37 | APALAGI, SIH

Cuma mau ngasih ancang-ancang aja kalo trouble udah mau tamat. Entah minggu ini, entah minggu depan. 

Kalian udah baca cerita sebanyak 400 halaman lebih dan masih on-going! Gila!

Ini pertama kali aku buat cerita sepanjang ini.

Terima kasih untuk kalian yang setia nungguin, ngasih vote, dan ngebacot lewat komen. Aku seneng banget baca respon dan antusiasme kalian.

Maaf kalo belakangan aku jarang balas komen, nggak sempat. Kalo pas mau tidur, aku sering ngecek in komen kalian lewat email, biar nggak pusing hahaha... Biasanya sambil cekikikan sendiri tengah malem sampe disangka keluarga ada setan lagi main :(

So, selamat malam. Selamat istirahat. Jaga kesehatan. Minum vitamin. Makan teratur, supaya imun kalian tetap terjaga di tengah pandemi ini.

Aku sayang kalian semua, readers kuu...

Termasuk yg diem-diem bae juga.

***


Saking cepatnya insiden tadi terjadi, Mia sampai lupa caranya berkedip dan bernapas dengan benar. Wajahnya masih pucat. Baru kali ini dia melihat Aiden melakukan kekerasan secara langsung di depan matanya. Mia ngos-ngosan. Napasnya serasa diburu oleh sesuatu. Otaknya masih berputar-putar ke kejadian di rumah sakit tadi.

Sepertinya amarah Aiden belum reda. Dia menyetir seperti orang kesetanan. Kalau bukan Mia jantungan karena pelecehan dr. Irwan tadi, maka dia pasti jantungan gara-gara gaya menyetir Aiden. Banyak bercak darah di buku-buku jari Aiden. Entah itu darah dr. Irwan, atau darah dari luka akibat memukuli dr. Irwan, Mia tidak tahu pasti.

"Om, saya belum nikah." Celetuk Mia sambil berpegangan erat pada sabuk pengamannya.

"Apa?"

"Biasa aja nyetirnya! Saya belum pengen mati, masih pengen ngerasain enaknya kawin!" Seru Mia.

Seakan baru sadar apa yang telah dilakukannya, Aiden langsung menurunkan kecepatan. Mereka sudah hampir sampai di gedung apartemen Aiden.

Sebelum mesin mobil sempat dimatikan, Mia sudah turun dan berlari menuju lift.

"Amelia!" Panggilan Aiden tidak digubris sama sekali.

Mia menangis sesenggukkan di dalam lift. Perasaannya campur aduk. Ia sampai harus menutupi wajahnya dengan telapak tangan agar tidak histeris. Efek kejadian tadi baru benar-benar mempengaruhinya sekarang. Dia masih ingat dengan jelas bagaimana rasanya dia disudutkan ke dinding. Dia juga ingat bagaimana rasa bibir dr. Irwan di wajahnya.

Saat pintu lift terbuka, Mia berjalan cepat untuk masuk ke dalam apartemen. Mia membuang tasnya sembarangan. Ia melangkah terburu menuju lantai atas, memanjat dua anak tangga sekaligus. Ia pergi ke kamar mandi dan membanting pintunya.

Mia mengisi bath tub. Selagi menunggu air penuh, Mia melucuti pakaian di tubuhnya. Dalam keadaan tanpa benang sehelaipun, ia mengambil botol sabun lalu menuangkan seluruh isinya ke dalam bath tub. Busa langsung terbentuk, semakin lama semakin membumbung tinggi. Mia masuk ke dalam air, menenggelamkan dirinya di sana. Ia berbaring di dasar bath tub sambil menahan napas, berharap air dan sabun akan membersihkan dirinya. Kalau bisa, jiwanya sekalian.

Mia tidak menghitung berapa lama waktu yang dia habiskan di dasar bath tub. Ia naik ke permukaan ketika udara di paru-parunya habis, minta diisi ulang. Busa sabun terbentuk di atas kepalanya seperti mahkota.

Sosok Aiden sudah duduk di pinggir bath tub. Ia sudah tak lagi mengenakan jas. Dua kancing teratas kemejanya sudah dilepas. Lengan kemeja ia lipat sampai siku. Ada noda darah di bagian kerahnya. Cowok itu mengamati Mia lekat-lekat dengan ekspresi tenang.

Kedua mata Mia sudah merah. Hidungnya juga. Dagunya gemetar, kelihatan seperti masih ingin menangis lagi.

"Kamu butuh waktu sendiri atau mau saya di sini?" Tanya Aiden lembut.

"Sendiri." Jawab Mia dengan suara parau.

Aiden masih memandangnya, "How do you feel (Apa yang kamu rasakan)?"

"I want to kill myself (Pengen bunuh diri)."

Kedua alis Aiden menyatu. Ekspresinya serius saat mengatakan, "Don't you dare (Jangan berani-berani)."

Mia meliriknya, "Iya. Nggak berani."

Mendengar respon Mia, ekspresi Aiden melunak. "Jangan lama-lama di dalam, nanti kamu sakit." Ujarnya.

Mia sesenggukkan. Dia menggigit bibir bawahnya agar tangisnya tidak pecah lagi.

"Saya tunggu di luar." Aiden bangkit berdiri lalu keluar dari kamar mandi tak lama kemudian.

Mia bingung apakah dia syok karena dr. Irwan atau karena Aiden. Dua-duanya membuat Mia takut. Bedanya, ketakutan akan Aiden membuatnya tetap ingin dekat. Sebulir cairan hangat jatuh di pipinya. Mia menangis lagi.

Seharusnya dia sadar kalau Aiden juga manusia. Diapun bisa marah. Yang Mia tidak sangka, kemarahan Aiden tadi bisa mengakibatkan nyawa seseorang melayang kalau saja tidak dihentikan.

***

Mia keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan bath robe. Perasaannya sudah lebih baik. Ketika ia masuk ke kamar untuk mengambil baju, Aiden sedang duduk di pinggir tempat tidur, membersihkan luka-lukanya. Cewek itu duduk di sebelah Aiden, meraih tangannya dan mengamati luka lecet di buku-buku jari Aiden.

"Om udah telpon Lisa? Tadi mukulin dr. Irwan nggak sampe mati, kan?"

Aiden menggeleng. "Dia sudah siuman."

"Bagus, deh." Gumam Mia seraya mengambil kapas dan alkohol lalu membersihkan luka di tangan Aiden. Cowok itu tidak kesakitan sama sekali saat alkohol menyentuh kulitnya. Malahan, dia memandangi wajah sembab Mia lekat-lekat tanpa ekspresi.

"I'm sorry. Saya lepas kendali. Kamu pasti takut."

Mia tidak merespon.

"Saya nggak menyesal memukuli dia. Saya menyesal karena kamu harus melihatnya."

Mia masih menunduk, dia kelihatan lebih suka mengolesi salep pada luka-luka Aiden daripada memandang cowok itu.

"Om pernah bilang kalo om nggak suka kekerasan." Mia meraih tangan Aiden yang satunya.

"Saya memang menghindari kekerasan, tapi yang tadi... rasanya sulit untuk dibiarkan."

"Saya masih bisa urus dia sendiri. Om nggak perlu turun tangan. Kalo saya nggak menghentikan om, dr. Irwan pasti tewas."

"Laki-laki mana yang diam saja melihat tunangannya disentuh bajingan seperti dia?"

Mia mengangkat wajahnya. "Saya khawatir kalo tindakan om sampai dilihat publik. Kalo beritanya menyebar sampai Alois, gimana?"

"Lisa yang urus."

"Jangan kotori tangan om kayak tadi. Lebih baik saya yang nerima imbasnya daripada nama om tercoreng. Saya masih mampu kok ngatasin masalah saya sendiri."

"Kamu keras kepala."

Mia mengangguk, "Abah juga sering bilang begitu." Ia terganggu dengan noda darah di kemeja Aiden. "Copot bajunya, terus mandi. Ah elah, tau gitu tadi ntaran aja ngobatin lukanya." Cewek itu mendecakkan lidah. Sekarang Mia sudah kembali ke mode Mia yang biasanya.

"Kita... baik-baik saja sekarang?" Aiden kelihatan ragu saat mengatakannya.

Mia bangkit berdiri, "Emang daritadi kita nggak baik-baik?"

"Saya kira kamu berubah pikiran tentang saya."

Mia menghela napas berat, "Mana bisa? Udah terlanjur bucin sama om. Mau om itu ternyata siluman monyet, saya tetep cinta. Awas aja kalo udah bikin saya bucin begini malah nggak jadi dikawinin! Saya sumpahin om mandul, kena impoten."

*Impoten: Penyakit lemah syahwat yang menyerang laki-laki.

"Bucin?"

"Budak cinta. Catet, om. Biar inget."

Aiden tertawa. Melihat suasana hati Aiden mendadak baikan, Mia jadi ingat sesuatu.

"Ngomong-ngomong, kenapa sih tiba-tiba milih hari ini buat dateng ke rumah sakit? Nggak bisa nunggu tiga minggu lagi pas saya kelar koas? Saya jadi kacung tau, nggak? Cuma buat nyambut om doang! Liat aja besok, pasti semua orang ngejauhin saya! Milih hari buat pamer kok nggak tepat banget! Gini mau jadi Pangeran, mikir jauh aja nggak bisa! Nggak bijak! Nyusahin saya aja bisanya!"

Tawa Aiden makin keras. Bahkan wajahnya sampai memerah.

"Bule geblek! Gue lagi marah, dia malah ketawa. Humornya anjlok banget." Gerutu Mia.

Aiden meraih pinggang Mia agar bisa mendudukkan cewek itu di atas pangkuan. Tawa gelinya masih belum hilang, jadi ia menyembunyikan wajah di dada Mia. Mungkin karena tubuh Mia lebih mungil darinya jadi Aiden suka meletakkan cewek itu di pangkuannya. Lumayan, bisa sekalian ditimang.

"Nggak papa. Ketawa aja. Biar nggak tegang syarafnya." Mia memijat tengkuk Aiden perlahan-lahan, sesekali menekan bagian yang dia tahu akan mengurangi ketegangan di kepala cowok itu.

Begitu tawanya reda, Aiden mengangkat wajah. "You are one of a kind (Pujian: berarti unik dan spesial), Amelia."

Mia menghadiahinya dengan sebuah ciuman lembut. Aiden menyambut ciuman Mia dengan antusias. Satu tangannya terangkat untuk merengkuh leher Mia, sedangkan tangan yang lain menyibak bath robe agar ia bisa menyentuh pahanya. Ibu jari Aiden mengusap lembut kulit paha Mia. Aiden bisa merasakan senyum di bibir Mia sebelum cewek itu membuka bibirnya sedikit untuk mengundang Aiden masuk. Ciuman lembut yang awalnya sangat manis, beralih cepat menjadi french kiss. Dulu Mia benci melakukan french kiss, terlalu basah dan menjijikkan. Kali ini, dengan Aiden, otak Mia punya seribu satu skenario untuk mengubah hal menjijikkan menjadi seratus kali lipat lebih sensual. Aiden sudah menjanjikan segala macam kenikmatan hanya lewat sentuhannya.

Ketika Mia mulai bersikap agresif dengan menggigiti bibir dan leher Aiden, cowok itu menghentikannya. Mia mengerang frustasi. Memangnya Aiden tidak tahu kalau Mia sudah gatal ingin merobek kemejanya?

"Soon, Amelia (Secepatnya, Amelia). Not now (Jangan sekarang)." Meskipun kedua iris abu-abu Aiden sudah tertutup kabut gairah, cowok itu tetap bisa mengendalikan diri. Satu kancing kemeja Aiden sudah copot, entah hilang kemana. Gara-gara tangan Mia tentunya.

Baru pada saat itu Mia menyadari kalau mereka berdua sudah sama-sama berbaring di atas tempat tidur. Simpul bath robe Mia sudah terlepas, membuat bagian tubuh yang harusnya ditutup rapat-rapat jadi tersibak.

Ha. Sok-sok an nolak gue, padahal tangannya udah kemana-mana. Batin Mia.

"Kenapa ya setiap kita lagi make out seperti ini, di kepala saya selalu muncul wajah abah kamu?"

Sumpah, pertanyaan Aiden barusan membuat gairah di kepala Mia padam. Padamnya sudah mirip api unggun yang disiram air comberan. Mirip wajan panas yang disiram air es.

Mia merutuk dalam hati. Ia bangkit dari kasur untuk mengambil baju di kloset.

"Mau kemana?" Aiden heran melihat wajah Mia yang dilipat mirip setrikaan kusut.

"Tidur di kamar tamu! Awas kalo masuk! Pintunya saya kunci!" Jawab Mia sebelum membanting pintu kamar.

Aiden langsung bangkit duduk.

"What (Apa)?" Cowok itu menatap kepergian Mia dengan tatapan tak percaya. "Saya nggak bisa tidur kalo nggak ada kamu!"

"BODO AMAT!" Seru Mia dari kamar sebelah. Sedetik kemudian, terdengar pintu dibanting keras.

***

Seperti dugaan Mia, semua orang mendadak baik padanya. Mulai dari satpam, petugas keamanan, resepsionis, tukang bersih-bersih, sampai ibu-ibu kantin, mereka semua menyapa Mia. Biasanya, Mia dianggap ada saja sudah syukur-syukur.

Suasana hati Mia hari ini tidak mendukung untuk bersikap ramah pada orang lain karena sedang buruk-buruknya. Maklum, menstruasi hari pertama. Bawaannya ingin marah-marah terus. Wajah Mia sudah berubah jadi auto jutek, tapi masih harus meladeni tegur sapa berlebihan dari semua orang. Padahal sebelum Aiden datang kemari, status Mia tidak lebih dari kacung rendahan. Selalu disuruh ini-itu, tidak peduli Mia sudah capek atau belum. Mia masih ingat dengan jelas bagaimana dirinya jadi jongos dokter residen di setiap stase yang ia lalui dahulu.

Bagaimana dengan radiologi?

Beuuhh... mbak-mbak frontliners mendadak jadi malaikat tanpa sayap berbulu. Mereka menawari Mia sarapan bersama dan juga snack macam-macam. Mia sampai curiga kalau sebentar lagi namanya akan dipanggil oleh salah satu direksi.

"Amelia Bintang Putri Moris." Seorang kepala perawat yang dikenal paling judes serumah sakit menyambangi radiologi. Ia memanggil Mia dengan menyebut nama lengkap. Khawatir salah orang.

"Ya, bu?" Mia buru-buru menghampiri.

"Dipanggil pak dirut. Tau ruangannya, kan? Nggak usah dianter, ya?"

Tuh, kan?

Barusan dipikirin, eh udah dipanggil aja. Mana yang manggil Pak Direktur Utama, pula.

"Saya tau ruangannya, kok. Makasih, ya!"

Ruangan direksi ada di sayap kanan gedung rumah sakit. Gedungnya terdiri dari empat lantai, dimana lantai pertama dan kedua dipergunakan sebagai pusat pelayanan dan diagnostik jantung. Saking luasnya rumah sakit ini, Mia perlu waktu hampir sepuluh menit untuk menyeberang antar gedung.

Mia mengetuk pintu coklat yang memiliki plakat 'Direktur Utama'. Seorang wanita berperawakan pendek menyambutnya. Mia pernah lihat wanita ini kemarin. Ia berada di antara rombongan para direksi.

"Amelia Bintang, ya?"

Mia mengangguk, "Mia aja, bu."

"Masuk, masuk!"

Setelah dipersilahkan, Mia langsung masuk ke dalam ruangan. Di sana sudah ada Pak Direktur Utama yang menunggu. Otot pipi Mia sampai kaku karena daritadi menahan senyum padahal suasana hatinya amburadul.

"Ada apa cari saya, pak?" Mia bersikap santai dengan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jas. Perutnya melilit sejak tadi, jadi dia memilih untuk tidak duduk, khawatir terlalu nyaman.

Pak Direktur Utama, si lelaki berwajah bulat dan berambut separuh plontos tersenyum ketika melihat Mia sejak pertama kali.

"Cuma mau ngobrol aja. Duduk dulu, silahkan!"

Mia menghela napas. Batinnya lelah sekali kalau harus dipaksa bersikap ramah pada Direktur Utama yang hampir tidak dikenalnya ini. Dia langsung duduk di kursi berbahan kulit yang tersedia.

"Saya dengar tentang kejadian kemarin. Kamu nggak papa?"

Mia mengangguk tanpa antusias.

"Tenang aja. Dokter Irwan sudah kami berhentikan secara tidak terhormat sejak hari ini. Namanya diblacklist selama lima tahun ke depan. Kelakuannya itu memang sama sekali tidak mencerminkan sifat seorang dokter sejati." Pak Dirut mencondongkan tubuhnya ke depan agar bisa berbisik, "Semua yang tau tentang kejadian kemarin bersedia tutup mulut. Mereka tanda tangan kontrak khusus dengan bu Lisa, asistennya pak Aiden."

Lagi-lagi Mia mengangguk tanpa antusias, "Mohon maaf nih, pak. Bukan bermaksud nggak sopan, tapi perut saya sakit banget. Kalo bisa saya jangan lama-lama deh di sini."

"Perut kamu kenapa?"

"Biasalah, pak. Tamu bulanan cewek."

Pak Direktur Utama ber-ohh. "Yasudah, saya nggak akan lama-lama. Kamu ada perlu apa?"

Lah? Yang dipanggil kesini kan Mia, kok malah si Pak Dirut yang nanya?

Melihat kebingungan di wajah Mia, Pak Dirut buru-buru menambahkan, "Maksud saya, dek Mia ini butuh apa selama koas di radiologi? Ada fasilitas yang perlu ditambah? Menu kantin yang bikin bosen? Mau minta tempat parkir khusus? Monggo, silahkan sebut! Saya jamin kebutuhan dek Mia akan dipenuhi sesegera mungkin."

Mia mengernyit, "Maaf lagi nih, pak. Bukan maksud saya jadi nyebelin, tapi yang beli rumah sakit bukan saya, pak. Nggak perlu repot-repot ngasih saya perlakuan khusus."

"Loh!" Pak Dirut menegakkan tubuh, "Bukan perlakuan khusus! Ini memang sudah prosedur! Dek Mia ini kan calon istrinya pak Aiden, jadi wajar kalo saya berusaha yang terbaik untuk memastikan dek Mia melewati koas di rumah sakit ini dengan nyaman, aman, tenteram, dan sejahtera!"

Mia menggaruk dahinya, bingung. "Belum butuh apa-apa kok, pak."

"Yakin?"

Mia mengangguk.

"Menu di kantin boleh request, lho!"

"Saya sih apa kata kepala departemen perkantinan aja. Saya pemakan segala." Mia tidak tahu kepala kantin harusnya dipanggil dengan sebutan apa.

Pak Dirut manggut-manggut. Mia jadi teringat Maneki Neko, pajangan kucing tanpa leher yang sering diletakkan di toko-toko sebagai simbol keberuntungan. Bentuk dan gerakannya mirip. Hanya kurang imut sedikit.

"Ya sudah kalau begitu. Jika nanti butuh sesuatu, langsung kirim pesan aja ke hp saya. Udah tau nomornya?"

Mia menggaruk pelipis. Nomor Aiden saja tidak dia simpan, kenapa dia harus menyimpan kontak Direktur Utama rumah sakit?

"Boleh deh, pak." Mia mengeluarkan hpnya dari dalam saku. Tidak baik menolak keramahan seorang pria uzur seperti Pak Dirut.

"Scan barcode aja."

Widih, si Pak Direktur Utama ini meskipun udah tua masih canggih juga ternyata.

Usai bertukar kontak telepon, Mia dipersilahkan keluar dari ruangan Direktur Utama.

***

Di depan kantin, Mia dihadang oleh Alisa dan Dion. Mereka membuka kedua lengan lebar-lebar untuk menghalangi Mia lewat.

"Ngapain, sih?"

"Kok kamu nggak bilang kalo om yang kemarin itu ternyata tunangan kamu??" Tuntut Alisa. Dion mengangguk, wajahnya serius menanti jawaban. Mereka berdua merasa telah dikhianati.

"Nggak ada yang tanya! Minggir, ah!" Mia ingin menerobos lengan mereka berdua namun badannya mental. "Astaga, gue pengen makan!"

"Kok kamu pacarannya sama om-om, sih? Disogok apa?!" Kali ini giliran Dion yang bertanya.

"Pesona gue ini buat semua umur kali! Minggir!"

Lagi-lagi badan Mia mental.

"Kamu beneran mau kawin?!"

"Iya!!" Mia agak berseru.

"Terus nggak jadi ngelanjutin pendidikan?"

"Jadi! Biar enak besok ada yang ngebiayain sekolah gue! Puas lo semua? Minggir!"

"Apaan sih ini pada ngehalangin jalan?" Tiba-tiba terdengar suara Clara. Stacy dan Renata setia mengekor di belakangnya. Gerakan bersedekap mereka kompak dan berharmoni.

Dion membuka jalan untuk mereka. "Silahkan!"

Clara melirik dingin ke arah Mia. Ia mendengus kecil sebelum berjalan melewati mereka semua.

"Hii, mak lampir." Alisa bergidik.

"Cakep-cakep judes." Timpal Dion.

"Botol kecap dikasih nyawa ya begitu." Tambah Mia.

Alisa dan Dion kompak memandangnya, "Kecap kan item."

"Suka-suka mulut gue lah mau ngebacot apa!" Semprot Mia sebelum masuk ke dalam kantin. Ia ingin makan banyak hari ini.

Bahkan selama mereka berada di antrian untuk mengambil makanan, Alisa dan Dion masih belum berhenti mewawancarainya.

"Ketemunya dulu gimana, sih?"

"Siapa yang nembak duluan?"

"Lamarannya gimana?"

"Kalo bule seserahannya apa?"

"Agama dia apa? Nanti kalian nikah pake adat apa? Internasional?"

"Udah pernah diajak keluar negeri belum?"

"Sehari dijajanin berapa?"

"Umur dia berapa?"

"Kalo jalan bareng kalian disangka bapak sama anak pungut, nggak?"

Mia mendelik karena pertanyaan bertubi-tubi itu. Panas sekali telinganya. Apalagi sekarang semua orang nampak sedang menguping secara terang-terangan.

"Gue mau makan. Diem dulu, bisa?" Tanya Mia dengan nada tenang.

Alisa dan Dion menggeleng. Kalau sudah penasaran, sikap mereka menyebalkan.

"Abis makan, deh. Gue janji jawab pertanyaan lo berdua. Semuanya. Gue makan dulu ya, please?"

Kini Alisa dan Dion saling pandang. Mereka sedang bertukar pikiran lewat sorot mata.

"Yaudah, boleh." Ujar Alisa akhirnya.

Mereka baru akan mulai makan saat Alisa dan Dion mendapatkan notifikasi pesan masuk secara bersamaan. Mia menduga kalau pesan itu asalnya dari group chat. Mia tidak masuk group chat manapun kecuali yang berhubungan dengan stase yang dilaluinya.

Alisa dan Dion mendapat sebuah kiriman video berdurasi pendek. Sebuah rekaman tentang perkelahian empat orang cewek di tengah kemacetan jalan. Dari sudut pandangnya, video itu diambil dari dalam mobil. Wajah dua orang di antara mereka sudah diblur, sedangkan wajah dua cewek lain tidak. Salah satu cewek yang sedang berkelahi itu adalah Mia, sedangkan yang lain adalah seorang cewek blasteran berkulit gelap.

Ketika video sudah berakhir, Alisa dan Dion kompak mengangkat wajah untuk memandang Mia.

"Kamu habis berantem di jalan lagi?" Tanya Alisa lirih.

Mia mengernyit, "Tau darimana?"

Dion memutar hpnya agar Mia juga bisa ikut melihat. Ia memutar ulang video yang tadi ia tonton.

"Video ini dikirim ke semua group chat koas angkatan kita." Dion coba menjelaskan.

Mia menonton video itu dari awal sampai akhir. Kunyahan di mulutnya mendadak berhenti.

"Apalagi sih ini?!" Mia sontak berdiri lalu mengedarkan mata ke sekeliling, mencari-cari Clara.

Siapa lagi pelakunya kalau bukan titisan siluman ular itu?

***


Yang kemarin komen tentang anak Mia - Aiden antara jadi Hulk ato Ironman.

Sumpah, nggak ada akhlak.

Hahahahahahahaaaaa.... Perutku sampe kram ngetawain bakal calon anak yang belum dibuat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top