39 | TEMPERAMEN

Saat Mia turun dari lantai dua, ruang tengah mendadak lebih ramai karena kedatangan tamu.

"Selamat pagi, miss Amelia." Lisa sudah cantik dan rapi seperti biasa. Ia menyapa Mia dengan senyum lebar iklan pasta gigi. Ia meletakkan kedua tangan di belakang punggung. Di sampingnya berdiri satu orang laki-laki berbadan tegap mirip pegulat dengan setelan formal dan kacamata hitam. Kepalanya plontos, menambah kesan gahar pada dirinya. Di sebelahnya berdiri seorang wanita berambut pendek dengan setelan yang sama. Tubuhnya tinggi dan sama tegapnya.

"Umm... Pagi." Balas Mia.

"Mr. Delavega sudah berangkat sejak tadi karena hari ini ada rapat pemegang saham di Singapura. Beliau akan kembali agak larut. Mr. Delavega tidak tega membangunkan anda tadi pagi, jadi beliau meminta maaf karena pergi tanpa pamit."

Mia sudah baca pesan dari Aiden saat bangun tidur tadi. Mungkin cowok itu mengira Mia tidak sempat buka pesan darinya sehingga menitipkan pesan juga pada Lisa.

"Oooo-ke?" Mia benar-benar kelihatan ragu. Kedua matanya terus-terusan melirik dua orang baru mirip manusia setengah robot yang pagi-pagi sudah bertamu ke apartemen orang. Cewek itu sudah sampai di ujung tangga, berniat melewati mereka semua untuk mengambil air di dapur.

"Mulai hari ini miss Amelia akan ditemani bodyguard."

Kata-kata Lisa barusan sukses membuat Mia tercengang, "Gi-gimana?"

Lisa bergeser agar Mia dapat melihat dua bodyguardnya lebih jelas. "Perkenalkan, ini Tio. Dia mantan pegulat profesional sekaligus petarung MMA (Mixed Martial Arts), pemegang DAN VIII ilmu bela diri Jiu Jitsu." Mia belum sembuh keterkejutannya saat Lisa melanjutkan, "Yang ini Ryn. Dia juga mantan petarung MMA sekaligus instruktur bela diri Krav Maga. Kalau miss Amelia tidak tahu, itu bela diri yang berasal dari Israel. Mematikan."

Mia berdiri terpaku dengan mulut sedikit terbuka.

Bodyguard? Untuk Mia? Apa nggak berlebihan?

Melihat kebingungan di wajah Mia, Lisa tersenyum kecil. "Mereka berdua akan menemani miss Amelia melakukan aktivitas. Mr. Delavega sendiri yang menerima laporan langsung dari Tio dan Ryn tentang apa yang terjadi seharian pada miss Amelia. Jadi mohon kerjasamanya."

Mia mengerjapkan mata, akhirnya mampu menguasai diri. "E-emang harus, ya? Saya kan lagi koas di rumah sakit, masa diikutin kemana-mana sama mereka?"

"Maaf, miss. Ini perintah Mr. Delavega sendiri. Saya tidak berani membantah. Ambil hikmahnya, wartawan yang menunggu di rumah sakit tidak akan bisa macam-macam pada anda. Tio dan Ryn akan menghadang mereka. Jika dua orang kurang, maka saya akan mendatangkan bodyguard lain untuk melindungi anda."

"Du-dua cukup!" Mia hampir berseru saat mengatakannya. Ia melihat jam lewat layar hp. "Hampir telat." Cewek itu berjalan melewati mereka semua menuju pintu.

***

Sama seperti jumlah pesawat yang dimiliki Aiden, Mia juga bertanya-tanya berapa jumlah mobil di garasi Aiden. Apartemen ini punya garasi pribadi untuk pemilik unit yang membutuhkan tempat parkir pribadi bagi seluruh kendaraan yang mereka miliki. Sejauh ini, Mia baru melihat satu Bentley yang sering dipakai Aiden kemana-mana, dan tiga mobil sedan yang tertutup rapat oleh cover warna hitam. Jika dilihat dari bentuknya, mirip super car. Sayang Mia tidak tahu banyak tentang mobil, jadi dia tidak bisa menebak super car jenis apa.

Mia sampai geleng-geleng kepala karena memikirkan berapa nominal yang dikeluarkan Aiden untuk membayar pajak semua kendaraannya tiap tahun.

Kali ini Mia duduk anteng di kursi belakang Aston Martin warna putih yang bentuknya cukup mencolok jika melintas di jalanan kota Surabaya. Tio yang menyetir, sedangkan Ryn duduk di kursi depan. Lisa tidak ikut mereka karena ia langsung pergi ke bandara untuk menyusul Aiden di Singapura. Semua orang nampak sibuk melakukan apa yang Aiden perintahkan.

Mia menggigiti kuku jarinya dengan gelisah. Dia agak ngeri membayangkan banyak wartawan yang berkerumun di rumah sakit seperti kemarin di rumahnya. Mereka pasti akan mengganggu pasien dan pengunjung lain.

Apakah pihak keamanan rumah sakit sudah siap?

Di kursi depan, Ryn nampak sedang berbicara dengan seseorang lewat alat komunikasi yang menempel di telinga. Dari Ryn, Mia dapat mendengar kalau orang yang sedang berkomunikasi dengannya bertugas untuk menjaga keamanan di sekitar rumah sakit.

Mia hampir lupa kalau pemilik baru rumah sakit sekarang adalah Aiden. Mana mungkin cowok itu membiarkan orang yang tidak berkepentingan berkeliaran di sana saat situasi sedang kacau begini?

Tio memarkirkan mobil mereka di parkiran bawah tanah, dimana para dokter biasanya menggunakan lift khusus untuk langsung naik ke atas. Mereka melewati beberapa pos penjagaan yang belum pernah Mia lihat sebelumnya. Sejauh ini, situasi di rumah sakit masih aman terkendali. Mia hanya sempat melihat para wartawan bergerombol di depan rumah sakit saja. Jumlah mereka bejibun. Hanya dengan melihat jumlah mereka, Mia tiba-tiba terkena serangan panik. Padahal dia tidak punya penyakit semacam itu.

"Kalian cuma boleh berjaga di depan ruang radiologi. Nggak boleh masuk!" Cetus Mia ketika mereka sudah berada di dalam lift.

Tio dan Ryn saling pandang. Mia tahu kalau kata-katanya tidak akan ada pengaruhnya pada mereka.

"Apa perlu saya telpon om Aiden langsung buat memastikan kalau kalian nurut apa kata saya?" Kedua alis Mia menyatu. Ekspresinya serius. "Kehadiran kalian bisa mengganggu para pasien yang butuh ke radiologi." Mia menatap mereka bergantian. "Boleh jagain saya, tapi jangan ganggu kerjaan saya biar kita sama-sama enak. Oke?"

Ding.

Pintu lift terbuka. Suasana rumah sakit ramai seperti hari-hari biasanya. Tanpa menunggu respon dari kedua bodyguard baru, Mia keluar dari lift dengan kepala setengah menunduk. Ia berjalan cepat menuju bagian radiologi tanpa mengangkat kepala. Tio dan Ryn setia mengekor di belakangnya. Kemunculan dua sosok dengan penampilan mencolok di belakang Mia cukup mengundang kernyit heran di wajah orang-orang yang melihat.

***

Dion dan Alisa yang awalnya ingin duduk semeja makan siang dengan Mia terpaksa harus mencari meja lain karena gemetar melihat wajah garang Tio dan Ryn.

Mia mendengus sebal.

"Temen-temen saya biasa duduk di sini. Kalian bisa pindah, nggak?"

Tio dan Ryn tidak merespon. Mereka berdua menatap sekeliling lewat kacamata hitam yang mereka kenakan. Mia ingin pindah, tapi hatinya sudah kesal luar biasa. Akhirnya dia memilih untuk berusaha menghabiskan makan siang secepat mungkin sambil duduk diapit dua bodyguard.

***

Hari ini adalah salah satu hari dimana pasien yang butuh dilayani di Radiologi sedang banyak-banyaknya. Tapi sejak pagi sampai jam dua siang begini, tidak ada pasien yang datang.

Kok tumben?

Mia berniat untuk mengecek keluar, sekalian jalan-jalan supaya tidak jenuh.

Begitu membuka pintu, barulah dia sadar kenapa hari ini tidak ada pasien.

Pasien-pasien yang sedang Mia tunggu sedang berdiri di depan Ruang Radiologi. Antrian mereka mengular cukup panjang. Nampak Tio dan Ryn sedang mewawancara para pasien dan memeriksa tas, serta baju mereka. Mbak-mbak frontliners juga ikut sibuk membantu.

"Ada apaan, nih?" Tanya Mia kebingungan.

Ryn menoleh padanya. "Kami sedang melakukan pemeriksaan menyeluruh pada mereka. Jaga-jaga kalau ternyata mereka wartawan yang menyamar."

"Biasanya wartawan seperti mereka cukup nekat sampai menyelundupkan kamera atau alat perekam mini di dalam tas dan baju." Tio menambahkan.

Mia memandangi mereka bergantian dengan wajah syok. Kemudian tatapannya beralih pada para pasien yang kebanyakan terlihat lesu. Bahkan ada seorang bapak-bapak lanjut usia yang dipapah oleh keluarganya agar bisa tetap berdiri di antrian.

"LO SEMUA GILA, YA? MEREKA INI PASIEN!" Mia naik pitam. Tio dan Ryn sama-sama terkejut. "DARIPADA NYUSAHIN DI SINI, MENDING LO BERDUA KELUAR!" Cewek itu sudah tak peduli lagi dengan sopan santun.

Kurang ajar sekali mereka karena sudah begitu lancang menghalangi para pasien mendapat pelayanan. Dada Mia sudah bergemuruh karena emosi.

Ekspresinya berubah saat ia bicara dengan pasien di antrian terdepan.

"Mohon maaf atas ketidak nyamanannya ya bapak dan ibu sekalian. Mereka adalah petugas keamanan yang keliru menerima perintah. Mohon maaf sekali lagi. Silahkan..." Mia sampai membungkukkan badannya saat meminta maaf. Ia memberi isyarat pada mbak-mbak frontliners serta teman-teman koasnya yang lain untuk segera memulai pelayanan. Bahkan pengaruh dokter jaga di sana tidak ada apa-apanya.

"Miss Amelia, ini perintah-" Kalimat Ryn terpotong oleh tatapan judes Mia. Kedua bodyguard itu menyingkir dari antrian dan hanya bisa melanjutkan pekerjaannya dengan mengamati dari luar.

***

Mia baru selesai menyiapkan makanan pukul sembilan malam. Bersamaan dengan itu, pintu depan dibuka oleh Aiden. Seperti yang dikatakan Lisa tadi pagi, Aiden memang pulang sangat larut.

Aiden meletakkan tasnya di atas sofa dan segera pergi menemui Mia di dapur. Ia langsung memeluk Mia dari belakang. Seharian tidak bertemu sudah membuatnya serindu ini pada Mia. Ia membenamkan wajahnya ke ceruk antara leher dan bahu Mia, menghirup aromanya dalam-dalam.

"Hai, chéri." Bisik Aiden di telinga Mia.

Cewek itu tidak merespon. Dia diam saja dan lebih sibuk menyiapkan piring makan malam. Aiden mengernyit heran, namun ia tak melepaskan pelukan.

"What's wrong (Ada apa)?"

Mia menghela napas, "You know exactly what's wrong (Om tau persis apa yang nggak beres)."

Aiden memutar tubuh Mia agar ia bisa memandangnya. "Kalau ini masalah bodyguard-"

"Mereka ganggu kerjaan saya di rumah sakit!" Potong Mia sebelum Aiden menyelesaikan kalimat. Ia berjalan melewati Aiden.

"Mereka hanya melakukan tugas-"

Mia berbalik, "Om ngerti nggak sih, rasanya lagi sakit tapi harus ngantri lama buat berobat?" Mia menunggu, namun Aiden tak bisa menjawab. Mana mungkin ia tahu rasanya. Kalau sakit ya tinggal panggil dokter ke rumah. "Nggak ngerti? Biar saya kasih tau. Rasanya capek, putus asa, kesal, nggak sabar! Pasien-pasien itu sudah sakit, tapi malah disuruh ngantri lagi buat digeledah!"

"Tio dan Ryn cuma melakukan protokol dasar, Amelia."

"Protokol katanya." Dengus Mia. "Saya nggak inget pernah bilang 'bersedia' buat ditemenin bodyguard kemana-mana!"

"Kalo saya bisa menemani kamu seharian, saya pasti akan melakukannya sendiri."

"Buat apa nemenin saya? Emangnya saya bayi?!"

Aiden menghela napas, "Duduk dulu. Kita bicarakan dengan tenang."

Mia menarik kursi dengan kasar. Aiden duduk di depannya. Mereka di batasi oleh meja makan dengan hidangan berlimpah. Mia menghabiskan waktu sepanjang sore untuk memasak agar kemarahannya bisa tersalurkan ke kegiatan positif.

"Tio sudah menjelaskan apa yang terjadi. Saya minta maaf kalau kehadiran mereka membuat kamu nggak nyaman." Nada suara Aiden tenang dan lembut. Ia mencoba untuk meredakan amarah Mia. Hanya dari raut wajahnya saja, Aiden bisa menduga kalau Mia sangat kesal padanya. "Yang kamu nggak tau, wartawan-wartawan itu memang sangat nekat, chéri. Sore tadi ada dua orang yang ditangkap karena menyamar jadi dokter demi mendapat secuil informasi tentang kita. I'm just trying to protect you (Saya hanya berusaha melindungi kamu)."

Mia berhasil menutupi keterkejutannya tentang berita itu. "Saya nggak mau karena masalah kita, para pasien di rumah sakit jadi terganggu. Rumah sakit buat tempat berobat. Mereka harusnya dapat pelayanan terbaik."

"Saya akan minta mereka semua untuk lebih berhati-hati lagi."

Mia memijat keningnya. Dirinya tak menyangka kalau video tentang perkelahian kemarin bisa membuatnya sakit kepala begini. Tadi siang Ullie sempat meneleponnya untuk menanyakan apakah dirinya baik-baik saja. Ullie juga terekam dalam kamera. Beritanya pun mencuat karena status Ullie sebagai istri calon pewaris Hartono Group. Namun berita tentang Ullie tidak seheboh tentang dirinya yang jadi calon Putri Alois.

Sekarang Alois bukan negara terpencil lagi. Bahkan masyarakat Indonesia jadi pernah dengar namanya sejak kasus ini mendadak muncul ke permukaan.

Mereka dikejutkan oleh suara getar hp Aiden di atas meja. Mia sempat melihat nama Gie di layar. Aiden langsung mengangkat telepon itu.

"Ya, Regie?" Aiden menyandarkan punggungnya di kursi.

Mia mengambil nasi untuk piring mereka berdua. Hari ini dia masak kari ayam untuk menu utama makan malam, dan beberapa menu tambahan lain yang cukup dimakan sepuluh orang. Sekarang dia bingung makanan segini banyak harus diapakan.

"When (Kapan)?" Aiden bangkit berdiri menuju ruang tengah. Ia menyalakan TV yang baru dipasang siang ini oleh salah satu orang suruhan Lisa. Asisten Aiden itu menganggap kalau Mia akan membutuhkan TV jika ia sering menginap di apartemen bosnya.

Mau tak mau, Mia jadi ikut-ikutan melihat acara TV. Aiden memindah channel ke acara infotainment Indonesia. Di sana sudah terpampang wajah Rachel. Aiden membesarkan volume TV-nya.

"-benar. Saya memang sedang mengandung anak dari Aiden. Kami berencana menikah tahun ini, tapi cewek murahan itu merusak rencana kami. Dia tidur sama tunangan saya demi mendapat status-"

Aiden langsung mematikan TV sekaligus telepon. Kini ia berbalik untuk memandang Mia. Aiden mendadak was-was.

Mia sudah cukup terkejut melihat wajah Rachel muncul di TV. Tapi untuk melakukan konferensi pers? Sambil menangis? Bilang ke seluruh Indonesia kalau dia hamil anak Aiden?

"Amelia, ini nggak seperti yang kamu pikir." Aiden buru-buru menghampirinya. "Jauh sebelum saya kenal kamu, saya dan dia udah nggak pernah tidur bersama lagi. Dia nggak mungkin hamil anak saya. Please, jangan percaya omong kosong itu." Cowok itu memposisikan dirinya hingga setengah berjongkok di samping kursi Mia. Aiden benar-benar menahan kepanikan dalam suaranya.

Mia bangkit berdiri sambil melempar serbet ke atas meja. Ia berjalan melewati Aiden.

"Amelia..."

Tiba-tiba Mia berbalik dan berjalan cepat ke arah Aiden. Sebelum cowok itu paham apa yang sedang terjadi, Mia sudah menonjok pipinya dengan keras sampai ia jatuh terduduk di lantai. Tulang pipi kiri Aiden terasa retak akibat bogem Mia barusan.

Mia mendesis karena buku-buku jarinya terasa sakit.

Dia marah. Dia kesal. Dia cemburu. Dan dia butuh pelampiasan. Kebetulan hanya ada Aiden di sini.

"Kamu nggak percaya sama saya." Aiden meringis memegangi pipinya yang sakit.

"Saya muak sama drama mereka!" Mia berusaha melepaskan cincin pertunangannya agar bisa dilemparkan ke wajah Aiden.

"Chéri..." Aiden bangkit berdiri, berniat meraih tubuh Mia.

"Diem di situ!" Bentak Mia. Ia masih berusaha melepaskan cincin di jari manisnya yang sekarang mendadak kekecilan.

Kok susah banget dilepasnya sih?!

"What are you doing, Amelia (Kamu ngapain)?" Aiden bingung melihat Mia mencak-mencak sendiri, berusaha melepaskan cincin pertunangan mereka.

"Argh!" Teriak Mia frustasi. "Rachel Clara sialan!" Cewek itu menjambak rambutnya sendiri karena kesal dengan semua yang terjadi.

"Chéri, please listen to me." Aiden sudah ingin mendekat namun lebih dulu dicegah oleh salah satu tangan Mia yang terangkat ke arahnya.

"Selesaikan masalah kalian! Saya mau pergi dari sini!"

"Kamu nggak boleh kemana-mana!" Suara Aiden tegas. Tapi Mia tidak takut.

"Jangan dekat-dekat!" Mia menghardik ketika Aiden mulai berjalan mendekatinya lagi. "Saya mau pergi, jangan diikutin! Kalo enggak..." Mia memandang sekeliling, "-kalo enggak, saya bakal ambil pisau di dapur buat motong jari saya biar cincinnya lepas!" Ancam Mia dengan berapi-api.

Aiden terhenyak karena kata-kata Mia barusan. "You can't be serious (Kamu nggak mungkin serius, kan)!" Kini ia benar-benar cemas kalau Mia betulan melakukan ancamannya.

Mia menghentakkan kakinya sebelum berbalik menuju pintu.

"Amelia! Get back here (Kembali ke sini)!"

"OGAH!" Teriak Mia sebelum ia keluar dari pintu depan.

"Merde (Sial)." Aiden langsung menghubungi kepala keamanannya. Panggilannya terhubung di dering kedua. "Follow her (Ikuti dia)."

"Should we bring her back (Haruskah kami membawanya kembali)?"

Aiden terdiam agak lama sambil memegangi pipinya yang nyeri, "No. Just follow her and report to me (Ikuti saja dia dan laporkan padaku). And..." Ia menghela napas berat sebelum melanjutkan, "Don't let my fiancée gets into trouble (Jangan biarkan tunanganku terjebak masalah)."

"Consider it done, boss (Beres, bos)."

***

Mia menendang kerikil yang menghalangi kakinya berjalan. Ia mengurai rambut agar wajahnya tak dikenali siapapun saat ia berjalan sambil menunduk. Cewek itu melewati jembatan penyeberangan yang sepi. Jalanan Surabaya di bawahnya nampak masih ramai meski hari sudah menjelang tengah malam.

Ia berkeliaran di jalan selama berjam-jam, tidak tahu lagi mau pergi kemana.

Kalau kembali ke rumah, pasti banyak wartawan yang menunggunya.

Mau menginap di tempat Ullie, dia pasti mengganggu kemesraan pengantin baru.

Kalau menelpon Anton, yang ada malah diceramahi panjang lebar. Belum lagi jika orangtuanya menghubungi Anton untuk mencari tahu tentang keadaannya. Sejak kemarin panggilan dari Abah dan Mamah selalu ia tolak. Dia hanya mengirim pesan kepada mereka yang mengatakan kalau dirinya dan Aiden baik-baik saja.

Mia memainkan kerikil di bawah kakinya sambil duduk-duduk di trotoar.

Sebuah mobil sedan berhenti di depannya. Sang pengemudi menurunkan kaca jendela.

"Naik!" Ujar Elsa.

Mia bangkit dan langsung masuk ke dalam mobil. Setengah jam yang lalu ia menghubungi Elsa, minta dijemput. Ia beruntung karena malam ini masih punya tempat menginap.

***

"Saya janji akan menyelesaikan semuanya."

H. Moris menghela napas di seberang. "Kalau sampai anak saya terluka karena kamu, lebih baik pernikahan kalian dibatalkan saja."

Aiden memijat pangkal hidungnya. Ia menghempaskan tubuh di atas tempat tidur. "Ini hanya salah paham, pak. Saya bersumpah kalau saya nggak menghamili siapa-siapa."

"Saya percaya aja sama kamu. Tapi gimana dengan anak kami? Mia itu anaknya suka bertindak dulu, mikirnya belakangan."

Aiden mengompres pipinya dengan es agar tidak bengkak besok. Ditonjok oleh tunangan sendiri bukan alasan yang bagus untuk menjelaskan keadaan pipinya pada orang-orang yang bertanya. Rasanya Aiden ingin bilang kalau dia mengerti maksud Abah Mia, toh dia sudah merasakan sendiri contoh tindakan Mia ke wajahnya.

"Amelia juga salah paham. Sekarang dia masih marah sama saya."

"Nah, kan. Baru juga diomongin. Kamu pasti sibuk. Ngurusin berita miring dan temperamen anak kami."

"Nggak apa-apa. Sudah resiko. Orang-orang saya sedang bekerja keras untuk menghapus video Amelia dan Ullie dari internet. Suami Ullie juga membantu saya."

"Pastikan juga berita nyeleneh tentang kamu nggak mempengaruhi keluarga kerajaan di Alois sana."

Aiden tersenyum. Ia merasa terharu karena H. Moris ternyata sangat peduli dengannya. "Saya berterima kasih pada bapak. Dukungan dari keluarga Amelia sangat berarti untuk saya. Sekali lagi terima kasih."

"Cepat selesaikan masalah ini sebelum wartawan-wartawan kurang kerjaan itu nyari alamat rumah kami di sini."

Senyum Aiden kian lebar, "Saya pastikan keluarga kalian aman."

Setelah basa-basi singkat, telepon Aiden dan H. Moris berakhir. Kini giliran kepala keamanan Aiden yang menghubungi. Aiden langsung bangkit duduk, jantungnya berdegup kencang karena mengantisipasi kabar tentang Mia.

"Miss Amelia's at her friend's place (Mbak Mia lagi di tempat temannya)."

"Who (Siapa)?"

"Mrs. Regie Tan's sister in law (Saudari ipar bu Regie Tan)."

"Oh. Elsa." Aiden menghela napas lega, "Keep watching her and report to me (Tetap awasi dia dan laporkan padaku)."

"Will do (Akan kami lakukan)."

Begitu panggilan berakhir, Aiden mengetukkan jarinya di atas lutut, mempertimbangkan sesuatu. Setelah cukup lama menimbang, akhirnya ia membuka kontak untuk mencari nama Gie. Panggilannya diangkat sejak dering pertama.

"Biar Gie tebak, kamu udah butuh Gie sekarang, kan?" Suara bernada manja Gie langsung memenuhi telinganya.

Aiden tersenyum, "Pinjamkan Janesa. Aku butuh dia."

"Akhirnya! Dari kemarin udah Gie tawarin, kamu nggak pernah mau."

"Kemarin-kemarin belum butuh. Sekarang keadaannya agak kacau. Kalau dibiarkan, beritanya bisa sampai ke Alois."

Gie tertawa di seberang telepon. "Oke, habis ini Gie kirim kontak dia ke kamu. Agak mahal, lho. Dia lumayan rewel kalo masalah pembayaran."

"Asal nggak minta yang aneh-aneh aja."

"Ah, enggak kok. Paling minta dibikinin konser privat band Jepang favorit dia."

"Kenapa? Bookingnya susah?"

"Iyalah! Susah banget dapet jadwal kosong mereka. Tiap tahun full."

"Kalau cuma konser privat mungkin masih bisa aku usahakan."

"Good luck, then! Oh, ngomong-ngomong..." Ada jeda sebentar karena kedengarannya Gie sedang mengunyah cracker. "Masalah Rachel ini... butuh bantuan juga, nggak? Gie berpengalaman lho sama mantan pacar yang hamil."

Aiden mengernyit, "Emang kamu mau ngapain?"

"Exxios Oil. Gie lagi ngincer 10% saham mereka. Kalo bisa pake papanya Rachel sebagai alat, Gie bisa dapet tuh sahamnya akhir tahun ini. Ada rahasia perusahaan yang pengen Gie tau. Albert Exxios kayak lagi nyembunyiin sesuatu dari para pemegang saham."

Aiden tertawa tapi langsung meringis karena tulang pipinya masih sakit. "Maksudnya kamu mau memperalat orang?"

Gie mendecakkan lidah, "Ah, kayak kamu nggak pernah aja."

"Yang salah kan anaknya. Ngapain papanya jadi sasaran?"

"Justruuuu! Gie bisa pake bapak dan anak itu demi saham 10% Exxios Oil."

"Caranya?"

"Rahasialah! Masa Gie ngasih tau resep dapur Gie? Yang ada malah makin kaya kamu nanti."

Lagi-lagi Aiden tertawa, "Just don't hurt anybody, okay (Yang penting jangan menyakiti siapa-siapa ya, Gie)?" Ia paham betul kalau rencana Gie tidak akan jauh-jauh dari minatnya untuk menguasai saham perusahaan yang jadi target. Cewek itu mirip sekali dengan Opanya, Atmodjo Tan.

"Nggak janji. Gie gemas banget sama Rachel ini. Pengen Gie bikin kapok biar nggak usil lagi sama hidup orang. Emang dia beneran hamil? Anak kamu?"

"Aku nggak tau. Dan no. Jelas bukan anakku."

"Bagus, deh. Cewek-cewek delusional kayak Rachel memang harus diberi pelajaran sekali-sekali biar sadar."

Aiden hanya mengangguk kecil, tanda setuju. Sejujurnya dia sudah amat jengah pada Rachel dan segala masalah yang ditimbulkan olehnya. Dia hanya tidak tahu pasti bagaimana cara menghentikan cewek itu sedangkan dia sendiri tidak tega menyakitinya. Kalau Gie sudah menawarkan diri begini, sepertinya dia tidak perlu lagi repot-repot ambil tindakan.

Terdengar kunyahan cracker di seberang.

"Malam-malam begini masih makan?" Wajar kalau Aiden heran. Pasalnya selama ini ia mengenal Gie sebagai pribadi yang sangat menjaga pola makan dan dietnya.

"Kalo siang Gie mual. Nggak bisa makan. Kalo udah malem begini, Gie jadi laper. Harus makan sebanyak-banyaknya biar baby Gie sehat dan dapat nutrisi."

"Oh." Aiden manggut-manggut mendengarnya, "Suami kamu nggak marah kalau aku ngehubungin kamu malam-malam begini?" Ia tahu betul seberapa cemburu Galang kalau Gie berinteraksi secara pribadi dengannya. Maklum, mereka pernah bertunangan meski singkat.

Lagi-lagi Gie mendecakkan lidah. "Nggak usah dipikirin! Galang emang cemburuan. Liat Gie meluk pohon aja dia cemburu. Dia lagi mandi, makanya nggak tau kalo kamu telpon Gie."

Aiden terkekeh kecil, "Thank you, Regie. For everything."

"Okie-dokie. Sekarang kamu udah naik pangkat jadi temennya Gie. Friends help each other (Temen kan saling bantu)."

Aiden mengangguk setuju, "Sampaikan salamku pada Galang."

"Sure. Good night, Aiden."

"Good night, Regie."

***

Ada part yang disuka, nggak?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top