34 | LAGI

Sebuah mobil Bentley keluaran terbaru dengan model kap terbuka masuk ke pekarangan rumah Mia. Pengemudinya adalah Ullie, mantan teman serumah Mia yang kini menikah dengan Fabian Wendra Hartono, pewaris Hartono Group. Bentley itu adalah hadiah kelulusan dari Anton. Kakak tersayangnya itu gembar-gembor kalau dia menguras habis isi tabungannya demi membelikan Ullie mobil impian.

Begitu pintu pengemudi terbuka, sepasang kaki beralaskan sandal jepit swallow turun menginjak paving basah. Hujan semalam baru reda pukul tiga pagi. Ullie sengaja datang untuk mengecek apakah Mia kebanjiran atau tidak, soalnya sejak pagi nomor Mia tidak bisa dihubungi.

"Hadeh, kebiasaan tuh anak nggak nyapu halaman. Kotor begini." Ullie mengambil sapu lidi dan membersihkan daun kering yang kini jadi basah akibat hujan semalam. "Biar kubakar di bawah jendela kamarnya. Sekalian mampus kena asap." Janji Ullie sambil ngomel. "Kebiasaan banget sok sibuk sampe nggak ngurus rumah. Gimana ada cowok yang mau coba? Lama-lama bisa jadi perawan tua ntar kalo pemalas begini!"

Ujung sapu lidi Ullie mengenai ban mengkilap. Sebuah mobil Bentley yang dulu diincarnya untuk dimiliki. Mobil sebagus ini rasanya tidak mungkin ada di sini. Permukaannya masih basah, namun tidak mengurangi pesonanya. Ullie sempat mendadak bego karena mengamati mobil ini.

Kok daritadi Ullie tidak lihat, ya?

Mia ada tamu?

Ullie melempar sapu lidinya, lalu masuk ke dalam rumah. Pintu depan rumah tidak dikunci, lagi-lagi Ullie berdecak. Baru ditinggal kawin berapa bulan, Mia sudah teledor begini. Ullie mulai berpikir kalau mobil Bentley di depan adalah milik tetangga yang sedang titip saja.

Cewek itu mengamati keadaan sekeliling, mengecek apakah ada yang janggal sehingga bisa dijadikan bahan ceramah ke Mia. Bocah itu perlu diceramahi sekali-sekali.

Rumahnya masih bersih. Bak cucian juga kinclong, tidak ada piring kotor.

Ullie langsung masuk ke kamar Mia yang tidak pernah dikunci.

"Sering ngatain aku kebo, sendirinya jam segini belum bangun." Ia geleng-geleng kepala melihat Mia yang masih meringkuk di dalam selimut. Hanya terlihat sepasang kaki yang menyembul di baliknya. "Kaki segede gaban. Berbulu lagi. Ini anak aku tinggal kawin kok malah jadi begini?" Ada perasaan sedih di hati Ullie saat memandangi temannya jadi tidak terawat. Sampai mencukur bulu kaki saja tidak sempat.

Ullie membangunkan Mia dengan kaki. Sengaja mendorong pantatnya agar bangun. "Bangun, nyet! Nyonya Hartono dateng, nih!"

Tubuh di balik selimut itu tidak bergerak.

"Bangun, woii! Kamu tidur apa training meninggal?"

Karena tidak sabar, Ullie menarik selimut dengan kasar. Ia sontak memekik terkejut, lalu berteriak kencang-kencang.

Bagaimana tidak terkejut, kalau yang dilihat Ullie adalah sesosok bule setengah telanjang di atas tempat tidur temannya. Bule itu menutupi kedua telinganya yang mendadak tuli akibat teriakan Ullie. Begitu sadar yang berteriak adalah orang asing, ia buru-buru menutupi bagian bawah tubuhnya dengan bantal. Bagian vital yang hanya terlindung oleh boxer menonjol kemana-mana.

"Jancooookkkk! Koen sopooo (Kamu siapa)?!" Seru Ullie sambil menunjuk Aiden.

Mia keluar dari kamar mandi dengan tergopoh. Tubuhnya masih basah dan hanya terlindung oleh handuk.

"Apaan? Kenapa? Ada apa?" Ia membawa botol shampo besar dan mengacungkannya tinggi-tinggi. Tadi dia kaget dan panik karena mendengar teriakan, jadi hanya sempat menyambar botol shampo agar bisa dijadikan sebagai senjata. Satu tangannya memegangi handuk agar tidak lepas.

"What the-" Aiden yang masih terkejut hanya bisa mengerjap panik. Dipaksa bangun begini membuat kepalanya sakit. Jantungnya berdegup kencang.

Siapa cewek berambut brunette ini? Tiba-tiba masuk ke kamar tanpa ijin!

"Lah?" Mia memang dianugerahi otak cemerlang, jadi ia bisa langsung memahami situasi dalam sekali lihat. Buru-buru ia menarik tangan Ullie dan menutup pintu kamar.

"Bangsat! Kamu bawa cowok ke rumahku??" Ullie sudah mencak-mencak.

"Shh!! Bacot lo jangan kenceng-kenceng!!" Mia ingin sekali membekap mulut Ullie, tapi khawatir handuknya melorot.

"Gimana nggak kaget, nyet?! Kamu bawa cowok bule ke rumahku! Mana telanjang lagi di tempat tidur! Aku aduin bapakmu, ya!" Ullie sudah mengeluarkan hp dari saku celana pendeknya. Mia langsung menyambar hp itu dan mengacungkannya tinggi-tinggi. Tubuh Ullie lebih pendek dari Mia, jadi cewek itu kesusahan merebut hpnya kembali. Apalagi Mia sekarang berjinjit. Meskipun Ullie melompat-lompat, hpnya tidak bisa diraih.

"Itu calon laki gue." Ujar Mia.

"Halah, mbujuk tok cangkemmu (Mulutmu pembohong)!"

"Serius, kampret! Emang nggak diceritain mas Anton sama mama lo?"

"Diceritain. Aku nggak percaya. Kirain nge-prank."

"Biji mata lo nge-prank! Beneran. Namanya Aiden. Calon laki gue."

Karena kelelahan, Ullie berhenti melompat-lompat. Lututnya yang dipasangi pin metal mulai terasa sakit, minta diistirahatkan. Ia mengatur napas agar tidak ngos-ngosan. Bersamaan dengan itu, pintu kamar dibuka. Aiden sudah mengenakan baju lengkap. Rambutnya berantakan, namun dia sudah sepenuhnya bangun. Ia melihat Ullie dengan tatapan tajam. Ketika beralih memandang tubuh Mia yang basah dan hanya terlindung handuk kelewat pendek, ia berdeham sambil membuang muka.

"Saya kesiangan, padahal harus berangkat ke Singapura." Ia mengecup kening Mia sekilas.

Mia langsung cemberut, "Yah, padahal mau ngajak nge-date."

"Saya pulang nanti malam. Besok aja ya, nge-datenya?" Aiden mengacak rambut Mia yang lembab. "Selesaikan mandimu. Jangan berkeliaran hampir telanjang gini."

Mia hanya mengangguk lesu.

Kini Aiden memandang Ullie yang balik memandangnya dengan dahi berkerut. "Kamu pengantin yang waktu itu."

"Emang kamu diundang? Kok aku nggak inget."

Mia menginjak kaki Ullie, "Dia lebih tua empat belas tahun dari kita. Ngomong yang sopan!"

Ullie meringis kesakitan, namun dia tetap mengangguk.

"Maaf, pak. Eh, om. Apaan, ya? Mas?" Ullie jadi bingung sendiri dengan sebutan yang pas.

"Saya Aiden. Kamu adiknya Anton, kan?"

Ullie mengangguk, "Kenal sama mas Anton, toh?"

Aiden mengangguk. Kini ia memandang Mia lagi.

"Saya pergi dulu. Bye, chéri." Ia mengecup bibir Mia singkat. Di depan Ullie.

Mia terkejut bukan main, namun ia dapat mengendalikan diri dengan cepat.

Harus bagaimana memangnya? Memarahi Aiden? Toh Mia suka juga dicium begitu.

"Hati-hati di jalan!" Mia tidak mengantarkan sampai pintu, khawatir tetangga melihat penampakannya yang mirip bintang bokep.

Ullie yang sedari tadi memperhatikan interaksi mereka hanya bisa mengerutkan hidung. Ia memang sering melihat Mia gonta-ganti pacar. Tapi dengan seorang bule? Sampai diajak menginap? Ciuman di depan matanya?

Aduh, ada apa dengan Mia?

"Aku kok kayak familiar sama mukanya. Tapi blank banget kepalaku. Inget pernah liat dimana, ya?" Tanya Ullie ketika si bule yang ternyata pemilik Bentley menghilang dari pekarangan.

"Otak lo kan emang cuma sejempol doang." Mia melengos ke kamar mandi, melanjutkan acara mandinya yang tertunda gara-gara teriakan si Nyonya Hartono.

***

"Tumben nggak nugas?" Ullie menghampiri Mia yang sedang berbaring terbalik di atas sofa. Kepalanya menjuntai ke bawah, sedangkan kedua kaki diletakkan di atas. Wajah Mia sampai merah gara-gara darah turun ke kepala. Ullie hafal kebiasaan temannya itu kalau sedang bosan atau menganggur.

"Radiologi santai banget." Mia memindah channel TV ke acara masak-masak.

Ullie mendudukkan dirinya di sebelah Mia. Kedua tangan dimasukkan ke kantong hoodie. Wajahnya bersih tanpa polesan. Meskipun sudah jadi menantu salah satu keluarga terkaya se-Indonesia, penampilan Ullie tetap tidak berubah. Atasan hoodie warna netral, bawahan jeans pendek, dan alas kaki sandal swallow. Rambutnya dicepol asal-asalan di atas kepala.

"Ngapain lo kesini sabtu-sabtu? Nggak pacaran sama laki lo?"

"Mas Bian?" Ullie mendengus. "Itu Fir'aun gila kerja banget! Weekend begini dia terbang ke Perancis buat nengokin kantor regional. Baru balik Rabu besok katanya. Taik banget, bini dianggurin." Ia mengomel panjang lebar.

"Terus kenapa lo nggak ikut? Kan bisa jadi penerjemah."

"Boro-boro. Di Perancis pasti ditinggal geledak lah! Kan dia di sana ditemenin bu Andrea." Lagi-lagi Ullie mendengus.

"Laki lo kebangetan emang kalo udah kerja. Padahal tajir begitu, kok masih rajin, sih?"

"Kerja itu hobi, katanya. Kalo nggak kerja dia uring-uringan. Daripada nganggur kan mending bikin anak, biar ada kegiatan!"

Mia tertawa, membuat wajahnya makin merah. "Jangan-jangan lo kurang dikasih perhatian, ya?"

Ullie mengangguk, "Bener kata orang. Nikah itu enaknya cuma sebulan dua bulan doang. Sifat asli bakal muncul cepat ato lambat. Kayak Fir'aun tuh contohnya! Astaga, aku sampe gedek liat kebiasaannya yang kayak... kerja lebih penting dari hal lain! Kalo nggak disiapin, dia betah tuh nggak makan sehari semalam. Kalo nggak diingetin istirahat, bisa tuh dia kerja dari pagi ketemu pagi lagi. Hari libur? Dipake main game sama temen-temen bulenya." Ia berdecak sebal. Mengingat suaminya justru membuat mood Ullie berantakan. "Jadi itu calonmu, kerjaannya apa?" Ia mengalihkan topik.

"Pengusaha."

"Bidang?"

"Listrik."

"Punya cabang nggak perusahaannya?"

"Lo tau Delavega Enterprises?"

Ullie mengangguk. "Pernah denger. Sahamnya blue chip. Kerja di situ dia?"

"Blue chip apaan dah?"

"Sahamnya unggulan. Barang produksinya berkualitas, struktur keuangannya kokoh. Perusahaan Delavega ini terkenal sama produksi baterai, lampu, sama kabel tegangan tinggi. Kenapa? Dia kerja di situ?"

"Dia yang punya. Nerusin punya bokapnya. Perasaan tadi gue udah bilang dia pengusaha, deh. Otak lo kumat, sebel gue!"

Ullie terkekeh, "Sori. Kurang fokus."

"Minum vitamin sono, biar otak lo jalannya 100%!"

"Emang ada otak yang jalannya nggak 100%?" Tanya Ullie polos.

"Ada. Otak lo."

Ullie menjitak dahi Mia sampai cewek itu mengaduh dan memaki.

"Kalo dia owner perusahaan segede itu, kok bisa dapet kamu? Pergaulannya sesempit apa sampe nemu cewek macam kamu? Kan biasanya pengusaha itu sibuk banget, circle pergaulannya mereka pasti dari kalangan yang sama."

"Yang sibuknya nggak ngotak cuma laki lo doang kayaknya. Apa-apa dikerjain sendiri. Om Aiden nggak begitu. Dia masih bisa nyeimbangin hidup. Malah, justru dia yang sering ngikutin jadwal gue. Orangnya fleksibel. Karena bule kali, ya? Bawaannya santai aja gitu."

Ullie menghela napas. "Gimana ya caranya biar mas Bian hidup seimbang kayak gitu?"

"Kalo di rumah pake lingerie, dandan yang cakep. Biar mata dia melotot ngeliatin lo doang."

"Gatel pake lingerie. Udah pernah nyoba."

"Yaudah telanjang aja di rumah."

"Saranmu nggak ada yang bener." Dengus Ullie. Ia menyerah. "Bahas yang lain, deh!"

"Apaan?"

"Kenal cowok bule itu dimana?"

"Kawinan lo. Eh!" Mia bangkit duduk, wajahnya antusias. "Lo tau nggak, dia itu mantan tunangannya Regina Atmodjo, lho!"

"Hah? Serius?"

Mia mengangguk, "Serius!!"

Ullie mengerjapkan mata, lalu memandang temannya dari kepala sampe kaki. "Bukannya aku nggak sayang kamu, ya. Tapi..." Ullie menelan ludah sebelum meneruskan, "Kalo dia pernah tunangan sama seorang Gie, apa yang dia liat dari kamu, ya?"

Mia tidak tersinggung sama sekali. Raut wajahnya ikut bingung. "Nggak ngerti gue." Ia menggaruk pelipis sebelum melanjutkan, "Gue balik, deh. Laki lo juga mantan tunangan Gie. Bian ngeliat apa dari elo sampe mau jadiin lo bininya?"

Bibir Ullie memberengut.

"Seleramu udah berubah jadi suka cowok yang lebih tua?" Tanya Ullie.

Mia mengedikkan bahu, "Nggak pernah liat umur sih gue. Kebetulan dia mau ama gue, yaudah embat aja."

"Bule kualitas A sih itu. Dari ujung kepala sampe kaki perfecto."

"Mas Anton cerita nggak kalo kemarin dia nemenin gue ke Alois?"

"Cerita. Itu dimana emang? Kayak taman hiburan, ya? Disneyland?"

Mia menatap Ullie tak percaya, "Nama negara, kampret! Dia jadi Pangeran di kampungnya sono."

"Negara?" Ulang Ullie. "Ada emang? Geografiku waktu SMP sering remedi. Baca google maps aja nggak lancar, apalagi ngapalin nama negara. Negara nggak terkenal tuh pasti."

Mia hanya bisa geleng-geleng kepala. Menjelaskan letak Kerajaan Alois di peta tak akan membuat Ullie lebih mengerti.

***

Mia dan Ullie sepakat untuk pergi jalan-jalan ke Tunjungan Plaza, salah satu mall paling besar se-Surabaya. Sudah lama mereka tidak kencan berdua begini. Ullie masih mengenakan baju yang sama, sedangkan Mia sudah berganti baju dengan kaos dan jogger pants. Ia mengenakan make up tipis, dan rambutnya sudah dicatok hingga terurai lembut di belakang punggung.

"Lo kebangetan! Masa ke mall pake sandal swallow? Laki lo kan tajir!" Mia berdecak ketika melihat teman dekatnya ini cuek sekali berkeliaran di mall dengan penampilan yang apa adanya.

Ullie hanya meliriknya sekilas. "Kamu juga kayak orang mau senam pagi."

"Gue masih mending masang make up!"

"Kalo aku pake make up nanti banyak cowok kecantol gimana?"

"Pede lo amit-amit! Seenggaknya pake baju bagus, kek!"

Ullie mengangkat dompet keluaran Gucci. "Penampilan nggak penting. Yang penting isi dompetnya." Ujarnya sambil menepuk dompet.

Mia manggut-manggut, "Manteb! Traktir, ya?"

Ullie mengangguk, "Tunjuk aja mau ditraktir apa!" Tiba-tiba ia berhenti berjalan. "Kita ngapain sih ke mall ini? Kegedean tempatnya! Kakiku ngilu banget jalan kaki daritadi muter-muter. Pegel, cuk!" Ia duduk selonjoran di samping lift karena tidak menemukan bangku kosong sejauh mata memandang. Mendadak ia ingin pulang saja.

Mia ikut-ikutan duduk selonjoran di lantai sebelah Ullie. Jadilah mereka berdua seperti orang kampung yang duduk di mall elit sambil menoleh kanan kiri memperhatikan pengunjung yang balik memperhatikan mereka dengan heran.

"Mau nonton?" Tawar Mia.

"Males."

"Makan?"

"Masih kenyang."

"Belanja?"

"Sayang duit."

"Ah elah, kampret! Elo lagi PMS, ya?" Mia mendadak sebal.

"Kok tau?"

"Kalo lagi PMS, lo nyusahin orang mulu bisanya! Kayak sekarang. Uring-uringan! Udahlah, pulang aja!" Ia menarik lengan Ullie agar segera bangkit, daripada makin bikin malu.

"Nongkrong aja, deh! Excelso ato Starbucks. Kan dulu kita jarang nongkrong di sana gara-gara nggak PD sama isi dompet."

"Sumpah, lo norak banget. Keliatan OKB-nya!"

"Apaan OKB?"

"ORANG KAYA BARU!!" Seru Mia di depan wajahnya. "Minum kopi aja, deh! Biar kena kafein otak lo jalannya lancar!" Mia sering lupa kalau Ullie ini konsletnya tidak kira-kira. Lebih parah daripada kakaknya, Anton.

***

Ullie kelihatan galau dan linglung sejak tadi. Dia juga kedapatan menghela napas berkali-kali. Karena tidak tega, Mia mengambil alih kemudi, supaya Ullie bisa merenungi nasib puas-puas. Kap mobil Ullie sudah ditutup agar mereka tidak kepanasan.

"Biar PMS lo baikan, gue turutin lo seharian kemanapun. Mau apa ayo aja, deh!"

"Nggak tau pengen apa." Telunjuk kanan Ullie menekuri jendela, memandangi kemacetan di lampu merah. Lamanya tidak manusiawi. Kalau merah 120 detik, sedangkan pas hijau hanya 10 detik saja. Kemacetannya panjang sejak tadi.

"Abis ngopi pergi jalan-jalan ke Malang, deh. Mau?"

"Kalo nongkrong doang, aku nggak mau."

Mia menghela napas berat. Kalau sedang galau, mood swing Ullie membuat kepala pusing. Atau ini gara-gara efek ditinggal suaminya keluar negeri?

Tangan Mia gatal sekali untuk menghubungi Fabian, ingin memarahinya.

"Ke Jawa Timur Park kan bisa. Kebun bunga. Kebun apel. Banyak tempat wisata di sana."

Ullie menghela napas lagi sebelum menggeleng.

"Ya Allah, pusing gue sama lo. Mending lo nyusulin laki lo ke Perancis, deh!" Cetus Mia akhirnya.

Ullie menghela napas lagi.

Astaga.

Mia mengeluarkan hpnya lalu mencari kontak Galang.

From: Meadoobedoo

Mas, tolong suruh Gie buat ngasih tau Bian klo bininya lagi galau berat. Gue kuatir lama-lama dia depresi terus kesurupan. Ato kebalikannya.

From: GallagherElang

Ha?

From: Meadoobedoo

Kasih tau Bian aja klo bininya galau. Butuh dia balik ke Sby ASAP.

From: GallagherElang

Gie bilang 'oke'. Mereka lg berantem?

From: Meadoobedoo

Kagak. Ullie cuma haus belaian aja.

From: GallagherElang

Serius lo, dek! Gue kira masalah serius. Ribut gede.

From: Meadoobedoo

Klo Bian ga balik, gue kuatir mereka cerai besok.

From: GallagherElang

Gie lg tlpn Bian.

"Itu mobil daritadi nyerobot mulu. Bisa nyetir nggak, sih?" Mia mendongak karena gerutuan Ullie barusan.

"Mana?"

"Tuh, di sebelah."

Mia memperhatikan sebuah Mazda merah yang mepet sekali dengan Bentley Ullie. Seluruh kacanya gelap. Mereka tidak bisa melihat siapa pengemudinya.

Ketika lalu lintas mulai merambat karena lampu berubah hijau, tiba-tiba Mazda itu memotong jalur mobil mereka. Mereka tidak sempat bergerak karena lampu hijau sudah berubah merah lagi.

"Nggak ada otak itu yang nyetir!" Maki Mia kesal. Ia membunyikan klakson.

Wajar dia kesal. Mobil Ullie hampir kena serempet. Kalau sampai lecet, biaya perbaikannya bikin ngelus dada. Kan sayang duitnya!

"Sampe Bentley-ku lecet gara-gara dia, awas aja!" Ullie menggeram kesal.

Seakan mendengar apa yang dikatakan Ullie barusan, si pengemudi Mazda menurunkan kaca jendela sedikit lalu mengacungkan jari tengah pada mereka.

"Waaahh..."

"Cari gara-gara!"

Mia dan Ullie kompak melepas sabuk pengaman. Cuaca panas ditambah suasana hati asam membuat mereka kurang sabar. Kedua cewek itu keluar dari mobil bersamaan lalu berjalan mendekati Mazda yang berhenti di depan mereka.

Mia menggedor kaca jendela pengemudi yang kini tertutup rapat.

"Nggak lo buka, gue lecetin mobil lo!" Ancam Mia.

Kaca jendela diturunkan. Pengemudinya menurunkan kacamata hitam. Mia tertawa setengah mendengus. Surabaya teramat sempit sampai harus bertemu dua kakak beradik, Rachel dan Clara di sini.

"Eh, ternyata si gold digger!" Clara menyapa dengan nada ceria di samping Rachel yang duduk di belakang kemudi.

Ullie menyenggol lengan Mia, "Kenal?"

"Duo bangsat penghancur hari gue."

"Aman dong berarti? Biar sekalian lunas sebelnya." Bisik Ullie.

Aman = Aman diajak ribut.

Lunas = Lunas balas dendam biar lega.

Mia terdiam cukup lama sebelum menjawab, "Lumayan buat pelampiasan."

Ullie mengangguk sekilas lalu memandang Rachel. "Turun, mbak!"

"Kenapa, ya?" Tanya Rachel pura-pura bingung.

"Ngacungin jari tengah tadi apa maksudnya?"

"Kapan?"

"Nggak usah belagak bego!" Mia menggebrak kap mobil yang panas kena matahari. Telapak tangannya terasa menyengat tapi dia tak peduli.

"Eh, sampe mobilku lecet ganti rugi loh, ya!" Rachel kelihatan tidak terima.

"Kalo mobil kita yang lecet, elo yang ganti rugi loh ya!"

Rachel turun dari mobil. Clara menyusul. Stacy yang jadi penumpang ketiga di kursi belakang tidak ikut turun. Dia trauma habis dipukul sampai pingsan oleh Mia ketika berkelahi terakhir kali. Lebih baik duduk diam sambil menonton. Oh, atau sekalian direkam. Kan sekarang lawannya si Mia itu Kak Rachel yang notabene lebih tua. Pasti abis tuh anak sama Kak Rachel!

"Nggak usah cari gara-gara bisa, nggak?" Rachel mendorong bahu Mia dengan telunjuk. Rasanya sakit. "Nggak sopan banget jadi bocah!"

Ullie maju ke depan untuk mendorong bahu Rachel balik dengan telunjuk, "Kamu yang cari gara-gara duluan! Nyerobot jalur orang, kalo kecelakaan gimana?!"

"Kamu yang nggak becus nyetir!" Kini Clara yang mendorong bahu Ullie.

Suara klakson terdengar bersahut-sahutan.

"JANGAN RIBUT DI SINI, WOY!"

"PINDAHIN MOBILNYA!"

"BIKIN MACET, JANCOK!"

"MINGGIR, ASU!"

Mereka berempat seakan tidak mendengar karena masih sibuk beradu mulut.

Entah siapa duluan yang memulai, tahu-tahu mereka sudah terlibat baku hantam. Saling menjambak, saling memukul, saling menampar. Ullie punya latar belakang ilmu bela diri, namun untuk kali ini dia berkelahi tanpa mengeluarkan jurus tertentu. Itu juga demi meminimalisir cidera lututnya. Gerakannya acak. Asal lawannya terluka saja. Ini disebut fighting dirty, berkelahi dengan cara kotor.

Mia mendapat tamparan keras di rahang oleh Rachel. Ia membalasnya dengan memukul wajah cantik Rachel sampai cewek itu hilang keseimbangan dan terjerembab ke aspal panas.

Di lain pihak, Clara dan Ullie terlibat jambak-jambakan dan saling mencakar wajah masing-masing. Perkelahian mereka berempat sangat kacau. Beberapa orang sudah turun dari kendaraan masing-masing untuk melerai. Tak ada yang berhasil.

"Kutuntut kamu!" Raung Rachel saat merasakan pipinya tergores permukaan cincin permata Mia.

"Gue tuntut balik, bangsat!" Mia menyerang lagi dengan menarik rambut Rachel kasar sambil menghentaknya kesana kemari. Lawannya itu berteriak dan menggapai-gapai dengan membabi buta. Rachel meninju perut Mia dan membuat cengkeraman di rambutnya terlepas. Ia mencabut kunci mobilnya sendiri lalu setengah berlari menuju Bentley yang tergeletak di belakang Mazda. Rachel membelah kerumunan penonton yang berkumpul di sekeliling mereka.

Pertemuan antara ujung kunci dan permukaan kap depan Ullie menimbulkan bunyi nyaring yang memekakkan telinga.

Ullie dan Mia kompak berteriak ngeri. Namun teriakan mereka justru membuat Rachel makin bersemangat untuk menciptakan goresan lain. Kali ini ujung kuncinya membuat goresan memanjang dari kap ke pintu depan sampai belakang. Bunyinya membuat jantung dan dompet megap-megap.

Mia berjalan cepat untuk mencegahnya melakukan kerusakan lebih parah. Sedangkan Ullie masih terjebak dengan Clara.

***

Mia berakhir di kantor polisi.

Lagi.

Seseorang telah menghubungi polisi. Polisi datang dan langsung mengangkut mereka ke Polsek terdekat.

Rambut Ullie sudah awut-awutan, Mia juga. Rahang Clara bengkak karena bogem mentah Ullie, sedangkan Rachel...

Cewek itu menyalahkan Mia dan Ullie atas segala yang terjadi. Ia protes kepada para petugas sambil menunjuk-nujuk Mia dan Ullie, serta mengancam akan memviralkan kejadian ini. Pengacaranya sedang dalam perjalanan kemari, jadi Rachel menolak untuk menjawab pertanyaan dari petugas karena merasa punya hak untuk tutup mulut. Dia menolak memberi keterangan tapi mulutnya nyerocos hal-hal tidak penting seperti:

"Dua cewek ini nggak waras! Mereka pasien Rumah Sakit Jiwa yang kabur ke jalan! Saya bisa aja nuntut mereka berdua dan membuat mereka membusuk di penjara!"

"Lo telpon siapa buat jemput kita?" Bisik Mia pada Ullie, mengabaikan suara Rachel yang sudah mirip knalpot tua.

"Mas Galang."

"Pinter." Mia menegakkan kepalanya lagi, merasa lega. Kalau sampai Aiden tahu masalah ini, bisa gawat. Begitupun dengan Ullie. Kalau sampai Anton dan Fabian mendengar dia terlibat masalah sampai diangkut ke Polsek, entahlah. Mereka tidak berani membayangkan macam-macam.

Berbeda dengan saat terakhir, kali ini Mia dan Clara tidak dimasukkan ke dalam sel. Mereka berempat duduk di depan petugas yang mencatat kronologi kasus di depan komputer. Sejak tadi yang sibuk bicara hanya Rachel. Intinya dia tidak terima jika sampai namanya tercemar gara-gara Mia dan Ullie. Dia bahkan sampai meminta ganti rugi. Padahal yang mengalami kerugian paling banyak adalah Ullie.

"Lo nggak ikut protes juga? Biar kayak kakak lo nggak warasnya." Sindir Mia pada Clara.

Clara sudah hampir mencakar wajah Mia kalau saja Pengacara keluarganya tidak datang. Jumlahnya dua orang. Clara tersenyum sinis pada Mia dan Ullie karena menganggap kalau hari ini mereka akan menginap di kantor polisi. Mungkin dimasukkan ke dalam sel dan tidur di lantai.

Mia dan Ullie duduk-duduk tenang sambil memperhatikan para Pengacara keluarga Rachel dan Clara mengurusi kasus mereka. Mia dan Ullie menggunakan waktu diam mereka untuk beristirahat dan menenangkan pikiran. Jika Rachel menunjuk mereka sambil menyalah-nyalahkan, keduanya hanya balik memandang dengan tatapan sinis.

Kantor polisi mendadak jadi lebih ramai karena kedatangan Galang dan Gie. Eh, tunggu. Ada Aiden dan Fabian juga di belakang mereka.

Mia dan Ullie kompak menundukkan kepala dalam-dalam, menutupi wajah mereka dengan rambut agar berubah tak kasat mata.

"Katanya lo telpon mas Galang doang, nyet! Kenapa om Aiden ke sini?? Kan tadi dia ke Singapura!" Mia berbisik panik pada Ullie.

"Mana kutau, cuk! Mas Bian juga di sini! Padahal tadi pagi dia pamit ke Paris. Mati aku!"

Mereka berdua memejamkan mata. Tidak tahu lagi bagaimana caranya meredakan degup jantung yang hampir meledak. Bahkan Mia merasa hampir menangis saking takutnya.

Di belakang rombongan yang baru datang itu, muncul pula seorang laki-laki berkacamata dengan setelan jas amat rapi. Dia merupakan pengacara Gie, sengaja dibawa kemari untuk mengeluarkan mereka berdua.

Mia masih menundukkan kepala sampai ia mendengar Rachel menangis tersedu dan mengadu pada Aiden. Mia tak kuasa mendongak dan malah bertemu pandang dengan Aiden yang kini menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Rachel memegang lengan Aiden sambil sesenggukkan. Cowok itu tidak memedulikannya karena saat ini tatapan Aiden hanya terpaku pada Mia.

Mampus. Habis sudah.

Mia menunduk lagi.

Kenapa sih harus berakhir begini?

Kenapa harus bertemu dengan Rachel dan Clara?

Mia bosan ribut. Tapi kalau sudah bertemu dengan dua kakak beradik itu rasanya gatal sekali ingin baku hantam. Aiden pasti kecewa padanya. Mungkin lebih baik Mia pensiun saja jadi manusia dan mempertimbangkan jadi hiasan dinding di Alois seperti kata-kata Anton kemarin. Itupun kalau Aiden tidak berubah pikiran untuk tetap membawanya pindah ke Alois. Kalau dari tatapannya barusan sih, Mia betul-betul tidak yakin.

Ya sudahlah. Apa yang terjadi, terjadilah.

Kenapa bumi tidak terbelah saja sekalian supaya Mia bisa terjun bebas ke dalamnya?

***

Selamat hari Jumat.

Om Aiden perdana sholat di masjid pake sarung, baju koko, sama peci.

Nggak sempat foto. Dibayangin aja dulu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top