32 | FABERGÉ SI TELUR PASKAH
Ada yang nungguin?
***
Mia menelan ludah. Ia duduk sambil memeluk kedua lutut di atas kursi.
Sejak tadi ia memandangi Aiden yang berjalan mondar-mandir sambil mengusap wajah, sesekali memandangnya, kelihatan ingin mengatakan sesuatu tapi tidak jadi-jadi.
Mereka sedang berada di kamar Aiden. Cowok itu menggendongnya sampai sini, seakan dia tidak percaya pada Mia jika ia membiarkan cewek itu berjalan sendiri dengan dua kaki.
Sejak tahu status Aiden di Alois, Anton dan Elsa kelihatan agak menjaga jarak. Dalam sekali lihat, mereka langsung tahu kalau mereka tidak punya tempat untuk ikut campur. Mia menatap mereka dengan pandangan memelas ketika Aiden membawanya seperti karung beras di atas bahu saat turun dari menara. Anton dan Elsa sama-sama tidak berani berkutik. Mereka memasrahkan Mia kepada Aiden.
Mia ingin sekali bicara, tapi setiap mengangkat kepala dan melihat raut wajah serius Aiden, mentalnya langsung ciut. Terjun bebas ke laut.
"Belum sampai sembilan jam saya meninggalkan kamu sendirian, kamu bergelantungan di atas kastil bersama Claire!" Hardik Aiden. Ia menghampiri Mia lalu mengangkat satu tangan ke depan wajahnya, hampir menempelkan ibu jari dengan telunjuk. Jaraknya mungkin hanya satu inchi. "Kalau saya terlambat sedikit, saya pasti sudah kehilangan kamu dan Claire. Selamanya!" Aiden menegakkan tubuhnya lagi, lalu berjalan mondar-mandir, berusaha amat keras untuk menjinakkan api emosi.
Mia menghela napas lesu. Bahunya merosot. "Ya mau gimana lagi..." Gumamnya.
"Apa kamu bilang?!"
"Putri Claire hampir lompat bunuh diri, kebetulan aja saya di sana. Masa saya ngebiarin dia terjun bebas? Kalo mati beneran gimana?"
Aiden mengusap wajahnya dengan frustasi. "Amelia. Amelia. Amelia." Bisiknya berkali-kali, "Kamu ngerti nggak kalau tadi kamu hampir tewas di sana?"
"Tapi saya nggak tewas, om. Nih, buktinya masih napas." Mia menghembuskan napas lewat mulut, berharap keluar asap putih. Dia lupa kalau hawa di Alois sedang tidak dingin. Tidak akan keluar uap dari mulutnya.
"Saya hampir gila karena memikirkan akan kehilangan kamu." Gumamnya masih frustasi.
Mia menurunkan kedua kakinya. Ia bangkit berdiri untuk memeluk Aiden dari belakang, berharap dapat meredakan emosinya. "Om nggak kehilangan saya. Justru karena om, saya selamat. Putri Claire juga."
Aiden menghembuskan napas berat sambil menundukkan kepala. "Saya harus bilang apa ke orangtua kamu? Kalau mereka tau kamu hampir tewas di Alois, astaga..." Aiden mengacak rambutnya.
"Om nggak perlu bilang apa-apa ke mereka."
"Kamu menganggap enteng semua hal."
"Bukan gitu. Tapi untuk apa mikirin hal yang nggak terjadi? Saya selamat. Putri Claire selamat. Semua orang lega. Apalagi yang harus dipusingin?"
"Saya hampir gagal jantung tadi."
Mia melepaskan pelukannya. Ia pindah posisi agar bisa berdiri di hadapan Aiden. Tanpa mengatakan apa-apa, ia mengecup dada kiri Aiden yang tertutup kemeja. Tepat di atas jantung.
"Jantung om baik-baik aja." Mia mendongakkan kepala agar bisa menatap kedua mata Aiden. Ia menyunggingkan senyum termanis yang bisa ia upayakan.
Aiden luluh dengan mudah. Tak sampai hitungan detik.
Cowok itu melingkarkan kedua tangannya ke sekeliling tubuh Mia yang lebih pendek darinya. Ia menunduk agar bisa menempelkan dahinya ke dahi Mia dan memejamkan mata. Ia perlu merasakan kalau cewek yang berada dalam pelukannya ini sosok yang nyata.
"Please, chéri. Tolong jangan buat saya mencemaskan kamu seperti tadi." Bisik Aiden. Ada keputus-asaan dalam suaranya. "Saya sungguh bisa gila karena kamu."
"Maaf. Saya nggak bermaksud bikin om cemas. Tapi kalau waktu bisa diputar lagi, saya akan tetap melakukan hal yang sama untuk menyelamatkan Putri Claire."
Aiden menghela napas. Kini ia merasa sudah lebih mendingan. Ia menegakkan kepalanya agar bisa memandang wajah Mia.
"Om nggak jenguk Putri Claire?"
Aiden menggeleng, "Dia sudah diurus oleh banyak orang."
Benar juga. Hanya Mia yang tidak punya pengurus, padahal tadi dia juga hampir meninggal. Aiden sempat memanggil dokter ke kamar untuk memeriksanya. Itupun cuma sebentar karena Mia tidak terluka dimanapun. Meski begitu, Aiden tetap bertahan bersamanya. Mungkin paranoid, khawatir Mia terlibat masalah. Membakar kastil misalnya.
Aiden merengkuh wajah Mia dengan kedua tangan, lalu menatap Mia dengan lembut, "Terima kasih sudah menyelamatkan Claire." Ujarnya.
Mia mengangguk sambil tersenyum kecil, "Terima kasih juga udah dateng tepat waktu."
***
Seindah-indahnya Alois, Surabaya masih lebih membuat kangen.
Yep. Setelah dua malam menginap di kastil keluarga Aiden, Mia sudah kembali ke habitat aslinya, kontrakan gratis tipe 36 milik Anton. Aiden tidak ikut kembali ke Indonesia karena masih banyak urusan di istana. Mia menganggap waktu jeda tak bertemu di antara mereka sebagai kesempatan untuk memikirkan keputusan apa yang akan ia pilih.
Lanjut menikah dengan Aiden.
Atau meng-kandaskan hubungan ini saja.
Mia tidak suka setengah-setengah. Tapi kegalauan untuk memutuskan salah satu dari dua pilihan membuat Mia jadi sering uring-uringan.
Mia dikagetkan oleh kedatangan Anton yang setengah berlari menyeberangi ruang tamu dari pintu depan menuju toilet. Sosoknya hanya berupa sekelebatan. Suara mobilnya tidak kedengaran. Mia sempat berpikir kalau yang lewat tadi siluman.
"Numpang berak!" Ujar Anton setengah berseru sebelum menutup pintu toilet rapat-rapat.
Mia memutar bola mata. Dasar pemilik kontrakan dzalim! Masa rumah Mia dijadikan ponten umum. Padahal dia kan bisa buang hajat di salah satu SPBU-nya.
Mia lanjut melamun sambil menatap telur Fabergé di atas meja. Hadiah dari Putri Claire. Khusus dipilih dari koleksi pribadinya yang paling favorit. Telur Fabergé ini seukuran telur kalkun dengan hiasan emas berukir dan mutiara putih. Mia mengamati miniatur telur itu lekat-lekat. Selain emas berukir, permukannya juga dihiasi taburan berlian kecil-kecil. Jika telur itu dibuka, maka tampaklah sebuah mutiara hitam yang berkilau di bawah sinar lampu ruang tamu. Mia curiga kalau mutiara ini berasal dari dasar danau depan kastil keluarga Aiden. Wah, rugi sekali Mia kemarin tidak menyelam untuk mengambil sebaskom buat oleh-oleh.
Anton dan Elsa juga dapat masing-masing satu buah dengan ukuran lebih kecil. Bentuknya juga tidak semewah milik Mia.
Cewek itu geleng-geleng kepala karena takjub. Mia tidak tahu berapa harga telur ini jika dilepas ke pasaran, namun ia menaksir kalau dia bisa membeli sebuah pesawat jet pribadi sekaligus hanggarnya dengan sebutir telur ini.
"Diliatin terrooss!" Suara Anton mengagetkan Mia. Cowok bertubuh kekar itu duduk di sofa, ikut-ikutan mengamati si telur berkilau.
"Udah cuci tangan belum?" Tanya Mia penuh selidik karena kedua tangan Anton tidak basah.
"Ya udahlah!"
"Kok kering?"
"Apa gunanya tisu, dek? Lagian kamu ini perhatian banget sama tangan bekas cebokku!"
"Biar nggak jorok, mas. Masa ampas udah dibuang dimasukin lagi?"
"Lambemu (Mulutmu)." Gerutu Anton sebal. Beberapa detik kemudian, ekspresinya berubah. Badannya condong ke depan. "Eh, dek. Gimana? Mantep buat nikah?"
Mia menggeleng. Jujur, ia benar-benar tidak tahu.
"Walah, si Elsa aja udah luluh sama aku, masa kamu yang jelas-jelas abis dilamar, abis diajak ketemu keluarga besar calon, masih nggak yakin?"
"Bingung, mas. Orang-orang di Alois mau ngangkat om Aiden jadi Sovereign soalnya Pangeran Bastien sama Putri Claire berencana pensiun dini gegara masalah kesehatan."
"Waduh. Terus gimana, tuh?"
"Mas Anton coba bayangin, deh. Gue jadi pasangan om Aiden. Duduk berdampingan di ruang takhta kerajaan Alois. Cocok, nggak?"
Anton langsung menggeleng, "Ora masuk blass (Nggak cocok sama sekali)!"
Mia mendecakkan lidah, "Maka dari itu."
"Bisa-bisa rakyat Alois jadi mundur peradabannya kalo kamu yang jadi Putri."
"Kampret, nggak usah jujur-jujur amat, kek!" Mia bersedekap sambil menggembungkan pipi, sok imut.
"Jijik, dek." Anton mengingatkan Mia dengan menyenggol bahunya agak keras. "Aku nanya serius, nih. Kalo kamu mbulet aja nggak dapet keputusan, mau dibawa kemana hubungan kalian?"
Mia menggaruk belakang kepalanya. "Gue udah terlanjur sayang, mas. Gimana, dong?"
"Mikir pake hati boleh, dek. Tapi apa nggak sia-sia abahmu nyekolahin kamu mahal-mahal, tapi otak nggak dipake? Logika kudu jalan juga." Kalau waktunya tepat, kadang petuah Anton boleh juga.
"Punya saran nggak, mas?"
Anton menggeleng, "Aku lagi jatuh cinta, dek. Otakku isinya Elsa doang. Nggak bisa dipake mikir yang lain, apalagi masalahmu yang super njelimet ini."
Mia mendesah kecewa. "Kalo gue curhat ke orangtua, jelas bakal disuruh pisah ntar. Abah nggak suka drama-drama an. Belum kawin aja udah ribet, apalagi pas ntar berumah tangga?"
"Yang bikin drama kan kamu sendiri, dek. Tak liat-liat, Aiden selaw aja, tuh. Santai."
"Dia sih emang dasarnya nggak suka ribet. Kekuasaan, punya. Duit, banyak. Apa yang dimau pasti dapet lah! Berhubung yang dia mau itu nikah sama gue, terpaksa jadi ribet. Coba kalo dia nemunya cewek yang sama-sama dari Alois, udah kawin dari kemarin-kemarin kali!" Mia sebal sendiri dengan kemungkinan itu. Hatinya panas karena cemburu. Padahal dia sendiri yang membuat hatinya cemburu.
"Mulutmu itu kalo ngomong mbok ya yang berkualitas, dek. Fokus sama keputusanmu itu lho, daripada ngebayangin yang enggak-enggak."
Mia meraih telur permatanya, lalu memeluk telur itu sambil berharap dapat inspirasi.
"Tambah bingung, mas." Mia menunduk pasrah.
"Ngobrol sama Aiden sana, lho. Dibicarakan berdua biar dapet kata mufakat. Kalo mau pisah biar pisah sekalian. Aku males liat kamu galau-galau nggak semangat gini. Bawaannya pengen tak ajak minum aja!"
Mia langsung semangat, "Hayuk, mas! Dugem tipis-tipis."
Kepalanya langsung dijitak. "Dugem matamu! Isok dibedil karo Aiden ngkok ndasku (Bisa-bisa Aiden malah nembak kepalaku nanti). Kamu nyari cowok ya nggak kira-kira. Sampe ngegaet seorang Pangeran itu lho piye ceritane (gimana ceritanya), aku sampe nggak habis pikir." Anton ngomel sendiri.
"Kan lo tau ceritanya, mas. Lo ada di sini waktu om Aiden tiba-tiba minta ijin nikahin gue ke abah."
Anton memandangi Mia dengan prihatin. "Dulu Ullie juga sempet galau sebelum dilamar sama Bian. Tapi galaunya dia nggak sebanding sama masalahmu, dek."
"Kemarin waktu di Alois kita udah sempat ngobrol, mas." Mia bercerita, "Om Aiden sebenernya nggak mau naik takhta. Dia pengen hidup tenang, nikah sama gue, beres. Waktu dia diminta sama Pangeran Bastien sendiri buat ngegantiin jadi Sovereign, dia langsung tertekan gitu. Dia minta gue supaya bertahan sama dia karena om Aiden nggak bisa melewati ini sendirian." Ia menekuri permukaan telur yang bertabur permata.
"Lah itu!"
"Apaan?"
"Jawabanmu!"
"Apaan, sih?" Dahi Mia berkerut tak mengerti.
"Bunda Maria, memang kamu ini kelamaan pacaran sama buku makanya jadi kepinteran gini." Anton berdecak sebal.
"Udah, deh. Buruan! Apaan maksudnya?"
"Aiden berharap kamu jadi istrinya, titik. Dia butuh kamu. Orangtua kamu setuju. Keluarga kerajaan nggak keberatan. Apalagi Putri Claire. Gara-gara kamu nyelamatin dia tempo hari, sekarang dia nganggep kamu jadi sahabat sejatinya. Sampe dikasih telor paskah dari berlian gini-"
"Telur Fabergé, mas."
"Iya, itu. Emang dasar kamunya aja yang bikin ribet urusan yang harusnya nggak ribet!"
"Eh, mas. Gue galau begini dikira nggak ngerti sama itu semua? Gue udah paham dari kemaren-kemaren, kali! Masalahnya, kalo gue jadi bininya om Aiden, gue otomatis kudu pindah ke Alois. Nerusin pendidikan forensik dan mengabdi di kampung? Kagak bakal bisa!"
"Kamu kira jadi istri Pangeran itu bikin kamu berubah jadi hiasan dinding di ruang takhta? Ngedampingin Aiden kemana-mana kayak gantungan kunci? Nggak kanggo men uripmu (Kok nggak guna banget idupmu)?!" Anton memandangnya heran, "Bentuk pengabdian itu bisa macam-macam, dek! Kalo kamu bicara dengan Aiden, dia pasti dengan senang hati ngebiarin kamu nerusin pendidikan forensik! Dia pasti bersedia ngebiarin kamu ngegapai cita-citamu itu! Yang diminta Aiden cuma kamu jadi istri dia, mendampingi dia, mendukung dia. Bukan berarti jadi cewek yang nemplok doang kayak tokek di dinding, tolah-toleh kayak nggak punya kehidupan di Alois." Anton menjelaskan sambil berapi-api, "Kamu kan bisa pake ilmu kamu di Alois sana. Manfaatin hartanya Aiden buat ngasih beasiswa dokter-dokter muda biar mau belajar forensik juga, terus kirim ke kampungmu. Kalo perlu disebar ke seluruh Indonesia sekalian. Orang kok nggak pandai blas! Heran aku!"
Mia garuk-garuk kepala karena diceramahi panjang lebar. Kalau dipikir-pikir, memang kerumitan yang terjadi antara dirinya dan Aiden sebagian besar dikarenakan dirinya yang overthinking. Padahal biasanya dia tidak begini.
"Aiden juga punya pesawat pribadi. Mau berapa tinggal sebut! Jarak sudah bukan alasan lagi. Kalo kamu masih mikirin dirimu sendiri sedangkan Aiden sudah berkorban banyak hal buat kamu, berarti kamu egois banget, dek! Aku males ngasih kontrakan gratisan ke orang egois! Mending kamu bayar, karuan aku bisa dapat duit!" Rupanya Anton masih belum puas memarahinya.
Egois.
Mia menunduk dalam-dalam. Dirinya egois.
Setelah apa yang terjadi di Alois, Mia masih jadi egois. Dasar tidak tahu malu.
Mia menahan keinginan untuk menangis, apalagi tiba-tiba teringat permohonan putus asa Aiden. Sebesar apa kekhawatiran Aiden setiap ia terkena masalah. Seberapa cemas Aiden ketika Mia hampir mati karena menyelamatkan sepupunya. Aiden selalu ada untuknya.
Sedangkan dia?
Air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Tiba-tiba dia rindu sekali pada Aiden. Sudah berapa lama mereka tidak berkomunikasi?
Kalau dihitung-hitung sudah tiga hari sejak ia pulang dari Alois.
"Mas?" Mia butuh hiburan dan pengalihan. Pusing sekali kepalanya.
"Lapo (Kenapa)?"
"Pengen bir."
"Tak laporno abahmu, ya?" Anton mengeluarkan hp dari saku celana.
Mia langsung panik, air matanya batal tumpah. "Jangan, mas!"
***
Stase radiologi tidak sesibuk stase lain. Jam bertugasnya pun mengikuti jam kerja rutin harian rumah sakit. Buka jam delapan pagi, tutup jam tiga sore. Mia jadi punya waktu untuk melakukan hal lain.
Karena sedang tidak ada pasien yang membutuhkan radiologi, Mia duduk-duduk sambil membaca buku. Ia meneruskan novel Sherlock Holmes yang belum sempat ia selesaikan.
Seseorang duduk di sebelahnya, membuat Mia mengangkat kepala. Seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan kemeja kotak-kotak coklat dan celana panjang warna hitam tersenyum kepadanya. Mia balas tersenyum. Ia menutup bukunya.
"Mau USG, pak?"
Laki-laki itu menggeleng. Mia merasa familiar dengan sosoknya.
Pernah bertemu dimana, ya?
"Saya orang yang waktu itu kamu selamatkan di ruang otopsi." Ujar si Bapak.
DEG. Mia langsung menelan ludah. Maksudnya si mantan jenazah mati suri.
"Ohh... yang waktu itu." Ia memaksakan sebuah tawa sumbang, "Gimana kabarnya, pak? Sehat?"
Si Bapak mengangguk pelan. Bibirnya masih tersenyum pada Mia. "Saya ingin berterima kasih sama kamu."
"Santai aja, pak. Keluarga bapak gimana? Sehat semua, kan?"
"Sehat. Mereka lagi berkumpul di ruangan saya."
"Oh. Terus bapak ada perlu apa kesini nggak ditemani keluarganya?"
"Jalan-jalan aja. Habis ini saya pulang."
"Syukurlah kalo udah bisa pulang hari ini."
Suasana canggung tidak terelakkan. Mia tidak tahu harus membahas apalagi dengan si Bapak ini, sedangkan beliau daritadi mengamatinya.
"Kamu kelihatan gelisah."
Gelisah karena dekat-dekat si Bapak, sih. Auranya itu bikin merinding. Tapi Mia tidak berani bicara begitu, khawatir menyinggung perasaan.
"Nggak gelisah kok, pak." Jawab Mia.
"Cerita saja, siapa tau saya bisa bantu. Hitung-hitung buat balas budi saya."
"Saya lagi nggak ada masalah apa-apa kok, pak. Beneran."
"Yasudah kalo begitu. Yang penting saya sudah menawarkan."
"Masalah hidup saya mah remeh temeh aja, pak. Paling muter-muter di masalah tanggal tua, nggak punya duit. Belum dapet kiriman dari orangtua." Lancar betul ngibulnya. Mia sok merendah padahal di dompetnya ada kartu debit platinum, dan pacarnya seorang Pangeran plus pengusaha.
Si Bapak tersenyum sambil mengangguk, "Saya liat kamu yang paling rajin belajar di antara yang lain."
"Bapak merhatiin saya?"
"Kamu mencolok, jadi mudah diingat."
"Mencolok? Norak, pak?"
Bapak itu menggeleng, "Dalam artian yang baik. Kamu anak baik. Jika ada yang nggak suka sama kamu, mereka hanya iri aja. Jangan dengarkan apa kata orang, tetap jadi dirimu yang sekarang." Tiba-tiba si Bapak malah memberi nasehat. Baik banget.
Mia sudah merasa tidak canggung lagi dengan sosok Bapak misterius ini, "Saya boleh nanya?"
"Silahkan."
"Waktu kemarin bapak mati suri, apa aja yang dirasain? Bapak pergi kemana? Sempat lihat surga? Neraka? Malaikat?" Mia menggunakan kesempatan langka untuk mengobati rasa penasarannya sejak itu. Hitung-hitung pengetahuan baru.
"Saya nggak pergi kemana-mana. Saya ada di ruangan itu juga, mengawasi kalian. Berharap ada yang sadar kalau saya belum meninggal. Ternyata orang itu kamu."
Mia manggut-manggut, "Terus keluarga bapak gimana? Saya dengar ada masalah dengan warisan."
"Sudah selesai. Saya sudah bagi rata semua harta saya ke anak-anak, supaya mereka nggak ribut. Biar mereka membiarkan saya istirahat dengan tenang."
Mia merasa cukup prihatin, "Untung waktu itu kami nggak sempat membedah perut bapak. Saya nggak ngebayangin gimana menyesalnya saya saat tau ternyata bapak masih hidup."
"Nggak apa-apa. Sudah berlalu." Bapak itu berdiri, "Saya mau pamitan sama kamu. Terima kasih sudah bantu saya kemarin."
"Ada yang nganter, pak?"
"Ada yang nungguin saya, kok."
Mia mengangguk, "Hati-hati di jalan ya, pak! Jaga kesehatan! Jangan makan gorengan! Olahraga!" Ia bersemangat untuk memberikan wejangan. Melihat Bapak itu membuat Mia jadi ingat H. Moris.
Sosok Bapak asing -yang Mia lupa untuk menanyakan namanya- itu menghilang di koridor. Mia kembali duduk di kursinya, namun sedetik kemudian berdiri lagi. Tiba-tiba ia haus. Ia ingin beli minuman ringan dari vending machine.
"Mbak, mau beli minuman bentar, yak!" Mia pamit pada mbak-mbak frontliners radiologi. Si mbak itu mengangguk acuh tanpa mengangkat kepala dari hpnya.
Vending Machine terdekat ada di sebelah Instalasi Gawat Darurat. Mia membeli dua botol kopi instan untuk dirinya sendiri. Tiba-tiba bahunya ditepuk dari belakang, satu botol kopinya diambil.
"Enak di radiologi?" Tanya Dion. Tanpa rasa bersalah ia membuka tutup botol lalu menenggak kopi gratisan sampai habis. "Makasih. Haus banget." Dion memang masih bertugas di stase forensik karena ia dikirim ke rumah sakit ini agak belakangan.
"Dateng-dateng main rebut!" Dengus Mia sebal. Ia membuka kopinya sendiri.
Dari jendela ia melihat sebuah mobil ambulans diparkir di sebelah pintu masuk IGD. Banyak orang sedang mengantar kepergian sebuah peti yang baru selesai dimasukkan ke dalam ambulans.
"Tau nggak?"
Mia menoleh, "Apaan?"
"Jenazah mati suri kemarin, meninggal lagi. Kali ini fix meninggal. No hoax."
Kedua mata Mia sontak membelak, "Kapan??"
"Tadi subuh." Dion menunjuk ke arah ambulans dengan dagu, "Itu jenazahnya lagi diangkut ke rumah duka."
Botol yang sedang dipegang Mia merosot jatuh ke lantai, mengotori koridor. Dion buru-buru memungutnya.
"Gimana, sih?! Bikin kotor aja!" Dion menutup botol Mia.
"Lo serius, Yon?"
"Apanya?"
"Bapak-bapak yang kemarin beneran meninggal??"
"Beneran! Apa untungnya bohong, sih?"
"Tadi subuh?"
Dion mengangguk.
Astaghfirulloh. Terus yang tadi mengajak Mia ngobrol siapa? Arwahnya?
Darah di kepala Mia serasa ditarik turun ke bawah.
Hp di saku jasnya bergetar. Dengan tatapan kosong Mia mengambil hp lalu mengangkat panggilan tanpa melihat layar.
"Halo?"
"KOK ELO NGGAK NGABARIN KALO ROMBONGANNYA CALON LO DATENG HARI INI, SIH? MAMAH SAMA ABAH NGGAK ADA PERSIAPAN APA-APA, NYET! MANA ROMBONGANNYA BULE SEMUA PAKE KOSTUM KERAJAAN LAGI. MI? LO DENGER SUARA GUE, NGGAK? BERISIK BANGET NIH SUARA TEROMPETNYA! NGASIH PENGUMUMAN KEDATANGAN AJA KAYAK LAGI NGASIH TITAH RAJA. YA AMPON! LO KEBANGETAN BANGET! LO BISA PULANG SEKARANG, NGGAK??" Ini suara Rara, kakaknya.
Sayup-sayup terdengar suara terompet dan orang-orang bicara dalam waktu bersamaan. Bahasanya tidak dimengerti oleh Mia. Wajar kalau Rara sampai berteriak untuk memastikan Mia mendengar apa yang dikatakannya.
"LO TAU SESERAHANNYA APA? TELOR PASKAH SEPULUH BIJI!! TELOR PASKAHNYA BANYAK TABURAN BERLIANNYA! YA ALLAH, LO DAPAT LAKI DARIMANA SIH, MI??"
Mia menutup sambungan telepon dengan ekspresi makin kosong. Kepala Mia mengawang ke angkasa. Nyawanya terasa sudah terbang entah ke langit berapa. Kedua kakinya lemas sekali. Tubuhnya langsung merosot ke lantai. Ia bersandar pada vending machine.
"Loh? Kamu sakit?" Dion berjongkok untuk memeriksa kening Mia. Ia khawatir dengan wajah temannya yang mendadak pucat pasi.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top