31 | MASA LALU
SILSILAH KELUARGA CAPÉO
Karena Mia adalah orang yang sangat pengertian, dia membiarkan Anton dan Elsa menghabiskan waktu hari ini melakukan entah-apa, entah-dimana tanpa dirinya. Harapan Mia untuk melihat mereka berdua berakhir di pelaminan sama besarnya dengan keinginan untuk jadi seorang dokter forensik profesional.
Mia menghela napas.
Tidak ada Aiden, maka tidak ada penyemangat.
Mia bosan sekali. Dia tidak ingin keluar dari kastil karena tidak percaya diri dengan ketidakmampuannya berbahasa Perancis. Mau mengajak Alan seperti yang dipesan oleh Aiden tadi pagi, kok rasanya sungkan sekali. Alan pasti sudah sibuk dengan tugasnya sendiri.
Lalu apa yang dilakukannya?
Berbaring menghadap langit di pinggir danau Larmes de Sirène yang berair sejernih kristal. Mia sempat bermain air di pinggir danau yang dipenuhi kerikil. Airnya sangat dingin. Rasanya menyegarkan di tengah cuaca siang-siang begini. Berbeda dengan siang hari di tempat tropis, suhu di Alois saat siang hari cenderung hangat. Matahari bersinar terik, tapi Mia tidak kepanasan.
Mia mengenakan kacamata gelap untuk melindungi matanya dari sinar matahari. Sebuah buku tebal yang ia pinjam dari kamar Aiden ia jadikan bantal. Satu kakinya bertumpu di atas kaki lain. Matanya separuh terpejam di balik kacamata. Dia langsung mengantuk akibat semilir angin yang berhembus sepoi-sepoi.
"Amelia."
Mia membuka matanya dan mendapati wajah Pangeran Bastien sudah ada di atas, sedang tersenyum. Cewek itu bangkit dengan panik dan tak sengaja melempar kacamatanya ke danau.
"Ah, kampret." Kacamata itu hasil menabung uang jajan selama dua bulan. Sial sekali harus tenggelam di danau. Ia menggerutu pelan sebelum bersujud di depan kursi roda Pangeran Bastien.
Sepupu Aiden itu tertawa.
"Tidak perlu bersujud, miss Amelia." Alan berdiri di belakang Pangeran Bastien, menahan senyum.
Mia bangkit berdiri dengan wajah merah padam.
"You really are the first person who chose this spot to chill and relax (Kamu adalah orang pertama yang memilih tempat ini sebagai tempat bersantai)."
"My apologies, Your Highness (Maafkan saya, Yang Mulia)." Mia menunduk dalam-dalam, takut karena telah berbuat kesalahan yang tidak disadarinya.
"No, no. It's just... I think Aiden hasn't told you about this lake (Hanya saja... Sepertinya Aiden belum menceritakan apapun tentang danau ini). The legend (Legendanya). The myth (Mitosnya)."
Mia mengangkat kepalanya lalu menggeleng, "Is it something horrible (Apakah sesuatu yang buruk)?"
"For some people, yes (Bagi beberapa orang, iya). Want to hear about it (Mau dengar)?"
Mia mengangguk antusias, "I'd love to, Your Highness (Tentu saja, Yang Mulia)."
Pangeran Bastien berdeham sebelum memulai, "Once upon a time- (Jaman duhulu kala-)"
Mia terkikik geli karena gaya sepupu Aiden sudah dipasang default seperti gaya pendongeng betulan. Ia buru-buru menutup mulutnya, khawatir menyinggung perasaan sang Pangeran. "Please, forgive me (Tolong maafkan saya)."
Pangeran Bastien terkekeh, "I was joking, though (Saya becanda)." Ia tersenyum sebelum memandang danau berair tenang di depan mereka. "This lake is as old as le rouge (Danau ini usianya lebih tua dari kastil kami). Maybe even older (Mungkin malah lebih tua lagi). Legend says, there was a fisherman who caught a siren from the sea (Konon ada seorang nelayan yang nangkep putri duyung dari lautan). He took the siren home, ignoring her shriek and her begging cries (Dia bawa putri duyung itu pulang, mengabaikan tangisan dan permohonan si putri duyung agar dilepaskan). For what purpose, nobody knows (Untuk alasan apa, nggak ada yang tau. Bahkan sampai sekarang)." Pangeran Bastien memandang Mia lagi, mempelajari ekspresinya. "He was a lonely man (Dia adalah seorang laki-laki yang kesepian). He needed someone to grow old with (Dia butuh seseorang untuk menemaninya untuk menua bersama), so he thought capturing a siren wasn't a bad decision (jadi dia pikir nangkep putri duyung bukan keputusan yang buruk-buruk amat)."
"Siren and mermaid, are they the same (Dua istilah putri duyung, apa mereka makhluk yang sama)?"
Pangeran Bastien mengedikkan bahu, "You can decide after I finish the story (Kamu bisa memutuskan setelah mendengar seluruh kisahnya)."
Mia memutuskan duduk di atas rumput, dia tertarik untuk mendengarkan lebih jauh. Ia mengangguk untuk meminta Pangeran Bastien meneruskan.
"The siren was a cruel creature that usually captured fishermen and sank their ships into the deepest ocean (Putri duyung itu dikenal sebagai makhluk kejam yang menangkap nelayan dan menenggelamkan kapal mereka ke dasar samudera). She used to eat their hearts to stay young and strong (Dia mengkonsumsi jantung para nelayan agar tetap muda dan kuat). Somehow, she couldn't let herself to eat this old fisherman (Entah kenapa dia nggak tega makan jantung nelayan tua ini). She didn't like his heart nor his blood (Dia nggak suka jantung maupun darahnya)."
"Wait, wait (Tunggu, tunggu). You said nobody knows his purpose capturing the sirene (Yang Mulia bilang kalo nggak ada yang tau alasan kenapa si nelayan nangkep putri duyung). But then you said he needed someone to grow old with (Tapi abis itu Yang Mulia bilang lagi kalo si nelayan butuh temen buat menua bersama)."
"Do you have any other make-sense theories (Kamu punya teori lain yang lebih masuk akal)?"
Mia menggeleng, "Okay, let's keep thinking that way (Oke, kita pake skenario yang itu dulu). Please continue the story, Your Highness (Silahkan lanjutkan ceritanya, Yang Mulia)."
Pangeran Bastien berdeham lagi. "One day, the siren begged him to release her (Suatu hari, putri duyung itu memohon agar dilepaskan). The fisherman disagreed (Nelayan menolak). He kept telling her to stay with him and made friends to each other (Nelayan bilang putri duyung harus tinggal dan berteman dengannya). The siren cried and she cried a lot (Putri duyung menangis dan terus menangis).
She got mad eventually, but kept crying (Akhirnya putri duyung marah, namun tetap menangis). Her tears turned to black pearls (Air matanya berubah jadi mutiara hitam). When they weren't, they turned to flood (Ketika tidak jadi mutiara, air matanya berubah jadi banjir bandang). The fisherman's house was drowned by the flood, so was the owner (Rumah sang nelayan tenggelam oleh banjir, begitu juga dengan pemiliknya).
The siren made her way back to the sea by swimming through her tears (Putri duyung kembali ke laut dengan berenang menyeberangi air matanya sendiri). People believe that the fisherman's house is at the bottom of this lake (Orang-orang percaya kalau rumah sang nelayan ada di dasar danau ini). The fisherman's still waiting for the siren to come back for him down there (Nelayannya lagi nunggu si putri duyung balik di bawah sana). The end (Tamat)."
Dahi Mia berkerut, "Is that it (Udah)?"
Pangeran Bastien mengangguk.
"The moral of the story (Hikmah yang dipetik dari ceritanya apa)?"
"Obsession turns deadly (Obsesi membawa petaka)?" Pangeran Bastien malah balik bertanya, terdengar tidak yakin.
Krik krik krik.
Mia memandang danau di depannya, lalu manggut-manggut. "Not so horrible (Nggak terlalu serem, sih). Still brings nightmare to children, though (Tetep aja bikin anak kecil mimpi buruk)." Gumamnya.
"Aiden told me this when I was five (Aiden yang menceritakan kisahnya padaku saat aku berumur lima tahun)."
"He's psycho (Dia psiko banget). It's just a made up story (Itu kan cuma karangan aja)."
"Do you think so (Menurutmu begitu)?" Pangeran Bastien mengamatinya lekat-lekat, kelihatan penasaran.
Mia mengangguk mantap. "Umm... so... the black pearls still down there (Jadi, mutiara hitamnya masih ada di sana)?" Kalau dia menyelam dan mengambil sebaskom, mungkin dia bisa bangun rumah mewah di Surabaya.
Pangeran Bastien tiba-tiba tertawa. Wajah pucatnya sekarang merona. Ia tertawa keras sekali. Bahkan Alan yang setia berdiri di belakang kelihatan sedang mengulum senyum. Kedua tangannya dilipat di belakang punggung.
"Now I know the reason why my cousin chose you (Sekarang aku tau alasan kenapa sepupuku memilih kamu). He's totally head over heels when it comes to you (Dia tergila-gila sama kamu)."
Mia mengernyit, "How do you know (Tau darimana)?"
Pangeran Bastien tersenyum penuh arti. "I just know (Pokoknya aku tau). Il est amoureux (Dia beneran jatuh cinta)."
Mia balik memandanginya, "I feel the urge to ask something personal to you, Your Highness (Saya ingin sekali menanyakan pertanyaan pribadi kepada Yang Mulia). But I'm too afraid to ask (Tapi saya takut banget)."
"Just ask, ma belle (Tanya aja, cantik)."
"Your legs... May I ask what happened to your legs (Apa yang terjadi pada kaki anda)?"
Jawaban Pangeran Bastien tertunda karena Percy datang menghampiri mereka, "Good day, Monsieur le Roi (Hari yang indah, Yang Mulia)." Sapanya ceria. "Mademoiselle." Ia mengangguk singkat pada Mia. Anggota Parlemen itu membawa beberapa berkas di tangannya. Penampilannya-pun tidak sekasual saat mereka bertemu pertama kali.
Wajar, lah. Kan masuk ke istana untuk bertemu Pangeran Bastien.
Pangeran Bastien menoleh pada Mia. "Alan will tell you everything (Alan akan memberitahumu semuanya)."
Alan menganggukkan kepala pada Pangeran Bastien sebelum Percy mendorong kursi roda sang Pangeran menuju kastil. Kini hanya tinggal Alan dan Mia.
"Untuk ukuran seseorang yang lumpuh, pangeran Bastien punya aura yang sangat positif." Mia mengagumi sepupu Aiden itu. "Saya merasa rendah diri karena sering ngeluh sama kehidupan saya." Mereka masih memandangi punggung Percy dan Pangeran Bastien yang makin menjauh.
"Monsieur le Roi berusaha ceria karena ada Mr. Delavega di sini." Timpal Alan.
"Apa hubungannya?"
"Mr. Delavega ada di sana sewaktu Monsieur le Roi terjatuh dari tebing hingga membuat syaraf tulang belakangnya cedera."
Mia sontak menoleh. Ekspresi terkejut tidak bisa ia sembunyikan sama sekali. "Kok bisa??"
"Mereka berdua dekat sejak Monsieur le Roi kecil. Mr. Delavega sudah beliau anggap sebagai sahabat, kakak, dan ayahnya. Beliau sangat mengidolakan Mr. Delavega. Sewaktu usianya sepuluh tahun, Mr. Delavega mengajaknya jalan-jalan ke belakang kastil. Terjadi kecelakaan yang membuat Monsieur le Roi terpeleset hingga jatuh dari atas tebing. Mr. Delavega tidak sempat memanggil bantuan, jadi dia mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan Monsieur le Roi."
"Oh..." Mia menutup mulutnya dengan kedua tangan, terlalu syok.
"Semua orang mencari mereka. Seisi pulau panik. Tepat tengah malam, Mr. Delavega kembali dengan Monsieur le Roi di punggungnya dalam keadaan tak sadarkan diri. Mendiang Pangeran Tristan dan istrinya, -Madame Angèle- menyalahkan Mr. Delavega atas kecelakaan itu. Mr. Delavega sendiri merasa amat bersalah.
Madame Estienne membawa seluruh keluarganya keluar dari istana karena tidak tahan dengan tekanan dari sekeliling. Semua orang menganggap kalau Mr. Delavega sengaja ingin mencelakai Monsieur le Roi, bahkan berniat membunuhnya." Alan menghela napas berat, "Mr. Delavega tidak pernah menyangkal semua tuduhan itu meskipun Monsieur le Roi sudah menjelaskan kronologinya dan membersihkan namanya. Mr. Delavega dihantui rasa bersalah bahkan sampai detik ini. Dia tidak benar-benar sembuh dari trauma." Kemudian Alan memandang Mia.
"Saya nggak tau kalau selama ini..." Suara Mia tercekat di tenggorokan.
"Itu sebabnya Mr. Delavega tinggal berpindah-pindah. Dia tidak pernah mendapat ketenangan dan selalu tegang jika orang dari luar Alois mulai membahas tentang Alois. Sampai miss Amelia datang ke kehidupannya."
Mia tidak tahu harus memberikan respon apa. Dia masih terlalu terkejut.
"Mr. Delavega berubah banyak sekali semenjak kenal dengan miss Amelia. Yang paling mengejutkan adalah keputusannya untuk pulang ke Alois dan menginap setelah sekian lama." Alan tersenyum sendu, "Mungkin Mr. Delavega sudah membahas tentang rencana pensiun Monsieur le Roi dengan anda."
Mia mengangguk pelan, "Dia kelihatan sangat terbebani."
"Salah satu alasannya adalah karena rasa bersalah yang tidak kunjung hilang. Mr. Delavega merasa kalau selama ini ia telah menghancurkan hidup Monsieur le Roi, jadi dia menghukum dirinya sendiri dengan terus mengingat kejadian itu."
Lidah Mia terasa kelu. Ia tidak menyangka kalau sosok dewasa yang kelihatan selalu senang saat bersamanya itu ternyata menyimpan luka.
Alan meraih tangannya. "Dia mencintai anda. Kami semua bisa melihatnya." Ia menepuk-nepuk punggung tangan Mia dengan lembut. "Jika saya boleh berharap pada anda, tolong jaga Pangeran kami. Dia orang yang gagah di luar namun banyak luka traumatis di dalam. Hanya pada miss Amelia dia bisa bersikap senyaman ini. Saya yakin kalian tercipta untuk satu sama lain, ditakdirkan untuk bersama."
Mia sudah tak sanggup berkata-kata lagi.
***
Pikiran Mia mengawang. Kepalanya terasa seringan bulu. Ia mudah terbang jika ditiup. Perjalanannya kembali ke kamar dipenuhi dengan bayangan tentang Aiden. Ia ingat bagaimana Aiden memohon padanya semalam untuk tetap bertahan dengannya. Berbeda dengan semalam, kini hati Mia jadi sakit karena tahu ternyata Aiden benar-benar putus asa.
Lalu apa jawabannya semalam?
Cemas karena impiannya jadi dokter forensik terancam gagal?
Astaga, dia benar-benar jadi si kampret egois.
Pikiran Mia tentang Aiden terusik karena ia melihat bayangan putih sedang bergerak cepat menyeberangi koridor, hampir melayang. Gaunnya berkibar seirama dengan gerakannya yang cepat dan buru-buru.
Oke, pertama-tama. Mia terbiasa dengan gangguan-gangguan kecil dari makhluk tak kasat mata karena sepanjang koasnya di forensik, ia sering mengalami itu. Kedua, Mia kira hantu tidak akan mengikutinya sampai keluar negeri.
Lalu bayangan putih tadi itu apa? Ini masih sore, lho!
Mia bingung membedakan adrenalin yang timbul karena perasaan ngeri atau akibat penasaran. Sebelum ia sempat berpikir dua kali, Mia sudah berjalan cepat mengikuti bayangan putih itu.
Mia ikut berbelok saat bayangan putih itu berbelok mengarungi koridor kastil yang usianya ratusan tahun lebih tua dari Mia.
"Aduh, gue lupa bacaan ayat kursi. Bismillah... bismillah." Mia terus bergumam merapalkan doa-doa yang sanggup ia hafal. Separuh otaknya berpikir, apakah hantu luar negeri mempan jika diberi rapalan ayat suci. Bagaimana jika setan yang sedang Mia ikuti tidak terpengaruh?
Mia sempat melihat sepasang kaki di balik gaun putih itu. Sosok yang sedang diikuti Mia ini berjalan dan tiba-tiba menghilang di balik pintu kayu yang lokasinya agak tersembunyi. Sekarang Mia yakin itu bukan hantu. Hantu tidak bisa buka pintu.
Sosok putih itu menaiki tangga curam yang mengarah ke sebuah menara.
Rambut gelap. Kulit pucat. Suara napas tersengal.
Putri Claire.
Mau apa dia sore-sore begini memanjat menara dengan pakaian serba putih begitu?
"Put- Her Royal Highness!" Suara Mia bergema di sekeliling menara. Putri Claire menoleh. Raut wajahnya terkejut saat melihat Mia setengah berlari menyusulnya. Bukannya turun, Putri Claire justru memacu kakinya lebih cepat, terkesan sedang menghindari Mia.
"Loh, kok malah lari, sih?" Gerutu Mia bingung. Bukannya apa, dia hanya khawatir dengan keselamatan Putri Claire jika terus berlarian di tangga licin menara gelap ini.
Mia telah sampai di depan pintu puncak menara. Saat ia keluar, terdapat tiga undakan yang membawanya ke bagian atas kastil. Mereka berada puluhan meter di atas tanah. Laut berada di sebelah kiri, sedangkan pemandangan danau di sebelah kanan. Putri Claire berdiri di tepi bangunan, memanjat pembatas, menghadap danau. Sekarang ia seakan sedang berdiri di puncak dunia. Kalau kena angin sedikit, Putri Claire bakal langsung terjun ke bawah.
"What are you doing (Kamu ngapain)???" Mia berseru panik dan reflek mendekat.
"Stay where you are (Tetap di tempatmu)!" Peringatan Putri Claire membuat langkah Mia terhenti.
"B-but... (T-tapi)"
"My life is gonna end here (Hidupku akan berakhir di sini)."
"What (Apa)? Why (Kenapa)? How (Bagaimana bisa)??"
"Tell my people that I give up (Beritahu rakyatku kalau aku menyerah)."
"What the heck are you talking about (Ngomong apaan, sih)?!" Mia tidak mau jadi saksi upaya bunuh diri seorang Putri di negeri asing. Dia bisa mimpi buruk terus-terusan. Mana kostum bunuh dirinya serba putih begitu! Auto jadi hantu gentayangan di kastil kalau dia sampai mati.
Putri Claire menangis tersedu-sedu. Wajah pucatnya makin terlihat seputih kertas dengan bintik-bintik coklat di pipi, "I can't live anymore (Aku nggak sanggup hidup lagi)."
"Calm down, Princess (Tenang dulu, Putri)." Mia sampai lupa bagaimana adab menyebut Putri Claire yang baik dan benar. "Talk with me (Bicara sama saya dulu)."
"You don't know how I feel (Kamu nggak tau apa yang kurasakan). This 'being useless' feeling is killing me inside (Perasaan jadi nggak berguna ini membunuhku pelan-pelan)."
"But why are you feeling this way (Tapi kenapa gitu, lho)? You are pretty and a princess (Kamu itu cantik, seorang Putri pula)! What's more do you want (Apalagi yang kamu mau)??" Mia ingin berteriak saking frustasinya.
"My disease will slowly kill me (Penyakit ini perlahan membunuhku). Like it did to my parents (Seperti yang dilakukannya pada orangtuaku). I can't have children (Aku juga nggak bisa punya anak). So what should I do (Apalagi yang harus kulakukan)? I can't live my half life (Aku nggak bisa hidup setengah-setengah)!" Suara Putri Claire terdengar amat lirih karena tertahan emosi.
Mia mengerjap bingung. Dia memang tidak punya penyakit paru-paru atau divonis tak bisa punya anak seperti Putri Claire, tapi kalau dua alasan itu membuatnya menyerah dengan kehidupan, wahh... tidak bisa dibiarkan. Mainnya Putri Claire kurang jauh.
"Your disease can be cured (Penyakitmu bisa disembuhkan). Even if it kills you slowly, then what's the point killing yourself now (Meskipun nantinya akan membunuhmu pelan-pelan, lalu kenapa harus mati sekarang)?"
Putri Claire memandangnya. Air mata masih berjatuhan di pipi.
"You can't have children, so why don't you adopt one (Terus masalah nggak bisa punya anak, kenapa nggak adopsi aja)? Heck, Alois must have orphanage somewhere here, right (Sialan, Alois harusnya punya panti asuhan, kan)? Take care of them (Rawat anak-anak itu)! Those children don't have parents too (Mereka juga nggak beruntung karena nggak punya orangtua)!" Nada suara Mia dibuat setenang mungkin.
Sekarang Putri Claire sesenggukan.
"You are a Princess for fuck's sake (Kamu kan seorang Putri)! Your people need you (Rakyatmu butuh kamu)! You can't end your life here and be meaningless to others (Kamu nggak boleh bunuh diri di sini dan hidup sia-sia)! You can do more (Kamu bisa melakukan hal lebih)." Sekarang Mia nyolot. Cepat sekali kepribadiannya berubah. Rasanya ia tak sabar ingin menarik Putri Claire lalu mengguncang tubuhnya agar cepat sadar.
Putri Claire menatapnya dengan penuh pertimbangan. Mia dapat melihat peralihan emosi dari kedua iris abu-abu sang Putri. Ia memanfaatkan kesempatan itu untuk mendekat.
"Think of your people (Pikirkan rakyatmu). If you can't live for yourself, then live for others (Kalo kamu nggak bisa hidup untuk dirimu sendiri, maka hiduplah untuk orang lain). Look at your brother (Lihat kakakmu). Imagine how sad he will be when you're gone (Bayangkan bagaimana sedihnya dia kalau kamu nggak ada). Look at your cousins (Lihat Aiden dan Ali)! They want you to live (Mereka mau kamu hidup)! Can't you see (Bisa liat nggak, sih)?"
Putri Claire menelan ludah. Kata-kata Mia benar-benar dipikirkannya. Kini jarak Mia dan Putri Claire hanya tinggal sejengkal. Cewek itu mengulurkan tangannya.
"Your disease can be cured (Penyakitmu pasti bisa disembuhkan). I'll find the best doctor for you (Akan saya cari dokter terbaik). Aiden will too (Aiden juga). I promise (Saya janji)." Lanjut Mia lagi.
Putri Claire sepertinya sudah berubah pikiran. Terbukti dari gerakannya yang kelihatan sedang ingin berbalik untuk turun dari pembatas.
Mia tidak benar-benar sadar apa yang terjadi saat Putri Claire tiba-tiba memekik dan terpeleset jatuh ke bawah. Tangan Mia berhasil menangkap lengan Putri Claire.
"Really (Seriusan)? It's not a movie (Ini bukan film)!" Mia protes kencang-kencang karena adegan ini sudah mirip film-film yang sering ia tonton di rumah. Putri Claire gemetar ketakutan ketika menyadari seberapa tinggi mereka sekarang.
"Don't look down (Jangan liat ke bawah)!" Ujar Mia. Ia merasakan lengannya begitu tegang karena menahan bobot tubuh Putri Claire di satu tangan, sedangkan tangan yang lain berpegangan pada pembatas yang menahan separuh tubuhnya. "Hold on (Bertahanlah)! Don't you dare letting go (Jangan berani-berani lepas tangan saya)! You hear me (Denger, kan)?" Mia sudah tidak peduli sopan santun. Sekarang bukan hanya nyawa Putri Claire yang di ujung tanduk, melainkan nyawanya juga.
Putri Claire mengangguk kaku. Ia ketakutan. Kedua matanya membelalak ngeri. Ia menatap Mia dengan harapan untuk menyelamatkan nyawanya. Setelah diceramahi habis-habisan, tiba-tiba dia merasa ingin hidup dan berumur panjang.
"Ugh..." Mia merasakan pegangan tangan Putri Claire merosot akibat keringat.
"Amelia, I want to live (Amelia, aku mau hidup)." Cicit Putri Claire.
"I know (Saya tau). Just hold on (Bertahanlah)." Wajah Mia sudah merah padam akibat tekanan gravitasi. Di benaknya ia menyebut nama Aiden. Kepalanya terisi penuh oleh Aiden. Kemana cowok itu saat ia dibutuhkan? Biasanya dia bisa diandalkan. Mia butuh pertolongan. Segera.
"HELP!!" Jerit Mia sekuat tenaga.
***
Aiden dan Ali baru kembali dari Gaël. Aiden merasa agak lelah karena seharian dia dan Ali berjalan kaki untuk berkeliling dan melakukan kunjungan. Satu-satunya hiburan yang ia tunggu adalah bertemu dengan Mia saat pulang. Dia berencana untuk mengajak Mia jalan-jalan di sekitar Aragon nanti malam. Ibukota Alois ini akan terlihat seperti kota cahaya saat malam. Mia pasti suka.
"Mon dieu, Frère (Ya Tuhan, kak)!" Ali menunjuk ke arah kastil dengan mata membelalak.
Aiden mengikuti kemana telunjuk Ali mengarah.
Jantung Aiden serasa ditarik keluar secara paksa dari rongga dada. Di atas kastil, nampak seseorang bergaun putih sedang bergelantungan sambil berpegangan pada sosok perempuan yang dikenal Aiden.
"Amelia." Bisik Aiden sebelum berlari ke arah menara.
Di bawah mereka sudah berkumpul para pelayan yang sibuk menumpuk selimut dan bedcover jadi satu, jaga-jaga kalau Putri Claire tiba-tiba jatuh. Pengaman itu akan mencegah Putri mereka cedera terlalu parah. Alan sudah sibuk di telepon, menghubungi pemadam kebakaran agar segera datang menyelamatkan sang Putri.
Aiden berlari ke dalam kastil. Di depan pintu kayu menuju tangga menara, Aiden hampir menabrak Anton yang juga kelihatan panik.
"Mia!" Seru Anton.
"Di atas. Bantu saya."
Keduanya berlari mengejar waktu menuju puncak menara.
Di puncak, Aiden mendobrak pintu kayu dengan bahu hingga salah satu engselnya rusak.
"Amelia!" Seru Aiden. Ia meraih tubuh Mia yang hampir jatuh dengan menahan betisnya. Anton dengan sigap membantu menarik kaki Mia yang satu lagi. Begitu tubuh Mia sudah kembali ke balik pembatas, Anton meraih tangan Putri Claire. Bobot tubuh Putri Claire tidak seberat beban yang biasa ia angkat saat nge-gym. Anton dapat menarik Putri Claire dengan mudah.
Semua orang sudah menghambur dari pintu. Dengan wajah panik mereka menyelimuti Putri Claire dan mengangkat tubuhnya agar segera mendapat pemeriksaan dokter.
Tinggal mereka bertiga di sana. Aiden dan Anton masih coba memulihkan diri dari serangan panik. Mia meringkuk sambil bersandar di dinding pembatas. Kedua mata Aiden masih nyalang saat ia menatap Mia yang pucat pasi. Dadanya bergerak naik turun untuk mengendalikan emosi. Jantungnya bergemuruh hampir meledak dan saat ini suaranya sudah berdentum-dentum memenuhi telinga.
"You." Ujar Aiden dalam suara rendah penuh intonasi.
Mia memejamkan mata. Ia cukup melihat ekspresi Aiden untuk langsung tahu kalau sekarang ia berada dalam masalah.
***
Karena sejak awal cerita ini menggunakan sudut pandang orang ketiga, jadi sudut pandang Aiden tetap diceritakan lewat sudut pandang orang ketiga juga. Jangan kaget karena alurnya nggak seheboh waktu pakai sudut pandang Mia.
Cerita di Alois jadi kesempatan kita untuk lebih mengenal karakternya Aiden. Karena selama di Indonesia, Aiden terkesan menutup diri dan misterius.
Di bab ini, ada penjelasan tentang masa lalu anggota keluarga kerajaan, termasuk Aiden.
Apa sudah ada yang menebak sebelumnya?
Ketemu besok lagi, ya?
Muaaahhhh.....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top