4 | BLOODLINE

Aiden baru kembali ke apartemennya lewat tengah malam. Badannya capek sekali. Memulai bisnis di Indonesia ternyata tidak semudah di Singapura. Terlalu banyak birokrasi rumit yang harus ia lalui demi mendapat kepercayaan rekan-rekan baru yang potensial.

Hampir dua dekade bergelut di dunia kontraktor listrik membuat namanya cukup dikenal. Dunia kelistrikan lingkupnya ya di situ-situ saja. Aiden banyak mengenal orang dari bidang yang sama dan bertemu lagi di sini. Kali ini perusahaannya sedang berusaha mendapatkan deal kerja sama pekerjaan instalasi listrik baru di sebuah pabrik pembuatan mobil. Pekerjaannya sih biasa saja. Sudah bertahun-tahun ia mengerjakan instalasi listrik baru sejenis itu. Hanya saja, kali ini kliennya menginginkan panel surya sebagai sumber tenaga listrik di pabrik mereka. Dibutuhkan dua juta panel surya dengan kualitas tertentu agar proyek ini dapat berjalan. Sedangkan tidak banyak produsen yang dapat memenuhi standarnya.

Selesai mandi, Aiden mengambil baju di kloset dan mendapati kalau persediaan bajunya sudah habis. Yang tersisa hanya kaos dan celana pendek bekas semalam. Dia tidak punya mesin cuci di apartemen. Belum sempat beli juga. Tidak ada pilihan lain selain keluar untuk laundry.

Ketika sedang mengeluarkan baju kotor dari koper yang belum sempat dibongkarnya sejak dari Swiss seminggu yang lalu, ia menemukan sebuah sepatu perempuan yang haknya sudah patah. Hanya satu sisi. Ia tidak menemukan sepatu sisi satunya.

Milik siapa, ya?

Aiden coba mengingat-ingat. Beberapa detik kemudian senyumnya terbit.

Sepatu ini milik Amelia.

Ingatan tentang ciuman mereka di Swiss membuat senyum Aiden makin lebar. Ciuman itu indah di awal, namun menyebalkan di akhir. Aiden ingat kalau dia sampai harus mandi air dingin tengah malam gara-gara Mia.

"Et elle rappelle jamais (Dan dia tidak menghubungiku lagi)." Gerutu Aiden dalam bahasa Perancis.

Ia memindahkan sepatu rusak itu ke dalam sebuah lemari kaca, dimana ia menyimpan beberapa koleksi parfum miliknya. Sepatu itu ia anggap sebagai kenang-kenangan. Siapa tahu takdir membawanya bertemu pada si pemilik sepatu. Kalaupun bertemu, entah apa yang akan ia lakukan pada cewek itu.

Usai memasukkan semua baju kotor ke dalam kantong, ia mengambil kunci lalu keluar dari apartemen.

***

Aiden baru turun dari mobil dan mendesah lega karena tempat laundry yang ia datangi ternyata sepi. Setelah setengah jam berkeliling, akhirnya ia menemukan satu tempat laundry yang buka 24 jam.

Di dalam sana hanya ada satu pelanggan. Cewek. Sebuah motor matic diparkir di depan tempat laundry.

Sebuah lonceng berdenting saat pintu tempat laundry dibuka oleh Aiden. Hanya satu mesin yang sedang beroperasi, milik si pelanggan cewek yang ia lihat tadi. Cewek itu duduk membelakanginya. Saat Aiden berjalan melewati cewek itu, barulah Aiden menyadari kalau si cewek yang dilihatnya sedang serius mencatat. Dua buku tebal dan beberapa jurnal terbuka sekaligus di atas meja. Kepalanya sedang menunduk, benar-benar serius. Aiden sempat mengintip kalau tulisan tangannya sangat berantakan sampai ia tidak bisa memahami isi tulisan itu. Rambutnya yang hitam dicepol sembarangan di atas kepala agak berantakan. Beberapa helai rambut keluar dari ikatannya. Sebuah kacamata bulat bertengger di hidung. Aiden tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas.

Cewek itu mengenakan kaos putih agak tipis. Kaos itu mencetak bayangan bra merah di baliknya. Bawahannya hanya berupa celana sport kuning super pendek, memamerkan kedua kakinya yang ramping dan jenjang. Aiden tahu kaki cewek itu jenjang meski ia duduk sambil menyilangkan kaki di bawah meja.

Aiden memasukkan baju-baju kotor yang sudah ia pilah sebelumnya di rumah. Sambil menunggu cucian selesai, ia menarik kursi yang tak jauh dari cewek itu duduk. Aiden mengeluarkan buku sketsa. Dia sering menggambar sketsa pakai pensil kalau sedang jenuh. Kali ini dia ingin menggambar ruang laundry, karena saking tidak ada kegiatan lagi. Mau main hp juga malas, matanya sudah seharian menatap layar. Perlu diistirahatkan.

Aiden baru menarik satu garis di atas kertas saat sesuatu menarik perhatiannya. Cewek itu mengangkat kepala untuk mengambil tumbler di dekat buku. Aiden merasa familiar dengan wajahnya, tapi tidak langsung ingat siapa dia. Karena rasa penasaran itulah Aiden mengeluarkan hp untuk mengambil gambar cewek yang kini sudah kembali berkutat dengan tugas-tugasnya. Senyum di wajah Aiden terkembang lebar saat ia men-zoom hasil jepretan barusan.

Tidak salah lagi. Pikir Aiden.

Ia meletakkan buku sketsa di atas meja, lalu bangkit untuk menghampiri si cewek laundry.

Kali ini Aiden benar-benar memperhatikan buku dan jurnal apa yang sedang dipelajari oleh cewek itu. Isinya tentang forensik dan segala yang berhubungan dengan ilmu kedokteran. Kini tatapan Aiden beralih pada tumbler di depannya. Ia curiga kalau isi tumbler ini adalah minuman keras.

Mia mengangkat kepala saat menyadari seseorang mengangkat tumblernya. Bukan hanya mengangkat, namun juga membuka tutupnya serta mengendus isinya.

"Oh, kopi. Saya kira bir atau wiski." Suara serak-serak maskulin cowok itu langsung memicu ingatan Mia. Cewek itu otomatis terhenyak kaget.

Aiden mengembalikan tumbler ke atas meja. Ia memandangi Mia dengan tatapan intens. "Kenapa nggak menghubungi saya?" Muncul kerutan di dahi Aiden saat menanyakan itu.

Mia masih melongo dengan wajah blank. Terlalu terkejut. Segini luasnya Surabaya, mereka malah bertemu di titik ini. Di tempat laundry yang sama. Pada jam yang sama pula.

Kebetulan macam apa ini?

Tidak mendapat jawaban Mia, Aiden menarik kursi di sebelahnya. Ia duduk sambil menyandarkan tubuh dengan gaya santai.

"Kaget, ya?" Tebak Aiden. "Saya juga. Tapi nggak sekaget kamu." Lanjutnya.

Mia buru-buru mengendalikan diri. "Lo ngikutin gue, ya?" Ia ingat kejadian pelecehan di Swiss. Amarahnya terbit. Ingin sekali ia menggampar wajah Aiden. Tapi kok ya sungkan?

Bibir Aiden berkerut, seakan sedang menahan senyum. Ia menggeleng. "Saya lagi nyuci baju." Ia menunjuk mesin cuci di belakangnya yang sedang berputar dengan ibu jari.

"Indonesia itu luas, om! Jangan harap gue- saya percaya takdir gegara ketemuan sama situ di sini!" Meski kesal, Mia otomatis membenahi cara bicaranya pada Aiden. Mau bagaimanapun, Aiden ini lebih tua 14 tahun darinya. Berasa sedang bicara dengan Om sendiri.

Aiden kelihatan tertarik. Ia mencondongkan tubuh ke depan sambil melipat tangan di atas meja. "Kalau memang takdir bagaimana?" Tantangnya.

"Hidih. Amit-amit." Mia mengetuk permukaan meja dengan buku jari. "Om belum minta maaf sama saya!"

"Minta maaf kenapa, ya?"

"Yang kemarin. Waktu di Swiss. Om mencabuli saya, kan??"

Giliran Aiden yang terhenyak. Ia tahu arti kata 'mencabuli'. Konotasinya jelas negatif.

"Kok gitu?" Aiden malah balik bertanya.

"Bangun tidur saya telanjang, om. Terus-"

"No. Kamu masih pake celana dalam." Potong Aiden.

"-terus badan saya ruam-ruam merah!"

"Mungkin karena efek saya nggak bercukur." Aiden mengusap wajahnya yang kasar.

"Ah, kampret!" Umpat Mia sebal. "Saya kemarin dikasih obat bius, ya??"

Aiden menggeleng. Wajahnya masih tenang. "Gimana saya kasih kamu obat bius? Kan birnya kamu sendiri yang buka pake gigi."

Mia terdiam sambil mengingat-ingat. "Tapi tetap aja! Baju saya dikemanain sama om?"

"Saya copot, biar kamu tidur dengan nyaman." Aiden hampir menggigit lidahnya sendiri saat bicara. Niat awal waktu itu memang membuat Mia tidur lebih nyaman, sebelum ia merobek gaun Mia dengan kasar. Gaun itu sudah ia buang.

Kedua mata Mia membulat. "Itu gaun mahal! Rancangan desainer!"

Aiden menggaruk lehernya, merasa agak tidak nyaman. "Maaf, ya." Untuk mengalihkan topik, Aiden menunjuk tugas-tugas Mia. "Kamu sekolah kedokteran?"

Mia menutup semua bukunya dengan kasar, lalu menumpuk buku-buku itu jadi satu. Saat ingat tugas dan laporan harus dikumpulkan besok pagi, ia membuka lagi buku-bukunya. Mia merasa kalau dia pasti terlihat bodoh saat ini.

"Saya nggak akan ganggu. Lanjut aja. Selesai laundry, saya pulang." Aiden melipat kedua tangan di depan dada. Tatapannya menyuruh Mia agar tidak memedulikan kehadirannya di situ.

"Kemarin saya diapain aja sama om?"

Aiden mendecakkan lidah. "Masa kamu nggak ingat sama sekali? Anything?"

Mia menggeleng. Dahinya masih berkerut karena perasaan dongkol. "Nggak inget. Namanya juga lagi teler. Bangun-bangun badan saya merah semua. Terus tadi om bilang gegara om nggak cukur. Emang om nyiumin badan saya?"

"Iya. Kamu yang duluan cium saya. If my beard or brisle hurted you, I am sorry (Kalau jambang saya melukai kamu, saya minta maaf)."

Mia membelalak, "Seenak jidat kalo ngomong! Kan saya teler, kok bisa cium-cium situ?!"

"I don't know, Amelia (Mana saya tau, Amelia). You kissed me just like that (Kamu yang cium saya gitu aja). And I kissed you back (Saya balas cium kamu lah). I'm not sorry for that part (Saya nggak menyesali bagian yang itu)."

Mia menggaruk kepalanya. "Lanji* banget gue jadi orang, ya?" Kalau dalam keadaan bingung begini, kosakata Mia pasti tidak beraturan. Dia seringkali mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa Banjar, tempat asal Mamanya.

*Bahasa Banjar: Kelakuan wanita tidak sopan

"Bagaimana kabar kamu?" Aiden memutuskan untuk mengalihkan topik lagi.

"Baik." Mia masih belum sembuh dari kebingungannya.

"Kamu belum jawab pertanyaan saya yang tadi."

"Yang mana?"

"Kenapa nggak menghubungi saya? Nomor saya nggak kamu simpan?"

"Enggak. Ngapain nyimpen nomor om?" Dahi Mia berkerut tak mengerti.

"Saya mau ngajak kamu makan malam setibanya kita di Indonesia."

"Tau dari mana saya di Surabaya? Kalo ternyata saya di Jakarta gimana?"

"Saya terbang ke Jakarta kan bisa. Dekat aja naik pesawat."

"Itu dia! Ngapain bela-belain ke Jakarta buat makan sama saya?"

"Karena saya mau. I think we can be friends (Saya rasa kita bisa jadi teman)."

"Saya nggak mau temenan sama situ! Nanti dikira orang-orang saya jadi simpenan om-om."

Aiden tiba-tiba tertawa. Suara tawanya menyenangkan bagi telinga Mia. Dia ingin tersenyum kalau saja ia tidak penasaran bagian mana dari kata-katanya barusan yang lucu.

"Maaf." Aiden berusaha keras menahan tawanya. "Saya nggak tau kalo orang Indonesia sebegitu pedulinya dengan hal pertemanan beda usia."

"Konotasi cewek seumuran saya bergaul sama om-om itu pasti buruk. Yaa... meskipun muka om nggak keliatan banget kalo udah empat puluh."

"Tiga delapan, Amelia." Koreksi Aiden.

"Elah, kurang dua tahun juga udah empat puluh, kan?"

"Kamu sendiri bagaimana? Keberatan berteman sama saya? Di luar masalah apa kata orang."

Mia menggaruk pelipisnya, menimbang-nimbang. "Saya sih nggak masalah mau berteman sama siapa juga. Tapi kejadian kemarin yang bikin saya ogah-ogahan. Bertahan di sini sambil ngobrol sama situ aja, saya udah males banget sebenernya."

"Oh." Ada ekspresi terluka di wajah Aiden. "Kamu menyesal sekali, ya?"

"Iyalah! Eh tapi om..." Mia mencondongkan tubuhnya ke depan. "Kemarin kita nggak ML, kan? Having sex? Bobok bareng? Enggak kan?" Cewek ini benar-benar tidak peka dengan perasaan tersinggung Aiden di depannya.

Aiden menggeleng. "Saya tidur di kamar saya sendiri."

Mia menghela napas lega. "Syukur deh!"

Aiden memperhatikan Mia, betul-betul memandangnya lekat-lekat. Sedangkan Mia sendiri seakan tidak peduli kalau sedang diperhatikan. Ia kembali menekuri tugas-tugasnya yang belum selesai. Sadar tidak mendapat perhatian Mia lagi, Aiden mengambil buku sketsanya.

Selama sepuluh menit mereka saling terdiam, sibuk dengan urusan masing-masing. Di luar hujan lagi. Rintik-rintik kecil. Keheningan itu menyenangkan bagi Aiden.

Ting ting ting.

Kepala Mia langsung mendongak begitu mendengar suara tukang bakso lewat. Ia bangkit berdiri sambil membawa dompet. Cewek itu keluar dari pintu untuk menghampiri tukang bakso yang kebetulan juga ngetem di depan tempat laundry.

Tak berapa lama, kepala Mia menyembul dari balik pintu. Suara denting bel membuat Aiden mengangkat kepala.

"Om, bakso nggak? Saya traktir."

Aiden melihat jam tangannya. Sekarang pukul setengah dua pagi. Dia belum makan malam. Akhirnya ia mengangguk.

"Om, saos sambel kecap, nggak?"

Aiden menggeleng.

"Om, pake sayur nggak?"

Aiden mengangguk.

"Om?"

Aiden menunggunya bicara.

"Ke depan kek bantuin bawa mangkoknya!" Mia cemberut sebelum keluar dari pintu.

Aiden mengulum senyum. Ia meletakkan buku sketsanya yang sudah hampir jadi untuk menyusul Mia.

***

Hujan di luar masih rintik-rintik. Padahal Mia sudah bersiap pulang. Dia tidak bawa jas hujan. Jam di layar hpnya sudah menunjukkan pukul setengah tiga pagi. Dia butuh tidur secepat mungkin karena nanti kebagian shift pagi.

Aiden baru selesai mengepaki semua cuciannya yang sudah bersih dan wangi. Melihat Mia masih bertahan di tempat laundry, dia jadi penasaran.

"Belum pulang?"

Mia menunjuk langit di luar, "Gerimis."

"Saya anter aja."

Kini telunjuk Mia menunjuk motornya di luar, "Bawa motor."

"Motor matic kan itu? Bawanya langsung digas aja, kan?" Aiden memperhatikan motor Mia. Cewek itu hanya mengangguk, meskipun tidak paham dengan arah pembicaraan Aiden. "Kamu bisa nyetir mobil, kan?"

Mia mengangguk lagi.

"Kamu bawa mobil saya. Barang-barangmu masukin mobil juga. Saya bawa motor kamu, ngikutin dari belakang."

"Lah? Nggak usah!" Mia buru-buru menolak. Ia geli membayangkan bule segede Aiden naik motor matic.

"Nggak apa-apa. Hujannya bakal lama. Nanti kamu nggak pulang-pulang."

"Tapi saya nggak bawa jas hujan. Nanti om kehujanan terus masuk angin begimana?"

Aiden melirik Mia sekilas, "I am not that weak (Saya nggak selemah itu). Hujannya nggak dingin."

Mia manggut-manggut. Bagi Mia hujan jam segini sangat dingin. Tapi kalau buat bule seperti Aiden, suhu dingin tempat tropis seperti angin sepoi-sepoi. Di luar negeri dia terbiasa kena hawa dingin di bawah nol derajat kalau sudah musim salju.

"Nanti basah dong?"

"Kalau kebasahan tinggal ganti baju kan bisa." Aiden mengangkat kantongnya. "Let's go!" Ia mengambil alih kantong baju Mia lalu memimpin jalan menuju tempat mobilnya sedang diparkir.

Mia bersiul saat melihat mobil Bentley hitam milik Aiden. Ini kan mobil impian Ullie. Dapat kesempatan nyetir mobil mewah, nih.

Usai memasukkan semua bawaan mereka ke jok belakang, Aiden dan Mia bertukar kunci kendaraan. Cowok itu membukakan pintu pengemudi agar Mia cepat masuk. Hujannya makin deras.

"Slow down, okay (Pelan-pelan, ya)?" Mia mendecakkan lidah pada Aiden karena mengira Aiden khawatir dia bakal meninggalkan cowok itu di belakang. Padahal maksudnya lebih karena Aiden khawatir Mia ngebut dan tidak hati-hati lalu bannya selip hingga kecelakaan.

***

Hujan dini hari makin deras. Sampai di rumah Mia, Aiden basah kuyup. Kantong baju sudah Mia keluarkan semua dari mobil, termasuk milik Aiden juga karena Mia berpikir kalau cowok itu akan ganti baju di rumahnya.

"Thank you." Aiden memilih baju ganti bersih dari dalam kantong. Ia mengambil sepasang celana pendek dan kaos plus dalaman juga.

"Kamar mandi lurus aja. Dekat dapur." Ujar Mia.

Rumah tipe 36 milik Anton ini tidak sebesar itu sampai membuat Aiden tersesat karena salah pintu.

Sembari menunggu Aiden ganti baju, Mia membuatkan dua gelas coklat panas untuk mereka. Mau Aiden menyangkal dia tidak kedinginan, kalau basah kuyup begitu bisa-bisa besok dia masuk angin.

"Amelia, I need a towel (Saya butuh handuk)." Ujar Aiden dari kamar mandi.

Setelah meletakkan dua gelas coklat di atas meja ruang tamu, Mia masuk ke dalam kamar untuk mengambil handuk bersih. Ia mengetuk pintu kamar mandi.

"Om? Handuknya."

Hanya tangan Aiden yang menyembul dari balik pintu.

"Thanks again." Sahut Aiden sebelum menutup pintu lagi.

Karena bosan duduk di ruang tamu karena menunggu Aiden, Mia masuk ke kamarnya lagi. Ia membuka lemari kaca tempat dua alat musik tradisional suku Dayak disimpan. Keduanya adalah alat musik petik seperti gitar. Yang satu namanya Kacapi, alat musik yang dimainkan suku Dayak Ngaju-Kalimantan Tengah dengan dua senar dan ujung berbentuk kepala burung Enggang. Sedangkan yang satunya disebut Sape, sama-sama alat musik petik namun sering dimainkan oleh suku Dayak Kenyah, Kalimantan Timur dan suku Dayak Kayan dari Kalimantan Utara. Senarnya lebih banyak dari Kacapi karena berjumlah empat dawai. Bentuknya pun lebih besar dan montok daripada Kacapi yang ramping.

Cukup lama Mia menimbang-nimbang alat musik mana yang akan ia mainkan. Lama menimbang, akhirnya pilihan Mia jatuh pada Sape. Diambilnya alat musik itu dari dalam lemari agar ia bisa membawanya ke ruang tamu.

Sape milik Mia terbuat dari kayu mahoni berukir. Alat ini ia dapat sebagai hadiah ulangtahun yang ke-14 tahun dari Kai-nya (dibaca: ka-i, sebutan untuk kakek dalam bahasa Banjar). Kai sudah meninggal enam tahun yang lalu akibat penyakit kanker prostat. Jadi Sape ini lebih mirip barang kenang-kenangan.

Setelah menyetem atau mengatur nada pada Sape-nya, Mia mulai memetik senar sesuai mood saat ini. Sebuah senyum samar muncul tanpa ia sadari. Kenangan akan masa kecilnya selalu muncul setiap ia bermain Sape. Lama kelamaan, nada acak yang Mia mainkan berubah menjadi sebuah lagu. Kali ini lagunya berjudul Lan E, sebuah lagu dari musisi Serawak, Jerry Kamit. Nadanya sederhana, namun tidak membosankan meski diulang berpuluh-puluh kali. Mia terbawa perasaan. Ia bahkan tidak sadar kalau sejak tadi Aiden berdiri memperhatikannya.

"Kenapa berhenti?" Aiden mengernyit saat Mia meletakkan alat musiknya di pangkuan.

"Diliatin om. Kan saya malu."

"Itu alat musik apa? Seperti gitar, tapi suaranya berbeda."

"Namanya Sape. Asalnya dari Kalimantan. Keluarga mama saya asalnya dari sana." Aiden duduk di sebelah Mia, masih mengagumi alat musik yang baru cewek itu mainkan.

"I've never seen anything quite like this before (Saya nggak pernah lihat yang seperti ini)." Pujinya. "May I (Boleh pegang)?"

Mia mengangguk seraya menyerahkan alat itu pada Aiden. Ia tersenyum saat memperhatikan ekspresi penuh kekaguman dari cowok bule yang baru pertama kali pegang Sape. Jari-jari Aiden menekuri guratan ukiran di badan Sape. Tak berapa lama, Aiden mengembalikan alat itu pada Mia lagi.

"Mainkan lagi. Saya suka suaranya."

"Lagu apa?"

"Terserah kamu."

Mia memeluk Sape-nya sambil berpikir. Tiba-tiba sebuah lagu terlintas di kepalanya. Untuk bule seperti Aiden, lebih baik dimainkan lagu yang lebih internasional. Kali ini ia memainkan We Don't Talk Anymore­ dari Charlie Puth ft. Selena Gomez. Kedua mata Aiden membulat karena tidak menyangka alat musik tradisional bisa memainkan lagu populer.

Begitu lagu selesai, Mia menengadahkan kedua tangannya di depan Aiden. Sape ia letakkan kembali di pangkuan.

"Apa?"

"Mainin Sape nggak gratis. Bayar." Tagih Mia.

Tanpa berkata apa-apa, Aiden mencondongkan tubuhnya ke depan agar bisa mencium pipi kanan Mia. Cewek itu terkejut bukan main sampai tidak bisa mengelak. Ia memegangi pipi yang habis dicium Aiden dengan kedua mata membelalak.

"Itu upahnya. Terima kasih." Aiden tersenyum lebar.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top