40 | INTERNALLY DONE
Karena kemarin nggak up. Hari ini dua bab diringkas jadi satu.
Semoga kalian, suka...
***
Tak ada obat yang lebih mujarab untuk menyembuhkan patah hati selain belasan kaleng bir dingin dan semangkok besar kreco pedas. Elsa membelinya di tempat langganan yang berlokasi di depan danau sebuah universitas negeri di daerah Surabaya Barat. Kreco adalah sejenis keong air yang biasa ditemukan di sawah. Dibumbui kuah pedas dan sering jadi favorit warga Surabaya.
"Jadi intinya lo nggak percaya kalo Aiden nggak ngehamilin mantannya?" Elsa ingin memastikan. Mereka berdua sedang duduk di depan meja beralaskan karpet.
Mia menghisap bumbu dari dalam cangkang kreco sebelum menenggak bir dingin banyak-banyak. Meja mereka penuh oleh kaleng bir. Semuanya pesanan Mia.
"Ya gimana mau percaya, kak? Mereka itu dulunya partner seks. Terus bayinya muncul tiba-tiba dari mana? Kiriman dari JNE? Ato disebul langsung jadi?"
Elsa menyesap busa yang keluar dari kaleng birnya. "Siapa tau si Rachel ini bikinnya sama orang lain, tapi ngaku-ngaku itu anak Aiden."
Mia mengangguk singkat, "Bisa jadi. Tapi logika gue lagi mampet, kak. Bawaannya pengen nyalahin om Aiden mulu. Namanya juga orang emosi."
"Tapi lo berani juga sih nonjok muka dia. Pangeran loh itu."
Kegiatan Mia untuk mencungkil daging kreco dalam cangkang terhenti seketika. Ia mengerjap seakan baru sadar sesuatu. "Nah, loh. Baru ngeh gue, kak. Ngapain tadi gue nonjok dia, ya?" Mia melempar kreconya ke dalam mangkok lagi. "Astaghfirulloh. Gue khilaf."
Mendengar penyesalan Mia yang terlambat, Elsa hanya bisa geleng-geleng kepala. "Baru jadi tunangan elo berani KDRT. Gimana ntar pas jadi istri? Masa tiap ribut, lo pukul-pukulan ama dia?"
"Males kawin, ah!" Mia menghabiskan birnya sebelum membuka kaleng baru.
"Kok gitu?"
"Urusan dia sama mantannya nggak kelar-kelar. Males gue."
"Emang elo nggak sayang sama dia?"
"Sayang, sih." Mia memutar-mutar kaleng di tangan. "Nggak tau, ah. Lagi nggak bisa diajak mikir nih otak, kak. Jangan tanya-tanya!"
Elsa hanya mengamati Mia lanjut mencungkil kreco dalam cangkang. Semangkok besar kreco pedas dihabiskan oleh Mia sendirian.
***
Untungnya rumah sakit menyediakan loker bagi para peserta koas. Jadi Mia bisa menyimpan jas, dan buku-buku penting di sana. Sejak semalam dia mirip gembel. Numpang tidur, makan, dan mandi di rumah Elsa. Pinjam bajunya juga. Untung ukuran tubuh Elsa sama seperti Mia, jadi semua bajunya cocok-cocok saja. Ditambah, Elsa ini punya hati putih bersih tak bernoda bak malaikat. Meskipun dapat tamu tidak tahu diri seperti Mia, dia tidak kelihatan keberatan sama sekali. Malah, Elsa sempat-sempatnya mendoakan agar masalah yang sedang Mia hadapi segera selesai. Semalam Mia tak sengaja mengintip Elsa sedang bersimpuh di samping tempat tidur sambil berdoa khusyuk sekali.
Elsa berdoa cukup lama. Isi doanya pun didominasi permintaan agar orang-orang yang disayanginya bahagia selalu. Dia tidak meminta apapun untuk dirinya sendiri. Padahal setiap orang selalu meminta setidaknya satu hal pada Tuhan untuk kelancaran hidup mereka masing-masing sebelum mendoakan yang lain.
Kurang baik apa coba?
Pantesan Anton naksir dari bocah.
Pokoknya kalau Anton tidak menikah dengan Elsa nantinya, Mia bertekad untuk mem-bully Anton sampai tua.
"Miss Amelia." Sapa Ryn di depan Ruang Radiologi.
Mia hanya mendengus melihat kedua orang bodyguardnya masih setia menunggu. Dia kira Aiden tidak lagi menyuruh mereka berdua untuk menjaga Mia setelah insiden pemukulan tadi malam.
Kalau dipikir-pikir, Mia memang keterlaluan, sih.
Seharusnya dia mendengarkan alasan Aiden dulu, bukannya asal tonjok seperti manusia tak beradab. Mana yang ditonjok itu seorang Regent, pula. Mia jadi merasa kurang berakhlak. Hatinya ingin minta maaf, namun otaknya berkata jangan. Gengsi!
Lagipula urusan dengan si Rachel ini belum selesai. Pfftt... apanya yang selesai? Yang ada malah makin runyam!
Tadi pagi jumlah wartawan di rumah sakit lebih banyak beberapa lusin daripada kemarin. Untung petugas keamanan yang dikirim Aiden juga lebih dari mampu untuk menjaga rumah sakit tetap kondusif.
Bagaimana tidak kondusif? Tim keamanan yang berjaga di rumah sakit sudah mirip pasukan elit pengawal presiden! Semuanya pakai jas. Tubuhnya besar-besar. Yang perempuan juga tinggi-tinggi. Bule semua lagi! Wartawan Indonesia yang berperawakan lebih mungil dari mereka mana ada kesempatan?
Sekali hempas pasti langsung tewas.
Karena alasan keamanan pula jumlah pasien yang datang ke rumah sakit jadi dibatasi. Ini adalah salah satu alasan Mia merasa tidak nyaman. Semua ini kan terjadi akibat ulah Mia. Mia yang seharusnya bertanggung jawab. Apa dia minta dipindahkan saja ke rumah sakit lain? Tapi mau kemanapun Mia pergi, jika tidak diselesaikan, masalah akan selalu mengikuti.
Pada tengah hari Jumat yang lambat itu, Tio masuk ke Ruang Radiologi, menghampiri Mia yang sedang membaca majalah tentang kehamilan yang ia temukan di meja resepsionis. Mia hanya tidak punya bahan bacaan lain. Semua barang dan buku-bukunya ada di apartemen Aiden.
"Ini Lisa." Tio menyerahkan hpnya pada Mia.
Mia tidak mengangkat kepala saat ia menerima hp itu.
"Miss Amelia?" Suara Lisa memenuhi telinga Mia.
"Hmm." Balas Mia acuh tak acuh. Satu tangannya masih membolak-balik halaman majalah.
"Saya tidak tahu apakah informasi ini berguna atau tidak bagi anda. Rachel ada di kantor sekarang. Ruangan Mr. Delavega."
Mia munafik kalau dia bilang tidak peduli, "Terus kenapa?" Dia memutuskan jadi munafik dulu.
"Saya tidak yakin. Miss Amelia mau saya bagaimana?"
"Gue bukan bos elo."
"You will be (Calon). Soon (Bentar lagi). Jadi saya harus apa?"
Mie menutup majalahnya dengan kesal, "Mereka ngapain di dalem? Berduaan?"
"Iya. Mereka hanya berdua. Rachel datang tanpa pemberitahuan. Mr. Delavega mengijinkannya masuk karena Rachel tadi sempat menangis minta bertemu."
"Biar gue tebak, si bule sableng itu pasti nggak tega buat ngusir dia."
"Err... iya."
Mia mengepalkan satu tangan. "Menurut lo otak bos lo itu waras nggak sih? Atau dia emang buaya darat dari dulu?"
"Saya tidak tahu, miss. Mr. Delavega paling tertutup kalau sudah menyangkut kehidupan pribadinya."
"Sekarang mereka berdua ngapain di dalam sana?"
"Umm..." Kedengarannya Lisa sedang berusaha mengintip agar bisa memberi Mia informasi. "Mereka hanya sedang bicara serius. Rachel masih menangis. Anda mau datang kemari?"
"Kalo gue kesitu ntar nilai koas gue jelek."
"Saya sudah meminta ijin khusus dari Direktur Utama rumah sakit. Anda bisa pergi kapanpun anda mau."
Mia mendengus, "Kalo banyak duit gampang banget ya pake jalur patas?"
"Saya hanya mencari solusi paling praktis. Jadi? Anda mau datang?"
Mia menimbang-nimbang cukup lama sebelum memutuskan, "Mood gue juga mendukung, nih."
***
"Kamu kira aku bohong?" Rachel mengeluarkan test pack dari dalam tasnya. Ada dua garis biru di sana. Ia meletakkan bukti kehamilannya di atas meja kerja Aiden.
"Kapan kita tidur bersama?" Aiden mengangkat sebelah alisnya.
"Kamu nggak inget? Sebulan yang lalu!"
Ekspresi Aiden masih tidak berubah. Tetap datar.
"Sebulan lalu?" Ia memiringkan kepala untuk mengamati ekspresi Rachel. "Tepatnya kapan dan dimana?"
"Kamu mabuk, Aiden! Ingat waktu kamu datang ke bar sendirian?"
"Ingat. Saya tidak sendirian. Waktu itu saya ketemu dengan klien."
"Kamu nggak bisa pulang karena terlalu mabuk buat nyetir!"
Aiden benar-benar memikirkannya. Ia coba mengingat-ingat kejadian bulan lalu dimana ia bertemu salah satu klien di bar. Mereka memang mengobrol sambil minum. Dia juga bertemu Rachel di sana secara tak sengaja, tapi tidak benar-benar ingat apa yang dilakukannya. Satu hal yang ia yakini, dia tidak semabuk itu sampai lupa bagaimana rasanya habis bercinta. Apalagi sebulan yang lalu dia sudah melamar Mia. Dia tak akan seceroboh itu.
"Selama ini saya membiarkan kamu bertingkah semaumu." Aiden menyandarkan tubuhnya di kursi kulit. "Tapi kali ini kamu kelewatan."
"Kelewatan? Jelaskan bagian mana yang kelewatan! Yang harusnya bilang begitu itu aku! Kamu yang tiba-tiba mengenalkan cewek asing sebagai tunanganmu padahal hubungan kita belum berakhir."
"Kita tidak pernah punya hubungan, Rachel."
"Jadi aku cuma pemuas nafsu aja? Gitu?"
"Semacam itulah."
"Dasar bajingan! Aku udah jatuh cinta sama kamu!"
"Saya kira kita sepakat untuk tidak berkomitmen." Aiden masih berusaha tenang.
"I thought we've had feelings for each other (Kukira kita punya perasaan untuk satu sama lain)! At least, I still have (Setidaknya aku yang punya)!"
"Well, you're in this relationship with yourself (Kamu menjalin hubungan ini sendirian)."
Rachel menatap Aiden dengan tatapan tak percaya. Ia tak habis pikir kalau ternyata Aiden sedingin ini padanya. "Apa sih bagusnya cewek itu sampai kamu jadi berubah sedrastis ini?!"
"Saya tidak pernah berubah, Rachel. Kita hanya tidak pernah terlalu dekat sampai mengerti sifat masing-masing. Dan 'cewek itu' yang kamu maksud adalah tunangan saya. Hati-hati kalau bicara."
Tahu-tahu Rachel sudah menangis sesenggukkan. "Aiden... terus gimana denganku? Dengan anak kita?" Ia mengelus perutnya yang masih rata.
"Kita tes DNA kalau anak itu sudah lahir." Cetus Aiden ringan.
"Masalah ini sepele buat kamu, ya?"
"Itu jalan keluar terbaik."
"Anak ini harus punya papa!"
"Saya sudah menawarkan solusi."
"Bukan itu solusi yang aku mau!"
Aiden menghela napas, "Saya bahkan tidak yakin kalau itu anak saya. Saya tidak pernah merasa berhubungan seks dengan kamu selama..." Ia coba menghitung di kepala, "Tujuh bulan belakangan."
"Sudah kubilang kalau waktu itu kamu mabuk!"
"Saya tidak pernah mabuk sebelumnya, Rachel. Semabuk-mabuknya saya, pasti saya tahu siapa perempuan yang sedang tidur bersama saya."
Tangis Rachel makin histeris. Ia memutari meja kerja Aiden agar bisa mendekati laki-laki itu.
"Kamu nggak punya hati!"
"Hati saya dikuasai sepenuhnya oleh tunangan saya. Saya tidak berani macam-macam." Ia meringis karena tiba-tiba ingat bagaimana sakitnya ditonjok oleh Mia tepat di wajah. Bahkan sekarang pipinya masih terasa nyeri meskipun bengkaknya tidak kentara lagi.
"Kamu harus tanggung jawab sama anak ini!" Seru Rachel di sela-sela tangisnya. Aiden sama sekali tidak luluh. Dia cukup berpengalaman menghadapi seseorang yang sedang berbohong. Rachel pernah ambil kelas akting saat karirnya di dunia modeling redup. Jadi Aiden cukup percaya diri untuk menyimpulkan bahwa Rachel sedang berbohong padanya.
"Oke. Saya akan menjamin anak itu kalau dia memang terbukti sebagai darah daging saya." Cetus Aiden akhirnya. Dia tak kuasa kalau harus menghadapi Rachel lebih lama lagi.
"Kamu bakal nikahin aku?" Nada Rachel sudah penuh harap.
"No. Saya sudah terikat dengan Amelia."
"Terus tanggung jawab apa yang kamu maksud?"
"Saya bilang akan menjamin anak itu, bukan kamu."
"Emangnya kamu mau anak ini punya keluarga nggak utuh?!"
Aiden terkekeh, "Kok kamu yakin sekali kalau itu anak saya?" Serius, dia berharap rencana Gie untuk memberi cewek ini pelajaran dapat dilaksanakan secepat mungkin. Aiden tidak suka ribut dengan perempuan. Merepotkan.
"Kapan aku pernah bohong sama kamu?" Rachel mendekat selangkah. Cewek itu meraih tangan kanan Aiden lalu membawanya ke perutnya yang rata.
***
Kebodohan pertama yang Mia sesali hari itu adalah tidak terpikirkannya sebuah ide untuk membeli test pack di rumah sakit. Padahal kan dia bisa sekalian mengecek apakah Rachel sedang membohongi penduduk Indonesia atau tidak.
"Mereka masih di dalam?" Tanya Mia begitu ia sampai di lantai teratas gedung Delavega Enterprises. Tio dan Ryn mengantarkannya kemari, sekarang mereka berdiri di dekat lift, menjaga jarak agar tidak membuat Mia risih. Satu hal yang sangat mereka pahami sejak bekerja untuk Mia, cewek itu tidak suka pada mereka. Sama sekali.
Lisa langsung berdiri menyambutnya. "Masih." Asisten Aiden itu menyerahkan segelas garam pada Mia. Saat dalam perjalanan kemari, Mia memesan agar disiapkan garam untuknya. Sebanyak apa, Lisa tidak diberitahu. Jadi dia membawakan segelas untuk jaga-jaga. "Ini untuk apa, miss?"
"Ntar juga lo bakal tau. Mau ikut nonton, nggak?"
Lisa menggeleng sambil tersenyum. "Semoga berhasil, miss. Anda mendapat dukungan saya sepenuhnya."
Mia mengangguk.
Cewek itu tak mengetuk terlebih dahulu dan langsung masuk ke ruangan kerja Aiden yang maha luas. Kalau dibandingkan, bahkan rumah kontrakan Mia bisa minder karena kalah luas dengan ruang kerja Aiden. Tapi bukan itu yang jadi fokusnya saat ini. Kedua matanya memicing saat menatap dimana tangan Aiden sedang berada.
Mia menggertakkan gigi.
Baru ditinggal kurang dari 24 jam, ular betina ini sudah berhasil menjerat tunangannya.
Rachel dan Aiden belum menyadari kehadiran cewek itu. Mia berjalan cepat dengan langkah lebar untuk menyeberangi ruangan dan menghampiri mereka berdua.
Aiden nampak terkejut saat melihat Mia tiba-tiba muncul di tempat kerjanya. Apalagi cewek itu tiba-tiba mencengkeram tangan kanan Rachel yang tadinya sedang berada di atas tangan Aiden. Jika dilihat-lihat, interaksi Aiden dan Rachel tadi memang kelewat intim.
"Aww..." Rachel langsung mengaduh kesakitan.
Mia memegangi pergelangan tangannya selama kurang dari lima belas detik sebelum Rachel menghentak tangannya hingga terlepas.
Tiba-tiba Mia tersenyum sinis, "Dasar ratu drama."
"Amelia, apa yang kamu lakukan di sini?" Aiden berdiri. Suaranya terdengar agak cemas. Dia khawatir sekali kalau Mia semakin salah paham. Masalah di antara mereka berdua saja belum selesai, sekarang ditambah ini.
"Om diem dulu! Ini urusan perempuan. Urusan di antara kita dilanjut ntar aja di rumah." Mia agak menghardik.
Senyum Aiden otomatis merekah, "Hari ini kamu akan pulang?"
Mia hanya meliriknya sekilas sebelum fokusnya kembali pada Rachel yang masih meringis kesakitan memegangi pergelangan tangannya.
"Lo nggak hamil." Ujar Mia.
"Matamu buta??" Rachel menunjuk test pack yang tergeletak di atas meja kerja Aiden, di samping tumpukan-tumpukan kertas.
"Denyut nadi lo nggak menunjukkan tanda-tanda kehamilan." Meski masih berstatus dokter muda, Mia sudah lumayan terlatih untuk merasakan denyut nadi seseorang tanpa alat bantu. Dia sering iseng mempraktekannya untuk mengecek jenazah yang baru meninggal, atau pasien yang mati otak agar tahu bedanya.
Untuk kasus kehamilan sendiri, biasanya wanita hamil memiliki denyut nadi sangat cepat. Suhu di sekitar nadi juga akan terasa lebih tinggi daripada bagian tubuh lain. Mia pernah mempelajari ini langsung selama koasnya di stase Obgyn dulu.
Rachel memandangnya seakan sedang berusaha untuk mengulitinya hidup-hidup. "Maksud kamu test pack ini bohong?"
"Bukan test packnya. Tapi elo."
"Bocah nggak tau diri!" Desis Rachel.
"Bocah? Masih bocah begini gue juga bisa bikin anak, nyet!" Mia menaruh gelas berisi garam ke atas meja dengan agak kasar. "Mau taruhan ama gue? Lo nggak hamil."
"Perlu aku bawa dokter kandunganku kemari?" Tantang Rachel.
"Nggak perlu. Kelamaan." Mia meraih sebuah gelas kosong. Tadinya gelas itu berisi air, namun sudah dihabiskan oleh Aiden. "Lo kencing di sini."
"Hah?" Rachel memandangnya seakan muncul tanduk di kepala Mia. Bahkan Aiden juga ikut mengernyit.
"Toilet mana?" Mia menoleh ke arah Aiden.
Cowok itu menunjuk pintu di ujung ruangan.
"Ikut gue!" Mia mendorong bahu Rachel. Cewek itu menepisnya.
"Aku punya hak buat menolak!" Tukas Rachel.
Mia mendenguskan sebuah tawa. "Ikut gue ato gue pecahin kepala lo pake gelas?"
Aiden mengulum senyum. Ia duduk lagi di kursinya sambil melipat tangan di depan dada, menikmati pertunjukkan. Laki-laki sepertinya memang tidak usah mengurusi hal beginian. Lebih baik diselesaikan sesama perempuan. Kecuali kalau berakhir buruk bagi Mia, baru dia ikut campur.
"Aiden, bilang sama bocah nggak tau diri ini buat sopan sedikit!" Tegur Rachel.
"She can do whatever she wants (Dia bisa melakukan apapun yang dia mau)." Aiden mengedikkan bahu acuh. Dia heran dengan cara berpikir Rachel. Tidak ada yang mendukungnya di ruangan ini. Kenapa dia berpikir kalau Aiden berada di pihaknya?
"Lo banyak bacot, ah!" Mia menarik pergelangan tangan Rachel, setengah menyeretnya menuju kamar mandi.
Begitu pintu kamar mandi ditutup, Aiden meraih gelas yang tadi dibawa Mia, penasaran dengan isinya.
"Salt?" Gumam Aiden bingung setelah ia mengicipi sedikit dengan ujung jari.
***
"Buruan kencing!" Mia bersandar di wastafel sambil memandang Rachel.
"Kamu mau apa sih sama urineku? Mau di test pack? Kan tadi udah ada!"
"Gue nggak butuh test pack! Mau gue minum!" Jawab Mia ngasal.
"Gila kamu!"
"Ya gimana gue nggak gila, nyet? Lo ganjen banget sama laki gue, sampe dibelain ngeprank satu Indonesia! Udah, cepetan duduk terus kencing di situ!" Mia menunjuk toilet.
"Kalo aku nggak mau gimana?" Rachel mengangkat dagunya.
"Gue masukin kepala lo ke lubang toilet. Gue nggak main-main." Mia mendekat, wajahnya menunjukkan tekad bulat. Rachel menelan ludah.
Semua cewek di sekeliling Aiden otaknya gila semua. Kemarin Gie. Sekarang Mia. Cemas dengan ancaman Mia, tanpa sadar Rachel sudah jatuh terduduk di toilet. Mia menyerahkan gelas kosong padanya.
"Balik badan!" Hardik Rachel seraya menyambar gelas kosong itu.
Mia memutar bola mata. Ia berbalik menghadap tembok. Tak sampai dua menit, Rachel sudah selesai. Ia menyerahkan gelas yang berisi urinenya kepada Mia tanpa kecurigaan apa-apa. Mia hanya tersenyum sinis karena menyesal kemarin dia sempat merasa iri pada Rachel yang cantik dan tinggi. Dia lupa kalau otak Rachel kosong. Mungkin kecerdasannya diserap habis oleh Clara agar salah satu di antara mereka bisa jadi dokter.
Mereka berdua keluar dari toilet. Aiden hanya melirik sekilas. Cowok itu sudah kembali pada pekerjaannya, seakan tak terusik sama sekali.
Mia berjalan mendekat lalu mengambil garam dari atas meja kerja Aiden. Ia memutuskan untuk memulai pengecekan kehamilan di meja lain. Dia tidak mau mengganggu Aiden. Bagaimanapun, menaruh urine di dalam gelas pasti dianggap menjijikkan bagi cowok itu.
Urine Rachel hanya sedikit. Takarannya tidak sampai mengisi seperempat gelas. Mia menuangkan garam ke dalam gelas urine Rachel. Tidak terlalu banyak. Cewek itu hanya menakar kasar. Menggunakan pensil yang ia ambil dari meja kerja Aiden, Mia mengaduk isi gelas sampai garam larut. Mia mengatur timer di hpnya tak lama kemudian.
"Kalo cairannya berubah warna, lo hamil. Kalo nggak ada perubahan apa-apa, lo ngibulin satu Indonesia." Ujar Mia.
Rachel mengernyit, "Mana mungkin urine bisa berubah warna! Kamu mau nipu siapa, hah?!"
"Urine wanita hamil mengandung hormon hcG atau hormon kehamilan yang biasanya bakal langsung bereaksi sama bahan tertentu, termasuk garam. Kalo urine lo berubah warna jadi larutan putih kekuningan mirip susu-keju, berarti lo hamil. Kalo nggak ada reaksi apa-apa, ya berarti lo yang nipu."
Timer sudah berjalan satu menit lebih. Tak ada perubahan dalam gelas. Warna urine Rachel masih sama.
Mia menoleh ke arah Aiden yang masih menunduk untuk menekuri dokumen-dokumen pekerjaannya, "Si Mawar nggak hamil."
Aiden hanya mendongakkan kepala sebentar lalu tersenyum lembut ke arah tunangannya, "I know, chéri." Lalu ia kembali pada pekerjaannya lagi.
"Dasar sok tau!!" Seru Rachel pada Mia.
"Lo lupa ya kalo gue calon dokter?" Lawan bicaranya malah tersenyum manis. Dia sudah puas. Sekarang Mia percaya Aiden sepenuhnya.
Rachel baru akan membantah ketika pintu ruangan Aiden terbuka lebar.
Gie dengan gaun Versace selutut bermotif khas baroque dan warna emas-hitam masuk ke dalam ruangan. Kepalanya ditutupi topi super lebar. Jika Mia yang pakai, dia bakal dikatai norak. Tapi pada Gie, topi itu nampak sangat cocok. Tak akan ada yang berani mendebat karena bakal sepakat. Gie menggenggam sebuah clutch keluaran Bottega Veneta, sedangkan tangan lain sedang menempelkan hp di telinga.
"Oh. Rame sekali." Gie tersenyum lebar. Ia menurunkan kacamata coklatnya agar bisa memandang semua orang.
"Kamu datang lebih awal." Ujar Aiden dari kursinya.
Gie menempelkan hp ke dada, supaya lawan bicara di seberang telepon tidak mendengar. "Gie ngikutin GPS-nya Rachel. Dia kemari, ya udah Gie susulin." Cewek itu mengedipkan satu mata pada Rachel yang sekarang pucat pasi. Bagi Rachel, sosok Gie jauh lebih menakutkan daripada sepuluh kloningan Mia. Semua yang mendengar kalimat Gie barusan pasti langsung menyimpulkan kalau selama ini Rachel diawasi.
Mia memandang mereka bergantian. Tidak tahu harus bilang apa.
"Hai, Rach. Gie lagi telponan nih sama papa kamu." Sapa Gie ceria. Tatapannya sejak tadi terpaku pada Rachel. Mia agak cemas jika Rachel kelamaan di sini, dia bisa jatuh pingsan.
"A-apa?" Cicit Rachel terbata. Serius, Mia mendadak kasihan padanya. Demi Aiden, Rachel nekat melalui semua ini. Seharusnya dia sadar resiko berurusan dengan orang-orang berpengaruh macam Aiden atau Gie. Kalau Mia yang jadi Rachel, lebih baik dia langsung pindah ke Zimbabwe untuk memulai hidup baru dengan identitas baru.
Gie kembali menempelkan layar hp ke telinga. "I'm with your daughter now (Gie lagi sama anak kamu, nih). Wanna say something to her (Mau ngomong sesuatu sama dia)?"
"No. I'll talk with her later (Nanti aku ngomong sendiri)." Balas Papa Rachel di seberang telepon.
"C'mon (Ayolah). I don't mind at all (Gie nggak keberatan, kok). Let me put her on the line (Biar Gie kasih hpnya ke dia, ya). Wait a sec (Tunggu bentar)!" Gie mengulurkan hp pada Rachel setelah menekan tombol loudspeaker. "Talk with daddy (Ngomong sama papa)." Gie menggerakkan mulutnya tanpa suara.
Rachel maju setengah langkah. Dia takut ditatap Gie. Padahal cewek itu tersenyum manis padanya.
"Pah?" Akhirnya Rachel dapat menemukan suaranya lagi.
"Dasar anak nggak tahu diuntung!" Ujar Papa Rachel dengan suara rendah, mirip seperti sedang menahan kekesalan di ubun-ubun. "Apa maksudmu ngomong ke seluruh Indonesia kalau kamu hamil, hah? Bikin malu keluarga! Tingkahmu itu mirip pelacur! Bangga sudah buka aibmu sendiri ke seluruh Indonesia?!"
"Bukan gitu, pah-"
"Gara-gara kamu, karir papah terancam hancur di Amerika! Anak nggak tau diri! Bikin masalah aja bisanya!"
Dengan wajah syok, Rachel menangis. "Papah-"
"Kamu sungguhan hamil? Anak Aiden dari Delavega Enterprises?"
Suara Rachel tercekat. Dia kesulitan menjawab.
"Jawab, Rachel!"
"E-enggak, pah."
"Goblok." Gumam sang Papa, kedengaran agak frustasi karena memikirkan tingkah sang anak. "Besok papah pulang ke Surabaya. Kita bicara di rumah. Sekarang kembalikan hpnya ke bu Regie!"
"I'm here (Gie di sini)." Gie sudah menempelkan lagi hp ke telinganya sendiri. Loudspeaker dimatikan. "Yup. The news is kinda big here (Beritanya lumayan heboh, sih). Don't worry, Aiden is on the way to fix everything (Jangan khawatir, Aiden lagi berusaha membereskan semuanya). You owe him big this time (Kali ini kamu berhutang besar padanya)."
Rachel yang sudah tak kuasa menahan tangis dan perasaan malu, langsung keluar dari ruangan Aiden. Dia pergi. Mia yakin seyakin-yakinnya kalau sekarang Rachel sudah kena batunya. Dia tak akan membuat masalah lagi.
"Yeah. We can continue when you're here (Kita lanjutkan saat kamu sudah di Surabaya). Safe flight tomorrow (Hati-hati di jalan besok). Bye." Gie mengakhiri panggilan. "Aduh, Gie haus. Ini teh apa?" Gie hampir menyentuh gelas di atas meja saat Mia dan Aiden kompak berteriak.
"JANGAN!" Bahkan Aiden sudah berdiri dari kursinya.
Gie mengerjap bingung.
Giliran Lisa yang masuk sambil membawa baki berisi teko dan gelas yang terbuat dari keramik. "Mrs. Tan, this is your tea (Nyonya Tan, ini teh anda)." Dia datang tepat waktu.
Gie langsung menggeleng, "Mrs. Anthaka." Koreksinya. Anthaka adalah nama keluarga Galang, suaminya.
Lisa tersenyum, "My apologies (Maafkan saya)."
"Accepted (Dimaafkan)." Gie memasukkan hp ke dalam clutch. "Isi gelas itu apa?"
"Urine." Jawaban Mia mengundang kernyit jijik di wajah Gie.
Lisa langsung membereskan meja. Ia memindahkan teko dan gelas untuk Gie sebelum meletakkan gelas berisi urine dan garam ke atas baki. Dia pamit keluar setelahnya.
"Buat?" Lanjut Gie, antara penasaran dan bingung.
"Ngecek kehamilan Rachel. Membuktikan kalau dia bohong."
"Pakai apa?"
"Garam."
"Emang bisa? Efektif? Tau gitu Gie nggak usah pake test pack kemarin. Biar hemat."
Mia menggeleng, "Belum ada riset ilmiah yang membuktikan kebenaran atau keakuratannya. Ini cuma salah satu cara tradisional yang gue tau. Kalo mau yakin ya periksa ke dokter."
Gie geleng-geleng kepala. "Kamu cerdik." Ia tertawa kecil. Kini dia memandang teko di atas meja dengan dahi berkerut. "Gie libur minum teh, deh." Ia mengenakan kembali kacamatanya.
Mia menoleh ketika pinggangnya tiba-tiba disentuh Aiden. Cowok itu sudah berdiri di sebelahnya. Ketika Mia mendongak, ia merasa buruk karena telah memukul cowok itu semalam. Jika dilihat dengan seksama, pipi Aiden kelihatan bengkak sedikit.
"Sakit, ya?" Mia meringis, merasa kasihan.
"Sedikit." Aiden mengecup pipinya. "Saya mau keluar sama Gie. Urusan pekerjaan. Selesai di rumah sakit, kamu pulang ke apartemen, ya?"
Mia hanya mengangguk kecil.
"Kita bicara nanti. Tunggu saya pulang." Tak puas hanya mengecup pipi Mia, Aiden menarik cewek itu lebih dekat agar dapat mencium bibirnya. Cowok itu yakin kalau sekarang Mia sudah tidak marah lagi padanya. Di lain pihak, Mia agak terkejut karena Aiden tiba-tiba nyosor begini. Mereka kan tidak sedang sendirian. Selagi bibirnya dilumat habis oleh Aiden, Mia melirik Gie takut-takut. Istri Galang itu hanya mengamati mereka sambil tersenyum tipis. Samar sekali.
Mia berhasil menjauhkan dirinya dari Aiden. Cowok itu jelas kecewa. Nampak jelas dari ekspresinya. Dia masih merindukan Mia.
"Ke-ketemu di rumah." Mia melepaskan diri dari dekapan Aiden. Wajahnya merona.
"Ah, mata Gie kelilipan cinta." Gie memandang ke atas. Mia yakin kalau cewek itu sedang mengerjapkan mata berkali-kali dari balik kacamatanya.
Aiden memutar bola mata, "Kamu menyindir. Siapa suruh berdiri di situ?"
Gie membuka lengannya lebar-lebar, "Terus wanita hamil ini harus berdiri dimana, Yang Mulia? Harusnya kalian yang cari kamar dulu, baru mesra-mesraan kayak tadi!" Protes Gie tak terima.
"Kalian bukannya mau pergi?" Mia berinisiatif untuk menengahi.
Gie jadi orang pertama yang berbalik menuju pintu.
"Ketemu di rumah." Aiden mengusap kepala Mia sebelum ia pergi menyusul Gie.
Mia menghela napas lega seraya menatap punggung lebar Aiden yang menghilang di balik pintu. Masalahnya berkurang satu.
***
Kalau kalian senekat Rachel, gimana rasanya dapet lawan kayak Gie?
Mia mainnya curang. Masa dapat bala bantuan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top