3 | DISKUSI

Mia menghambur ke pelukan Elsa saat ia melihatnya di teras rumah. Meski belum dapat asupan kafein, Mia cukup mengerti apa yang dilaluinya semalam. Terbukti dari ruam-ruam kemerahan di seluruh tubuhnya pagi ini saat ia melihat di depan cermin. Dia dilecehkan! Dan dia tidak tahu pelecehan itu berlangsung sampai mana.

"Segitunya kangen sama Elsa." Cibir Anton di sebelah mereka.

"Kalian tuh jahat banget, tau nggak?! Masa nggak inget sama sekali kalo gue sendirian?"

Elsa meringis penuh penyesalan. "Maaf, dek. Mendadak banget semalam."

"Kalian pergi kemana?"

"Nganterin Galang sama Gie nikah di Marienkapelle-Mürren. Masih di daerah sini juga." Jawab Anton.

"Mas Galang nikah?" Ulang Mia.

Elsa dan Anton kompak mengangguk.

"Sama mantan tunangannya suami Ullie?"

Mereka mengangguk lagi.

"Kok bisa??"

"Ya bisa aja, lah. Jodoh." Anton menoyor kepala Mia, seakan cewek itu barusan menanyakan pertanyaan paling konyol. "Justru harusnya kita yang nanya kamu. Ini rumah siapa?" Anton menunjuk rumah di depan mereka, tempat Mia baru keluar tadi.

"Rumah orang."

"Ya masa sarangnya jin?!" Anton mendecakkan lidah. "Kamu kenal yang punya rumah?"

Mia hanya mengangguk. Ia malas ingat-ingat Aiden. Tanpa sadar ia meraba payudaranya sendiri, merasa bra baru yang sedang ia kenakan agak sesak. Elsa buru-buru menurunkan tangan Mia. Sedangkan Anton hanya bisa geleng-geleng kepala.

"Ini pake baju siapa?" Tunjuk Elsa pada pakaian Mia.

Pakaian Mia berupa jogger pants kedodoran dan kaos polos berwarna coklat yang sama kedodorannya. Belum lagi sandal flip-flops super kebesaran di kaki Mia.

"Ini baju cowok." Tebak Anton.

"Iya dapet pinjem." Mia akhirnya jujur.

"Pinjem siapa? Yang punya rumah?"

Mia mengangguk lagi. "Udah, ah! Balik ke hotel, yuk! Gue mau siap-siap pulang Surabaya, keburu ditinggal pesawat rombongan. Makin lama ijin koas, makin banyak tugas yang numpuk!" Ia menggandeng masing-masing tangan Elsa dan Anton, setengah menyeret mereka pergi dari rumah itu.

***

Karena kesibukan, Mia sudah lupa kasus pelecehannya di Swiss. Bagaimana dia bisa ingat kalau sehari-hari hanya sempat tidur tiga jam, makan hanya sehari sekali, berkutat dengan tugas dan laporan, serta mengekor dokter spesialis kemana-mana? Belum lagi kalau disuruh-suruh dokter residen macam babu. Untungnya, masa-masa itu sudah lewat. Kini Mia bisa bernapas teratur karena tinggal dua stase lagi yang harus ia jalani. Sekarang Mia sedang bertugas di stase forensik. Baru melalui minggu kedua dari jatah lima minggu yang harus dijalaninya.

Sedang enak-enak makan pentol di warkop belakang rumah sakit, tiba-tiba ada notifikasi pesan masuk di grup yang berbunyi, "Ada mayat dataaaang!"

Alhasil, Mia langsung tergopoh-gopoh menuju instalasi forensik yang lokasinya agak di belakang rumah sakit. Sambil mengunyah pentol, ia berlari sekencang mungkin. Sepatunya berdecit di lantai keramik rumah sakit. Dengan gesit Mia menghindari pengunjung, pasien, dan perawat yang kebetulan berpapasan dengannya di koridor.

"Miaaaa!" Alisa, teman seperjuangannya muncul tergopoh dari arah depan. Untung mereka tidak tabrakan. Keduanya berlari bersama.

"Darimana lo?" Tanya Mia usai menelan pentol yang berhasil dikunyahnya.

"Makan soto. Belum sesuap masuk, udah keduluan mayat dateng."

"Gue juga. Makan pentol, mana belum sempat minum."

Alisa menyerahkan botol tupperware berisi air putih pada Mia. "Minum yang bener. Jangan muntah ntar!"

"Alah, PL doang ini mah."

PL: Pemeriksaan Luar. Proses pengidentifikasian jenazah lewat pakaian, kulit, rambut, badan, kaki, tangan, mulut, dan gigi tanpa harus obok-obok organ dalam jenazah.

Mia menghentikan larinya untuk minum dari botol yang ditawarkan Alisa. Rekannya itu menunggunya sampai isi botol minum di tangan Mia ludes. Kemudian mereka lanjut lari lagi.

Tiba di ruang otopsi, sudah ada lima peserta koas lain yang sudah berkumpul. Mia dan Alisa bukan orang terakhir yang datang. Tak sampai semenit, Dion juga datang tergopoh masuk ruangan. Usai membersihkan tangan dan mengenakan pelindung, mereka berkumpul mengelilingi meja berisi jenazah.

Jenazah yang ada di depan mereka ini ditemukan di pinggir jalan. Kalau dilihat dari pakaiannya, mungkin seorang gelandangan. Tubuhnya belum kaku, mungkin baru beberapa jam meninggal dan langsung dibawa kemari. Mia bersyukur karena tidak kedatangan jenazah busuk tak berbentuk karena ia baru saja makan pentol saus kacang. Rasanya tidak rela kalau pentol yang baru masuk ke perutnya jadi tumpah keluar gara-gara tidak tahan mencium bau menyengat. Dia belum makan sejak semalam.

Panji, konsulen mereka memimpin sekaligus mengawasi proses PL. "Jenazah berjenis kelamin laki-laki, diperkirakan berusia di atas lima puluh tahun. Berat badan 60 kg. Tinggi badan 164 cm. Ras mongoloid. WNI. Jenazahnya ditemukan di pinggir jalan dalam keadaan telentang. Polisi minta laporan PL-nya sore ini."

Tanpa bertele-tele, kedelapan peserta koas itu dibagi menjadi empat tim. Mia dan Alisa kebagian tugas mengidentifikasi bagian atas alias kepala jenazah.

Selagi Mia memeriksa kepala jenazah, Alisa mencatat dan ikut melihat. Warna rambut hitam, sudah jelas. Separuhnya beruban. Rambutnya gondrong sebahu agak keriting. Ada tahi lalat besar di leher dekat jakun. Tidak ada luka di wajah. Mia meraba bagian belakang jenazah itu untuk memeriksa adanya memar atau benjolan. Karena tidak menemukan satupun, Mia beralih ke mulut. Sesekali ia meminta pendapat Alisa sebelum mereka mencatat apa yang mereka temukan.

***

Mia kembali ke rumah pukul tujuh malam. Kehujanan. Ia buru-buru mandi dan keramas, padahal biasanya dia tidak akan mau keramas kecuali rambutnya sudah super lepek dan bau. Namun kali ini pengecualian. Pantang baginya untuk tidur tanpa keramas setelah ada panggilan visum. Kalau dilanggar, bisa-bisa ia kedatangan arwah jenazah yang ia visum. Entah lewat mimpi, entah betulan datang lalu absen di depan mata. Dia belum pernah merasakannya sih. Baru juga dua minggu di forensik.

Kalau sudah masuk stase forensik, selalu ada mitos dan pantangan absurd yang harus diikuti. Mia sering dapat cerita dari teman-temannya tentang gangguan mistis sejak berada di stase forensik. Sains sih boleh jalan, tapi yang namanya bekerja bersama jenazah ya begitu resikonya. Dokter forensik menjadi kesempatan terakhir bagi si jenazah untuk memperoleh keadilan atas kematiannya.

Usai mengeringkan rambut dengan hair dryer, Mia langsung ke dapur untuk masak. Isi kulkas Mia tidak banyak. Sejak Ullie menikah, tidak ada lagi yang belanja tepat waktu untuk mengisi kulkas. Mia mengeluarkan seikat daun singkong setengah layu karena berusia empat hari, tiga butir telur ayam, ikan asin, serta cabe rawit dan tomat. Selagi menyiapkan lauk, ia masak nasi di panci karena malas pakai rice cooker. Wadah nasinya belum dicuci.

Setengah jam kemudian, menu makan malam Mia sudah jadi. Sepiring nasi hangat, sambal tomat mentah, telur rebus, ikan asin goreng, dan rebusan daun singkong. Mia sedang mengambil air dingin di kulkas saat mendengar Anton mengucap salam. Kakak Ullie itu langsung berlari masuk ke dapur menuju toilet. Dia tidak dengar mobilnya masuk halaman. Mungkin teredam oleh suara hujan deras di luar.

"Sori, numpang berak." Ujar Anton sebelum menutup pintu toilet.

"Darimana, mas?" Tanya Mia sambil duduk di kursi meja makan.

"Dari pom bensin. Mama lagi di apartemen Ullie." Suara Anton teredam di balik dinding toilet. Anton memang punya empat SPBU yang tersebar di Surabaya sebagai mata pencaharian utamanya. Sehari-hari kerjanya berkeliling dari SPBU satu ke SPBU-nya yang lain.

"Ullie udah pulang dari Swiss emang?"

"Enggak, masih bulan madu. Dek, jangan ngajak aku ngomong! Lagi konsen."

Mia memutar bola mata lalu mulai makan.

Sepuluh menit kemudian, Anton keluar dari toilet dengan perasaan enteng.

"Kesini numpang boker doang?" Sindir Mia.

Anton mengangguk. "Laper, dek." Ujarnya begitu melihat menu makan malam Mia. Ia menelan ludah. Perutnya yang baru saja dikosongkan mendadak minta diisi ulang.

"Masih ada nasi di panci. Abisin, mas!" Mia masih nikmat makan pakai tangan. Sesekali ia mendesis karena kepedasan. "Kirain mas Anton dateng buat nagih duit kontrakan."

"Bulan ini kamu tak gratisin. Masih euforia Ullie kawinan." Usai mengambil nasi di piring, Anton duduk di depan Mia. Itu cuma candaan. Anton tidak pernah minta uang sewa ke Mia. Dia memang punya beberapa kontrakan yang tersebar di Surabaya dan Sidoarjo, namun khusus kontrakan yang ini dia tidak memungut biaya karena menjadi tempat tinggal Mia dan Ullie, adiknya.

"Eh, udah cuci tangan belum? Jorok banget!"

"Yaelah, udah!" Anton ikut-ikut makan pakai tangan.

***

Anton menawarkan diri untuk cuci piring setelah mereka makan malam bersama. Selesai mencuci, ia menyusul Mia di teras. Cewek itu sedang duduk-duduk sambil membaca. Kacamata bundar seperti milik Harry Potter bertengger di hidungnya.

"Belajar teroosss!" Anton mengulurkan sekaleng bir dingin dengan kadar alkohol 5% pada Mia.

"Dunhill dong, mas." Mia meletakkan jurnal forensik yang sedang ia pelajari di pangkuan untuk menerima kaleng bir dari Anton.

"Ck. Kamu itu, cewek kok doyan banget ngerokok. Kurang-kurangin, lah!" Meski mulutnya melarang, Anton tetap mengeluarkan sebungkus rokok miliknya untuk Mia.

"Biar nggak ngantuk, mas. Kan nggak tiap hari juga." Balas Mia. Ia menyelipkan rokok di antara bibir. "Korek mana?"

Anton memantikkan api untuk rokok Mia sebelum ia mengambil rokok untuk dirinya sendiri. "Padahal kamu itu calon dokter, lho. Hidupnya kok nggak sehat amat?" Cowok itu duduk di kursi kosong. Mereka duduk-duduk ditemani hujan gerimis.

"Dikatakan oleh atlet kickboxing yang seharusnya nggak boleh ngerokok." Cibir Mia.

"Aku kan nggak sering juga. Masih sering-an kamu, kali."

"Gue juga jarang, mas. Sehari paling nyebat sebatang doang. Itupun kalo sempat sama pas lagi pusing berat." Sambil menghisap rokok dan menghembuskannya, tangan Mia membuka kaleng bir.

"Kemarin-kemarin ada Ullie kamu nggak bisa kayak gini."

Mia mengangguk. "Sekarang Ullie nggak di sini. Jadi bisa nyebat puas-puas."

"Iya, sebelum paru-parumu bolong jangan berenti, ya?" Kalimat Anton mengandung sarkas.

"Siap!" Tukas Mia. Ia meneguk bir di tangan. "Gimana rasanya ditinggal Ullie nikah, mas?"

"Yaaa begini-begini aja. Kan masih tinggal satu kota. Mungkin karena sudah terbiasa nggak tinggal serumah."

"Lo sendiri kapan mau nikah, mas?"

Anton menghembuskan asap rokok. Hembusannya agak berat. "Itu dia, dek."

Mia menaikkan kacamata bundarnya ke atas kepala, tiba-tiba merasa tertarik. "Ada yang disuka emang? Mas Anton kan jomblo karatan. Ditinggal mas Galang nikah, pula! Cari temen hidup, mas. Biar ada yang ngurusin."

Anton hanya melirik sekilas sebelum balik bertanya, "Menurutmu Elsa gimana?"

Mia menyemburkan bir yang sedang ia minum hingga muncrat ke wajah Anton, sampai mematikan api rokok yang menempel di bibirnya.

"Eh, sori sori, mas. Nggak sengaja, sumpah!" Mia mematikan api rokok miliknya sendiri di asbak lalu bangkit dan masuk ke dalam rumah untuk mengambil tisu. Buru-buru ia mengelap wajah Anton dengan tisu. Gerakan mengelapnya lebih mirip gerakan mengamplas.

"Sudah, sudah! Kamu mau ngeratain mukaku??" Anton merebut tisu dari tangan Mia.

Mia langsung keder. Anton ini menyeramkan kalau sudah marah. Mana badannya gede isinya otot semua.

"Maaf, mas." Wajah Mia dibuat sememelas mungkin. "Habisnya mas Anton tiba-tiba bahas kak Elsa. Kaget akyu, tuh." Lanjutnya pakai gaya sok imut.

Anton mendengus keras-keras. Tatapannya masih sebal pada Mia. "Jangan sok imut, dek. Pengen tak smack down mukamu."

Mia cemberut. Ia membetulkan duduknya lagi. "Jadi gimana tadi, mas?"

"Apanya?" Nada Anton masih galak.

"Itu. Kak Elsa. Gimana sama kak Elsa?"

Ekspresi Anton melunak saat mendengar nama Elsa lagi.

"Wah, beneran jatuh cinta??" Mia setengah memekik karena melihat wajah lesu Anton. Suatu keajaiban alam kalau sampai Anton jatuh cinta. Anomali semesta. Semoga tidak diikuti dengan bencana apa-apa. "Sejak kapan, mas? Jangan bilang sejak dari Swiss?!"

Anton menggeleng. Kemudian buru-buru mengangguk, lalu menggeleng lagi. Mia jadi gemas ingin mengguncang tubuhnya. Yang betul yang mana?

"Sukanya udah lama. Kan kita tetanggaan dari kecil waktu keluarga Galang sama Elsa belum pindah ke Jakarta." Anton akhirnya menjawab.

"Buset, pedofil!!!" Tuduh Mia berapi-api.

"Eh, jancok. Enggaklah!" Anton jadi ikutan panik karena dianggap pedofil. Kemudian ia terdiam. "Heh, aku sama mereka kan seumuran. Ngapain jadi pedofil?!" Anton merasa salah server karena curhat dengan Mia. Dikiranya Mia ini super cerdas karena kuliah kedokteran. Eh, ternyata sama aja gesreknya dengan Ullie. Kelamaan tinggal bersama barangkali.

Mia menggaruk belakang kepalanya. "Oh iya lupa. Muka mas Anton kayak bapak-bapak, sih."

Anton hampir melempar kepala Mia dengan asbak rokok kalau saja dia tidak ingat rumah ini jauh dari rumah sakit.

"Nggak jadi cerita, deh!" Anton ngambek.

"Idiihh, nggak cocok ah! Ambekan! Nggak malu sama otot??" Mia lagi bersemangat ngajak ricuh.

"Huh!" Anton bersedekap. Beneran ngambek.

"Kak Elsa udah ditembak emang?"

"Nggak berani. Takut ditolak."

"Yaelaaahhh! Namanya juga ikhtiar, mas. Ditolak urusan belakang. Coba dulu!"

"Masalahnya dia kan sodaranya Galang. Kalo nanti abis ditolak hubungan kita jadi canggung gimana?"

"Nggak bakal! Kak Elsa itu orangnya profesional banget jadi manusia. Dia psikolog, pasti ngerti lah masalah emosi orang. Nggak mungkin kak Elsa bikin mas Anton nggak nyaman pas habis ditolak. Kerjaan psikolog kan bikin nyaman orang. Eh, ini kok yakin bener bakal ditolak?"

Giliran Anton yang menggaruk kepala. "Menurut kamu tipenya Elsa yang kayak gimana, dek?"

"Yang pinter."

Anton menunjuk dirinya sendiri. "Aku pinter, nggak?"

"Enggak. Kuliah aja tujuh tahun baru lulus."

Anton sudah melepas sandal jepitnya, mau menggeplak kepala Mia. Tidak sopan sekali jadi anak muda. Mia hanya meringis.

"Daripada menduga-duga, mending tanyain langsung lah, mas! Ajak jalan. Makan, kek. Nonton, kek. Kencan beneran. Terus nyatain. Lamar sekalian. Nikah! Gue yang jadi penerima tamu, deh." Lanjut Mia.

Anton nyengir-nyengir sendiri membayangkan bakal menikahi Elsa, membuat Mia meringis jijik saat melihat ekspresinya.

"Gue kira lo itu homo, mas."

Cengiran Anton lenyap. Ia memicingkan mata pada Mia. Mau bicara apa lagi nih anak?

"Badan gede. Doyan nge­-gym. Gym kan sarangnya cowok gay." Lanjut Mia.

"Kurang asem!" Anton tersinggung orientasi seksualnya dipertanyakan. "Galang juga doyan nge-gym. Tuh dapetnya yang kayak Gie!"

"Tapi badan mas Galang nggak segede mas Anton."

"Apa hubungannya badan gede sama homo, sih?? Gini-gini aku masih bisa ngebuntingin cewek!"

"Lah dikira cowok homo nggak bisa ngebuntingin cewek? Kalo orgasme juga ngeluarin sperma, kali!" Mia tak mau kalah.

"Astagaaa! Lambemu ancen njaluk dijahit (Mulutmu emang minta dijahit)!" Anton gregetan. "Untung nggak ada orang lain yang denger! Mulutmu difilter, dek!"

"Apa salahnya emang? Kan ini berdasarkan fakta ilmiah. Yang bikin cowok nggak bisa ngebuntingin cewek itu kalo spermanya- blup blup blup blup." Mulut Mia sudah keburu ditutup oleh telapak tangan Anton. Cowok berbadan besar itu berhasil membungkamnya. Risih betul dia mendengar kata 'sperma' keluar dari mulut Mia.

"Aku pulang aja, dek. Nggak mau ganggu orang jenius belajar." Anton pamit, tapi mulut Mia belum dilepaskan. Cewek itu sampai megap-megap kehabisan udara. Tiba-tiba Anton mengaduh hingga melepaskan tangannya karena merasakan perutnya yang eight-pack dicubit.

"Ntar dulu. Belum kelar bahasan kita. Mas Anton itu terlalu mendiskriminasi. Menjadi gay itu nggak menutup kemungkinan laki-laki kehilangan potensi memilik anak." Anton mengambil dompet dan kunci di meja ruang tamu lalu keluar dari rumah, menuju mobilnya. Mia masih mengekor di belakang. "Sperma mereka itu sehat-sehat aja. Cuma ketertarikan seksual aja yang berubah. Jadi bukan berarti jadi gay terus sperma mereka cacat." Meski langit masih gerimis, Anton nekat menyeberangi halaman. Lebih baik kehujanan daripada kupingnya gatal mendengar Mia nyerocos. "Kalo cowok gay melakukan penetrasi di vagina cewek sampai orgasme dan melepaskan sperma, berarti sel telur si ceweknya juga bakal dibuahi-"

BAKK

Pintu mobil dibanting di depan wajah Mia. Anton menyalakan mobil.

Mia mengetuk-ngetuk kaca jendela sambil menutupi kepalanya dari rintik hujan. "Mas! Mau kemana??"

Kaca jendela Anton terbuka sedikit. "PULANG!!" Jerit Anton di antara sela-sela jendela, membuat Mia terkejut. Hanya mulutnya Anton saja yang terlihat. Selang beberapa detik, mobil sudah dimundurkan sampai keluar halaman. Anton pergi.

***

Sampe sini udah berasa 'klik' sama ceritanya belum?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top