45 | SHE'S GONE

Jantung kalian udah pada normal lagi, kan?

Kalo part kemarin kemarin nggak bikin baper, ya udah aku pasrah.

Gimana hari Senin kalian?

Surabaya panasnya nggak ngotak. Yang beraktivitas di luar jangan lupa pake sunblock.

***


Mia terbangun karena silau cahaya yang menyelinap masuk melalui sela-sela tirai putih. Ia sedang berbaring di atas dada Aiden yang bergerak naik turun dengan stabil, menandakan kalau cowok itu masih lelap tidur. Satu tangan Aiden berada di atas punggung Mia, sedangkan tangan yang lain melindungi kedua matanya dari silau cahaya. Mia tersenyum karena ingatan tentang malam pertama mereka tadi malam tiba-tiba berkelebatan di kepala.

Tubuhnya sakit tentu saja. Meski hanya dilakukan sekali, Aiden tidak membiarkannya istirahat sama sekali. Tenaga Aiden tak mudah habis. Dia punya cadangan energi tak terlihat. Ketika Mia sudah merasakan klimaks berkali-kali sampai tubuhnya lemas, Aiden tak juga puas. Di ranjang, Aiden mirip makhluk buas. Wajar, Aiden adalah laki-laki sehat yang jauh lebih berpengalaman daripada dirinya.

Mia mendongak untuk menatap wajah laki-laki yang kini jadi suaminya itu. Tiba-tiba ia merasa amat beruntung karena menikah dengan Aiden. Dalam mimpi terliar sekalipun, Mia tak pernah punya cita-cita untuk menikah dengan seorang bule sekaligus Pangeran seperti Aiden.

Ia menekuri struktur wajah Aiden dengan jari telunjuknya. Amat berhati-hati agar Aiden tak terbangun. Mereka baru tidur dini hari, jadi Aiden pasti masih lelah dan butuh tidur lebih lama. Rambut Aiden yang biasanya disisir rapi, kali ini nampak lembut dan berantakan sekaligus. Mia menjambak rambut itu semalam dan tak mendapat protes sekalipun dari Aiden. Mia menggigit bibirnya tanpa sadar. Kenangan akan malam mereka membuat jantungnya berdegup kencang. Wajahnya merona tiba-tiba, seakan ia masih bisa merasakan sentuhan Aiden di sekujur tubuhnya.

Mia membawa telapak tangannya untuk membelai wajah damai Aiden. Bulu matanya melengkung lentik dengan sempurna. Cantik sekali. Kontras dengan wajahnya yang maskulin. Jika lebih diperhatikan, Mia dapat melihat beberapa helai rambut putih di kepala Aiden. Mia tak pernah memperhatikannya sebelum ini. Entah kenapa Mia tidak terkejut. Punya uban di usia Aiden tergolong wajar. Malah justru menambah kesan dewasa dan keseksian suaminya. Dia hanya tak menyangka kalau punya jodoh dengan rentang usia di atas sepuluh tahun. Padahal pergaulan Mia tidak luas-luas amat.

Mia agak terlonjak karena suara dering hp di atas nakas. Milik Aiden.

Karena suara dering itu, tubuh Aiden menggeliat di bawahnya. Lengan Aiden yang tadinya sedang berada di atas kepala langsung meraih nakas, mencari-cari hpnya. Kedua matanya masih terpejam. Mia memutuskan untuk menonton suaminya lebih lama. Ia meletakkan satu tangan di bawah dagu agar bisa bertumpu di atas dada Aiden.

"Yes?" Meskipun mengantuk, Aiden tetap bisa mengendalikan suaranya agar terdengar tenang dan jelas.

Mia dapat mendengar samar-samar suara seorang wanita di seberang.

"What time (Jam berapa)?" Aiden membuka satu matanya agar bisa melihat jam di hp. Tangan yang berada di atas punggung telanjang Mia bergerak naik turun untuk membelai. Ia menyadari kalau Mia juga sudah bangun.

"Okay, thank you, Lisa. I'll see you later." Aiden menekan tombol untuk mengakhiri panggilan. Ia mengembalikan hp itu ke atas nakas lagi sebelum memeluk tubuh Mia. Semua ia lakukan dengan mata masih tertutup.

"Pagi." Sapa Mia.

"Sudah siang. Hampir jam satu." Koreksi Aiden.

"Kenapa Lisa telpon?"

"Mengingatkan kalau jam lima nanti saya harus pergi ke Jerman. Urusan bisnis."

"Jerman?" Mia mengernyit.

Aiden membuka matanya yang terasa berat. Ia memandang Mia. "Saya ada kunjungan kerja. Nggak lama. Tiga hari aja."

"Tiga hari?" Ulang Mia lagi. "Kok nggak cuti, sih? Kan kita pengantin baru!"

Aiden tersenyum tipis, "Kamu juga nggak bisa cuti, kan?" Ia malah balik bertanya.

Mia ingin membantah, tapi tidak jadi. Aiden benar. Mia tidak bisa ijin lagi dari koas.

"Koasmu selesai, kita pergi bulan madu. Bagaimana?" Lanjut Aiden coba memberi solusi.

Mendengar kata 'bulan madu' tidak membuat perasaan Mia jadi lebih baik. Ia memeluk tubuh Aiden erat-erat, tidak rela jika harus ditinggal keluar negeri secepat ini. "Masa tiga hari? Suruh Lisa aja yang berangkat!"

"Ini yang terakhir. Kalau koasmu selesai, kamu bisa ikut saya kemana-mana." Aiden membelai punggung Mia lagi, menenangkannya.

Mia mendecakkan lidah, masih tak terima.

Aiden menghela napas berat, "Kepergian saya tidak bisa ditunda, chéri. Ada yang harus diurus. Saya berencana untuk melepas jabatan di Delavega Enterprises."

Mia masih tak merespon.

"Jika kita pindah ke Alois, saya harus membiarkan orang-orang berpengalaman yang mengurus perusahaan saya. Saya pergi ke Jerman untuk bernegosiasi dengan seseorang yang paling saya percaya untuk menggantikan saya."

Mia menghela napas. Penjelasan Aiden sudah masuk akal, tapi ia masih tak rela.

"Tiga hari?" Mia mendongak agar bisa memandang Aiden.

Suaminya itu mengangguk. Ia membelai pipi Mia yang kini terdapat ruam-ruam merah akibat kegiatan mereka semalam.

"Akan saya usahakan kurang dari tiga hari. Saya juga nggak bisa lama-lama jauh dari kamu." Jawab Aiden kemudian.

Mia mengeratkan pelukannya ke sekeliling tubuh Aiden, "Yaudah, deh. Kan buat kerja. Mau gimana lagi?" Ia tak rela, tapi suaminya perlu kerja untuk cari nafkah demi mereka berdua. Ah, perasaan Mia mellow sekali.

"Badan kamu masih sakit?" Tanya Aiden tiba-tiba.

"Masih."

"Sayang sekali."

"Kenapa emang?"

Sebagai jawabannya, Aiden menuntun satu tangan Mia ke bawah untuk menyentuh kejantanannya yang sudah tegang dan keras. Mia terkesiap hingga menarik tangannya lagi. Ukuran Aiden ternyata jauh lebih besar dari yang ia perkirakan. Apalagi jika tak terlindung oleh celana seperti ini. Bahkan telapak tangan Mia tak cukup untuk mengelilingi lingkar ukurannya. Ia baru menyadari ini karena tadi malam ia tak dapat melihat apa-apa, ditambah Mia tidak punya pengalaman dengan siapapun yang bisa dijadikan sebagai pembanding. Ia hanya tahu milik Aiden besar, itu saja.

Mia memang sering melihat kemaluan laki-laki. Semuanya dalam keadaan tak bernyawa karena mereka adalah jenazah. Ia juga tak pernah mengalami perasaan tertentu saat melihat atau menyentuh bagian tubuh yang itu selama melakukan otopsi.

"I can't help it (Saya nggak berdaya). Always like this every morning (Selalu begini setiap pagi). Especially now, when you're around (Terutama sekarang, saat kamu ada di sekitar saya)." Jawab Aiden.

"Masih sakit." Mia meringis kecil.

Aiden menghela napas berat, "Okay."

Kemudian Mia ingat kata-kata Rara kemarin tentang service dari istri jika hasrat suami sudah di ubun-ubun. Tentang job yang bawa-bawa blow dan hand. Mungkin ini waktunya mencoba. Siapa tahu nanti Mia jadi ahli. Otak Mia kan cemerlang. Dia bisa menguasai hal baru dalam sekali coba.

"Umm... what are you doing (kamu mau ngapain)?" Tanya Aiden heran ketika Mia merangkak turun dari tubuhnya.

"Service pagi." Mia menyingkap selimut yang menutupi tubuh mereka berdua. Berbekal pengalaman semalam, Mia mulai mempraktekkan hal-hal yang paling dinikmati Aiden.

Aiden langsung paham apa maksudnya. "It's okay, chéri (Nggak usah, sayang). You shouldn't- Ahh, shit!" Ia langsung mengumpat keras ketika bibir Mia mulai menyentuhnya.

***

Seperti janji Janesa pada Aiden, situasi di rumah sakit sudah kembali kondusif. Semuanya kembali ke sedia kala. Satu-satunya hal yang tak berubah hanyalah kehadiran Tio dan Ryn di depan Ruang Radiologi.

Aiden bersikukuh menugaskan kedua bodyguard itu untuk mengawal Mia. Ia menganggap kalau kepergiannya keluar negeri merupakan salah satu situasi mengancam jika Mia ditinggal sendirian. Aiden merasa jauh lebih tenang jika menyerahkan keselamatan Mia pada para petugas keamanannya.

Kemarin Mia berhasil melalui satu hari tanpa Aiden. Suaminya itu sedang ada di Munich, Jerman. Semalam mereka berdua sempat melakukan video call singkat untuk mengetahui kabar masing-masing. Jika tidak ada halangan, mungkin besok lusa Aiden sudah kembali ke Surabaya.

Padahal baru ditinggal sehari, rasanya sudah seperti setahun. Efek pengantin baru ditinggal pas lagi panas-panasnya.

Mia mendongak ketika melihat sosok Clara muncul di depan Ruang Radiologi. Ryn memeriksa cewek itu sekilas sebelum membiarkannya lewat. Tidak nampak ada Stacy atau Renata dimanapun.

"Nyari siapa?" Mia menutup jurnal yang sedang dibacanya.

Clara mengulurkan kopi panas dalam wadah cup karton. "Kamu."

Mia menerima cangkir itu dengan bingung. "Ngapain?"

Tanpa buru-buru menjawab, Clara duduk di sebelah Mia. "Mau ngobrol."

"Lo banyak nganggurnya, ya?"

"Tadi udah minta ijin ke pak Panji."

Mia meletakkan jurnalnya di atas kursi sebelah sebelum memegangi cup panas dengan kedua tangan, meresapi perasaan hangat yang menjalarinya. "Ngobrol apa?" Ia memperhatikan Clara nampak gelisah, namun wajahnya dipasang datar-datar saja. Mia membuat kesimpulan begitu karena saat ini telunjuk Clara sedang menyentuh ibu jari sendiri, memainkan kukunya. Itu tingkah orang yang sedang gelisah.

Yang jadi pertanyaan, Clara gelisah gara-gara apa?

"Mereka bodyguard kamu?" Sejak tadi Clara memperhatikan punggung Tio dan Ryn.

Mia mendenguskan tawa, "Kan gara-gara elo juga gue sekarang punya mereka."

Kali ini Clara memandang Mia, ekspresinya tak berubah. "Bisa ngomong di tempat lebih nyaman? Tanpa bodyguard kamu."

"Di sini kurang nyaman? Lagi sepi." Mia menyuruh Clara untuk mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Lagian lo mau ngobrol apa, sih? Mencurigakan banget tingkah lo! Tau-tau dateng ngasih kopi sama ngajak ngobrol. Lo campur soda api ya kopinya?" Untuk membuktikan kecurigaan, Mia mengendus kopi yang diberikan oleh Clara. Tak ada yang aneh dengan baunya.

Clara tak mengindahkan cerocosan Mia barusan, "Ngobrol di sana, deh!" Ia menunjuk pintu Exit yang terhubung dengan tangga darurat. "Sebentar aja." Tanpa menunggu respon Mia, Clara lebih dulu bangkit untuk berjalan ke arah pintu yang ditunjuknya. Mau tak mau Mia juga penasaran dengan apa yang ingin disampaikan oleh Clara. Jarang-jarang cewek menyebalkan itu mau mengajaknya ngobrol tanpa aura permusuhan.

Sambil berjalan mengekor di belakang Clara, Mia menyesap kopinya. Sebenarnya dia bersyukur karena Clara repot-repot membawakannya kopi. Seharian tadi dia bosan sampai mengantuk. Bisa dibilang Clara ini jadi juru penyelamat.

"Sekarang ngomong, deh. Ada apa?" Mia sudah menghabiskan setengah gelas kopi dari dalam cupnya. Rasa pahit kopi membuat perasaannya baikan.

Suasana di tangga darurat rumah sakit sama seperti tangga darurat lain. Hening dan sepi. Hanya ada mereka berdua di sini.

"Aku mau minta maaf." Wajah Clara sudah dipenuhi keringat dingin. Ia kelihatan canggung. "Selama ini aku bersalah sama kamu." Ia tak berani memandang wajah Mia, apalagi menatap matanya. Terlalu malu, barangkali.

Mia mengernyit, "Lo kesambet apaan?" Ia menyesap kopinya lagi. Enak sekali kopi ini. Rasanya Mia belum pernah ketemu warung atau vending machine yang menjual kopi seenak yang dibawakan Clara. Rasanya mirip kopi tubruk tanpa gula.

Clara menggeleng, "Aku sadar kalau selama ini sikapku ke kamu keterlaluan."

Mia mengibaskan satu tangannya di depan wajah, "Lo minta maaf, udah cukup buat gue." Tiba-tiba ia menguap. Kepalanya jadi agak berat. Efek kurang tidur nih, pasti. Ia memaksa dirinya tetap sadar. Tinggal tunggu waktu sampai kafein menunjukkan reaksinya.

"Sekali lagi aku minta maaf. Aku nggak bermaksud melakukan ini semua."

"Ini... semua... apa?" Mia menguap lagi. Kepalanya benar-benar minta diistirahatkan. Pandangannya agak mengabur. Sekarang ia melihat bayangan Clara ada lima. Semua bayangannya sedang melakukan goyang dumang serempak. Mia mengernyit bingung. Dia baru tahu kalau tubuh Clara selentur itu.

"Kalau aku nggak berhasil bawa kamu, perasaanku ke dia bakal terus diragukan." Jawab Clara sambil menangis.

Apa itu air mata? Atau hanya keringat di wajahnya?

Mia memandangi gelasnya yang sudah tersisa seperempat, kemudian ia memandang Clara lagi. Ia terlambat menyadari apa maksud kata-kata Clara barusan.

"Bangsat, lo kasih apaan kopinya?" Gumam Mia. Ia bahkan tak bertenaga untuk sekedar mengeluarkan suara.

Terdengar suara langkah kaki menuruni tangga. Seseorang datang. Langkahnya pelan tapi pasti. Sosok yang baru datang itu tak terlihat jelas oleh Mia. Ia adalah seorang laki-laki berpakaian serba hitam. Sebuah topi terpasang di atas kepalanya. Mia tak bisa melihat wajahnya karena segalanya nampak buram. Ia berdiri limbung, mencari-cari tumpuan untuk menjaga keseimbangan. Cangkir kopi terlepas dari genggamannya hingga menghantam lantai beton di bawah. Cairan kopi mengotori sepatunya. Kedua betis Mia berubah lunglai seakan tak bertulang.

"Clara..." Bisik Mia seraya menggapai-gapai udara. Ia tak dapat menguasai kesadaran. Segalanya berubah gelap. Rasanya Mia ingin tidur sangat lama. Tubuhnya lelah sekali.

Tahu-tahu Mia sudah merosot ke lantai. Kepalanya membentur lantai beton agak keras. Jatuh pingsan atau tertidur, Clara tidak yakin. Yang pasti, cewek itu sudah hilang kesadaran.

***

Aiden sedang dalam perjalanan saat kepala keamanannya menghubungi langsung ke nomor miliknya. Ia menghentikan briefing dari Lisa yang sedang duduk di sebelah. Asistennya itu mengangguk mengerti. Ia membiarkan sang bos menerima panggilan itu. Biasanya, jika kepala keamanan sendiri yang menelepon, maka sesuatu pasti terjadi. Kecurigaan Lisa berdasar. Ia memperhatikan wajah bosnya sempat menegang begitu nama kepala keamanan muncul di layar hpnya.

"Yes?"

"She's gone, boss (Dia menghilang, bos). We lost her (Kami kehilangan jejaknya)."

Rahang Aiden mengeras, "What do you mean (Apa maksudmu)?"

"They couldn't find her anywhere (Mereka tidak menemukannya dimana-mana). She's gone after talking with her colleague (Dia menghilang setelah ngobrol sebentar dengan salah satu koleganya). We found spilled coffee stain on the floor (Kami menemukan noda kopi tumpah di lantai). At emergency exit stairs (Di tangga darurat)."

"Which one (Yang mana)?" Yang Aiden maksud adalah siapa kolega yang mengajak Mia bicara.

"Clara."

Wajah Aiden semakin mendung, "CCTV? Her phone (Hpnya)?"

"She left her belongings (Dia meninggalkan semua bawaan). Everything (Semuanya). We're still trying to fix the camera (Kami sedang berusaha memperbaiki kamera pengawas)."

"Are you saying the CCTV is fucking broken (Maksudmu kamera CCTVnya rusak)?"

"Yes, boss."

Hp yang menempel di telinga Aiden hampir hancur karena ia meremas hp itu terlalu kencang. "Find her (Temukan dia)! Do whatever you can to get her (Lakukan apapun untuk menemukannya). Bribe people, burn the city, send trackers, I don't care (Beri suap pada orang-orang kalau perlu, bakar kota, kirim pelacak, aku tidak peduli)! Just find her (Temukan dia)!"

"Understood."

Aiden mematikan sambungan telepon. Jantungnya serasa ditekan-tekan. Ia merasa hampir gila karena cemas.

Lisa mengulurkan hpnya pada Aiden. Ia cukup tahu permasalahan apa yang sedang dihadapi sang bos sampai ia langsung sigap mencari jalan keluar.

"Saya sudah menghubungi Janesa. He's on the line right now (Dia sudah terhubung)."

Aiden menerima hp itu.

"Janesa."

"Whassup (Ada apa)?"

"I need your help (Aku butuh bantuanmu)."

Janesa terkekeh di seberang, "Of course, Prince (Tentu, Pangeran). Otherwise you won't call me at all (Kalo nggak gitu ya kamu nggak akan menghubungiku sama sekali). What can I do for you (Apa yang bisa kulakukan untukmu)?"

"Find my wife (Temukan istriku). My people lost her this afternoon (Orang-orangku kehilangan jejaknya siang ini)."

"Ah. At hospital (Di rumah sakit)?"

"Yes."

"CCTV? Anything (Petunjuk lain)?"

"Broken (Rusak)."

Janesa mendecakkan lidah, "Hmm. I need to wrap up the situation first (Aku perlu mencerna situasi dulu). I'll call you later (Nanti kuhubungi)."

"How long (Berapa lama)?"

"An hour or two (Sejam atau dua jam). Depends (Tergantung)."

"On what (Tergantung apa)?"

"On her luck (Keberuntungan Mia). My gut says she's really in a big trouble (Firasatku mengatakan kalau dia sedang dalam masalah serius)."

"Fuck." Aiden mengumpat pelan. Jantungnya berdegup tak terkendali. "I want her back (Aku mau dia kembali)!"

"That's the top priority (Itu memang prioritas utamanya). I think your girl was kidnapped (Kurasa cewekmu diculik)."

"I want them dead (Aku mau mereka semua mati). Whoever's responsible for this, I want them dead (Siapapun yang bertanggung jawab atas ini, aku mau mereka mati)!"

Janesa terkekeh lagi, "Your wish is my command, Prince (Permintaanmu adalah perintah buatku, Pangeran). Just prepare the payment (Siapin aja duitnya)."

"After she's back to me (Setelah dia kembali padaku). Whole (Utuh). Safe and sound (Sehat dan selamat)." Aiden menekankan setiap kata pada Janesa sebelum mematikan telepon.

"Kita kembali ke Indonesia hari ini?" Tanya Lisa. Ia tak bisa menahan perasaan cemas karena Mia tiba-tiba menghilang. Tapi ia lebih khawatir dengan apa yang sedang Aiden rencanakan pada orang-orang yang bertanggung jawab atas hilangnya Mia. Sebentar lagi, dia pasti akan repot mengurusi masalah yang akan dilimpahkan Aiden untuknya.

Aiden hanya mengangguk sebagai jawaban. Wajahnya kalut.

"I will prepare the plane (Akan saya siapkan pesawatnya)." Lanjut Lisa sebelum menghubungi seseorang lewat hpnya.

***


Konflik terakhir kok ini sebelum tamat.

Kayaknya kalian udah bisa nebak siapa biang keroknya. Memang bukan rahasia, kok.

Besok lagi, yak.

Selamat melanjutkan aktivitas!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top