33 | HUJAN SORE ITU
Part kemarin komennya banyak banget, sampe kaget dong aku. Kukira kalian bakal kehilangan antusias habis jalan-jalan di Alois. Banyak komen yang bikin aku ketawa ngakak sendiri, dan bener-bener jadi moodbooster + inspirasi buat nulis.
Jadi pas inspirasiku lagi stuck ato pikiran mendadak jenuh, tinggal baca komen kalian abis itu wuussshhhh... bisa lanjut ngetik cerita lagi.
Pengaruh komen kalian emang sebesar itu ke penulis.
So, thank you.
Tetap kasih komen, ya. Jangan bosen-bosen ngebacot di lapak ini.
Silahkan lanjot baca deh!
***
Kemarin Mia tidak pulang ke Sampit. Dia tidak mungkin minta ijin lagi sedangkan selama beberapa bulan belakangan dia sudah sering sekali ijin dari koas. Kehadirannya berpengaruh besar sekali pada nilai akhirnya nanti. Mia sudah berjanji dalam hati kalau kepergiannya ke Alois kemarin adalah permintaan ijin yang terakhir. Apapun yang terjadi, dia tak akan ijin lagi.
Dia berhasil bertahan.
Abah dan Mamah juga tidak memaksanya pulang.
Toh hanya acara lamaran biasa. Lamaran yang hanya direncanakan sepihak oleh Aiden.
Telur Fabergé yang menjadi seserahan kemarin juga sekaligus menjadi jujuran Mia. Keluarga Mia langsung menolak ketika mereka disinggung berapa nominal jujuran yang dibutuhkan untuk meminang Mia. Dapat telur paskah bertabur berlian saja rasanya sudah berlebihan.
Seharian itu Mia banyak termenung. Ia menghabiskan satu hari yang lambat di radiologi tanpa benar-benar menikmatinya.
"Mau pulang?" Perjalanan Mia menuju lobi terhenti karena dihadang dr. Irwan. Cowok itu sudah tak mengenakan jas dokter. Sebuah tas disampirkan di satu pundak. Kelihatannya juga akan pulang. Mia hanya meliriknya sinis tanpa berniat menjawab.
"Tunggu dulu!" Dokter itu menahan Mia lagi saat ia ingin berjalan melewatinya.
"Ada apa?" Jujur, Mia malas sekali meladeninya. Bukan hanya dr. Irwan, tapi seluruh umat manusia. Mia hanya ingin pulang dan tidur.
"Kamu udah makan malam?"
Mia mendenguskan sebuah tawa. "Lagi modusin saya? Nggak mood, nih."
"Aku nggak lagi modus. Cuma mau ngajak makan, apa salahnya?"
"Salah banget kalo orang yang ngajak itu dokter. Udah, ah!" Mia menepis udara, tanda malas melanjutkan. Namun lagi-lagi dr. Irwan menahannya.
"Ayolah. Sekali aja. Terakhir."
"Mau makan malam apaan sore-sore begini? Keliatan banget ada udang di balik batu!" Mia melihat jam masih menunjukkan pukul setengah empat sore dari layar hpnya.
"Kita bisa jalan-jalan dulu."
Mia menatapnya dengan kedua alis menyatu. "Dokter mau bahas apa sama saya sampe ngajak keluar segala? Buruan deh ngomong, saya dengerin sekarang."
Dokter Irwan menghela napas. "Aku nggak ada niat apa-apa selain pengen makan malam sama kamu."
"Yaudah, saya tolak. Minggir!"
"Kenapa sih sensi banget sama aku?"
"Saya males berurusan sama pacarnya dokter. Nanti berantem lagi." Mia terus terang.
Jawaban Mia mengundang sebuah senyum di wajah dr. Irwan. "Kamu cemburu?"
Mia menggaruk leher, "Hah?" Kedua alisnya terangkat tinggi, khawatir salah dengar.
"Sikap kamu mirip cewek yang lagi cemburu."
Mia tertawa tak tercaya. "Cemburu pantat gue." Gumamnya di sela-sela tawa.
"Bener, kan?"
"Kagak!"
"Nggak usah nyangkal. Aku juga nggak keberatan."
"Keberatan apa?"
"Nggak keberatan kalo kamu cemburu."
Tawa Mia makin keras. Cowok ini benar-benar sebuah lelucon.
"Kok malah ketawa?" Tanya dr. Irwan heran.
Mia menggeleng. Perutnya sampai kram karena tertawa. Ia sampai harus membungkukkan badan sambil memegangi perut. "Udah, ah dok! Ngelucu terus. Saya mo pulang, minggir!"
"Kok ngelucu? Darimananya yang lucu?"
"Ya Tuhan..." Gumam Mia. Ia gemas sekaligus sebal.
"Amelia." Mereka berdua sontak menoleh ke asal suara.
Aiden.
Dia sudah kembali ke Surabaya.
Senyum Mia otomatis merekah saat melihatnya tiba-tiba muncul di rumah sakit. Berbeda dengan Mia, ekspresi Aiden justru kelihatan sedang menahan kesal. Mia hafal ekspresi itu. Biasanya ditunjukkan Aiden kalau Mia habis terlibat masalah. Kedua mata Aiden tertumbuk pada sosok dr. Irwan, terutama ke arah dimana satu tangannya sedang berada. Mia menepis tangan dr. Irwan yang masih memegang lengannya.
"Come here (Kemarilah)." Ujar Aiden dengan nada datar. Ia beralih untuk memandang Mia, memintanya mendekat. Tentu saja Mia dengan senang hati melakukannya. Kalau dia bisa, dia ingin mendekat sambil melompat kecil kegirangan. Dia kangen sekali pada Aiden.
"Kok pulang nggak bilang-bilang?" Mia langsung bergelayut manja di lengan Aiden.
"Niatnya mau kejutan." Jawab Aiden, nadanya terdengar tidak senang.
"Selamat sore." Sapa dr. Irwan. Ia melangkah mendekati mereka berdua.
Aiden mengangguk singkat, tidak berniat menjawab sapaannya.
"Mau jemput Mia?"
Mia memutar bola mata. Pertanyaan retoris yang jelas-jelas sudah kelihatan jawabannya.
Aiden mengangguk lagi.
"Saya dokter Irwan." Cowok itu mengulurkan satu tangan pada laki-laki di samping Mia. Aiden hanya memandangi uluran tangan itu, enggan membalas. "Tadi saya berniat mengajak Mia makan malam lalu mengantarkannya pulang." Dokter Irwan menurunkan tangannya dengan perasaan separuh tersinggung.
"Kalian dekat?" Tanya Aiden.
"Mia nggak pernah cerita tentang saya?" Dokter Irwan melirik penuh arti pada Mia. Yang dilirik langsung buang muka.
"Mia jarang bercerita tentang orang yang nggak penting di hidupnya." Kalimat itu mengandung sindiran.
"Saya pernah jadi penting di hidup dia. Mungkin sampai sekarang."
Mia mendadak mual dengan kepercayaan diri dr. Irwan.
"Om, saya capek. Bisa pulang sekarang?" Bisik Mia. Dia tidak bohong. Badannya agak pegal dan moodnya jelek sekali.
Aiden mengangguk sekilas. Ia menggenggam tangan Mia.
"Kami duluan." Aiden berpamitan singkat pada dr. Irwan.
"Hati-hati di jalan."
Tatapan dr. Irwan tidak lepas dari kedua pasangan itu, bahkan sampai mereka menghilang dari jarak pandangnya.
***
"Jam berapa nyampe Surabaya?" Mia membuka pembicaraan setelah sejak tadi ia melihat wajah kusut Aiden tidak juga baikan.
Aiden membukakan pintu mobil untuknya. "Barusan."
Mia masuk ke dalam sebelum Aiden menutup pintu. Cowok itu berjalan memutar menuju kursi pengemudi.
"Keluarga om ikut ke Surabaya?" Tanya Mia setelah keduanya dalam perjalanan.
Aiden menggeleng, "Mereka semua kembali ke Alois tadi siang. Yang ikut hanya mama dan Ali. Bastien dan Claire nggak bisa bepergian jauh, jadi mereka cuma bisa titip salam."
Dengan kondisi kesehatan begitu, Pangeran Bastien dan Putri Claire memang tidak mungkin bisa bepergian jauh.
"Kok om nggak bilang-bilang dulu kalo kemarin mau dateng ngelamar saya?"
"Saya hanya bertamu biasa."
Mia mendengus, "Bertamu biasa kok pake rombongan marching band." Ia masih ingat dengan jelas suara terompet saat kemarin Rara menelponnya.
"Memang begitu adatnya. Saya nggak bisa apa-apa." Aiden tersenyum kecil.
"Kangen saya, nggak?" Tiba-tiba Mia bertanya sambil memandang Aiden.
Senyum Aiden makin lebar. Ia balik memandang Mia sekilas sebelum kembali berkonsentrasi pada jalan di depannya. "A lot (Sangat)."
Hujan rintik-rintik di luar. Tiba-tiba sudah gerimis. Padahal langit tidak terlalu mendung.
"Kamu nginep di tempat saya, ya?"
Mia mempertimbangkan hujan, "Mampir rumah dulu. Jemuran saya belum diambil."
"Jemuran?"
Mia mengangguk, "Tadi pagi saya nyuci di rumah. Terus dijemur di belakang. Kalo nggak diangkat, basah semua bajunya."
"Waktu itu kenapa nyuci di tempat laundry?"
Yang Aiden maksud adalah waktu mereka bertemu untuk kedua kalinya di tempat laundry. "Waktu itu mesin cuci saya rusak. Sekarang udah bener. Jadi bisa nyuci di rumah lagi."
Aiden mengangguk.
Suasana mobil hening. Mia menikmati sore hari mereka yang gerimis sambil memejamkan mata. Syahdu sekali ambience-nya. Dia jadi agak mengantuk.
"Mantan kamu sering mengganggu?" Tanya Aiden.
Mia membuka mata, "Mantan? Dokter Irwan?"
Aiden mengangguk kaku. Dia berusaha kelihatan santai, namun genggaman tangannya di kemudi justru membuktikan sebaliknya.
Akhirnya Mia menggeleng, "Nggak, sih. Kenapa?"
"Jadi tadi dia nggak gangguin kamu?"
"Kalo tadi, iya. Lebih ke ngeselin aja. Saya nggak seberapa mikirin."
"Kalau dibiarkan nanti dia makin berani. Dari tatapannya saya tau kalau dia masih menginginkan kamu."
"Tau darimana dah?"
"Saya tau karena saya juga laki-laki, chéri."
Mia terdiam, berpikir. "Sia-sia banget energinya." Gumamnya.
"Maksudnya?"
"Dia tau saya punya hubungan sama om. Kan dia bisa liat. Kalo masih aja begitu, berarti dia menyia-nyiakan energinya dia. Wajar, sih. Saya juga baru tau belakangan kalo dia mata keranjang. Modusin cewek kayaknya udah jadi hobi."
"Bagaimana denganmu?"
"Kenapa sama saya?"
"Masih ada perasaan buat dia?"
Mia memandang Aiden dengan tatapan heran. Apa Aiden sedang cemburu?
"Setelah apa yang terjadi selama ini, om masih ragu sama saya?" Mia justru balik bertanya.
"Hanya memastikan."
Mia menghela napas, "Cuma om yang memonopoli hati sama pikiran saya saat ini. Saya nggak akan menghabiskan waktu dan energi mikirin orang sejenis dr. Irwan. Nggak berkualitas." Ia mendadak geli sendiri karena mengeluarkan kata-kata manis dari mulutnya. Ketularan bucinnya Anton, jadi sekarang mulutnya legit kalau ngomong. Berbeda dengan Mia, Aiden justru tersenyum. Kelihatannya dia puas dengan jawaban itu.
***
Hujan di luar makin deras. Untung Mia sempat mengangkat jemuran sebelum semuanya kebasahan. Hanya tinggal diangin-anginkan sebentar supaya kering.
Karena tidak tahan kegerahan, Aiden pergi mandi. Sering berpindah-pindah dari tempat beriklim hangat ke iklim tropis dalam waktu singkat belum membuatnya terbiasa. Baru kembali ke Surabaya beberapa jam, tubuhnya sudah berkeringat.
Selesai mandi, ia mengenakan kaos Anton yang ditemukan Mia di kamar Ullie. Kaos Anton besar, jadi ukurannya masih sesuai dengan bentuk tubuh Aiden. Sekarang ia sedang duduk-duduk selonjoran di atas karpet ruang tamu sambil menonton TV baru. Jika melihat pemandangan ini, Mia merasa amat bersalah. Aiden kan Pangeran, tapi sering mendapat perlakuan semena-mena dari Mia. Aiden jauh dari kemewahan kalau sudah bergaul dengannya.
"Om mau makan?" Tanya Mia saat ia baru kembali dari tempat jemuran.
Aiden mengangguk, "Mie yang kayak kemarin, ya? Saya pengen makan itu."
"Wah, seleranya udah cocok jadi warga Indonesia. Hujan-hujan gini emang paling enak makan mie."
Aiden tersenyum.
Mia mengikat rambutnya asal-asalan, yang penting tidak menganggu saat memasak. Stok makanan di dapur masih sangat banyak sampai ia bingung harus memasukkan apa saja sebagai topping mie mereka.
Tak sampai sepuluh menit, mie buatan Mia sudah jadi. Ia membawa panci serta peralatan makan ke ruang tamu.
"Saya nggak ada bir. Air putih aja, ya?"
Aiden mengangguk. Hari ini si om bule agak pendiam, jarang bicara.
Mia meletakkan panci di atas tatakan silikon seperti terakhir kali. Ia kembali lagi ke dapur, untuk membawa air minum untuk mereka.
"Kemarin saya jadi mualaf." Ujar Aiden ketika Mia duduk bersila di sebelahnya.
Mia senang mendengar itu. "Oh, ya?"
Aiden mengangguk sekilas, "Abah kamu yang menuntun saya mengucapkan kalimat syahadat. Di rumah kamu. Mama dan Ali juga ada di sana."
Kalau tadi Mia merasa senang, sekarang dada Mia dipenuhi perasaan haru. Sayang sekali kemarin dia tidak pulang untuk melihat momen bersejarah itu.
"Gimana rasanya sekarang punya keyakinan?"
Aiden terdiam agak lama, "Overwhelming. Saya nggak tau bahasa Indonesianya."
"Luar biasa. Perasaan bahagia yang kuat sampe bikin bego."
Aiden tertawa. Akhirnya Mia mendengar suara tawa ini lagi. Cowok itu merangkul pundak Mia. Dia suka gemas dengan tubuh Mia yang lebih kecil darinya. Ringan, mudah diangkat kemana-mana, enak dipeluk. Pokoknya menyenangkan. Seandainya bisa dilipat dan disembunyikan di kantong.
"Ajarin saya, ya?"
Mia buru-buru menggeleng. "Mending belajar sama ustad-nya om aja lah! Nanti om yang ajarin saya. Saya nggak religius. Sholat aja bolong-bolong. Takut malah bikin sesat om." Dia ngeri sekali membayangkan jadi orang yang bertanggung jawab atas kesesatan jalan hidup Aiden.
Aiden tidak menjawab, namun di bibirnya masih tersungging sebuah senyum. Ia mengambil sendok dan garpu, mulai makan. Tentu saja setelah baca doa dulu. Mia memandanginya dengan perasaan takjub. Baru beberapa hari tidak bertemu, tapi perubahan pada diri Aiden sudah kelihatan. Mia jadi penasaran dengan penampilan Aiden kalau dipasangi sarung, baju koko, dan peci di kepala. Pasti damage-nya tidak main-main.
***
Mia menghela napas bosan. Hujan makin deras, bahkan sekarang ditambah angin kencang. Terlalu berbahaya kalau berkendara di tengah cuaca begini.
"Kelar jam berapa nih hujannya?" Mia berdiri di atas lutut sambil memandang keluar jendela.
"Kenapa?" Tanya Aiden di sebelah. Ia duduk di sofa sambil bekerja lewat hp di tangan.
"Takut banjir, om. Saya lupa kapan terakhir kali ikut kerja bakti ngebersihin selokan."
Aiden ikut memandang keluar. Langit sudah gelap. Jarak pandang ke pekarangan jadi terbatas karena derasnya hujan.
"Hujannya masih lama. Perkiraan selesai jam dua pagi. Kalau kamu kebanjiran, nanti saya bantuin buat ngungsi." Aiden tahu karena dia habis buka ramalan cuaca hari ini.
Mia mengerang sebal. Dia duduk di sebelah Aiden. "Om ini kan Regent-nya Alois. Masa bantuin saya kebanjiran, sih? Aduh! Kalo rakyat Alois tau pasti saya udah dirajam rame-rame!"
"Rajam? Apa itu?"
"Orang yang dihukum pake lemparan batu. Jadi badannya dipendam separuh di dalam tanah. Nggak bisa gerak. Terus nanti orang-orang pada ngelemparin dia pake batu. Balapan, siapa yang bisa ngenain bull's eye di kepalanya itu yang menang." Karena kesal, Mia jadi menambahkan informasi yang tidak perlu.
"Itu... mengerikan." Wajah Aiden ikutan ngeri membayangkannya. "Orang-orang di Alois nggak sekejam itu. Apa gunanya pengadilan?" Pertanyaan sarkas Aiden mengundang dengusan Mia. Dia tidak menyangka kalau Aiden termakan tipuannya. Mudah sekali calon suaminya ini dibohongi.
Ngomong-ngomong tentang calon suami...
"Kemarin rencananya sama abah kita bakal nikah kapan, om?"
Aiden meletakkan hp di atas meja, "Awal tahun ini. Tapi saya bilang mau diskusi sama kamu dulu. Mempertimbangkan pendidikan kamu. Katanya mau nerusin sekolah dulu?"
Mia menggigit bibir, ia tersentuh karena Aiden masih ingat keinginannya dan tidak membuat keputusan sendiri dengan buru-buru.
"Selesai koas saya siap, kok."
Pupil Aiden membesar karena jawaban Mia, "Serius?"
Mia mengangguk, "Saya sempat browsing-browsing, kalo nikah sama bangsawan atau keluarga kerajaan banyak persiapan yang harus dilakukan. Saya kudu menyisihkan waktu buat mempelajari aturan istana, etika, sejarah, dan budaya di Alois. Kalo saya lanjut pendidikan dulu, nanti waktu saya habis di pendidikan. Makin lama ntar kita nikahnya."
"Amelia..." Aiden meraih tangan Mia, dia kelihatan sulit menemukan kata-kata. "Saya nggak memaksa kamu untuk menikah cepat-cepat meskipun saya ingin sekali. Jangan merasa terbebani, chéri."
Mia menggeleng, "Itu keputusan paling praktis, om. Saya juga siap dukung setiap keputusan om. Kalo om bersedia naik takhta, saya ada buat support. Jadi jangan merasa bersalah lagi. Rakyat Alois butuh pemimpin."
Aiden memandangnya lekat-lekat, "Bastien menceritakannya padamu?"
Mia hanya tersenyum tipis, lalu mengedikkan bahu. "Bound to know (Saya ditakdirkan untuk tau)." Ia merasakan tangannya digenggam. Aiden kelihatan agak emosional.
"Sebagai pasangan, kita punya tugas pertama." Lanjut Mia.
Aiden menaikkan sebelah alis.
"Kita harus cari dokter terbaik buat Pangeran Bastien dan Putri Claire."
"Saya sudah melakukannya selama beberapa tahun belakangan."
Giliran Mia yang mengangkat sebelah alis.
"Salah satu tujuan saya beli rumah sakit tempat kamu sedang bertugas juga karena itu. Saya mengumpulkan dokter-dokter terbaik di seluruh dunia untuk membantu saya menyembuhkan mereka. Saya butuh fisioterapis terbaik untuk membuat Bastien dapat berjalan lagi setelah dia melakukan operasi syaraf. Saya juga yakin mereka bisa sembuh."
Mia manggut-manggut sambil berpikir, "Otak saya jalannya kalah cepet berarti."
Aiden mengecup pipi Mia, ia gemas kalau melihat ekspresi serius di wajah cewek itu, "Kamu kan baru kenal sama mereka kemarin."
"Om nggak ambisius sama takhta. Saya suka." Mia memberanikan diri untuk menyentuh wajah Aiden yang berjarak amat dekat darinya. Telapak tangannya terasa geli karena pipi Aiden yang kasar. Kalau diingat-ingat, Mia hampir tidak pernah melihat Aiden mencukur habis rambut di wajahnya. Hal itu membuat Aiden terlihat dewasa dan seksi. Memang cocok kalau dia jadi model Internasional. Pesonanya mendukung. Mia heran kenapa Aiden malah jadi pengusaha. Bukan berarti Mia suka punya pacar seorang model, dia hanya heran saja.
"Saya juga suka kamu." Aiden mengerling sambil memalingkan wajah sedikit agar bisa mengecup telapak tangan Mia.
"Hujan deras. Hawanya adem. Suasana mendukung. Tinggal ciumannya yang belum." Ujar Mia.
"Saya kira kamu nggak bakal minta." Aiden menangkup wajah Mia lalu mencium bibirnya. Mia melingkarkan kedua tangannya di sekeliling leher Aiden. Cowok itu memindahkannya ke atas pangkuan agar posisinya lebih nyaman. Bibir mereka bertemu dan berpagutan saling melumat. Mereka mengambil jeda hanya untuk menarik napas. Mia menyisirkan jari-jarinya di rambut belakang Aiden, menikmati kehalusannya. Aroma tubuh Aiden hampir sama seperti tubuhnya karena tadi cowok ini mandi dengan sabun dan shampo milik Mia. Rahang Aiden yang kasar menggoda pipinya. Mia melenguhkan sebuah desahan di mulut Aiden, membuat cowok itu makin antusias.
Kedua tangan Aiden sudah menjelajah bagian dalam kaos Mia, merasakan betapa lembut permukaan kulitnya. Ia tidak tahan untuk tidak menciumi garis rahang Mia, serta lehernya. Sudah terlalu lama bagi Aiden untuk merasakan tubuh Mia di bawah bibirnya. Ditambah perasaan rindu karena sudah hampir seminggu mereka tidak bertemu membuat gairah Aiden semakin menjadi-jadi.
Kait bra di belakang punggung Mia sudah longgar. Aiden melepaskannya tanpa kesulitan. Mia mengerang protes ketika bibir Aiden tidak menjamah tubuhnya lagi.
"Saya masih menghargai keputusan kamu untuk nggak tidur sama saya sebelum menikah. Tapi tolong ijinkan saya menciumi kamu puas-puas malam ini." Kedua iris mata abu-abu Aiden sejernih kristal saat menatap Mia. Cewek itu mendadak bodoh akibat hasrat yang dia ciptakan sendiri. Kedua tangan Aiden masih mengusap punggungnya lembut, sesekali memijatnya.
"Whatever you want, Prince (Terserah kamu, Pangeran). Whatever you want (Terserah kamu)." Meski terdengar parau, akhirnya Mia sanggup menemukan suaranya lagi.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top