27 | FLASH MOB

Hari minggu. Weekend. Hari yang ditunggu-tunggu oleh Mia dan Anton.

"Semua di posisi?" Tanya Mia ke HT di tangan. Tangan lainnya sedang memegangi kotak cincin yang dititipkan Anton padanya. Ia menaruh cincin itu ke dalam tas supaya tidak hilang.

Tak berapa lama, terdengar jawaban, "Siap."

Mia mendongak menatap Aiden. Cowok itu kelihatan agak setengah hati harus kencan di Kebun Binatang Surabaya. Namun rasa penasarannya tentang lamaran Anton lebih mendominasi. Jadi di sinilah ia sekarang. Bersembunyi di dekat kandang Harimau sambil makan kacang kulit. Kepalanya terlindung topi yang sama dengan yang dikenakan Mia.

"Mereka dimana?" Tanya Aiden.

"Lagi nontonin Gajah atraksi."

"Tugas saya apa?"

"Dokumentasi. Siapin kamera."

"Kalo ditolak?"

"Yaudah, cari ide lamaran lain."

"Kamu optimis, ya?"

"Kalo nggak optimis nanti nggak sukses, om. Yuk!" Mia menggandeng tangan besar Aiden agar mereka keluar dari tempat persembunyian.

"Saya pengen jalan-jalan sama kamu. Masih lama kan lamarannya?"

Mia mengangguk, "Ke akuarium?" Ia memasukkan HT ke dalam tas.

Aiden membuka tutup botol minuman isotonik sebelum mengulurkannya pada Mia. Cewek itu langsung minum banyak-banyak. Ternyata capek juga mengatur situasi dan kondisi tim flash mob di kebun binatang. Tempat ini besar sekali. Mana pengunjungnya juga banyak karena sedang akhir pekan.

Sebelum masuk ke akuarium, Mia mengajak Aiden untuk mampir beli es krim. Cuaca cukup panas, jadi Mia bawaannya ingin makan es krim sepuluh bungkus.

"Kamu habiskan semua?" Aiden mengangkat satu alis karena melihat kantong plastik penuh es krim di tangan Mia.

Cewek itu mengangguk dan makan es krim pertama sambil jalan. Satu tangannya melingkari lengan Aiden. Ia menikmati jadi pusat perhatian pengunjung kebun binatang yang rata-rata harus menengok dua kali untuk memastikan sosok yang berjalan di sebelahnya betulan bule.

Bule di Surabaya memang banyak, tapi yang bentukannya macam Aiden selalu sukses mencuri perhatian. Biasanya Mia memandang rendah bule-bule cowok yang berkeliaran didampingi sosok perempuan Indonesia. Perempuan-perempuan itu mungkin jadi pemandu. Mungkin jadi pasangan. Bisa jadi juga keduanya. Sekarang Mia malah jadi salah satunya.

Mereka masuk ke dalam akuarium setelah membayar karcis. Aiden serius melihat-lihat ikan yang ada di kolam depan pintu masuk.

"Itu Arwana bukan?"

Mia menggeleng. "Bukan. Ikan predator sungai. Kalo ditaruh ke dalem sungai Indonesia, bisa bikin punah ikan lokal."

"Terus asalnya dari mana?"

"Amazon."

"Nama ikannya apa?"

Mia mengedikkan bahu, "Arapaima mungkin."

Aiden mengecek papan yang menyediakan keterangan ikan di kolam sekilas, lalu memandang Mia takjub. "Kamu kok ngerti segala hal, sih?"

"Suka baca. Memori bagus. Otak pinter. Calon dokter. Kombinasi semuanya." Jawab Mia dengan nada sombong. Padahal ia tahu gara-gara keseringan nonton National Geographic di TV.

Aiden meletakkan satu tangan di sekeliling bahu Mia, tertawa kecil.

"Om, saya penasaran, deh. Kenapa mau nikahin saya?"

"Kamu pintar dan lucu."

"Itu doang?" Wajah Mia nampak kecewa.

"Kamu cantik?" Aiden menawarkan jawaban yang diharapkan semua cewek untuk didengar.

"Itu doang?" Tanya Mia lagi, wajahnya masih kecewa.

Aiden menggaruk dahinya yang tidak terlalu gatal, "Saya nggak tau kamu mengharapkan jawaban apa. Saya memutuskan menikahi kamu karena itu kamu."

"Nggak jelas dong alasannya apa?"

Aiden menggeleng, "Sejujurnya enggak. Saya hanya yakin kalau kamu orangnya."

"Bukan karena pengen tidur sama saya aja?" Pertanyaan Mia mengundang ekspresi terkejut ibu-ibu yang berada tak jauh dari mereka. Ibu-ibu itu mendelik tak suka ke arah Mia sambil menutupi kedua telinga anaknya. Mia sepertinya tidak melihat dan tidak peduli juga.

"Seks itu hanya seks, chéri. Kebutuhan dasar manusia. Tapi kalau dengan kamu, kebutuhan emosional yang saya dapat."

"Kata lainnya, om belum cinta sama saya. Betul?"

Aiden baru akan menjawab saat satu rombongan anak-anak TK bersama pendamping mereka berebut keluar dari akuarium. Aiden menarik tubuh Mia agar tidak menghalangi jalan anak-anak itu. Mia mendesah lega karena akuarium kini hanya tersisa segelintir pengunjung saja termasuk mereka berdua.

"Lumayan lah pendingin ruangannya jadi adem." Mia berdiri di bawah AC, menikmati udara dingin sambil memejamkan mata. Aiden memandanginya cukup lama.

Mia agak terkesiap ketika ia merasakan bibirnya dicium oleh seseorang. Ternyata Aiden. Padahal tadi dia sudah siap-siap mau membanting siapapun yang berani melecehkannya. Bibir Aiden hangat. Dicium secara random di tempat umum siang bolong begini tidak pernah terbayangkan oleh Mia. Dia terlalu terkejut untuk bisa bereaksi.

"O-om, kalo dilihat orang gimana?" Mia jadi terbata saat Aiden melepaskan bibirnya.

Aiden hanya memandangnya dengan tatapan intens. Tidak tersenyum. Iris abu-abu Aiden seakan bisa menelan Mia saat itu juga. Tanpa menjawab pertanyaan Mia, Aiden menciumnya lagi. Kali ini satu tangannya menarik pinggang Mia agar mendekat. Lidah Aiden menyapu bibir bawahnya. Sebuah desahan lolos dari bibir Mia. Aiden menarik senyum tipis. Ia menghentikan ciuman mereka sebelum makin jauh.

Otak Mia mendadak berkabut. Saat ia menutup mata tadi, segalanya nampak terang. Begitu ia membuka mata lagi, ia sudah kembali ke ruangan remang-remang yang banyak akuariumnya.

"Saya cuma bersihin es krim di bibir kamu." Bisik Aiden ketika sebuah keluarga lewat dekat mereka.

Mia mengulum senyum. "Bersihin es krim, ya?"

Aiden hanya tersenyum kecil sebelum mengecup pipi Mia singkat.

***

Mia duduk-duduk di depan sangkar burung Cendrawasih sambil mengamati Anton dan Elsa dari jauh. Ia mengenakan kacamata hitam agar tidak mudah dikenali. Aiden duduk di sebelahnya, sedang bekerja lewat hp di tangan. Sesekali ia menghubungi seseorang dan terlibat percakapan serius dengan bahasa Perancis. Beberapa kali ia menyebut nama Alan. Mungkin memang sedang bicara dengan Alan.

"Nanti kamu ngasih cincinnya gimana?" Tanya Aiden ketika ia baru menekan tombol send di e-mail. Nada suaranya sudah tidak serius seperti saat tadi bicara di telepon.

"Nanti saya pake topeng, terus ikutan nari di belakang mas Anton. Baru deh ngasih cincin ke dia."

"Kamu mau melakukan ini karena seru, ya?"

Mia mengangguk.

"Mbak, target udah di posisi." Terdengar suara seseorang dari HT. Mendengar itu, Mia langsung bangkit berdiri. Ia menitipkan kacamata pada Aiden, lalu mengeluarkan topeng monyet dari dalam tas. Aiden tertawa melihatnya.

"Serius, kamu bikin saya awet muda." Ujar Aiden di sela-sela tawanya.

Mia nyengir lebar, "Jangan lupa divideo, ya?"

Usai mengatakannya, Mia menghilang. Aiden membuka aplikasi kamera, lalu membawa tas Mia, mencari sudut terbaik untuk merekam.

***

Mungkin lagu Bruno Mars yang berjudul Marry You, menjadi satu-satunya anthem alias lagu kebangsaan wajib untuk flash mob lamaran. Begitu lagu diputar, tiba-tiba semua orang jadi penari. Penari yang jadi tim sukses Anton jumlahnya hampir seratus orang.

It's a beautiful night, we're looking for something dumb to do

Hey baby, I think I wanna marry you

Is it the look in your eyes, or is it this dancing juice

Who cares baby, I think I wanna marry you

Well I know this little chapel on the boulevard

We can go

No one will know

Oh, c'mon girl

Who cares if we're trashed

Got a pocket full of cash we can blow

Shots of Patron

And it's on girl

Aiden terus tersenyum saat ia merekam video lewat hp di tangan. Ia geleng-geleng kepala karena melihat Anton bergerak kaku dengan wajah tegang di hadapan Elsa yang pucat pasi. Mia bergerak lincah dan semangat di belakang Anton. Gerakannya yang paling kacau. Cewek itu tidak bisa menari, sehingga mengacaukan koreografi. Untung penari flash mob jumlahnya lebih banyak, jadi tarian Mia yang sudah mirip seperti gerakan pemuja setan bisa tersamarkan. Kelihatan jelas kalau Mia sedang bersenang-senang.

Don't say no, no, no, no no

Just say yeah, yeah, yeah yeah, yeah

And we'll go, go, go go, go

If you're ready, like I'm ready

Ketika lagu berakhir, Anton berjongkok di depan Elsa dengan satu kaki. Mirip seperti pose Aiden kemarin saat ia menyerahkan cincin untuk melamar Mia. Memori itu membuat bibir Aiden tersenyum.

Mia yang berdiri agak jauh di belakang Anton buru-buru mendekat untuk menyerahkan cincin selagi Anton ber-monolog untuk meminta Elsa jadi istrinya.

GEDEBUG

Monolog Anton terhenti karena Mia jatuh tersandung kakinya sendiri saat berjalan. Elsa memekik. Aiden berlari mendekat. Mia mengangkat topeng monyetnya dan mengaduh kesakitan. Lututnya berdarah. Sedangkan para penonton yang tiba-tiba bergerombol ramai di sekeliling mereka malah tertawa.

"Loh, jangan kesini! Gue nggak apa-apa! Terusin, mas!" Mia sudah panik sendiri karena mengira lamaran Anton gagal gara-gara dirinya. Ia menyerahkan kotak cincin pada Anton yang sudah berpeluh deras.

Aiden membantu Mia berdiri lalu menyingkir dari pusat perhatian.

***

Suasana hati Mia kacau. Rencananya hampir berhasil kalau saja ia tidak jatuh terjungkal dengan konyol di Kebun Binatang tadi.

Tidak. Elsa belum menolak Anton. Belum menerima juga. Ketika Anton menyerahkan cincin dengan tangan gemetar, Elsa justru tertawa setengah menangis. Ia terharu dengan usaha keras Anton dan Mia. Sayangnya ia belum menyiapkan jawaban untuk Anton, karena masih tidak yakin dengan perasaannya sendiri.

Anton kecewa? Pasti. Apalagi Mia.

Tapi mau bagaimana lagi? Mereka berdua harus menghargai keputusan Elsa.

Aiden berusaha menghibur Mia dengan membawanya minum kopi di Excelso. Siang-siang begini memang enaknya minum es. Mia memesan dua minuman sekaligus untuk dirinya sendiri, serta banyak makanan. Dia butuh asupan perut untuk mengembalikan mood.

Mia cemberut saat melihat Aiden sedang menonton siaran ulang video lamaran Anton. Terutama saat ia mendengar tawa penonton pecah dan seruan bergemuruh. Pasti itu waktu ia terjatuh dan membuat kaget semua orang.

Mereka sepakat untuk menyimpan dulu video itu sampai Elsa memberi Anton jawaban.

"Luruskan kakimu." Aiden meletakkan hp di atas meja saat Mia menurunkan kakinya yang kram dari kursi. Ia memang meletakkan dua kursi saling sejajar agar Mia bisa selonjoran. Luka Mia sudah ditutupi dengan plester.

"Tadi Anton langsung pergi?"

Mia mengangguk, "Nganter kak Elsa pulang dulu. Mungkin sambil ngobrol dari hati ke hati." Ia celingukkan karena pesanan mereka tidak datang-datang.

"Kakimu masih sakit?"

Mia mengangguk, "Nyut-nyutan. Tadi kena batu."

Aiden menghela napas. Keinginannya untuk melipat Mia jadi kecil lalu menyimpannya di dalam kantong makin menggebu-gebu. Mia mudah sekali melukai dirinya sendiri.

Pesanan mereka datang. Mia memandangi dua gelas minuman beda jenis pesanannya yang sedang dipindahkan dari baki ke atas meja mereka. Mia langsung meminum isi gelas pertama sampai habis. Padahal pelayan belum selesai menaruh pesanan mereka. Haus betul dia.

Aiden memesan segelas kopi panas. Cuaca sudah sepanas ini, dia malah minum seduhan kopi hitam tanpa gula.

Aiden mengelap sudut bibir Mia yang kena busa minuman dengan ibu jari.

"Minum pelan-pelan, chéri. Nggak akan ada yang nyuri dari kamu." Ujarnya. Ia menjilat ibu jari bekas minuman Mia dengan cuek sebelum menyeruput kopi dari gelasnya sendiri.

Mia mengigit bibir, tiba-tiba wajahnya terasa panas. Wajah pelayan yang membawa pesanan mereka juga kelihatan merona. Ia buru-buru pergi setelah tugasnya selesai. Belum pernah ada yang melakukan itu untuk Mia. Kalau dalam situasi normal, mungkin Mia akan menyebutnya tindakan jorok. Tapi kenapa kalau Aiden yang melakukannya justru terlihat sensual, ya?

"Aiden!" Mia dan Aiden kompak menoleh ke asal suara.

Rachel berjalan mendekati meja mereka. Cewek itu tersenyum lebar dengan tatapan mata hanya tertuju pada Aiden. Ia membawa tas jinjing dari kulit binatang. Mungkin ular atau buaya. Seorang cewek yang kelihatan familiar berjalan di belakang Rachel. Kepalanya menunduk karena sedang main hp.

Tunggu sebentar, itu Clara? Kenapa dua makhluk Tuhan paling cantik (versi mereka) bisa berbarengan ada di sini? Mau ngajak Mia perang?

Wajah Mia mendadak asam ketika melihat Clara mengekor di belakang Rachel.

"Ngapain di sini?" Clara lebih dulu buka suara begitu ia mengangkat kepala. Wajahnya tidak kalah kecut dengan wajah Mia.

"Emang Excelso punya bokap lo?" Mia balas bertanya.

"Bikin sepet mata aja." Gerutuan Clara tidak diindahkan oleh Mia karena cewek itu lebih penasaran dengan kehadiran Rachel.

"Kalian saling kenal?" Rachel bertanya pada Clara, seakan menganggap Mia tidak terlihat. Tapi sejak pertama kali bertemu juga dia terkesan menganggap Mia serpihan atom saking tidak terlihatnya.

"Temen koas di rumah sakit, kak."

Kak? Rachel dan Clara adik kakak?

Wah, bitchy-nya turunan ternyata. Mendarah daging.

"Habis darimana, darling?" Kali ini Rachel memandang Aiden. Sungguhan tidak menganggap Mia ada.

Tunggu dulu! Darling, katanya?

"Habis keliling." Aiden mengamati ekspresi Mia yang kelihatan siap meledak kapan saja. Cowok itu perlu atur siasat sebelum Mia terjebak keributan yang kemungkinan besar terjadi sewaktu-waktu.

"Kamu ngapain berduaan sama pacar kakakku?" Clara bertanya sewot pada Mia.

Pacar? Nggak malu apa ngaku-ngaku? Batin Mia heran.

Mia masih mengamati adik kakak itu bergantian sambil mengetukkan jari yang terpasang cincin pertunangannya di atas meja.

"Kami nggak pacaran, Clara." Rachel tertawa. Suara tawanya kelihatan sekali kalau sedang dibuat-buat.

"Kok bisa? Kalian kan sering jalan bareng!" Yang kenal Aiden itu kakaknya, tapi malah Clara yang sewot tidak terima.

"Kami memang dekat." Rachel menarik kursi di sebelah Aiden. Kebetulan kosong. "Gabung, ya? Nggak ada kursi kosong lagi."

Mia menatap sekeliling. Kok bisa kebetulan sih Excelso rame begini?

Oh, iya. Akhir pekan.

Mia bangkit berdiri sambil melatih pernapasan agar lebih tenang.

"Kemana?" Tanya Aiden.

"Toilet. Ambil air wudhu biar nggak gampang emosian." Mia berjalan pincang menuju toilet wanita.

Di toilet, Mia mencuci wajahnya dengan air dingin. Ia melihat bayangannya sendiri di depan cermin. Kalau dibandingkan dengan Rachel, dia memang kalah cantik dan kalah tinggi. Mia tidak punya waktu sebanyak Rachel untuk perawatan dan olahraga. Kalaupun ada waktu, dia sering menggunakannya untuk tidur dan nugas, atau sekedar membaca buku.

Bagaimana dengan Clara?

Mia percaya diri mengakui kalau dia jauh lebih pintar dari Clara. Kalau penampilan, memang biasa-biasa saja. Clara menang hanya karena dia pakai brand-brand mahal yang tak akan mampu Mia beli.

Kenapa Aiden memilihnya, sedangkan dia punya partner secantik Rachel?

Mia masih tidak mengerti. Mereka memang sering ngobrol atau berdebat, tapi tidak pernah fokus membahas perasaan. Setahunya, Aiden punya sifat pelindung dan penolong, mirip-mirip ibu peri. Kalau yang ini mungkin boleh disebut 'om peri'.

Sialnya lagi, Aiden sudah membuatnya jatuh cinta.

Mia mematikan kran air dengan kasar. Ia kesal pada dirinya sendiri karena lagi-lagi kalah dengan pesona cowok tampan. Apa betul dia gampangan seperti yang dikatakan Clara tadi? Toh dia juga yang meminta Aiden jadi sugar daddynya agar bisa dibiayai.

Memang betul, sih.

Murahan.

Kemudian ia melihat cincin permata di jari manisnya.

Kenapa Mia merasa tidak percaya diri?

Aiden sudah melamarnya. Dia bakal dibawa ke Alois untuk bertemu keluarga kerajaan.

Mia tersenyum kecil, merasa konyol sudah merasa buruk dan kecewa pada diri sendiri. Dia cantik. Dia pintar. Dia bukan pengecut.

Dengan semangat baru, Mia keluar dari toilet.

***

Melihat Mia keluar dari toilet, Aiden membereskan barang-barang di meja mereka, bersiap pergi. Ia tidak akan membiarkan Mia tersulut. Auranya sudah terasa tidak enak sejak tadi.

"Mau kemana?" Rachel menahan lengan Aiden.

"Pulang."

"Makanan kamu masih utuh. Minumannya juga." Rachel menunjuk pesanan Aiden dan Mia di atas meja.

"Buat kalian. Sudah dibayar, kok." Aiden was-was dengan tatapan Mia yang tertuju pada lengannya. Lengan yang sedang disentuh oleh Rachel.

"Ngobrol dulu, lah. Lama nggak ketemu. Kemarin di Gala juga nggak sempat ngobrol." Rachen mengangkat satu tangan untuk memanggil pelayan.

"Saya mau antar tunangan saya pulang."

Mia sudah tiba di meja mereka. Ia memandang Rachel dan Clara bergantian.

"Tunangan?" Clara setengah memekik tak percaya. "Wah, ternyata selain sok, kamu juga hobi jadi perebut cowok orang, ya?" Sindirnya pada Mia.

"Ya gimana lagi, cowoknya yang mau." Mia mengedikkan sebelah bahu dengan ekspresi datar.

"Mau pulang sekarang?" Aiden berharap agar Mia ikut pulang dengannya daripada lanjut nongkrong di sini. Ia menghela napas lega diam-diam setelah Mia mengangguk. Aiden langsung menggandeng tangannya.

"Murahan." Desisan Clara terdengar cukup jelas di telinga Mia.

"Jaga mulut kamu, Clara!" Nada suara Rachel tidak terdengar benar-benar sedang menegur. "Dia nggak murahan. Dia pintar karena cari cowok yang bisa diporotin. Lebih tepatnya gold digger."

Mia baru akan berbalik saat Aiden menahan bahunya. "Chéri, please don't." Bisik Aiden.

"Gold digger? Pantesan dia rela aja jadi peliharaan dr. Irwan. Aku denger dari mulut dr. Irwan sendiri kalo cewek itu yang ngejar-ngejar dr. Irwan dengan nggak tau malu. Berharap dapat cowok yang bisa menuhin gaya hidup, ternyata."

Rachel terkekeh karena ucapan adiknya.

Kalau yang cari gara-gara itu Clara, mungkin Mia sudah biasa.

Ini Rachel, lho. Dia itu orang asing. Seenaknya menjelek-jelekkan Mia seakan kuping Mia disumbat beton. Kok kurang ajar?

Mia mendongak menatap Aiden yang juga sedang memandangnya sambil menggeleng samar.

Tak lama, Mia berbalik lagi menuju meja mereka dimana Rachel dan Clara sedang tertawa kecil membicarakan dirinya.

Mia menarik rambut Rachel dari belakang dan menghentaknya dengan keras selagi ia menonjok wajah Clara dengan tangan satunya. Semua itu ia lakukan dalam hitungan detik.

Kedua cewek yang jadi korban Mia itu berteriak, hingga mengejutkan pengunjung lain.

"Merde (Shit/Sial)." Umpat Aiden. Ia buru-buru menarik tubuh Mia menjauh, meski cewek itu memberontak.

Rachel bangkit berdiri dan melempar Mia dengan gelas kosong yang ada di atas meja. Aiden menarik tubuh Mia lagi agar kepalanya terhindar dari hantaman. Gelas kosong itu menabrak pilar sampai pecah berkeping-keping. Suaranya nyaring di tengah keheningan kafe akibat keributan mereka.

"Lepas!" Mia berontak dari pegangan Aiden.

Rachel sibuk memeriksa kondisi wajah adiknya yang habis kena pukul. Semua orang mulai berkerumun di meja mereka.

Agar praktis, Aiden mengangkat tubuh Mia yang jauh lebih kecil darinya dan meletakkan cewek itu di atas bahu, mirip karung beras. Mia masih terus berontak dan terus meneriakkan sumpah serapah pada Rachel dan Clara. Aiden mengeluarkan kartu nama dari dompet lalu menyerahkannya pada penjaga pintu.

"Telpon saya untuk mengganti kerugian kalian. Maaf." Ujarnya sebelum berjalan cepat menuju parkiran.

***

Aiden menurunkan Mia di depan mobil. Ia menahan tubuh Mia yang kelihatan masih bersemangat ingin menghajar Rachel dan Clara selagi ia membuka pintu. Aiden memasukkan cewek itu ke dalam mobil. Selama ia memutar menuju pintu pengemudi, Aiden mengunci mobil agar Mia tidak bisa keluar.

"Buka kuncinya!!" Mia menatap Aiden penuh kemarahan saat cowok itu masuk.

"Nope (Nggak)." Aiden menyalakan mesin lalu mengemudikan mobilnya menjauh dari sana.

Mia mengerang frustasi sambil menempelkan wajahnya ke kaca jendela mobil. Kedua matanya tak lepas dari Excelso yang makin menjauh.

"Gue bunuh lo besok senin. Liat aja." Janji Mia penuh dendam kesumat.

"Kamu nggak akan bunuh siapa-siapa besok. Saya nggak ijinkan." Sahut Aiden.

Mia melipat kedua tangannya di depan dada lalu memandang lurus ke depan.

"Seatbelt, chéri."

Mia menghentak sabuk pengaman dengan kasar lalu memasangkannya ke sekeliling tubuh. Kedua tangannya bersedekap lagi.

"Kalo om nggak mau saya hajar juga, mending nggak usah ceramah." Ujar Mia.

"Saya nggak berniat mengatakan apa-apa tentang kejadian tadi. Kamu berhak marah."

"Tapi?"

"Tapi langsung bertindak seperti tadi, tidak bijaksana."

Mia tertawa setengah mendengus, "Harusnya tadi gue tusuk aja bacotnya sekalian pake garpu. Biar nggak nyinyir sembarangan lagi." Ujarnya setengah bergumam.

"I heard that (Saya dengar, lho)."

"Lagian selera om jelek banget, sih! Cari cewek itu selain cantik, yang berotak juga kek!"

"Saya nggak cari pasangan waktu itu. Selagi dia bisa muasin saya di ranjang, saya nggak pilih-pilih."

Mia mual mendengarnya.

"I shouldn't have said that (Saya harusnya nggak usah bilang). Maaf, chéri." Aiden merasa serba salah dan langsung menyesal karena mengatakan itu. "Please don't get mad (Tolong jangan marah)."

Dada Mia masih bergemuruh. Ia berusaha keras mengatur emosi. "Kemarin saya udah bilang kalo saya nggak suka drama pelakor-pelakoran. Kalo dia berusaha ngerebut om dari saya, selama om nggak peduliin dia, saya nggak masalah. Tapi kalo sampai... kalo sampai om tergoda buat balikan sama dia, kita auto bubar."

"Saya nggak mungkin sebodoh itu." Aiden agak menggerutu.

"Bagus."

"Jadi tadi itu Clara?"

"Harusnya saya yang nanya om! Kemarin bilangnya cuma partner seks, tapi sampe kenal adeknya juga! Sebenarnya kalian pacaran ato enggak?"

"Saya memang pernah bertemu adiknya itu. Tapi sungguh, saya nggak kenal dia. Tau namanya juga enggak. Kami nggak sedekat itu."

"Bangsat banget sih takdir. Kok bisa serumah sakit sama adek partner seks tunangan sendiri. Anjing memang. Apes." Segala macam umpatan sudah meluncur keluar dari bibir Mia. "Argh! Kesel banget gue!"

Aiden lebih memilih tutup mulut dan membiarkan Mia menumpahkan kekesalannya.

***

Siapin koper + paspor.

Ditunggu om Aiden di bandara.

See you tomorrow.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top