30 | MENCARI KESIMPULAN

"Emang cara nyapa orang di sini seakrab itu, ya?" Mia tidak bermaksud nyinyir, tapi hatinya panas juga melihat Aiden seenaknya peluk-cium cewek lain di depan matanya.

Aiden menarik kursi di depan Mia. Ia mengangguk singkat, "Kalo kamu nggak suka, saya nggak akan melakukannya lagi." Bentuk sapaan yang dilakukannya dengan Jodie tadi adalah bentuk yang paling umum di Alois. Aiden menganggap kalau Mia hanya perlu waktu agar jadi lebih terbiasa. Toh Mia nanti juga akan terikat dengan tempat ini serta budayanya. Aiden sengaja memilih untuk mengalah dulu daripada ribut.

"Oke, jangan begitu lagi!" Mia melipat kedua tangan di atas meja. Ia menatap Aiden dengan ekspresi cemberut.

Aiden hanya bisa mengulum senyum melihat wajah Mia yang kelihatan imut jika sedang kesal karena cemburu begini. Ia menoleh ke arah dinding kaca yang membatasi kafe dengan laut. Bangunan kafe ini berada di sebuah ceruk gua yang ada di tebing batu. "Kalau sore pemandangannya lebih bagus. Bisa lihat matahari terbenam dari sini."

"Besok saya pengen jalan-jalan seharian."

Aiden menatapnya penuh pertimbangan, "Kamu harus istirahat besok. Sejak di pesawat sampai sekarang kamu belum tidur sama sekali."

"Kok tau?"

"Saya merhatiin kamu terus bergerak gelisah waktu di pesawat."

"Saya tegang mau ketemu sama keluarga om."

"Setelah ketemu bagaimana?"

"Nggak semenakutkan yang saya kira." Mia tersenyum lebar. Dia senang karena tiba-tiba diajak kencan tengah malam begini oleh Aiden. "Lagipula, masa jadi tamu di istana orang bisa seenaknya bangun siang? Nggak mungkin, kan?"

Aiden hanya tersenyum tipis. Saat ini kepalanya tidak benar-benar mencerna apa yang dikatakan Mia barusan. Ia sibuk mencari solusi atas kegelisahannya. Aiden mencondongkan tubuh ke depan. Mimik mukanya serius. "Kita mau menikah dimana?"

"Di Sampit bukannya?" Mia bingung. Dia baru ingat kalau masalah sepenting ini belum pernah mereka bicarakan.

"Syarat ngurus pernikahan di sana, saya harus jadi WNI atau bersedia menunggu karena butuh waktu panjang untuk mempersiapkan segala dokumennya. Saya nggak punya waktu sebanyak itu, apalagi hanya demi mengurus pernikahan."

Mia menggigit bibir bawahnya, makin bingung. Sepertinya dia bisa menebak arah pembicaraan Aiden.

"Tadi saya bicara dengan Bastien. Dia mengharapkan sesuatu dari saya. Sesuatu yang besar, dan mungkin kamu nggak akan suka." Aiden melanjutkan.

"Hal besar?"

Aiden memandangi permukaan meja saat menjawab, "Bastien ingin pensiun. Claire juga. Kesehatan mereka memburuk." Ia merasakan tenggorokannya tercekat, "Bastien mengalami cedera syaraf tulang belakang waktu dia umur sepuluh tahun. Sedangkan Claire... dia punya penyakit tuberculosis sejak muda. Kedua orangtua mereka-pun meninggal karena penyakit yang sama." Aiden memberi jeda untuk dirinya sendiri dengan menghela napas berat. Ini kali pertama ia membuka diri pada orang lain. Tapi Mia bukan sekedar orang lain baginya. Ia mengangkat kepala dan mendapati Mia sedang menatapnya tanpa berkedip, "Kelihatannya banyak orang berharap agar saya menggantikan sepupu saya."

"Apa?" Mia berharap kalau dia salah dengar.

"Satu-satunya Pangeran di garis keturunan saat ini selain Bastien adalah saya."

"Alois nggak bisa dipimpin sama Putri? Mamanya om misalnya?"

"Belum pernah terjadi hal semacam itu, chéri."

Mia menunduk, otaknya sibuk mencerna keadaan. Aiden memberinya waktu untuk merespon. Dia sendiri sudah cukup gelisah dengan keadaannya, dan sekarang ia cemas dengan respon Mia. Keheningan di antara mereka terasa sedang meremas jantung Aiden.

"Kita nggak bisa menikah." Ujar Mia akhirnya. Suaranya begitu lirih. Namun bagi telinga Aiden, suara Mia senyaring petir di siang bolong. Ia tidak terlalu terkejut. Aiden sudah menduga dan mengantisipasinya. Sayang, dia belum dapat cara untuk meyakinkan Mia.

Mia mengangkat kepala. Aiden dapat melihat usaha Mia biar kelihatan meyakinkan hanya dari tatapan mata. "Saya nggak bisa." Tegas Mia.

Kehadiran Jodie dengan baki penuh bir dingin memberi Aiden waktu untuk memikirkan jawaban yang tepat.

Aiden menggumamkan terima kasih pada Jodie dan dibalas sebuah anggukan penuh senyum. Jodie cukup tahu untuk tidak berlama-lama di meja mereka karena dapat merasakan aura ketegangan dari sana.

"Bisa kasih saya alasan kenapa kamu nggak bisa menikah dengan saya?" Aiden menutupi kekecewaannya dengan membuka sekaleng bir untuk Mia, dan kaleng lain untuk dirinya sendiri.

"Kenapa om mau menikah dengan saya?" Mia justru balik bertanya. Pertanyaannya-pun masih sama seperti terakhir kali. "Sedangkan saya cuma orang biasa dari negeri nggak terkenal. Abah saya hanya seorang pensiunan pegawai negeri. Keluarga kami bukan dari kalangan orang kaya tujuh turunan."

"Negara saya juga nggak terkenal, chéri."

"Tapi om punya kedudukan dan status tinggi di sini. Tinggal menunggu waktu sampai om naik takhta. Kalau dibandingkan sama saya yang bukan siapa-siapa, kebangetan banget jomplangnya." Kedua mata Mia berkaca-kaca. Cewek itu bertahan untuk tetap menatap kedua mata Aiden dan mengendalikan emosinya. "Jarak antara kita terlalu jauh. Nggak masuk akal kalau dipaksakan."

Rahang Aiden mengeras. Ia memandang ke segala arah kecuali pada Mia. "Saya juga nggak ingin naik takhta, asal kamu tau."

"Apapun alasan om nggak menginginkan takhta, om tetap nggak bisa berbuat banyak untuk menolaknya. Kita mulai dari situ dulu, supaya argumen kita nggak berakhir sia-sia."

"Amelia-"

"Saya suka hidup tenang, om."

"Saya juga. Kamu pikir kenapa saya jauh-jauh tinggal di Indonesia dan bukannya di sini?" Aiden meraih tangan Mia dari atas meja. Cewek itu tidak menepisnya. "Saya sayang sama kamu. Bisa nggak setidaknya kamu mempertimbangkan perasaan saya?"

"Tapi kita baru kenal sebentar. Perasaan apapun di antara kita masih bisa dihilangkan mumpung belum jauh." Giliran Mia yang tercekat. Air mata terancam jatuh dari kedua matanya, jadi ia menatap langit-langit kafe yang masih berupa bebatuan.

"Saya nggak bisa kendalikan perasaan saya terhadap kamu. Kalau saya bisa, saya nggak mungkin ngelamar kamu kemarin."

"Saya kira om kemarin cuma modal nekat aja."

Aiden menggeleng pelan, "Saya nggak suka berbohong. Apalagi di depan orangtua kamu."

Mia kurang fokus gara-gara ibu jari Aiden mengusap kulitnya lembut. "Om nggak bisa pindah kewarganegaraan. Sedangkan abah nggak mau kita pacaran. Saya harus apa?" Baru kali ini Mia merasa terjebak dalam situasi yang membingungkan. Dia tak bisa menemukan solusi.

"Bear with me (Bertahan dengan saya). Saya nggak bisa melakukan ini sendirian." Aiden memohon. Ini juga pertama kali baginya. Banyak hal yang baru pertama kali ia lakukan semenjak bertemu dengan Mia. "Please, chéri."

Seluluh-luluhnya Mia, logika di kepala tetap jalan. "Bagaimana dengan cita-cita saya? Apa saya nggak boleh jadi egois?"

Aiden terdiam. Cita-cita Mia adalah mengabdi jadi forensik di kampung halamannya. Dulu dia bahkan mengagumi Mia karena ini.

Jalan buntu.

Mereka berdua sama-sama tahu kalau ini hanya akan berujung pada jalan buntu.

Mia menarik tangannya dari genggaman Aiden untuk mengambil sekaleng bir yang sudah dibuka. Cewek itu menenggak bir sampai habis dalam sekali minum. Otaknya sangat tegang, dadanya sesak. Sebuah kombinasi paling bangsat yang bisa membuat Mia frustasi. Ia mendenguskan sebuah tawa ironi seraya membuka kaleng kedua, lalu minum lagi.

Aiden juga meminum birnya. Namun tidak seburu-buru Mia. Cowok itu menyandarkan tubuhnya ke kursi sambil memandang laut gelap di balik dinding kaca.

"Saya nggak mau ini berlarut-larut. Kita harus sepakat sama satu kesimpulan." Mia memecah keheningan di antara mereka.

"I still want to marry you (Saya masih ingin menikahi kamu). That's my absolute decision (Itu keputusan final saya). You (Kamu)?"

"Saya belum bisa mutusin." Mia menenggak birnya lagi, lalu menjatuhkan kepalanya ke meja sampai berbunyi 'DUK', mengagetkan Aiden.

"Chéri!" Aiden menegakkan tubuh, benar-benar cemas Mia gegar otak.

Cewek itu mengangkat satu tangannya, minta waktu. Pusing betul dia. Tapi bukan pusing akibat alkohol. Bir yang ia minum justru membuat syarafnya tidak terlalu tegang. Mia mendongak, dagu ia letakkan di atas meja agar bisa menatap Aiden.

"Kesel banget gue!" Ia memejamkan mata sambil menggerutu. "Kenapa juga sih sugar daddy gue ternyata seorang Pangeran, astaga! Mimpi apa gue kemaren sampe kejebak di situasi ini! Mau kawin aja ribet bener!" Mia duduk tegak seraya mengacak rambutnya sendiri.

"Amelia-"

"Kasih saya waktu, om."

"Kita nggak punya waktu banyak. Keluarga kita sama-sama berpikir kalau kita akan menikah dalam waktu dekat."

"Orangtua saya mikirnya om bakal jadi WNI buat nikahin saya, terus kita happily ever after. Sedangkan keluarga om mikirnya, saya yang bakal pindah kewarganegaraan dan jadi pendamping om." Mia membuka kaleng bir ketiga dengan kesal. "Lalu saya? Saya cuma mikirin cita-cita saya yang terancam gagal like a selfish bitch (kayak jalang egois)! Saya perlu waktu, titik!" Mia menumpahkan unek-uneknya. Ia menghabiskan bir ketiga dalam sekali minum. Kalau begini terus-terusan, dia bisa kembung.

"Hatimu bagaimana?"

"Nggak tau!"

"Jujur sama saya, chéri."

Mia memandangnya dengan tatapan putus asa. "Saya juga maunya nikah sama om. Tapi nggak mau ribet. Egois banget kan?"

"Ya sudah, saya kasih kamu waktu untuk memutuskan."

"Kok berubah pikiran?"

"Yang penting saya tau kalau kamu juga menginginkan saya."

***

Apakah ini hanya terjadi pada Mia atau memang jika seseorang dihadapkan pada pilihan sulit, maka orang itu tidak akan mau berpisah dari objek pilihannya?

Dalam kasus Mia, maksudnya dia tidak mau jauh-jauh dari Aiden. Tiba-tiba dia jadi paranoid akan ditinggal. Takut kalau Aiden tiba-tiba memutuskan untuk menyerah. Cemas kalau perasaan sayang Aiden padanya memudar sampai hilang tak berbekas.

"Sampai kapan kamu mau meluk saya begini? Kita udah sampai di depan kamar kamu." Aiden mengulum senyum karena Mia masih melingkari tubuhnya. Pelukan Mia bukannya melonggar, malah makin erat.

"Masih pengen sama om."

"Disuruh nginep di kamar saya nggak mau, sih."

"Takut nanti kebablasan kalo bobok sekasur."

"Kebablasan gimana?"

Mia mendongakkan kepala, "Kebablasan saya yang naikin om terus om nggak bisa nolak."

Aiden tertawa, "Bener juga."

Mia menghela napas lalu melepaskan pelukannya.

"Kalau saya janji untuk nolak kamu sebelum kita 'kebablasan' gimana?" Aiden bertanya serius.

Mia menaikkan sebelah alisnya, "Jangan tersinggung, tapi saya nggak percaya mulut cowok kalau ini menyangkut masalah libido."

"My self control is... decent (Kontrol diri saya lumayan, kok)." Salah satu tujuan Aiden adalah agar Mia cepat memutuskan. Ia berharap kalau keputusan yang diambil Mia akan sama seperti keinginannya. Mia luluh dan setuju menikah dengannya dengan segala resiko menanti di depan mata. Dia telah jatuh cinta pada cewek ini.

"Yaudah, oke." Jawab Mia akhirnya.

***

Tidak ada perubahan besar dari interior kamar Aiden sejak ia meninggalkan istana belasan tahun yang lalu. Tempat tidurnya masih tempat tidur yang sama. Hanya saja perabotannya diganti agar lebih modern mengikuti zaman. Para pelayan memastikan kamar ini tetap terawat dan selalu siap digunakan jika Aiden datang berkunjung.

Mia berdiri sambil mendongakkan kepala untuk melihat pigura besar yang berisi foto keluarga Aiden di ruang tengah. Aiden memeluknya dari belakang. Jantung Mia berdetak tak terkendali karena perlakuan intim Aiden padanya. Dia masih belum terbiasa.

"Jadi itu papanya om?" Mia menatap sosok berwajah tegas yang duduk di samping Estienne. Aiden mewarisi garis rahang dan hidungnya. Versi muda Aiden dan Ali berdiri di samping kedua orangtua mereka. "Berapa usia om waktu foto ini diambil?"

"Lima belas."

"Nggak ada foto bareng keluarga Capéo di sini?"

"Foto-foto dengan keluarga besar sudah terpajang hampir di seluruh kastil. Masa di kamar saya juga?"

Mia manggut-manggut. "Masuk akal." Ia menyandarkan tubuhnya di dada Aiden, menikmati kehangatan yang terpancar dari cowok itu. Tiba-tiba ia menguap. Kantuk dan lelah mulai menyergapinya.

"Bersihkan badanmu. Ganti baju."

"Saya lupa ambil baju di kamar tadi."

"Saya ada kaos."

"Om perlu dipijat nggak kakinya?"

Aiden menggeleng, "Insomnia saya sembuh kalo ada kamu. Lagipula saya juga udah capek." Ia memutar tubuh Mia menuju kamar mandi.

Mia masuk ke dalam lalu menutup pintunya untuk mandi air hangat. Meskipun dia sudah mandi sebelum makan malam tadi, ia merasa perlu mandi lagi karena akan tidur bersama Aiden. Malu kalau sampai Aiden mencium bau keringat bekas jalan-jalan di kota tadi.

Usai mandi dan mengeringkan rambutnya, Mia langsung naik ke tempat tidur, dimana Aiden juga sedang duduk di sana dengan laptop di pangkuan. Cowok itu sudah berganti baju. Mungkin juga sudah cuci muka dan sikat gigi di kamar mandi ruang tengah, dikhususkan untuk tamu pribadi Aiden sehingga tidak perlu keluar atau masuk melewati kamar tidurnya.

Mia mengenakan kaos Aiden yang amat sangat kedodoran di tubuhnya. Saking besarnya kaos Aiden, Mia sampai percaya diri untuk tidak mengenakan celana. Panjang kaosnya sampai lutut.

"Ayo tidur!" Mia menutup layar laptop Aiden tanpa peduli apa yang sedang dikerjakan oleh tunangannya itu. "Eh, kita ini udah tunangan belum sih?"

"Kamu kan pake cincin dari saya. Kalau di Alois, otomatis udah jadi tunangan." Aiden meletakkan laptop di atas meja samping tempat tidur. Kacamatanya menyusul.

"Kalo di tempat saya belum. Soalnya keluarga om belum dateng ke rumah saya."

"Loh?" Aiden terkejut bukan main. "Kok nggak bilang dari kemarin?"

"Kirain om udah tau." Mia mengerjap polos.

Jadi selama ini Aiden belum dianggap calon suami. Parah sekali. "Jadi ini sebabnya waktu itu mamah kamu nanyain kapan keluarga saya datang ke Sampit?" Ia mengonfirmasi.

Mia mengangguk, "Om kira buat apa? Minta sumbangan?"

Aiden menghempaskan kepalanya ke atas bantal sambil mengusap wajah. "Astaga, rumit sekali mau nikahin kamu."

Mia ikut berbaring sambil memeluknya. "Baru nyadar? Cinta terhalang budaya ya begini."

Aiden menghela napas seraya melingkarkan kedua tangannya ke tubuh Mia. "Secepatnya saya akan bawa keluarga saya ke Indonesia."

"Emang udah nemu solusi dari masalah kita?"

"Nanti akan saya cari caranya. Yang penting kamu memutuskan dulu maunya apa."

"Saya maunya nikah, tapi nggak jadi istri Pangeran."

"Sekalipun saya nggak menggantikan Bastien, saya tetap Pangeran, chéri."

"Maksudnya bukan jadi istri orang nomor satu di Alois. Tanggung jawabnya gede. Saya pengennya kerja di rumah sakit."

Aiden mengecup kening Mia, "Sekarang istirahat dulu."

"Om?"

"Hmm?"

"Saya juga sayang sama om."

Dada Aiden membuncah senang. Rasanya ia jadi lebih muda dua puluh tahun, dimana ia merasakan jatuh cinta untuk pertama kali dan jadi gila karenanya.

Aiden tak mengatakan apa-apa. Ia hanya mengeratkan pelukannya ke sekeliling tubuh Mia lalu memejamkan mata.

***

Mia mengendap-endap ke kamarnya sendiri pagi-pagi buta. Ia khawatir kalau Elsa bangun dan mendapatinya tidak ada di kamar. Dia malas meladeni pertanyaan macam-macam. Apalagi kalau sampai Elsa memberitahu Anton. Nanti kalau Anton mengadu ke orangtuanya, bagaimana?

Ketika ia masuk ke kamar, suasana masih hening. Kelihatannya Elsa belum bangun. Kan kemarin dia mengeluh kepalanya sakit. Syukurlah. Mia merasa sudah selamat.

Mia masuk ke dalam kamar tidur, mengamati selimut yang masih rapi. Sosok Elsa tidak terlihat di sana.

"Waduh, mampus gue!" Mia mengecek kamar mandi. Kosong. "Kak Els?" Panggilnya.

Tidak ada jawaban.

Sejurus kemudian, Mia mendengar pintu kamar dibuka. Ia menoleh dan mendapati kepala Elsa menyembul ke dalam. Mereka berdua sama-sama kaget. Elsa kelihatan agak panik.

"Lo udah bangun?" Pertanyaan bodoh. Jelas-jelas Mia sedang berdiri dan matanya melek begini.

"Darimana, kak?"

"Umm..." Elsa salah tingkah.

Kedua mata Mia memicing curiga. "Jangan bilang-"

"Gue kasian sama Anton soalnya jetlag dia kelihatan parah banget kemarin." Potong Elsa cepat dengan wajah panik.

Senyum lebar perlahan terkembang di wajah Mia. Ternyata Elsa menginap di kamar Anton.

"Kenapa senyum-senyum?!"

Mia menggeleng, "Masa senyum doang nggak boleh?" Ia berbalik menuju kamar mandi. "Ah, pantesan tempat tidurnya adem semalam. Ternyata gue bobok sendiri." Ujarnya keras-keras, sengaja menggoda Elsa yang wajahnya sudah kelihatan merona habis-habisan. Mia tertawa dalam hati. Mantap betul si Anton. Lamaran kemarin kelihatannya berhasil.

***

Pagi itu yang berkumpul untuk sarapan hanya Anton, Elsa, Mia, Aiden, dan Ali. Pangeran Bastien dan adiknya tidak terbiasa makan pagi, jadi mereka langsung memulai jadwal mereka. Sedangkan Mama Aiden pergi ke Paris pagi-pagi tadi untuk menghadiri acara amal. Setelah sarapan pagi yang penuh kecanggungan, semua orang bubar untuk melakukan kegiatan masing-masing.

"Saya harus pergi ke Gaël hari ini dengan Ali. Mungkin baru kembali nanti sore." Ujar Aiden ketika mereka dalam perjalanan kembali ke kamar. "Gunakan waktumu hari ini untuk istirahat, nggak akan ada yang melarang."

Mia mengangguk.

Aiden kelihatan ingin mengatakan sesuatu tapi ragu. Ia mengangkat satu tangannya untuk mengusap pipi Mia yang lembut dengan ibu jari. "Saya akan segera kembali. Kalau kamu mau jalan-jalan, minta Alan untuk menemanimu. Jangan keluar sendirian, oke?"

Mia mengulum senyum, "Takut saya diculik, ya?"

Aiden menggeleng, "Takut kamu berantem sama penculikmu."

Mia mendengus dan membuat Aiden tersenyum.

"Saya serius. Jangan buat keributan selama saya nggak ada, ya?" Lanjut Aiden sambil mengacak rambut Mia.

***



Gaes, gaesssss..... aku butuh kritik saran dong dari kalian. Selama aku baca komen-komen di trouble, belum ada yang sampe mengkritik gitu. Isinya bikin aku senengggggg terus. Biar lebih berkembang aja sih tujuannya. Kan kalo aku berkembang, readers tersayang juga yang bakal menikmati hasilnya. Kalo bukan kritik, saran juga boleh...

Nah, kalo bingung mau ngasih kritik/saran apa, bisa tuh dengan mulai jawab pertanyaan di bawah:

1. Sampai bab yang ini, apa ada hal-hal nggak masuk akal yang bikin kalian jadi bertanya-tanya?

2. Bagaimana menurut kalian personality dari karakter2 yg ada di cerita trouble? Kalian bebas mau bahas siapa. Mau bahas karakter minor penjaga kamar mayat (Tejo dan Musa) juga boleh.

3. Apa yang kalian pikirkan tentang tempat fiktif Alois?

4. Apakah jalan ceritanya klise?

Aku excited banget nungguin jawaban dari kalian. Aku bukan penulis yang anti kritikan, kok. Segala kritik dari pembaca selalu jadi catatan dan aku pertimbangkan sebelum meneruskan tulisan. Aku suka diskusi dengan readers kayak kalian karena menurutku kalian udah kayak temen onlenku!!

Love you all.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top