktu singkat.

"Kepala gue pusing banget. Lo kasih gue dosis GHB* berapa banyak?" Mia mengangkat tangannya untuk memegangi kepala, namun gerakannya tertahan karena ia baru menyadari kalau kedua tangannya diikat erat oleh duct-tape hitam. Ia mendenguskan tawa kecil.

GHB: Gamma Hydroxybutyrate. Sering dikenal dengan istilah Gamma-Oh/Nitro Biru/G/Fantasy/dll. Tidak berbau dan tidak berwarna. Jenis obat anti depressan yang biasanya digunakan untuk pengobatan gangguan tidur. Jika disalahgunakan, bisa menghilangkan kesadaran orang yang meminumnya. Biasanya dicampur dengan minuman beralkohol untuk menjerat korban pemerkosaan. Efeknya, si korban menjadi lemah, hilang kesadaran, bahkan 'lupa' dengan apa yang terjadi padanya. Mia terlambat menyadari kopinya diberi GHB karena rasa pahitnya tersamarkan.

"Kamu tau darimana itu GHB?" Clara tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Dia memang sejak dulu menyadari kalau Mia ini salah satu orang tercerdas yang pernah dikenalnya, tapi sampai tahu jenis obat bius yang bahkan tidak memiliki bau dan warna, itu luar biasa.

"Nebak aja gue. Kopinya pahit banget. Nggak kayak kopi biasanya. Tapi gobloknya kok gue doyan." Gerutunya. "Si Irwan mana?" Ia melirik tiang infus di sebelah tempat tidur. Kantong infusnya terhubung dengan lengan Mia.

"Lagi beli makanan." Clara yang sengaja memberinya cairan infus untuk memastikan tubuh Mia mendapat asupan nutrisi dan cairan yang cukup lewat infus selama masa-masa 'teler'nya.

"Terus kita lagi dimana?" Mia memandang sekeliling. Mereka sedang berada di dalam sebuah kamar. Ruangannya tidak terlalu luas. Cahaya matahari menyelinap masuk lewat celah-celah kayu yang disegel ke jendela.

"Jauh. Nggak akan ada yang bisa menemukan kita di sini."

"Lo dijanjiin apa sama Irwan?"

Tatapan Clara menerawang, "Kami akan menikah di luar negeri kalau dia sudah menyelesaikan dendamnya sama kamu." Mia memandangi Clara dengan separuh kesadaran yang tersisa.

"Segitu cintanya lo sama dia?" Tanya Mia.

Clara mengangguk pelan. Mia menghela napas berat. Tak ada gunanya menyadarkan Clara. Kalau sudah jatuh cinta, otak manusia pasti jadi bebal. Susah dinasehati. Pandangannya hanya fokus pada pasangannya. Sekalipun pasangannya adalah monster, selama masih ada cinta, maka mereka akan tetap bertahan. Sama halnya dengan Clara saat ini. Mau secerdas apapun dia, jika sudah terjebak cinta buta, apalagi yang dicintainya itu adalah sosok manipulatif macam dr. Irwan, tak akan ada yang bisa menyadarkannya kecuali karena kemauan Clara sendiri.

"Gue masih haus. Tolong ambilin gue minum, ya?" Ujar Mia lagi. Clara mengangguk sebelum ia bangkit berdiri dan keluar dari ruangan.

Mia coba menggeliat. Dia perlu waktu agar tubuhnya sembuh dari kelumpuhan. Sendi dan ototnya masih lemah. Bahkan untuk menggerakkan kepala, Mia butuh tenaga ekstra.

Saat ini ia sedang berada di atas ranjang kecil. Sama seperti kedua tangannya, kaki-kaki Mia juga diikat dengan duct-tape hitam. Jika dalam keadaan normal, Mia percaya diri untuk bisa lolos dengan mudah. Mau diikat duct-tape berapa lapis pun, Mia bisa melepaskan diri. Ia tinggal mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi lalu menurunkannya dalam sekali hentak dengan membuka kedua sikunya lebar-lebar sampai duct-tape rusak.

Itu jika keadaan fisik Mia masih prima.

Dengan tubuh lemah begini, Mia tak mungkin bisa melakukannya. Dia perlu putar otak agar bisa lolos dari sini.

Clara masuk lagi ke dalam kamar tak lama kemudian. Kali ini ia membawa segelas besar air. Gelas itu terbuat dari plastik. Jaga-jaga untuk menghindari kemungkinan Mia memecahkan gelasnya dan dijadikan senjata. Clara tak mau repot dengan kenekatan Mia.

"Gue bosen banget. Bisa minta tolong ambilin buku bacaan buat gue? Buku apa aja, deh." Ujar Mia saat Clara sudah berdiri di tepi ranjang. Cewek itu mengernyit. Untuk ukuran tawanan, Mia ini terlalu banyak maunya.

"Kamu lagi nggak dalam posisi bisa request macam-macam." Sahut Clara. Ada kekesalan dalam nada suaranya.

Mia mendecakkan lidah dengan mata merem-melek, "Lo sama Irwan mau apain gue terserah, deh. Gue pasrah. Asal kalian biarin gue menikmati masa-masa hidup gue selama di sini. Gue cuma minta buku doang, bukan minta dilepasin."

Clara menghela napas panjang. Ia menyerahkan gelas air pada Mia, lalu berbalik pergi. Mungkin mencari buku bacaan untuk Mia.

Kepergian Clara dimanfaatkan Mia untuk menumpahkan airnya ke pergelangan tangan yang terikat. Ia membiarkan air merembes di atas tempat tidur. Perekat pada duct-tape perlahan akan hilang jika dibasahi terus menerus. Agar pekerjaannya cepat selesai, Mia membasahi ikatan sambil merenggangkan kedua tangan. Baru beberapa menit mencoba, Mia sudah kelelahan. Kepalanya mendadak pusing. Efek obat bius dalam tubuhnya belum hilang sepenuhnya.

Bangsat memang si Irwan. Berapa milligram dosis GHB yang ia masukkan ke dalam kopi?

Ikatan Mia sudah hampir terlepas saat kesadarannya hilang secara mendadak.

***

Pekerjaan untuk mengurusi masalah orang-orang kaya selalu membuat Janesa bersemangat. Sebut saja Gie sebagai contohnya. Cewek itu sering bertingkah hingga membuat keluarganya sakit kepala. Akibatnya, jasa Janesa jadi dibutuhkan. Melacak Gie, membersihkan nama Gie dari berita miring, menjadi mata-mata untuk mengawasi orang yang Gie targetkan, semuanya memacu adrenalin. Sudah bertahun-tahun keluarga Gie menjadi kliennya. Belum ada komplain sejauh ini. Bahkan sampai Gie menikah, jasa Janesa ternyata tetap dibutuhkan.

Sayangnya, kali ini klien yang dikenalkan Gie untuknya agak membuat sakit kepala.

Janesa memang tidak pernah gagal dalam melakukan tugasnya. Kredibilitasnya diakui oleh semua klien yang memiliki latar belakang sebagai orang-orang berpengaruh se-Asia. Kalaupun dia pernah gagal, resiko terburuknya hanya tidak dibayar.

Aiden lain. Kliennya yang ini punya status tertinggi di antara kliennya yang lain. Kalau Janesa gagal, bukan hanya karirnya yang hancur, kepalanya juga bakal melayang. Aiden punya hubungan cukup dekat dengan komplotan mafia dari lingkar dalam Triad Hongkong. Mereka adalah sindikat kriminal yang terorganisir dan populasinya tersebar di seluruh penjuru dunia.

Salah satu anggota Triad yang paling ditakuti di Asia Tenggara bahkan menjabat jadi Kepala Keamanan yang bekerja untuk Aiden. Pangeran Alois itu punya sejarah cukup panjang dalam dunia bisnis. Memiliki jaringan dari Triad Hongkong menjadi salah satu jalan pintas paling mudah untuk melancarkan segala urusannya. Tangan Aiden tak pernah kotor jika ia punya jaringan itu dalam genggamannya. Mereka yang selalu melakukan pekerjaan kotor untuk Aiden.

Berbahaya? Jelas.

Mereka tak segan untuk menyakiti atau membunuh orang-orang yang mereka target.

Kelemahan mereka? Melacak orang. Mereka juga tidak punya intuisi tajam sampai-sampai teledor dalam menjaga istri majikannya.

Tolol.

Sekarang lihat bagaimana paniknya Pangeran Alois itu saat ceweknya menghilang.

Janesa punya kelemahan Aiden. Ia menyimpan informasi itu dalam kantongnya agar dapat digunakan sewaktu-waktu jika dibutuhkan.

Hidup Janesa beresiko. Bekerja untuk orang-orang seperti Aiden dan Gie juga beresiko. Dia perlu mengumpulkan banyak amunisi untuk menyerang balik jika sewaktu-waktu posisinya terancam.

Janesa bersiul kecil di balik helm teropongnya. Ia menyenandungkan lagu dari band rock Jepang kesukaannya, One Ok Rock. Satu telinganya dipasangi airpod agar ia bisa mendengarkan lagu sambil menyetir. Ia menghentikan motor di pinggir jalan. Perjalanannya kemari telah memakan waktu dua jam lebih. Ia melepas jaket kulit dan tas ransel. Hp di saku jaketnya berdering. Janesa spontan memutar bola mata. Kecurigaannya terbukti. Nomor Aiden menghubunginya lagi.

"Yes, Prince?"

"Where the fuck are you (Kamu dimana)?! Have you found her (Sudah menemukannya)?" Suara Aiden menggema. Bahkan burung-burung di atas pohon ikut terkejut mendengarnya.

"Yeah, yeah. I've found her (Udah ketemu, kok). I'm on the way to get your girl back (Lagi dalam perjalanan buat jemput cewekmu)."

"Where (Dimana)? I'll send my people to your location now (Akan kukirim orang-orangku ke lokasimu sekarang)."

"Chill out, Prince (Santai dong, Pangeran). You'll need couple hours to get here (Kalian bakal perlu waktu beberapa jam untuk sampai kemari)." Janesa memandang sekeliling. Sekarang dia ada di daerah sekitar Malang Selatan, daerah pegunungan yang dipenuhi hutan pohon jati. Datarannya tak akan mendukung helikopter atau pesawat terkecil manapun untuk mendarat di sini. Satu-satunya cara Aiden dan orang-orangnya sampai kemari adalah dengan mobil. Atau superbike yang punya kecepatan hampir 400 km/jam seperti yang ia kendarai sekarang. "Never mind (Lupakan). I'll send the location to you (Akan kukirim lokasinya padamu)." Janesa berubah pikiran. Aiden tak akan mau duduk-duduk menunggu selagi istrinya belum kembali. Jadi ia mengirimkan lokasinya pada Aiden.

"Malang?" Tanya Aiden untuk mengonfirmasi.

"Yup. Irwan has a villa here somewhere (Irwan punya sebuah villa di sekitar sini). I'm still looking (Masih kucari). So, what should I do to him (Jadi, apa yang harus kulakukan padanya)?"

"Kill (Bunuh)." Jawab Aiden singkat.

Benar, kan?

Emosi Aiden mudah tersulut kalau sudah menyangkut istrinya. Benar-benar suatu kelemahan. Aiden bukan tipikal orang yang mampu membunuh sembarangan. Dia lebih suka menyerahkan urusan kotor itu pada orang-orangnya. Kalau sampai dia punya pikiran untuk membunuh Irwan, berarti emosinya sudah ada di ubun-ubun. "I'll pay you generously this time (Akan kubayar dengan upah besar kali ini)." Lanjut Aiden.

Janesa terkekeh, "Not my specialty (Bukan keahlianku)."

"Just bring her back, then (Kalo gitu bawa istriku kembali). I'll take care of the rest (Akan kuurus sisanya)."

"Fair enough (Cukup adil). I'll text you when I get her (Nanti kukabari kalau aku sudah menemukannya)."

Janesa mematikan hpnya. Ia mengeluarkan perangkat kerja dari dalam ransel. Villa milik Irwan pasti ada di sekitar sini. Dia hanya perlu mengecek sekali lagi lewat satelit agar bisa menemukan lokasinya. Hari sudah hampir malam. Janesa berpacu dengan matahari. Kegelapan tak akan menguntungkannya. Ia perlu bergegas.

***

Mia terbangun lagi. Ia merasa otaknya jadi konslet tiba-tiba. Semuanya nampak serba terbalik. Kini ia tak lagi berbaring di atas ranjang. Kedua tangannya juga sudah diikat dengan cable ties, bukannya duct-tape seperti sebelumnya.

"Hadeh, si bangsat." Gerutu Mia ketika melihat dr. Irwan masuk ke dalam ruangan lewat pintu. Clara mengekor di belakangnya.

Kini ia baru menyadari kalau otaknya tidak konslet. Yang terbalik bukan ruangannya, melainkan tubuhnya. Ia digantung terbalik di atas langit-langit. Darah sudah turun ke kepala. Biasanya Mia suka posisi ini, membantunya berkonsentrasi. Sayangnya tidak kali ini. Mia tidak tahu sudah berapa lama waktu yang ia habiskan untuk bergantungan terbalik begini.

"Hai, Mia." Si mantan pacar Mia itu menarik kursi agar bisa duduk di depannya. Penampilannya cukup kontras dari kali terakhir mereka bertemu. Kulit dr. Irwan lebih gelap daripada sebelumnya. Rambutnya lebih panjang dan nampak berantakan. Wajahnya juga tak terawat. Dagu yang biasanya klimis, kini sudah ditumbuhi janggut jarang-jarang. Di atas bibirnya juga muncul kumis mirip ikan lele. Ada bekas luka di pelipis dan dagunya. Mia menduga kalau luka itu adalah kenang-kenangan dari Aiden.

"Lo kurang kerjaan banget sampai nyulik gue begini." Ujar Mia. Ia menggerak-gerakkan pergelangan tangannya, berharap ikatan cable ties melonggar. Sayangnya cable ties tidak punya sifat lentur. Pergelangan tangan Mia justru terasa sakit kalau kebanyakan digerakkan.

"Gara-gara siapa aku jadi kurang kerjaan begini? Aku dipecat dari rumah sakit, ingat?"

Jantung Mia berdegup kencang. Ia mendadak ngeri kala mengingat perlakuan terakhir cowok itu padanya. Aiden hampir memukulinya sampai mati kalau tidak dihentikan oleh Mia.

"Jadi ini balas dendam?"

"Untuk membalas kehidupanku yang kamu dan si bule brengsek itu renggut dariku? Iya, anggep aja begitu."

"Dengan nyulik gue begini, emang elo dapet apa? Tau kan kalo om Aiden itu bukan orang sembarangan? Cepat atau lambat kalian bakal ditemukan."

Dokter Irwan tertawa mengejek, "Memangnya pelacur kayak kamu gini seberharga apa sampai bikin cowok macam dia ngerasa kehilangan kamu?"

"Pelacur?" Meski dalam kondisi terbalik dan mendapat tekanan gravitasi, Mia masih bisa mengernyit bingung. "Gue bukan pelacur, asal lo tau. Lama-lama bacot lo mirip ibu-ibu komplek, deh!"

"Terus apa? Kamu kira aku bakal percaya kalau kalian bertunangan?" Dokter Irwan mendengus, "Bule brengsek kayak dia nggak akan puas dengan satu pelacur. Kamu kira di dunia ini ada cowok yang benar-benar berhati bersih seperti karakter dalam novel? Kamu terlalu naif."

"Bentar deh, lo ini lagi nasehatin gue?" Giliran Mia yang mendengus, "Ngaca, woy! Bentukan kayak elo nggak dalam posisi bisa menasehati siapa-siapa!"

PLAK

Wajah Mia ditampar. Cewek itu menggeram marah.

"LO BERANI NAMPAR GUE, BANGSAT?! TURUNIN GUE SEKARANG, BIAR KITA BERANTEM SATU LAWAN SATU! JANGAN KAYAK BANCI LO!" Tubuh Mia menggeliat-geliat seperti ulat di udara saat ia berseru penuh emosi. Tangannya sudah gatal ingin mematahkan leher dr. Irwan.

Clara terlihat tegang. Ia berdiri di ambang pintu, sesekali memandang mereka bergantian. Cowok itu tertawa mencemooh. Ia menikmati ketidakberdayaan Mia di depannya. Clara memang sering berkelahi dengan Mia, baik dengan verbal, fisik, bahkan pernah sampai dibawa ke kantor polisi. Tapi dr. Irwan kan laki-laki. Clara tak pernah diajarkan atau dibiasakan melihat kekerasan fisik yang melibatkan laki-laki dan perempuan. Laki-laki ributnya ya dengan laki-laki, perempuan cakar-cakaran dengan sesama perempuan.

"Bedebah!" Mia menggeram. Kini ia sudah berhenti menggeliat karena menyadari kalau energinya akan terkikis sia-sia. Lebih baik ia menghemat energi agar dapat kabur dari sini. "Mau lo apa, sih?!"

"Memberi kamu pelajaran. Sekaligus menjadikan kamu sebagai bahan negosiasi dengan bule brengsek itu. Kalau dia benar-benar peduli sama kamu, apapun syarat yang aku minta bakal diturutin sama dia. Tapi... kalau dia ternyata hanya menganggap kamu sebagai pelacurnya, ya sudah... nasib kamu ada padaku."

"Sinting lo kelamaan nggak kerja." Dengus Mia.

"Nah... kapan ya kira-kira bule bajingan itu nyadar kalo pelacurnya hilang?" dr. Irwan bertanya-tanya, "Sebaiknya aku hubungin dia sekarang atau besok? Atau... setelah aku puas main-main sama kamu?"

Bukan hanya Mia, Clara juga ikut ngeri mendengarnya.

Lampu padam secara mendadak. Mia dapat menyimpulkan kalau di luar sudah malam karena ruangan ini jadi gelap gulita. Tidak ada cahaya matahari sedikitpun yang masuk.

Mia mendengar kursi di depannya berderak.

"Tunggu di sini!" Suara dr. Irwan memecah kesunyian. Dia pasti mengatakan itu pada Clara. Terbukti dari munculnya cahaya senter dari hp yang diarahkan padanya. Kaki Clara melangkah mendekat.

"Kenapa mati lampu?" Tanya Mia di antara kegelapan.

Clara menarik kursi agar bisa duduk lebih dekat. "Nggak tau. Nggak biasanya begini. Lagi dicek."

"Lo sering kesini?"

"Udah tiga kali ini."

"Ngapain? Mesum? Takut ketauan orang ya kalo mesum di rumah sakit?" Mulut Mia tak ingin berhenti nyinyir. Mau Clara tersinggung, peduli setan.

"Kalau lagi di Malang, dr. Irwan pasti ngajak aku kesini. Nginep sehari dua hari. Suasananya tenang." Yang mengejutkan, Clara tidak tersinggung. Justru membuat Mia makin sebal.

"Jadi ini di Malang? Daerah mana? Eh, iya... hp gue mana?"

"Kamu nggak bawa apa-apa waktu diangkut kemari."

Mia mendecakkan lidah.

"Kamu nggak pusing ngobrol sambil gelantungan terbalik gitu?" Lanjut Clara.

"Udah biasa gue mah. Minggirin senter lo, njing! Silau mata gue."

Clara tak lagi mengarahkan senter pada wajah Mia.

"Lo kenapa sih cinta mati sama si Irwan? Jelas-jelas otaknya kelainan begitu!" Tanya Mia dongkol.

Clara mengedikkan bahu, "Kamu sendiri kenapa kok mau sama bule?"

"Dia ganteng, tajir, manteb di ranjang. Plus, dia yang mau sama gue duluan." Mia terlalu kesal untuk bisa diajak bicara baik-baik.

"Jadi kamu nggak cinta sama dia? Perasaanku ke dr. Irwan tulus, nggak kayak kamu."

Mia mendenguskan tawa, "Dia sendiri tulus nggak sama lo?"

Clara terdiam.

"Kalo dia tulus, elo nggak bakal diajak berbuat kayak gini. Lo bego amat dah jadi cewek!"

"Dia punya alasan melakukan ini!!" Clara naik pitam.

"Apapun alasannya, tindakan ini nggak bisa dibenarkan. Laki gue bakal mencak-mencak kalo tau gue diculik. Gue sih nggak pusing-pusing amat cari jalan keluar dari sini. Bentar lagi juga bakal diselamatin sama dia."

"Percaya diri banget!"

"Lo lupa kalo laki gue itu yang beli rumah sakit tempat kita koas? Dia orang berpengaruh. Orang yang kerja sama dia banyak. Nyari gue di tempat antah berantah kayak gini nggak bakal butuh waktu lama. Sayang aja laki gue kemarin lagi di Jerman. Pasti sekarang dia panik banget dapat laporan gue ilang." Mia mendesah lesu. "Yang gue khawatirin itu malah elo. Gue nggak bisa jamin keselamatan dan masa depan lo kalo gue selamat keluar dari sini. Laki gue agak-agak nyeremin kalo marah."

Meskipun Clara tak merespon, ia tetap mendengarkan. Di balik kegelapan, Clara bergerak gelisah. Ia cemas dengan kemungkinan itu.

"Mending lo bantu gue kabur, deh. Gue nggak betah nih kelamaan nunggu buat diselametin laki gue. Dia lelet banget. Lama." Lanjut Mia lagi.

"Tapi dr. Irwan gimana?"

Eureeka! Clara mulai berubah pikiran.

"Kan mumpung dia lagi ngebenerin listrik. Lo turunin gue. Pala gue udah mulai pusing, nih."

Clara menggeleng. "Dia bakal langsung tau kalo aku yang bantuin kamu."

"Ya lo kabur sama gue, nyet!"

"Kita bakal nyasar. Di luar itu hutan!"

"Hutan? Siapa yang bangun rumah di tengah hutan?"

"Ini villa buat liburan. Lokasinya di daerah terpencil. Aku nggak hafal jalan keluar. Apalagi sudah hampir tengah malam begini, nggak berani."

"Kenapa? Lo takut diculik buto ijo?"

"Takut dimakan beruang ato serigala."

"Goblok bener. Mana ada serigala ato beruang di Malang?"

"Siapa tau ada!"

"Serius lo tolol banget, kayak kakak lo."

Clara menyalakan senter di hpnya untuk mengarahkan cahaya terang ke mata Mia. Cewek itu langsung memekik karena matanya tiba-tiba buta sesaat.

"Minta maaf!"

"Ogah! Lo yang ngeracunin kopi gue, masa gue yang minta maaf!" Mia menjauhkan wajah dan memejamkan mata agar terlindung dari cahaya terang.

"Minta maaf buruan!"

"Ogah! Matiin senter lo, bangsat!"

Clara masih kekeuh untuk membuat Mia buta.

"Iya, iya. Sori gue ngatain lo sama kakak lo tolol! Lo cuma bucin!" Ujar Mia akhirnya.

Clara mendengus lalu mematikan senter.

"Bucin lo keterlaluan sampe bikin goblok." Mia masih tak puas.

Clara menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. "Aku nggak mau bantuin kamu, deh!"

"Daripada kita ngebacot kayak gini, bukannya lebih baik lo nurunin gue?"

"Yang setuju buat bantuin kamu siapa?"

"Kalo kita lolos, gue janji bakal baikin lo." Mia ingin meludah. Selama ini yang bersikap bitchy kan Clara, bukan dirinya. "Kalo lo terbukti terlibat sama Irwan, hidup lo pasti berakhir. Lo nggak sayang sama masa depan lo sendiri? Koas bentar lagi kelar."

Mungkin Mia sedang delusional, tapi ia bersumpah dapat melihat ekspresi bimbang di wajah Clara. "Irwan itu sinting. Lo pantesnya dapet cowok yang lebih baik daripada dia. Lagian emang lo nggak kasian sama bokap lo? Jadi anak kok hobi banget bikin kecewa orangtua!"

"Ngapain bawa-bawa papa aku?" Clara mengernyit.

Mia memutar bola mata, tak percaya harus melalui percakapan ini. "Gue udah bilang kan kalo laki gue orang berpengaruh? Dia bisa ngancurin hidup lo lewat keluarga lo. Bokap lo kerja di Exxios Oil, kan?"

"Tau darimana?"

"Petinggi Exxios itu kenalan dekat laki gue. Bayangin aja deh keluarga lo bakal sehancur apa kalo laki gue bikin bokap lo dipecat."

"Sialan!"

"Hidup ya emang begini. Sialan. Kalo lo nggak berkuasa, hidup lo bakal susah. Makanya bantuin gue keluar dari sini. Gue laper pengen makan sate kelinci mumpung lagi di Malang." Memang tidak nyambung, tapi Mia tidak peduli. Dia lelah, tidak sabar, ditambah sedang kelaparan. Pikirannya kacau. Dia harus keluar dari sini sesegera mungkin.

Terdengar langkah kaki mendekat dari arah luar. Clara langsung bangkit berdiri. Mereka sudah menyia-nyiakan waktu berharga untuk berdebat sia-sia.

"Hello, girls!"

Sosok yang baru datang itu mengarahkan senter ke wajahnya sendiri. Ia tersenyum lebar. Sosok itu bukan dr. Irwan.

***

Kalo boleh cerita sedikit, Janesa ini salah satu karakter tertua yang pernah aku ciptain. Dia udah ada sejak tahun 2009. Punya cerita dan bukunya sendiri. Tapi itu ceritanya masih raw banget karena pas aku nulis dia, akunya masih bocah gitu.

Janesa penggemar One Ok Rock garis keras. Gie sering bayar upah dia pake tiket nonton gratis atau free pass. Gie juga pernah ngebikinin dia konser privat khusus. Soalnya Janesa bosen dibayar pake duit.

Ini lagu yang didenger Janesa waktu perjalanan ke Malang. Siapa tau ada yg seleranya sama kayak dia.

Enjoy...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top