36 | SISI LAIN
Hari ini agak panjangan dikit, tapi part yg uwu-uwu nggak banyak.
Selamat baca!
***
Mia dan Aiden bertolak ke Singapura dengan pesawat pribadi milik Aiden. Mia heran, sebenarnya berapa banyak jumlah pesawat yang dimiliki oleh Aiden. Selama ini, Mia sudah naik tiga pesawat yang berbeda. Dia tidak sempat bertanya pada Aiden. Tidak ada waktu yang tepat. Selama di perjalanan, Aiden nampak sibuk dengan pekerjaannya.
Asisten Aiden bernama Lisa. Dia adalah perempuan blasteran bertubuh tinggi langsing, dengan rambut sewarna kacang almond. Penampilannya glamor sekaligus profesional dalam waktu bersamaan. Rambutnya diikat rendah di belakang kepala, kelihatan halus dan lembut.
Sikap Lisa sangat ramah terhadap Mia, menganggap cewek itu setara dengan Aiden sang bos. Membuat Mia sampai gugup sendiri.
Boro-boro diperlakukan seperti kekasih, Aiden sama sekali tidak memedulikan Mia. Penyambutanpun tidak ada. Bandara sepi-sepi saja, tuh. Aiden turun dari pesawat duluan dan berjalan di depan dengan langkah terburu. Untung Mia tadi pagi sempat sarapan roti dan susu, jadi punya tenaga untuk menyamai langkah Aiden meski ngos-ngosan. Dia kagum dengan kemampuan Lisa yang dapat bergerak lincah di atas heels sambil bicara dengan Aiden. Sesekali cowok itu menoleh ke belakang untuk memastikan Mia masih ada dan mengikutinya.
Sebuah mobil limo hitam mengkilap telah menunggu mereka di depan bandara.
Astaga, limosin banget, nih?
Mia bingung antara harus kagum atau geli.
Situasi di dalam mobil tak jauh berbeda dengan di pesawat. Aiden dan Lisa membahas pekerjaan dengan bahasa Inggris dicampur bahasa Perancis tanpa belibet. Mia mendengarkan mereka sambil ngemil kacang pistachio yang tersedia.
Saat memperhatikan interaksi mereka, muncul rasa iri di benak Mia karena sosok Lisa. Cantik, pintar, bodi killer, dan mampu mengimbangi Aiden. Ditambah, sikap Lisa juga tidak menyebalkan. Padahal awalnya Mia mengira kalau asisten atau sekretaris pribadi bos lajang+cakep seperti Aiden bakal mirip siluman. Sempurna di luar, tapi busuk di dalam.
Mia bahkan sempat berpikir kalau Lisa mencampur minuman di pesawat dengan sianida karena cemburu padanya.
Mia mendesah bosan.
Sudah hampir tiga jam dia duduk di pinggir ruang rapat, namun rapat Aiden ini tidak ada tanda-tanda akan berakhir. Sejak tadi suasananya tegang. Mungkin ini sebabnya Aiden memaksa diri untuk datang ke Singapura pada hari minggu, demi agar bisa men-skakmat semua peserta rapat yang isinya lima lusin orang dengan latar belakang usia dan etnis berbeda.
Aiden tidak puas dengan produksi bulan lalu hingga mempengaruhi penjualan. Banyak kabel ekspor yang cacat selama perjalanan. Hanya itu yang dapat Mia simpulkan dari topik rapat dadakan ini. Semua orang berkomunikasi dengan bahasa Perancis dan Jerman. Yang berbahasa Inggris hanya satu-dua orang saja.
Selain menekuni pekerjaan di bidang kontraktor listrik, perusahaan Aiden juga menguasai sektor industri kabel bertegangan tinggi yang diekspor ke seluruh dunia. Pabriknya tersebar di beberapa negara di Eropa. Singapura hanya sebagai kantor pusatnya saja.
Sembari mendengarkan Aiden menyudutkan beberapa peserta rapat yang jadi targetnya, Mia bertanya-tanya, kalau Aiden naik takhta, siapa yang mengurus Delavega Enterprises nantinya?
Setiap Aiden bertanya pada seseorang, Mia yang jantungan. Nada suaranya dingin dan tajam. Sikapnya seakan berubah drastis dari Aiden yang biasa Mia kenal. Kalau tahu marahnya Aiden begini, Mia bersyukur kemarin hanya diabaikan sepanjang hari.
Usai rapat yang membuat syaraf tegang, mereka langsung pergi ke bandara untuk kembali ke Surabaya. Aiden bahkan tidak menawari Mia macam-macam. Makan dulu, kek. Belanja dulu, kek. Makan sambil belanja, kek. Tidak ada sama sekali.
"Come here (Kemarilah)." Mia yang sedang minum smoothies langsung terkejut ketika Aiden mengajaknya bicara setelah seharian tidak ada interaksi khusus di antara mereka.
Mia melepas sabuk pengamannya karena mereka sudah mengudara dengan aman. Cup smoothies masih di tangan. Aiden melonggarkan dasinya lalu mendudukkan Mia di atas pangkuan. Cowok itu melingkarkan kedua lengan di sekeliling tubuh Mia dan menyandarkan kepalanya di atas dada sang kekasih. Ia menghirup napas dalam-dalam, mendapat energi baru setelah mencium aroma yang sangat disukainya belakangan ini.
"Capek, ya?" Mia mengusap kepala Aiden.
"Iya. Saya mau cepat tidur."
"Saya nginep lagi?"
"Harus."
"Asistennya om cantik, ya?" Mendapat pertanyaan aneh bin ajaib itu, Aiden mengangkat kepala untuk memandang Mia. Cewek itu menghisap smoothies dari sedotan hingga berbunyi berisik. "Kok nggak ikut kita?" Lanjutnya.
"Besok pagi ada yang harus dia lakukan, jadi dia menginap di Singapura."
"Oh." Mia menyedot smoothiesnya lagi. "Asisten om cantik, ya?" Ulangnya.
"What are you trying to say (Sebenarnya kamu mau ngomong apa)?" Aiden betul-betul bingung.
"Nggak ada. Cuma mau bilang kalo Lisa, asisten om itu, cantik banget."
"Terus kenapa? Saya nggak mengerti arah pembicaraan ini."
"Nggak ada arahnya. Bilang cantik doang masa nggak boleh?"
"Nggak mungkin. Muka kamu mengatakan sebaliknya. Ada apa?"
Mia mengedikkan bahu, "Cuma lagi bertanya-tanya, om pernah tidur sama dia juga, nggak?"
Aiden mengernyit, "Lisa? No."
"Kenapa enggak?"
"Dia karyawan saya. Apapun fantasi kamu, saya nggak melakukan itu dengan asisten saya sendiri."
Mia mendecakkan lidah, "Cewek cakep begitu masa iya dianggurin." Gerutunya tak percaya.
"Saya nggak begitu, chéri."
"Kalopun begitu juga saya nggak masalah." Mia menghabiskan smoothies di cup. Suaranya membuat Aiden sebal. Cewek ini sedang bertingkah.
"Mau kamu bagaimana? Mecat Lisa?"
Mia melirik Aiden sekilas, "Bisa emang?"
"Bisa. Tapi saya berharap kamu lebih dewasa dari itu. Memecat orang sembarangan bukan hal main-main. Dia juga perlu nafkah untuk menghidupi keluarganya."
"Jadi om belain dia?"
"Of course, Lisa nggak berbuat salah. Saya justru terbantu dengan adanya dia."
Mia berdecak sebal. Ia bangkit dari pangkuan Aiden, namun kedua lengan cowok itu menahannya. "Ayolah, Amelia. Jangan begini." Ia menyandarkan kepalanya di lengan Mia.
"Saya sebel banget denger om bela-belain asisten begitu!"
"Itu namanya jealousy. Masalahnya, kecemburuan kamu nggak berdasar. Lisa nggak salah apa-apa kok dicemburuin?"
"Pake nanya segala! Dia lebih cakep, pinter, bodinya bagus, saya nggak percaya kalo om nggak pernah tertarik sama dia."
"Nggak semua laki-laki sebrengsek itu, Amelia." Ada penekanan saat Aiden mengucapkan namanya. Dia tidak tahu bagaimana caranya meyakinkan Mia kalau dirinya dan Lisa tidak terlibat hubungan apapun selain karena pekerjaan.
Mia menghela napas. Tiba-tiba dia merasa konyol sendiri. Efek jarang dibelai jadinya malah cemburuan begini. Ia memandang Aiden yang sekarang sedang balik memandangnya, lebih tepatnya mengamati.
"Maaf. Saya kelewatan." Ujar Mia akhirnya.
"Saya maafkan."
Mia tidak benar-benar menyesal. Hatinya masih kesal karena Aiden punya asisten secantik itu. Dia yakin semua karyawan perempuan di perusahaan Aiden juga tidak kalah cantik. Kalau dibandingkan dengan Mia, pasti menyedihkan.
Mia menghela napas lagi. Akhir-akhir ini dia sering kehilangan kepercayaan dirinya.
"Kalau saya jadi Putri di Alois, nggak boleh ada poligami! Nggak boleh ada selir! Saya bakal bikin undang-undang khusus! Yang tanda tangan saya sendiri." Ujar Mia penuh tekad.
Aiden mengulum senyum, "Di Alois nggak mengenal istilah poligami. Punya istri lebih dari satu melanggar hukum di sana. Ada undang-undangnya."
Mia mengernyit, "Terus om kok bisa melakukan hubungan terbuka?"
Aiden hanya mengedikkan bahu, "Sebelum sama kamu, saya nggak percaya sama komitmen. Punya pacar rasanya terlalu merepotkan. Saya udah sibuk dengan hidup saya."
"Terus ketemu saya, jatuh cinta pada pandangan pertama, nikah, punya anak. Bahagia selamanya. Klise banget, dah!" Mia tidak tahu dia sedang menggerutu tentang apa.
Gerutuan Mia justru membuat Aiden terhibur. "Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk buat kamu bahagia dan nggak menyesal menikah dengan saya."
Mia mengamati sorot keseriusan dari kedua mata Aiden, "Bagus, deh. Janji om nggak muluk-muluk amat."
Aiden merengkuh pipi Mia dan menariknya perlahan agar ia bisa mencium bibir Mia dengan lembut. Bibir Mia terasa manis karena smoothies yang habis diminumnya tadi. Satu tangan Mia menyentuh tangan Aiden yang berada di pipinya. Jatuh cinta memang bukan hal baru bagi Mia, namun untuk kali ini dia mulai yakin kalau Aiden adalah jatuh cintanya yang terakhir.
***
Mia mengikat rambutnya asal-asalan karena pagi ini dia tidak bawa alat catok rambut andalannya ke rumah sakit. Dia baru saja selesai melayani dua orang pasien lanjut usia untuk melakukan CT Scan. Ia berencana untuk duduk-duduk di depan ruang radiologi sambil membaca jurnal kesehatan daripada menganggur. Ketika sedang membongkar tas untuk mengambil buku catatan dan alat tulis, Mia mendadak panik. Buku catatannya tidak ada. Padahal beberapa hari lalu, buku catatan itu masih ada di dalam tas.
Aduh, gawat. Catetan gue di situ semua. Masa ketinggalan di rumah?
Mia coba mengingat-ingat. Dia tidak membongkar tas sama sekali sejak sebelum weekend. Ingatan Mia tidak buruk seperti Ullie. Dia ingat betul kalau buku catatan itu harusnya ada di dalam tas. Ia menggigit bibir bawahnya gelisah. Ia menulis segalanya di buku catatan itu, termasuk poin penting tentang hubungan sugar datingnya dengan Aiden. Kalau ditemukan oleh orang yang dikenalnya, bagaimana?
Terdengar kasak kusuk di depan. Para mbak-mbak front liners sedang ngerumpi dengan perawat. Suara mereka cukup nyaring karena ruang radiologi sedang sepi sekali. Mereka hanya tidak sadar kalau Mia berada tak jauh dari mereka.
"-udah dateng katanya?"
"Denger-denger dia masih single, loh!"
"Guanteng poll! Pake komplit, wes! Tadi rame di depan. Gupuh semua buat nyambut!"
"Dateng sendiri?"
"Ya enggaklah! Bareng sama tiga orang lain. Yang satu asisten, yang dua karyawan biasa kayaknya." Ada jeda sebentar, "Bule tapi ngerti bahasa Indonesia. Mana murah senyum. Meleleh banget aku pas liat dia!"
"Sekarang dimana?"
"Lagi keliling sama direksi. Terakhir katanya mau ke radiologi, mau ngecek alat-alat rumah sakit. Habis ini juga kalian bakal dikabarin, disuruh prepare."
"Waduh, kita belum siap-siap."
"Makanya aku sengaja dateng buat ngabarin kalian biar siap-siap lebih awal. Tapi hati-hati, jantung kalian dikondisikan. Jangan pingsan pas liat dia!"
"Seganteng itu emang? Kalo diibaratkan artis, kayak siapa?"
"Aku nggak ngerti artis luar negeri. Pokoknya selain ganteng, badannya hmm... idaman. Gedhe dukur (Tinggi besar), matanya... kudu liat matanya! Warna abu-abu. Uapik (Buagus)! Wes tah, aku ora mbujuk (Udah deh, aku nggak bohong)."
Acara menguping Mia terpotong karena suara notifikasi pesan masuk di hpnya.
From: Alisa
Ada pudding di kantin. Makan siang di sana. Ketemu 5 menit lagi.
Mia melihat jam yang memang sudah menunjukkan waktu makan siang. Sebaiknya dia makan dulu. Siapa tahu buku catatannya ketemu setelah dia makan siang.
***
Hari ini kantin tidak terlalu ramai. Para dokter dan perawat sibuk dengan persiapan kedatangan para direksi dan pemilik baru rumah sakit yang berkeliling sepanjang hari ini. Artinya, yang sedang mereka ributkan adalah Aiden.
"Kenapa sih diem aja?" Alisa menyenggol lengan Mia ketika mereka menemukan meja kosong setelah mengisi piring masing-masing dengan makanan. Dion duduk di sebelah Mia.
"Buku catetan gue ilang. Kalian pernah liat, nggak?"
Alisa dan Dion kompak menggeleng, "Terakhir kamu taruh mana? Coba inget-inget lagi."
"Dalem tas. Gue bingung antara beneran lupa atau jatuh atau ada yang ngambil." Mia menghela napas. Dia masih gelisah karena kehilangan hasil catatan penting di buku itu. Bahkan saking pentingnya, Alisa dan Dion sempat menjuluki buku itu sebagai alkitab karena selalu dibawa Mia kemana-mana.
Dion menyendok nasi di piringnya. "Paling ketinggalan di rumah."
"Nggak gue keluarin sama sekali, Yon." Sanggah Mia.
Alisa menyenggol lengan Mia lagi, "Itu om kamu bukan?"
Dion dan Mia mendongak, sama-sama melihat ke arah pintu masuk dimana rombongan direksi rumah sakit dan rombongan dari Delavega Enterprises masuk. Kantin langsung hening. Hanya suara dari rombongan itu saja yang terdengar. Semua direksi nampak hadir, termasuk si babang mantan pacar Mia, dr. Irwan.
Mia menyemburkan tawa kecil.
Alisa dan Dion menatapnya.
"Kenapa?"
Mia menggeleng atas pertanyaan Alisa barusan. Dia hanya merasa geli sendiri karena raut wajah dr. Irwan terlihat tegang. Biar mampus. Baru tau kan dia kalau pemilik baru rumah sakit itu ternyata Aiden. Bahkan sekarang dia terpaksa harus duduk semeja dengannya untuk makan siang.
"Mia punya om bule begitu turunan dari mana?" Tanya Dion polos.
"Bukan om turunan darah katanya, kenalan aja." Kali ini Alisa yang menjawab.
"Kok keren kamu dapet kenalan pemilik rumah sakit? Udah nggak bingung mau kerja dimana ntar pas lulus." Dion menyenggol lengan Mia.
Mia hanya mengangguk. Perutnya masih geli, jadi dia berusaha mengulum tawa agar tidak terlalu menarik perhatian.
Dion menyendok sayur dari piring Mia.
Mia mendecakkan lidah, gelinya sirna. "Kebiasaan! Suka nyomot punya orang!" Dengusnya.
"Lupa ambil sayur tadi. Mager mau ambil lagi. Nih, aku kasih sosisku." Dion memindahkan sebuah sosis dari piringnya ke piring Mia.
Bersamaan dengan itu, terdengar notifikasi pesan masuk dari hp Mia. Cewek itu mengeceknya.
From: +62 813 xxxxxx
Teruskan berbagi makanannya.
Mia menelan ludah lalu mengangkat kepala. Dilihatnya Aiden sedang balik menatap dengan ekspresi datar sebelum cowok itu mengalihkan pandangan ke arah direktur utama rumah sakit yang mengajaknya bicara.
Ketika Dion akan menyendok sayur dari piringnya lagi, Mia buru-buru menepuk punggung tangannya keras. Dion sampai meringis kesakitan.
"Pelit amat, sih!!" Protes Dion.
"Sendok bekas mulut lo, nyet!"
"Biasanya juga kita minum dari sedotan yang sama!"
Mia mendelik padanya.
Kali ini Mia merasakan lengannya disenggol Alisa. Ia mulai menyesal telah mengambil tempat duduk di antara mereka berdua. Senggol sana senggol sini. Jadi tidak konsentrasi makan.
"Kok nggak cerita sih kalo om kamu yang beli rumah sakit ini? Sultan banget ya dia?"
Mia hanya mengangguk sekilas karena dia sibuk melindungi piringnya dari Dion.
"Daritadi ngeliat ke sini, tuh!" Lanjut Alisa.
Lagi-lagi Mia mengangguk. Dia tahu Aiden memperhatikannya, maka dari itu dia melindungi piring dari Dion, daripada bikin salah paham.
"Mantan kamu sampe kicep begitu. Dia juga nggak tau ya kalo om kamu yang beli rumah sakit?" Alisa terus memperhatikan meja tempat para petinggi rumah sakit itu sedang makan siang bersama.
"Kan dulu om Aiden belinya lewat pak Alan." Mia coba memberi penjelasan tanpa memandang Alisa. Gerakan Dion makin gesit untuk mencuri sayur dari piring Mia.
"Minta dikit, ah! Pelit banget, sih! Nanti aku sembelit kalo nggak makan sayur!"
"Ya ambil sendiri sono! Ngapain ambil dari piring gue?"
"Ambilin! Aku mager!"
Mia membuat gestur ingin memukul kepala Dion, "Gue bukan babu lo, kampret!"
"Ambilin ato kasih dari piringmu? Ambilin dikit, deh. Pake sendokmu."
"Ya Allah, Yon. Sumpah, emang lo bikin gue sebel aja bisanya!" Mia mengatur duduknya agar membelakangi arah tatapan Aiden, kemudian mengambil sesendok sayur dari piringnya untuk diberikan pada Dion. Mia cemberut karena tidak ikhlas.
"Sip, sip. Mantab." Dion makan dengan lahap.
Mia buru-buru mengecek hpnya lagi karena ada notifikasi pesan baru.
From: +62 813 xxxxxx
I see what you've done (Saya liat yang kamu lakukan).
Mia spontan memejamkan mata. Rasanya ia ingin segera menyelesaikan makan siang supaya cepat pergi dari sini. Berada seruangan dengan Aiden dan diawasi sangat tidak baik bagi kesehatan jantungnya.
***
Mia menyumpahi Aiden dalam hati. Gara-gara kedatangannya yang sok mendadak ini, dia jadi kebagian tugas bersih-bersih. Nutrisi karena makan siangnya tadi habis karena pembakaran energi. Kedua lengannya sampai pegal karena dipakai mengelap peralatan di radiologi sampai kinclong tanpa partikel debu.
Mbak-mbak frontliners?
Mereka lebih sibuk berdandan untuk menyambut si pemilik baru rumah sakit yang dikabarkan bule ganteng single itu.
Single?? Gue calon bininya, woii!! Protes Mia dalam hati.
"Sok-sok an sidak begini apa dia nggak paham ya kalo gue bakal jadi kacung buat beberes?" Gerutu Mia keras-keras. "Pulang-pulang badan pegel, gue minta dipijitin pokoknya, nggak mau tau! Nggak mikir apa kalo calon bininya ini masih anak koas, yang berarti gue masih ada di kasta terendah rumah sakit! Lebih rendah dari perawat! Lebih rendah dari semua orang! Nggak abis pikir banget dah gue!" Mia menggaruk kepalanya yang tiba-tiba gatal.
Mendadak pintu ruangan USG dibuka, kepala salah satu mbak frontliners menyembul dari balik pintu. Mia menyunggingkan senyum manis.
"Udah beres?"
Mia mengangguk, masih sambil tersenyum.
"Buruan ke depan! Rombongannya udah keliatan."
"Saya nanti ngapain, mbak?"
"Berdiri aja di pinggir, jangan narik perhatian! Ada kepala departemen yang bakal ngejelasin ntar." Lalu pintu ditutup.
Senyum Mia langsung lenyap. Hatinya masih sebal.
***
Mia berdiri paling ujung bersama para peserta koas di stase radiologi lainnya. Ia berdiri sambil menundukkan kepala. Sesekali ia bersandar pada dinding jika tidak ada yang melihat. Para direksi dan rombongan Aiden sedang berkeliling ruang radiologi.
Lisa, -yang sudah kembali dari Singapura- berjalan di sebelah Aiden. Saat ia bertemu pandang dengan Mia, Lisa langsung tersenyum sambil menganggukkan kepala sekilas. Mia balas tersenyum kecil. Tiba-tiba ia merasa bersalah karena kemarin telah meminta Aiden untuk memecat asistennya. Padahal Lisa tidak melakukan apa-apa padanya.
"Ini para dokter muda yang bertugas di radiologi." Direktur utama rumah sakit memperkenalkan mereka pada Aiden. Tidak seperti peserta koas lainnya, Mia menundukkan kepala dalam-dalam. Dia lebih suka jadi tak terlihat. Terutama jika ada sang tunangan yang sedang melakukan kunjungan ke tempat kerjanya.
"Saya kenal yang satu ini." Dari bawah, Mia dapat melihat sepatu Aiden mendekat ke arahnya.
Please, pura-pura nggak kenal. Please, please, please.
"Ini tunangan saya." Lanjut Aiden.
Semua orang terkesiap karena terkejut, kecuali dr. Irwan. Mia menghela napas lalu mengangkat wajahnya sambil menyunggingkan senyum terbaik yang dia bisa.
"Saya harap dia tidak buat banyak masalah selama bertugas di sini." Ujar Aiden lagi. Kali ini satu tangannya menyelinap untuk menyentuh punggung Mia, menariknya mendekat. Tatapan semua orang padanya membuat jantung Mia berdegup tak terkendali.
Kurang ajar emang si bule ini. Bikin heboh aja.
Mia mendongak untuk menatap Aiden. Cowok itu balas memandangnya sambil tersenyum.
Apa ini gara-gara Dion mengambil sayur di piringnya? Atau demi menandai kekuasaannya di depan dr. Irwan?
Sumpah, dua-duanya tidak membuat Mia senang sama sekali. Yang ada malah malu. Mulai detik ini, sikap semua orang di rumah sakit akan berubah seratus delapan puluh derajat padanya. Sikap mereka akan membuat Mia tidak nyaman. Pasti.
Tidak nampak ekspresi tertentu di wajah dr. Irwan. Mantan pacar Mia itu hanya memandang mereka berdua bergantian. Jika seseorang dapat menyadarinya, mungkin mereka bisa melihat senyuman tipis penuh arti di wajah dokter pediatri itu.
***
Sebelum pulang, Mia mampir dulu ke instalasi forensik untuk mengirimkan pesanan Dion. Temannya itu titip dibelikan sepuluh botol kopi instan untuk stoknya jaga malam sekaligus lembur mengerjakan laporan. Mia sih oke-oke saja karena dia juga rindu suasana instalasi forensik. Dia rindu suasana suram dan keheningan di sana. Mungkin karena jiwa Mia sudah terlanjur kelabu makanya dia suka suasana sejenis angker begitu.
"Belum pulang?"
Mia reflek memutar bola mata karena mendengar suara dr. Irwan. Padahal rumah sakit sebesar ini, kenapa sih harus ketemu dia terus! Padahal waktu masih pacaran, dia sulit sekali ditemui.
"Kebetulan ketemu di sini, padahal tadi aku mau ke radiologi nyari kamu." Lanjut dr. Irwan.
"Mo ngapain cari saya?"
Dokter Irwan tersenyum kecil. Ia mengeluarkan sebuah buku dari dalam tasnya.
Buku catatan Mia yang dikira hilang.
"Loh?" Mia ingin merebut buku itu namun tangan dr. Irwan lebih gesit. "Itu punya saya. Kenapa ada di dokter?"
"Aku ambil dari tas kamu."
"Kapan? Kok lancang?"
"Beberapa hari lalu, aku nyari kamu di radiologi, nggak ketemu. Yang ada cuma tas kamu aja. Buku ini tergeletak di lantai, jadi aku ambil. Aku baca juga." Senyum kecil masih belum hilang dari wajah dr. Irwan, membuat Mia makin kesal.
"Kembalikan!"
Dokter Irwan menggeleng, rupanya dia masih belum selesai bicara. Ia membuka buku itu tepat di halaman dimana Mia mencatat delapan poin terpenting peraturan hubungan sugar datingnya dengan Aiden.
"Kamu jadi sugar baby sekarang?" Tanya dr. Irwan.
"Enggak!"
Dokter Irwan mendecakkan lidah, "Pantes selama ini kamu ngejauhin aku. Beda sama waktu dulu pas kamu masih ngejar-ngejar. Ternyata ini sebabnya. Sugar daddy kamu juga lumayan, sampe bisa beli rumah sakit. Jujur aku speechless. Nggak nyangka sama sekali."
"Dokter ini banyak waktu, ya? Sampe ngurusin hidup saya! Kembalikan!" Mia berusaha meraih bukunya kembali, tapi tidak berhasil. Gregetan? Jangan ditanya lagi!
"Jawab dulu pertanyaanku, kamu dikasih berapa sekali ML sama si bule itu? Gimana rasanya? Badan besar begitu, pasti kont-"
PLAK.
Dokter Irwan terkejut bukan main karena Mia menampar wajahnya cukup keras.
"Bajingan, gue udah ngajak ngomong baik-baik masih aja ngeselin! Balikin buku gue, bangsat!" Tangan Mia terangkat untuk meminta bukunya kembali.
"Kamu berani nampar?" Cuping hidung dr. Irwan kembang kempis karena menahan amarah.
"Kenapa? Mau bales? Bales aja! Gue ladenin!" Mia melempar kantong plastik berisi kopi instan dan tasnya sembarangan. Doni si Angkatan Laut saja bisa dia hajar, apalagi cowok letoy macam dr. Irwan yang isi otaknya mesum doang.
"Kurang ajar kamu!"
"Elo yang kurang ajar, nyet! Mulut asal jeplak kayak comberan! Balikin buku gue!"
Koridor menuju instalasi forensik ini terkenal sepi. Jarang ada yang lewat selain hembusan angin.
Mia tidak mengantisipasi gerakan mendadak dr. Irwan untuk menarik tubuhnya. Mia dilempar ke dinding, disudutkan. Tubuhnya dihimpit oleh tubuh dr. Irwan. Bukan hanya itu saja, bibir dr. Irwan juga menjamah leher dan sudut bibirnya.
"Bangsat!" Mia berusaha mendorong tubuh dr. Irwan, tapi tubuh cowok itu tak bergerak. Bibirnya langsung dilumat tanpa ampun.
Mia belum pernah dilecehkan begini. Biasanya, otak dan tubuhnya bergerak secara otomatis. Namun saat ini, hanya ketakutan yang dirasakannya. Tubuhnya mendadak lemas sekaligus gemetar. Ia ingin sekali berteriak atau menyerang dr. Irwan secara membabi buta seperti yang pernah dilakukannya pada Doni dulu. Air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Jadi ini yang dirasakan oleh korban-korban pelecehan dan pemerkosaan. Mereka bukannya tidak mau melawan. Tubuh mereka mendadak lumpuh.
Mia menghentak lututnya keras-keras agar bisa mengenai selangkangan dr. Irwan. Tapi cowok itu berhasil menghindar.
Bangsat! Jerit Mia dalam hati.
Mia berusaha menguasai dirinya lagi. Dia tidak mau jadi tidak berdaya begini. Satu tangannya terangkat untuk menarik rambut belakang dr. Irwan. Ketika wajah mereka kini berjarak, Mia membenturkan kepalanya ke hidung dr. Irwan dengan keras. Niatnya memang ingin menghancurkan hidung dokter itu. Dokter Irwan terjungkal ke belakang, hidungnya mimisan. Wajahnya terkejut ketika melihat darah menetes dari hidung.
Mia mengelap bibirnya yang basah. Ia meludah ke lantai karena jijik bukan main. Ia baru akan membalas dr. Irwan lagi ketika seseorang mengambil alih.
Sepasang tangan besar menarik kerah dr. Irwan lalu membanting tubuhnya ke lantai.
Mia terkesiap saat mendapati ternyata Aiden yang tiba-tiba muncul entah dari mana.
Aiden menindih tubuh dr. Irwan lalu memukuli wajahnya dengan membabi buta.
"Miss Amelia, anda baik-baik saja?" Lisa datang tergopoh dengan wajah panik. Ia memeriksa tubuh Mia, mengecek apakah ada luka atau tidak.
Mia tidak mampu merespon apa-apa. Kedua matanya masih membulat karena memandangi Aiden sedang memukuli dr. Irwan bertubi-tubi. Aura kemarahan sangat kental mengelilingi Aiden. Tubuh dr. Irwan kalah besar darinya, sehingga dokter itu tidak dapat berkutik. Wajah dr. Irwan sudah babak belur dan dipenuhi darah dalam waktu singkat.
"Li-Lisa... panggil bantuan!" Mia tergagap sebelum menghampiri Aiden yang kelihatan benar-benar ingin membunuh seorang dokter di rumah sakit.
Lisa buru-buru mengeluarkan hp dan menghubungi seseorang.
"Om, sudah!" Mia menahan lengan kanan Aiden yang terangkat untuk memukul lagi. Tangannya ditepis. Aiden benar-benar sudah dibutakan oleh emosi. "Om Aiden! Sudah!!" Kali ini Mia menampar Aiden agar cowok itu lekas sadar. Usahanya berhasil. Aiden langsung mengerjap dan jatuh terduduk. Dadanya bergerak naik turun dan kedua matanya nyalang menatap korbannya yang sudah tak sadarkan diri dengan wajah bersimbah darah.
"Amelia..." Aiden mencari-cari Mia. Cewek itu langsung mendekatinya. "Kamu nggak apa-apa? Ada yang luka?" Aiden bangkit berdiri dan memeriksa keadaan Mia seperti yang dilakukan Lisa tadi.
Mia menggeleng.
Aiden menghela napas lega lalu memeluk Mia erat-erat.
"Mobil sudah menunggu di depan. Kalian harus segera pergi. Biar kekacauan ini saya yang urus." Lisa menghampiri mereka.
Aiden melepas pelukannya lalu menatap Lisa. "Saya mau dia dipecat. Hari ini juga. Pastikan tidak ada rumah sakit yang menerimanya selama lima tahun ke depan."
Lisa hanya mengangguk singkat.
***
Ini perasaan Mia aja atau Aiden pas lagi marah emang nakutin?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top