38 | JADI BERITA (REVISI)

Mia sama om Aiden balik, nih.
Ada yang kangen?

Bagi yg bukan follower akun penulis, mungkin kemarin nggak tau sebab hiatus 2 hari.

Penulisnya kena eye strain, sama gejala kurang piknik. Jadi capek pooollll.

Setelah istirahat, dapet semangat baru buat nerusin cerita. Lagi otewe tamat, nih.

Jangan ketinggalan komennya, ya! Itu salah satu yg bikin aku hepi dan semangat buat up!

Selamat baca, deh.

Note Tambahan: kayaknya emang ga afdol kalo nggak ada minim satu part yg nggak revisi. Soriiiii... Ada yg ketinggalan. Dodol banget ini.

SAMPE REVISI 2 KALI ASTAGA KURANG BEGO APA AKUUU!!

***

Kalau bisa, Mia ingin memecahkan piring ke kepala Clara saat itu juga.

Cewek itu menjengkelkan sekali.

"Lo nggak bosen apa ribut mulu ama gue?!" Semprot Mia ketika ia mendatangi meja trio siluman itu. Mereka bertiga memandangi Mia yang berdiri dengan wajah galak di samping meja mereka.

"Nah, kan kamu yang duluan dateng ke mejaku." Balas Clara. Kali ini dia tidak nyolot. Di mata orang-orang seisi kantin, justru Mia-lah yang memulai perkara. Perhatian semua orang sudah tertuju sepenuhnya ke arah mereka. Kedua tangan Mia terkepal karena menahan kesal.

Mia menghembuskan napas kasar sampai poninya terangkat ke atas. Ia menghentak kaki saat berbalik untuk kembali ke mejanya sendiri. Dia tidak mau ambil resiko untuk jadi pusat perhatian. Bagaimanapun, seisi rumah sakit tahu kalau dirinya adalah tunangan Aiden, si pemilik baru rumah sakit ini. Kalau sampai dia terlibat masalah di sini, maka nama Aiden yang akan rusak.

Isshh! Kesal sekali hati Mia. Jika Aiden sampai tahu Mia dapat masalah lagi karena video itu, lebih baik Mia beneran pensiun dari kehidupan sosial bermasyarakat, deh! Malu sekali dia kalau hidupnya sebagai calon pasangan Pangeran penuh cacat begini.

"Itu beneran kamu?" Tanya Dion ketika Mia sudah duduk kembali ke mejanya.

"Menurut lo?" Mia malah membentak. "Gimana caranya biar video itu nggak kesebar kemana-mana?" Ia mengacak rambutnya sendiri karena frustasi.

Alisa menepuk pundak Mia dengan heboh. "Telat, telattt! Videonya udah kesebar kemana-mana dari kemarin! Mana pake tagar Delavega Enterprises segala di captionnya! Kalo browsing Delavega Enterprises, pencarian teratas yang muncul malah video kamu. Cepet amat, ya? Ato kita yang telat taunya?"

Mia menenggelamkan kepala di atas meja.

Astaga.

Kalau cuma disebar ke group koas seangkatan sih tidak masalah.

Lah ini?

Semua media sosial! Mana segala nge-tag Delavaga Enterprises! Otomatis langsung dikaitkan ke Aiden lah! Belum lagi kalau sampai berita ini menyebar ke Alois. TV nasional di sana pasti membuat berita dengan tag line 'Calon Pengantin Pangeran Aiden Merupakan Gadis yang Doyan Berkelahi di Jalan'.

Mau jadi apa masa depan Alois nanti kalau dipimpin oleh seorang Putri yang barbar?

Mia frustasi.

Hp Mia berdering. Perasaan Mia mendadak tidak enak.

Layar hpnya terpampang nomor yang sudah Mia hapal di luar kepala sebagai milik Aiden. Intuisi Mia memang jarang meleset.

"Aduh, ya Allah, mati gue." Gumam Mia. Sekarang tubuhnya berkeringat dingin. Dia bingung harus mengangkat telepon atau tidak.

Kalau tidak diangkat, Aiden marah.

Kalau diangkat, Mia bakal dengar Aiden marah.

Apapun yang dipilihnya, hasilnya tetap sama. Sama-sama menghadapi kemarahan Aiden.

Alhasil Mia diam saja sembari mengamati nomor Aiden di layar hpnya sampai panggilan itu berakhir. Tak lama, masuk sebuah pesan. Dari siapa lagi kalau bukan dari si penelepon tadi.

From: +62 813 xxxxxx

Whatever happens, please don't fight with anyone (Apapun yang terjadi, tolong jangan berkelahi dengan siapapun). Just let me handle this (Biarkan saya yang mengatasi masalah ini). Call me whenever you're able (Telepon saya kapanpun kamu sempat).

Oh, Mia keburu negative thinking. Aiden menghubunginya karena cemas Mia membuat keributan lagi. Cewek itu mendengus. Pandangannya beralih ke arah Clara yang sedang tertawa bersama teman-temannya di seberang. Mia menatap mereka bengis. Banyak skenario penganiayaan yang tersusun di kepalanya.

Sayang, kali ini Clara selamat karena Mia lebih takut pada Aiden.

***

Mungkin Mia sudah gila karena melakukan ini, tapi rasanya masalah dengan Clara tak akan pernah berakhir jika dia tidak menyisihkan waktu untuk memahami apa sebenarnya mau Clara. Tidak ada cara selain mengajak cewek itu bicara empat mata. Hati ke hati.

Mia dapat info dari Dion kalau Clara kebagian jaga malam hari ini.

Setelah tugasnya di radiologi selesai, Mia langsung pergi terburu ke instalasi forensik. Biasanya Clara akan pulang dulu sebelum memulai tugas malamnya. Berhubung jam pulang stase radiologi lebih cepat dan teratur daripada stase lain, Mia jadi leluasa untuk menunggu Clara.

"Clara!" Panggil Mia ketika ia melihat punggung Clara dari kejauhan. Cewek yang dipanggil Mia itu langsung menoleh. Wajahnya mendadak masam ketika Mia mendekat. "Gue mau ngomong."

"Ngomong di sini!" Sahut Clara. Stacy dan Renata berdiri di kedua sisinya. Kalau masing-masing dari mereka memegang kipas, maka akan persis dayang-dayang.

Mia mengamati sekeliling. Mereka sedang berada di dekat pohon beringin.

"Jangan di sini, deh! Angker. Kalo ngomong berempat, yang kelimanya setan. Berdua aja!" Mia menarik tangan Clara. Stacy menahannya.

"Kamu mau ngomong empat mata atau mau ngerjain Clara, hah?"

"Gue lagi nggak mood berantem. Mending lo minggir deh daripada gue jedotin kepala lo ke pohon sampe bocor." Mia menunjuk pohon beringin dengan dagu.

"Nggak apa-apa. Kalo dia macem-macem, aku bisa teriak." Ujar Clara menenangkan dua temannya.

Mia memutar bola mata. Stacy dan Renata melepas kepergian teman mereka dengan raut khawatir.

***

"Ngomong lima menit cukup, kan? Aku ada tugas jaga." Clara melihat jam tangannya, mulai menghitung detik pertama yang ia habiskan dengan Mia.

"Gue nggak akan basa-basi. Kenapa lo sebar-sebar video berantem kemarin?" Mia melipat kedua tangan di depan dada.

Clara mengangkat kepala, "Bukan aku. Stacy yang sebar."

"Kenapa lo diem aja?"

Clara hanya mengedikkan bahu acuh, sebelum menjawab, "Yang penting mukaku sama kakakku udah diblur."

"Lo ada dendam kesumat apa sama gue?"

"Dendam?" Clara meliriknya dingin, "Ini bukan dendam."

"Terus apaan? Lo nyadar nggak selama ini kita ribut gara-gara masalah sepele?"

Clara kelihatan sedang menahan kesal. "Kamu itu nggak tau diri! Harusnya kamu sadar salahmu apa!"

Mia memegangi keningnya, "Ngomong lo muter-muter. Gini deh, lo sebutin salah gue ke elo apa. Sebutin satu-satu. Nggak usah ngegas! Ngomong yang tenang. Gue berniat damai."

"Kamu sok pinter."

Mia mengangguk, "Apalagi?"

"Kamu suka cari muka."

"Oke, terus?"

"Ngerebut dr. Irwan. Aku udah naksir dia sejak lama, malah kamu yang gatel terus ngembat dia!"

Mia mengernyit jijik saat mendengar nama cowok itu, namun ia tetap mengangguk. "Ada lagi?"

"Kamu pelakor karena udah bikin kakakku patah hati. Kamu ngerebut pacarnya!"

Mia menghela napas berat. "Gue langsung sanggah yang ini. Kakak lo sama tunangan gue nggak ada hubungan apa-apa, setidaknya bagi tunangan gue. Cinta kakak lo bertepuk sebelah tangan."

"Tapi kakakku yang duluan kenal sama Aiden ketimbang kamu!"

"Ngomong yang sopan, nyet! Umur dia lebih tua dari lo. Lagian tadi gue udah ngingetin supaya nggak ngegas, kan? Mau berantem lagi lo di sini?"

Di lain pihak, wajah Clara justru memerah. Bukan karena malu. Lebih ke karena mati-matian menahan emosi. Kedua matanya berkaca-kaca.

Oke, Mia paling tidak tahan melihat orang menangis. Padahal awalnya tadi dia ingin mengatakan kalau Rachel hanya partner seks Aiden. Berhubung wajah Clara sudah merah begitu, mulut Mia mendadak batal jadi pedas.

"Kamu itu penghancur kebahagiaan orang. Nyadar, nggak?"

Mia memandangi Clara, memperhatikan setiap gurat emosi di wajah cewek yang selalu ribut dengannya itu. "Jujur, gue nggak sadar kalo pengaruh gue seburuk itu ke hidup orang lain. Gue nggak pernah berniat jadi sok pinter, sok tau, cari muka, ato ngerebut pasangan siapa-siapa." Sahutnya dengan tenang.

"Sekarang dr. Irwan susah dihubungi. Kamu tau dia kemana?" Suara Clara sudah serak. Ia benar-benar menahan tangis. Melihat sikap putus asa Clara terhadap dr. Irwan mengingatkan Mia akan sosok dirinya dahulu ketika masih naksir cowok itu.

Mia memalingkan wajahnya dengan menatap taman hijau di sebelah koridor. "Gue denger dia dipecat."

Kedua mata Clara sontak membulat, "Dipecat? Kenapa?"

"Masalah internal rumah sakit." Jawab Mia seadanya. "Gue juga dengernya cuma dari rumor para perawat." Oke, dia memang pembohong ulung. Mia mengatakannya bahkan tanpa rasa bersalah. "Gue saranin, mending lo cari cowok lain. Cowok kayak dr. Irwan itu nggak baik buat lo."

"Kamu sok tau lagi. Jangan mentang-mentang dikenalin sebagai tunangan pemilik rumah sakit jadi kamu sok segalanya. Aku muak sama tingkahmu!"

Mia memilih mengabaikan kalimat Clara barusan. "Seperti yang lo tau, gue kemarin-kemarin emang sempat dekat sama dia. Gue cukup kenal dia. Dokter Irwan nggak sebaik yang lo pikir. Otak dia isinya modusin cewek doang. Dia bakal modusin targetnya terus sampe dia dapet yang dimau."

"Dia orang berpendidikan!"

"Pendidikan tinggi nggak menjamin kualitas moral seseorang, Clara. Banyak cowok yang lebih baik dari dia. Lo tinggal pilih. Apalagi lo cantik dan pinter."

Kelihatannya Clara masih belum sembuh dari syok akibat mendengar kabar kalau dr. Irwan dipecat.

Mia menghela napas. "Gue minta tolong supaya lo ngasih tau Stacy buat narik video itu dari internet."

Clara mendengus, "Udah terlanjur. Mana bisa?" Ekspresinya sudah berubah menjengkelkan lagi.

Mia menggigit bibir bawahnya gelisah, "Serius lo nggak bisa?"

"Sekalipun aku mau, tetap nggak bisa. Anggep aja itu sebagai hukuman buat kamu karena udah bikin kakakku patah hati. Sekarang dia stress berat di rumah gara-gara Aiden." Clara tersenyum sinis.

"Gue nggak peduli sama kakak lo. Yang gue peduliin itu nama baiknya tunangan gue. Sampe semua orang tau kalo yang berantem di video itu adalah calon bininya dia, nama dia bakal rusak. Lo ngerti nggak sih resikonya?!" Mia mulai tak sabar.

"Gimana kalo aku balik, aku juga nggak peduli sama nama Aiden?"

"Ah, ternyata lo emang bangsatnya udah mengakar dalam jiwa!" Serius, Mia sudah menggertakkan gigi saking gemasnya ingin memukul Clara. Namun peringatan Aiden di kepala Mia berhasil mencegahnya.

"Urus sendiri masalahmu!" Clara berbalik sambil mengibaskan rambutnya. Dia langsung pergi.

Aduh, tangan Mia gatal ingin membotaki kepala Clara. Sepertinya niat baik untuk menyelesaikan masalah dengan kepala dingin merupakan keputusan yang salah.

***

Begitu melihat Bentley Aiden menunggunya di depan rumah sakit, Mia buru-buru masuk ke kursi sebelah pengemudi.

Aiden memperhatikannya dari kepala sampai kaki.

"Kenapa?" Tanya Mia heran.

Aiden menggeleng, "Ngecek aja. Siapa tau kamu habis berantem."

Mia tidak merespon. Tadi dia memang hampir berkelahi dengan Clara. Untung tidak diteruskan sampai jadi berantem beneran.

"Mau makan malam dimana?" Tanya Aiden begitu mereka sudah dalam perjalanan.

"Hari ini pesan online aja, lah. Males kemana-mana." Hormon Mia sedang naik turun. Bawaannya ingin rebahan sampai pagi. Atau memukuli sesuatu.

"Di tempat saya atau tempat kamu?"

"Tempat saya. Pengen tidur di kasur saya sendiri."

"Jadi hari ini nggak nginep?"

Mia menggeleng. Aiden jelas kecewa. Sejak kemarin dia tidur sendirian. Malam ini juga. Tapi mau bagaimana? Dia tidak bisa memaksa Mia. Apalagi wajah tunangannya sudah masam begitu.

"Masalah video saya yang kesebar di internet gimana?"

"Lagi diurus. Perlu waktu buat menghapus video-video yang sudah terlanjur tersebar. Sekarang banyak orang yang mencari tahu tentang identitas kamu." Jawab Aiden.

Mia menghela napas. "Jangan sampe orangtua saya tau ya, om? Nanti mereka kepikiran."

Aiden mengangguk, "Pasti."

***

Selesai mandi, makan malam sudah terhidang di atas meja. Aiden yang menerima pesanan online tadi di depan rumah. Sekarang, cowok itu sedang berjalan mondar mandir di ruang tamu sambil menerima telepon. Ia berbicara dengan bahasa Perancis dan kelihatan sedang serius. Suaranya rendah dan bernada kesal. Begitu teleponnya berakhir, ia memandang Mia.

"Amelia, sepertinya kamu harus tinggal sementara di tempat saya." Ia meraih jas yang tergeletak di sofa. "Bungkus lagi makanannya, atau buang. Kamu siap-siap sekarang."

Mia yang baru duduk di depan piring, merasa tak rela. "Kenapa?"

"Wartawan dalam perjalanan kemari. Bawa apa yang perlu saja." Tanpa menunggu Mia bereaksi, Aiden sudah membereskan meja makan. Ia membungkus lagi makanan yang tadi sudah dibuka. Ia tahu Mia paling benci menyia-nyiakan makanan dan pasti akan mendebatnya kalau makanan itu dibuang langsung ke tempat sampah. Mereka tidak ada waktu untuk berdebat.

Mia hanya bisa memandangi makanan yang dibereskan Aiden.

"Amelia." Panggil Aiden begitu melihat cewek itu masih melongo.

"E-eh iya."

Mia melompat dari kursi lalu terburu-buru masuk ke kamar. Ia tidak berganti baju. Kaos kedodoran souvenir konser band Rolling Stones dan celana sports pendek warna abu-abu tetap dipakainya. Mia bingung harus bawa apa lagi, karena hampir separuh isi lemarinya sudah ada di apartemen Aiden.

Ah, Sape!

Akhirnya Mia bisa membawa salah satu dari dua alat musik kesukaannya ini.

Mia memasukkan buku-buku, laptop, alat tulis, dan jurnal ke dalam tas ransel besar. Semua yang ada di atas meja belajarnya juga. Dia butuh semua itu jika berencana tinggal lama bersama Aiden.

"Sudah?" Aiden muncul di ambang pintu. "Sini, biar saya yang bawa. Kelihatan berat."

Memang berat. Mia saja tidak mampu mengangkat tasnya dari lantai. Ini bahkan lebih berat daripada sekarung nanas yang pernah Mia angkat sendirian.

Aiden mengangkat dan membawa tas itu tanpa beban. Tangan kanannya masih membawa bungkus makanan.

"Tutupi kepala kamu dengan jas saya. Wartawan sudah ada di depan."

Ha? Mia tidak benar-benar memahami apa yang sedang terjadi, jadi dia mengangguk saja. Aiden memasang jasnya ke sekeliling kepala Mia. Sekarang yang terlihat hanya wajahnya.

"Jangan katakan apapun dan jangan tunjukkan wajahmu." Di depan pintu, Aiden menggenggam tangan Mia.

"Kenapa ada wartawan?" Baru sekarang Mia kepikiran untuk bertanya.

"Video kemarin. Mereka mencari tau kaitannya dengan saya. Mereka juga mencari latar belakang saya dan mendapat kesimpulan kalau saya Regent Alois. Pernyataan beberapa petinggi pemerintah yang diwawancara juga semakin menguatkan opini publik kalau kita calon pemimpin Alois yang baru."

Mia menelan ludah. "Heboh se-Indonesia, dong?" Dia memang jarang nonton TV sampai jadinya ketinggalan berita.

"Orang-orang kamu emang gampang dibikin heboh dengan berita nggak penting."

Terdengar ketukan di depan pagar.

Aiden menghembuskan napas berat. "Ini merepotkan." Ada kekesalan dalam suaranya. Sejak tadi memang dia sudah kesal.

Begitu pintu dibuka, cahaya blitz hampir membutakan mata Mia. Aiden memunggungi para wartawan selagi Mia mengunci pintu rumah dan pagar, melindungi tubuh Mia dari serbuan mereka.

"Apa benar anda Aiden Delavega dari Alois?"

"Apa benar mbak ini adalah calon istri anda?"

"Apa tanggapan anda mengenai video yang lagi viral itu?"

"Bagaimana tanggapan anda tentang sikap temperamental calon istri anda?"

"Mbak Amelia sudah diterima oleh keluarga kerajaan?"

"Mbak Mia, ngadep sini, dong? Gimana rasanya jadi calon Putri negeri asing?"

"Mbak Mia calon dokter, ya?"

"Bagaimana tanggapan kalian tentang isu mbak Mia hamil duluan?"

"Mbak Mia bagi resep dong ke pemirsa di rumah biar dapat cowok paket komplit begini?"

"Apa betul hubungan kalian ditentang oleh keluarga karena beda agama?"

"Apa benar tujuan pulau Alois disembunyikan oleh google maps adalah sebagai bagian dari konspirasi bumi datar?"

"Apa benar mbak Mia melakukan praktek pelet dan guna-guna untuk menggaet mas Pangeran?"

Aduh, kedua kuping Mia panas mendengarnya. Ia ingin sekali berteriak dan menyumpal mulut para wartawan itu dengan mic mereka masing-masing. Tapi sikap Aiden yang begitu protektif padanya membuat Mia tetap bungkam. Dia tak mungkin mengecewakan Aiden. Akhirnya Mia memilih untuk menahan emosi sambil memeluk Sape-nya erat-erat.

"Please, make a way (Tolong buka jalan). Let us through (Biarkan kami lewat)." Suara Aiden rendah dan tegas. Mia hanya bisa berjalan menunduk menatap paving selagi Aiden membuka jalan sambil menuntunnya menuju mobil. Mia benar-benar terlindung oleh tubuh Aiden yang besar. Cowok itu memastikan Mia tak tersentuh.

Setelah detik-detik yang terasa amat lama bagi Mia, akhirnya mereka berhasil masuk ke dalam mobil tanpa insiden berarti.

***

Ujung-ujungnya hanya Mia sendiri yang menghabiskan makanan yang mereka bawa.

Sejak tiba, Aiden sudah sibuk di ruang kerjanya. Tidak keluar-keluar. Apartemen hening. Mia tidak tahu apa saja yang dilakukan Aiden di dalam sana. Dinding apartemen ini kedap suara.

Mia memandang sekeliling. Tidak ada suara selain bunyi gemericik air dari air mancur buatan di kolam indoor dekat balkon. Airnya mengucur keluar dari sekat-sekat dinding. Satu-satunya hiasan yang ada di apartemen setengah kosong ini hanya kolam ikan koi di sana. Suara dari air mancurnya menenangkan.

Selesai makan dan membersihkan meja, Mia duduk-duduk di ruang tengah. Dia bingung harus melakukan apa. Sejak tadi ia berusaha untuk menjauhi hp. Dia tidak mau melihat berita, video, atau artikel tentang dirinya dan Aiden.

Gedung apartemen ini berkeamanan tinggi. Tidak seperti rumah Mia, wartawan tak akan bisa menerobos kemari sembarangan. Keburu kena gebuk petugas keamanan berbadan besar-besar di bawah. Belum lagi kalau tak sengaja mengaktifkan sistem alarm gedung apartemen, bisa-bisa langsung diciduk polisi.

Merasa tak punya kegiatan bermanfaat, Mia mengambil Sape di kamar. Sudah lama ia tak memainkan alat musik ini. Dia perlu menghibur hatinya sendiri dan membuat suasana apartemen Aiden jadi lebih ceria.

Lagu yang ia mainkan berjudul Leleng, lagu tradisional suku Dayak yang dikuasainya tanpa mengerti latar belakang cerita di balik lagu tersebut. Setahunya, lagu ini sering dimainkan oleh Arwah Kai (mendiang kakek) ketika beliau masih hidup. Ia ingat kalau dirinya suka menari diiringi alunan Sape dari Kai. Tariannya masih seperti yang sudah-sudah. Tidak bertempo atau beritme. Pokoknya asal menari saja. Yang penting hatinya senang.

Mia bermain Sape sambil menyandarkan punggungnya di sofa dan melipat kaki. Ia juga memejamkan matanya agar bisa menghayati lagu. Serius, kalau sudah pegang Sape atau Kacapi, jiwa Mia terasa tenang. Seberat apapun masalah yang ia hadapi, pikirannya jadi lebih kalem jika mendengar nada dari alat musik tradisional ini. Dia sampai membayangkan, semisal dia mati dan jadi hantu gentayangan, arwahnya hanya bisa ditenangkan lewat alunan musik dari Sape dan Kacapi.

Kalau sedang nganggur begini, isi pikiran Mia memang sering ngelantur.

Bibir Mia otomatis menyunggingkan sebuah senyum saat merasakan keningnya dikecup oleh seseorang. Ia membuka mata dan mendapati Aiden sedang melipat lengan kemejanya sampai siku sebelum menghempaskan tubuh di sebelah Mia dengan sebuah hembusan napas berat.

Permainan Sape Mia berhenti.

"Sudah selesai?"

Aiden menggeleng, "Masih diurus. Kehebohan ini akan memakan waktu. Wartawan pasti menunggu kamu di rumah sakit."

Mia memandangi wajah lelah Aiden. Cowok itu pasti sangat kerepotan karena dirinya. Dia sendiri? Membantu pun tidak. "Kalo kemarin saya nggak berantem, om nggak bakal susah kayak gini. Maaf, ya?"

"Suatu saat juga akan terjadi. Saya cuma nggak menyangka keributannya terjadi secepat ini." Aiden menepuk-nepuk lutut Mia, "Jangan khawatir! Ini urusan saya."

Mia mengangguk.

"Nggak lama lagi kamu akan dapat panggilan untuk undangan wawancara. Blokir semua nomor asing yang masuk ke hpmu." Lanjut Aiden.

"Oke."

Lalu Mia teringat sesuatu. Ia buru-buru mengeluarkan hpnya. Nomor Aiden masih tercatat sebagai nomor asing karena belum ia simpan di kontak.

"Kamu belum simpan nomor saya? Serius?" Aiden sempat mengintip apa yang dilakukan Mia di hpnya.

Mia hanya meringis, merasa bersalah. "Saya hafal nomor om di luar kepala. Jadi nggak perlu disimpan." Melihat ekspresi Aiden berubah sebal, Mia buru-buru menambahkan, "Tadinya mikir gitu. Sekarang harus disimpan biar nggak keblokir."

Aiden meraih hp Mia untuk menyimpan sendiri nomornya di kontak.

"Husband (Suami)?" Mia mendengus tak percaya ketika Aiden mengembalikan hpnya.

Aiden mengangguk, "Biar sekalian nggak dirubah-rubah lagi. Praktis."

"Harus pake emoji hati merah menyala begini? Norak banget!" Protes Mia.

Aiden menyandarkan tubuhnya di sofa sambil menyilangkan kaki. Ia kelihatan tidak peduli dengan protes Mia.

"Nama saya disimpan pake nama apa di kontak om?"

"trouble (masalah). Huruf 't'-nya kecil."

Mia mendengus. "Kayak saya bawa sial mulu ke hidupnya om!"

"Bukan sial. Cuma bawa masalah aja. Bikin pusing."

"Om pengen batal kawin sama saya, ya?"

Aiden mengedikkan bahu, "Cuma menjawab jujur. Kok marah?"

"Sama calon bini nggak ada manis-manisnya!" Gerutu Mia pelan. Tentu saja Aiden dapat mendengarnya. Alhasil, dia mengulum senyum agar Mia tidak semakin ngomel jika ia ketahuan sedang menahan tawa.

"Mainkan lagu lain." Ujar Aiden untuk mengalihkan perhatian Mia.

Mia membetulkan letak Sape-nya di pangkuan. Tak perlu waktu lama baginya untuk memilih lagu.

"Lagu populer?"

"Terserah. Saya suka dengar kamu main ini." Aiden menunjuk Sape.

Mia mengangguk sebelum mulai menyetem ulang Sape-nya. Ia memainkan nada pertama lagu populer yang terlintas di kepala.

Aiden menontonnya bermain Sape dengan seksama. Cewek ini tidak pernah gagal memberinya kejutan. Terkadang kejutannya membuat jantung Aiden berusia satu dekade lebih tua daripada usia aslinya, terkadang juga kejutan itu terasa menyenangkan hingga membuat Aiden jatuh cinta lagi pada Mia. Memang sekuat itu pesona cewek ini sampai bisa membuat seorang Aiden bertekuk lutut padanya.

Begitu Mia selesai memainkan lagu, Aiden bertepuk tangan. Mia menunjukkan ekspresi tersanjung palsu dengan meletakkan tangan di dada.

"Padahal lagunya depresif begitu." Ujar Aiden. "Tapi saya kok suka, ya?"

"Soalnya om jatuh cinta sama yang main Sape."

"Mungkin."

Jawaban mengesalkan Aiden membuat Mia gemas ingin memukulkan Sape ke kepalanya.

***

Semua video copyright channel youtube babang Uyau Moris, yak. Udah dikasih ijin waktu minta (deg2an abis waktu dm bang Uyau Moris lewat IG). Semoga bisa nambah viewers dan subs-nya dia. Nggak asal nyomot juga, karena penulis cuma masukin link dia ke sini.

Penulisnya suka banget sama musik Sape jadi sering masukin lagu-lagu pake alat musik itu di cerita. Semoga kalian sukaaaa!

Lestarikan musik tradisional biar nggak punah.

Ketemu besok, readers sayang...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top