26 | BUKAN SURPRISE
Seharian Mia muram. Dia tidak tidur di kamar mayat karena tadi malam dia dapat tidur yang cukup. Bangun pagi dengan tubuh segar namun suasana hati tidak menentu. Selesai kelas dia langsung pulang, ingin tidur-tiduran sambil meratapi nasib.
Lamaran Aiden masih memenuhi kepalanya. Mia jadi tidak nafsu makan dan kehilangan konsentrasi belajar. Bahkan saat mobil Anton masuk ke halamannya, Mia masih tidak sadar.
"Dek?"
Mia menoleh, "Ha?" Ekspresinya kosong. Dia sedang duduk-duduk di sofa ruang tamu tanpa melakukan apapun. Hanya termenung.
"Sakit?" Anton menyeret koper ke ruang tamu, lalu duduk di sebelah Mia. Ia meletakkan telapak tangan ke dahi sahabat adiknya itu. "Nggak panas."
"Mas Anton pernah nggak sih, suka- maksud gue sayang sama orang, tapi nggak mau nikah sama dia?" Tanya Mia tiba-tiba.
Anton mengernyit heran. "Kalo sayang, kalo cinta, bukannya malah pengen nikah? Kecuali kalo secara finansial belum stabil atau kehalang restu orangtua."
Mia menghela napas berat.
"Kenapa, sih? Berantem sama Aiden?"
Mia menggeleng, "Bingung, mas."
"Bingung kenapa? Kan udah direstuin sama abahmu."
"Menurut mas Anton, om Aiden itu orangnya gimana?"
"Layak kok dijadikan suami. Mantap. Tajir."
"Jangan diliat dari tajirnya doang lah, mas! Secara menyeluruh."
Anton berpikir sebentar, "Aku nggak kenal-kenal amat sama dia, dek. Jadi nggak tau mau jawab apa. Kenapa? Kamu tiba-tiba nggak yakin?"
"Bukan tiba-tiba. Dari awal juga udah nggak yakin sama dia."
"Eh, itu gimana ceritanya kalian bisa pacaran? Terakhir kali aku kesini, kalian masih belum ada hubungan apa-apa, kan?"
Mia menggeleng. "Nggak tau, deh. Tiba-tiba dia ngebet minta kawin." Sampai matipun Mia tak akan memberi tahu siapa-siapa kalau Aiden dan dirinya terlibat perjanjian sugar dating.
"Lah terus gimana, tuh? Kan keduluan dilamar, abahmu juga keliatannya bersedia. Kamunya nggak mau, piye?"
"Nggak tau, mas. Pusing."
"Lagian kamu ini kenapa nggak mau? Apa yang bikin kamu nggak sreg sama Aiden?"
"Mas Anton kan tau dia bule. Budayanya jelas beda. Terus-" Mia menggigit lidahnya sendiri. Kalau dia menjelaskan, bisa-bisa penjelasannya berujung pada kontrak perjanjian mereka. Aduh, serba salah sekali.
"Tapi dia keliatan serius sama kamu lho, dek."
"Gue tau. Tapi hati gue ada yang ngeganjel terus, mas."
"Kamu suka dia, nggak?"
"Suka."
"Sayang?"
"Sayang."
"Cinta?"
"Mungkin."
"Yaudah. Nikah, sana!"
"Tapi-"
"Kamu itu mbok ya yang tau diri, dek. Ada cowok yang jelas-jelas mau sama kamu, orangnya baik, mapan, bersedia pindah agama demi kamu doang, terus dateng ngelamar kamu langsung ke orangtuamu. Laki-laki yang model begitu jarang ada, lho. Terus kamu sia-siain." Anton memandangnya dengan tatapan heran, "Kamu ndak liat aku tah? Susah payah bikin Elsa klepek-klepek sama aku. Kamu ndak tau rasanya berjuang, sih!" Lanjutnya.
"Masalahnya ini kecepetan, mas! Gue kenal dia itu nggak lama, lho! Kalo mas Anton kan kenal kak Elsa dari kecil."
"Umur dia berapa?"
"Tiga-lapan."
"Ya wajar lah dia mau buru-buru! Umur dia hampir empat puluh. Bagi seorang bule kayak dia, umur segitu udah masuk usia matang buat nikah. Wajar, dek. Wajar! Masalah kecepetan? Mungkin dia ngeliat budaya di sini yang kalo pacaran pasti ujung-ujungnya bakal nikah. Jarang ada yang tinggal serumah kumpul kebo kayak budaya dia di sana. Nah, biar halal ngapa-ngapain, sekalian aja dinikahin."
"Lah dikira nikah buat begituan doang?"
"Jangan munafik deh, dek. Dia itu mapan, dewasa, umur matang. Apalagi yang dicari kalo bukan temen idup?"
Seandainya Anton kenal Aiden seperti Mia mengenalnya. Apa dia akan berubah pikiran?
"Umurnya serius tiga-lapan, dek? Aku kira seumuran sama aku, lho. Awet muda, ya?"
"Bukan awet muda. Muka lo aja yang kayak bapak-bapak." Timpal Mia.
Anton hampir menjitak kepalanya kalau saja dia tidak melihat raut galau cewek itu.
Lagi-lagi Mia menghela napas. Dia belum dapat solusi dari obrolan panjang lebar dengan Anton.
"Itu ngapain bawa-bawa koper kemari?" Tunjuk Mia pada koper yang dibawa Anton dengan dagu, mengalihkan topik yang hanya akan membuat kepalanya makin pusing jika dibahas.
Anton bangkit berdiri, "Pilihin baju, dek! Aku mau dinner sama Elsa besok."
"Harus banget sampe bawa koper?"
"Kalo difoto doang nggak afdol. Aku pengen tau pendapatmu kalo liat langsung. Soalnya aku juga bawa parfum, bingung yang mana yang mau dipake." Ia mulai membongkar kopernya.
Untuk pertama kalinya hari itu, Mia tertawa geli. "Mau dinner dimana, sih? Makan apa?"
"Ada restoran Jepang kesukaan Elsa, dek. Mau makan di sana."
"Ke restoran Jepang mah pakenya baju santai aja." Mia berjongkok untuk memilih-milih baju yang dibawa Anton.
"Kan dinner, dek."
"Kalo kalian makannya di restoran high class pake segala minum wine ato champagne baru pake baju bagusan dikit. Lagian kak Elsa kan orangnya santai. Asal lo bersih, wangi, pasti dia suka." Mia mengangkat sebuah jas yang terbungkus plastik. "Lo bawa berapa jas dah?"
"Ada lima tadi yang aku masukin. Aku pilih yang bagus-bagus." Anton mengangkat sebuah cardigan berwarna hitam ke wajah Mia. "Pake ini kayaknya aku bakal keliatan pinter, dek."
"Otot lo bikin cardigannya melar ntar. Lagian kapasitas otak orang nggak bisa diliat dari bajunya." Mia menggeleng tak setuju. Ia mengeluarkan sebuah kaos berwarna abu-abu tua berlengan panjang. "Ini aja, nih. Santainya dapet. Ntar lo tarik lengan lo sampe siku. Badan lo pasti cakep pake ini. Ototnya kemana-mana."
Anton menerima kaos itu, "Celananya?"
"Jeans warna gelap. Udah beres."
"Parfumnya?"
Mia yang pada dasarnya hobi mengoleksi parfum langsung memilih parfum yang cocok untuk Anton. Tak butuh waktu lama baginya untuk memilih satu dari beberapa botol yang dibawa dalam koper.
"Ini aja, seger." Ujarnya seraya menyerahkan parfum pilihannya pada Anton.
"Sepatu?"
"Lo bawa sepatu juga? Astaga!" Mia takjub dengan niat Anton.
"Sekalian."
"Lo mau lamar kak Elsa juga besok?"
"Enaknya gimana, dek? Aku udah beli cincin."
Mia jatuh terduduk, "Cepet amat!"
"Aku males diduluin kamu."
Mia mendecakkan lidah sebelum menjawab, "Masa dilamar di restoran Jepang, sih? Kurang romantis!"
"Terus gimana?"
"Umm..." Mia mengetukkan jarinya di sofa. "Weekend besok aja. Ajak ke tempat rame. Terus lo ngelamar pake nari-nari. Flash mob gitu."
"Emang cewek suka dibegituin? Nggak norak?"
Mia menggeleng antusias, "Kagak. Kan seru."
"Nyari orangnya dimana?"
"Gampang. Temen gue ada yang punya studio dance."
"Lokasi?"
"Kebun binatang gimana?"
"Hah? Kebun Binatang Surabaya? Yang bener aja, dek!"
"Sekali-kali ajak kencan liat binatang, dia pasti suka!"
"Aku kok nggak percaya sama kamu, ya? Kalo ditolak gimana?"
"Dicoba dulu! Sapa tau kak Elsa langsung terharu!"
"Terharu? Nangis gara-gara malu yang ada!"
"Udah deh, coba dulu! Gue ikutan jadi peserta flash mob, deh! Gue temenin nari-nari ntar."
"Serius?"
"Iya!"
"Nggak norak?" Anton masih ragu.
"Kagak!"
Akhirnya, setelah pertimbangan yang cukup lama, Anton mengangguk setuju. Mia bersorak dalam hati.
***
Sore itu, Mia dijemput oleh Aiden di depan rumah sakit. Sepanjang perjalanan menuju apartemen Aiden, Mia kelihatan sibuk dengan hpnya. Aiden merasa diabaikan. Padahal sejak kemarin, Mia mengabaikan pesan dan teleponnya. Ia kira Mia sangat sibuk sampai tidak sempat pegang hp. Nyatanya Mia malah kelihatan sulit berpisah dari hp di tangan.
Elsa sudah setuju untuk pergi ke Kebun Binatang weekend ini. Rencana lamaran otomatis dilanjutkan. Selesai mengirim alamat studio tari pada Anton, Mia senyum-senyum sendiri. Ia membayangkan cowok berbadan besar penuh otot seperti Anton menari di Kebun Binatang Surabaya. Sebuah tawa lolos dari bibirnya.
"Kelihatannya ada yang senang." Nada suara Aiden terdengar sedang menyindir.
"Om bayangin ya, mas Anton nari bareng flash mob di kebun binatang." Mia tertawa lagi.
Aiden mengernyit, "Kamu ngerjain dia?"
"Dih. Enggaklah! Saya tuh bantuin mas Anton buat ngelamar kak Elsa."
"Lamarannya pake flash mob?"
Mia mengangguk antusias.
"Ide siapa?"
"Saya, dong!" Mia terdengar amat bangga.
"Kamu yakin Elsa bakal suka?"
"Nggak tau. Dicoba aja. Siapa tau kak Elsa kasian sama mas Anton terus diterima, deh!" Mia kelihatan semangat dengan ide itu.
"Kamu sendiri? Suka kalo dilamar pake flash mob?"
"Suka aja. Nanti saya ikut joget-joget waktu nerima cincinnya."
Aiden tertawa. "Maaf kemarin saya nggak kepikiran buat bikin flash mob."
Senyum Mia lenyap. Yah, kepikiran lamaran lagi kan dia. "Party killer (Istilah: Sebutan untuk orang yang merusak kesenangan)." Dengus Mia.
"What (Apa)?" Aiden masih tertawa.
"Saya tuh dari kemarin udah stress banget mikirin rencana kawin sama om."
"Kenapa stress?"
"Kegelisahan saya belum kejawab."
"Yang mana lagi? Saya kan udah komitmen untuk putus hubungan dengan Rachel."
"Om mau pindah agama?"
"Iya."
"Percaya Tuhannya saya?"
"Sekarang saya percaya. Akhir-akhir ini lagi belajar banyak ke teman-teman saya yang muslim. Dikenalkan ke seorang ustadz baik juga. Saya merasa cocok."
"Ribet nggak kalo nikah di Alois?"
"Well, seperti upacara pernikahan kerajaan pada umumnya."
"Waduh." Mia langsung ngeri sendiri. Pernikahan ala Kate Middleton dan Pangeran William di Inggris sudah terbayang jelas di benaknya. Mia tidak mau diarak keliling kota.
"Akan saya minimalisir."
"Pake diliput TV Nasional?"
"Biasanya begitu."
"Om, kita nikah di sini aja lah! Gampang. Ngurus di KUA, beres."
Aiden mengulum senyum. "Berarti kamu sudah setuju menikah dengan saya?"
"Lamaran om keburu diterima abah. Saya sih nurut-nurut aja. Pengen berbakti. Tapi janji ya sekolahin saya sampe lulus jadi forensik?"
"Whatever you want, chéri (Apapun yang kamu mau, sayang)."
***
Usai mandi, Mia dihias di kamar tamu. Satu tim make up artist yang berisi tiga orang datang ke apartemen Aiden untuk mengurusnya. Ada lima pilihan gaun yang disediakan. Gaun-gaun itu adalah hasil sortiran Alan sebelumnya.
Pilihan Mia jatuh pada gaun berbahan satin warna merah dari Alexander Vaulthier dengan model kerutan di perut. Lengannya panjang dan nampak amat tertutup kalau dilihat dari belakang. Dari depan, belahan dadanya sangat rendah. Begitu juga dengan belahan kakinya yang hampir sampai paha. Mia tertawa dalam hati. Gaun ini harganya mencapai empat puluh lima juta rupiah. Dia habis mem-browsingnya di Internet.
Mia memilih gaun yang ini karena warnanya membuat kulit Mia jadi lebih bersinar. Kalau Abah dan Mamah sampai melihat gaun yang dipakai Mia, mungkin dia akan langsung didepak dari daftar keluarga.
Rambut Mia diikat gaya ekor kuda di belakang kepala. Poninya menutupi dahi. Satu-satunya aksesoris yang ia kenakan hanyalah sebuah kalung berliontin kecil keluaran Tiffany & Co. Untuk alas kakinya, Mia memilih sepasang heels keluaran Jimmy Choo dengan strap di sekeliling mata kaki.
Mia mematut diri di depan cermin besar yang tersedia di kamar. Tim MUA manggut-manggut puas melihat hasil akhirnya. Riasan wajah Mia dibuat tidak terlalu tebal agar semua orang yang melihatnya dapat fokus pada gaun yang ia kenakan. Mereka lebih banyak menggunakan make up untuk menutupi bekas memar di sekeliling wajah dan leher Mia.
Pintu kamar diketuk dari luar. Tim MUAnya langsung berpamitan setelah membereskan peralatan mereka. Mia mengucapkan terima kasih. Di pintu, Aiden sudah menunggunya keluar. Cowok itu nampak luar biasa keren dengan tuksedo hitam. Wajahnya dicukur tipis dan jadi lebih rapi. Warna mata Aiden kelihatan begitu mencolok di bawah cahaya lampu.
"Chéri." Suara Aiden tercekat. Ia menatap Mia tanpa berkedip. "You look... perfect."
Mia tersenyum. Jangankan Aiden, dia sendiri-pun sangat puas dengan penampilannya malam ini. Seperti wanita berkelas.
"Cantik?" Tanya Mia.
"More than just beautiful." Pujian yang dikatakan Aiden dengan suara rendah membuat bulu kuduk Mia berdiri. Mendadak dia jadi malu sendiri.
Aiden mengulurkan satu tangannya untuk Mia. Berkat heels yang ia kenakan, sekarang tinggi Mia sudah agak mendingan. Jadi setinggi bahu Aiden. Lumayan. Tidak terlihat terlalu ekstrim perbedaannya.
***
Gala malam ini adalah acara makan malam amal yang dihadiri oleh kalangan konglomerat. Orang-orang yang datang kemari selevel dengan Fabian Wendra Hartono, dan Regina Atmodjo a.k.a Regie Tan. Oh iya, ditambah Aiden Delavega juga. Sayangnya kedua orang itu tidak kelihatan hadir di sini.
Tangan Mia tak ingin lepas dari lengan Aiden. Cowok itu berkeliling menyapa orang-orang yang dikenalnya dan berbincang dengan mereka menggunakan bahasa asing yang Mia tak mengerti artinya. Terkadang bahasa Perancis, terkadang bahasa Mandarin, terkadang bahasa Jerman. Cewek itu merasakan otot pipinya sudah sangat kaku karena kebanyakan senyum. Perutnya lapar. Ia menyesal tadi tidak mau makan roti yang ditawarkan oleh Aiden waktu di mobil.
"Aiden," Seorang wanita mendekat ke arah mereka. Wajahnya dipenuhi senyum saat menyapa Aiden, membuatnya kelihatan cantik sekali.
Rambut hitam wanita itu dibiarkan tergerai di belakang kepala, lurus dan lembut. Dia sudah mirip seperti model iklan shampoo. Tubuhnya tinggi semampai. Kulitnya putih bersih. Kedua matanya dipasangi lensa kontak warna coklat. Gaunnya berbahan sutra warna putih dengan ikatan halter bergaya monaco di leher.
"Rachel." Sapa Aiden.
Mia hampir tersedak ludahnya sendiri ketika mendengar nama itu dari bibir Aiden.
Jadi ini si partner ngangetin ranjang om Aiden?
Astaga naga, cakep bener!
"Apa kabar?" Rachel mencium pipi kiri Aiden.
"Baik. Kamu?"
"Baik juga." Rachel menarik dirinya menjauh. Kedua ujung bibirnya menekuk ke bawah, "Kamu nggak pernah ngehubungin aku lagi. Sibuk, ya?" Ia menyentuh lengan Aiden, sesekali mengusapnya, menunjukkan gestur intim.
"Lumayan." Aiden hanya tersenyum tipis sebelum memandang Mia. "Kenalkan, ini Amelia."
Mia mengulurkan satu tangannya sambil tersenyum. Rachel membalas uluran tangannya. Wanita itu memandang Mia dari kepala sampai kaki, menilai.
"Ini siapa?" Rachel lebih dulu melepas jabatan tangan mereka. Ia bertanya sambil memandang Aiden. Padahal Mia juga punya mulut untuk menjawab.
"Calon istri." Jawab Aiden singkat.
Dahi Rachel berkerut, "Bercanda kamu."
Aiden masih tersenyum tipis, "Nggak."
"Hmm. Oke." Setelah itu Rachel pergi menyapa tamu yang lain.
Mia hanya bisa mengerjap bingung. "Apaan tuh maksudnya?"
"Jangan terlalu dipikir." Aiden menepuk-nepuk satu tangan Mia yang masih melingkar di lengannya.
"Itu Rachel Mawar?" Mia ingin memastikan lagi.
Aiden mengangguk singkat.
"Sudah putus belum?" Mia masih penasaran.
"Saya memperkenalkan kamu ke dia. Jadi secara otomatis berakhir."
"Kalo besok-besok ada drama sama Rachel, saya nggak akan tinggal diam terus nangisin om. Habis gebukin dia, saya mundur."
Aiden mendengus, "Nggak fair, chéri. Dilihat dulu masalahnya apa."
"Oke, ralat. Habis gebukin dia, kita bicara baik-baik. Saya ogah urusan sama pelakor."
"Pelakor itu apa?"
"Perebut laki orang."
"Saya laki kamu?"
"Lah, pake nanya. Jadi kawin nggak nih?"
Aiden tertawa.
***
Acara Gala yang dihadiri Mia tidak terlalu berkesan. Setelah makan malam dengan hidangan mewah, ada lelang barang antik yang hasilnya akan disumbangkan ke yayasan-yayasan tertentu. Aiden menyumbang beberapa ratus ribu dollar untuk sebuah guci antik. Guci itu akan dikirimkan besok ke kantornya sebagai hiasan lobi.
Mia tidak makan banyak.
Bagaimana mau makan banyak, porsinya sedikit sekali.
Alhasil, Mia meminta Aiden drive-thru ayam goreng untuk dimakan di apartemen. Malam ini Mia akan menginap di tempat Aiden.
"Amelia." Mia yang awalnya semangat untuk menyeberangi ruang tamu menuju dapur jadi menghentikan langkahnya. Satu tangannya membawa paper bag berisi ayam goreng dan burger ukuran besar, sedangkan tangan yang lain membawa tas Hermes.
"Ya?"
"Umm, bisa bicara sebentar?" Tanpa menunggu respon Mia, Aiden duduk di sofa ruang tengah yang biasa ia gunakan bekerja.
"Kalo mau ngomong tinggal ngomong aja kali." Mia berjalan menghampiri Aiden. "Kenapa?" Kali ini ia duduk di sebelah Aiden.
Di lain pihak, Aiden justru bangkit berdiri. Ekspresinya agak aneh. Mia jadi bingung sendiri.
"Om habis bikin salah, ya?"
Aiden menggeleng.
"Kok gelisah?"
Aiden menghela napas. Satu tangannya merogoh kantong dalam jas, lalu mengambil sesuatu dari sana.
"Saya nggak sempat bikin acara flash mob karena udah nggak sabar ngasih ini ke kamu." Aiden berjongkok dengan satu kaki di depan Mia.
"Lah, ngelamar lagi? Kan kemarin udah?" Mia keheranan.
"Cincinnya baru jadi tadi." Aiden membuka tutup kotak yang ia bawa. Kotak itu berisi sebuah cincin permata.
"Berlian?"
Aiden terkekeh karena pertanyaan itu, "Kamu suka?"
"Ini lamaran ter- 'nggak ngagetin' yang pernah saya alamin." Mia mengambil cincin itu dari wadahnya untuk diamati.
"Maaf. Saya nggak jago bikin surprise."
"Iya, udah keliatan." Mia memasang sendiri cincin itu di jari manisnya. Tangannya terangkat ke udara untuk mengecek seberapa berkilau cincin ini kalau terkena cahaya. "Cantik, nggak?"
"Kamu selalu cantik."
Mia tersenyum tipis. "Modus terus."
Aiden tertawa. Ia bangkit berdiri dan menghembuskan napas lega karena lamarannya diterima. Ia mengecup puncak kepala Mia.
***
Sadar nggak kalo selama ini kalian lebih banyak baca dari sudut pandang Mia, bukannya Aiden?
Sabar, ya...
Habis ini kita jalan-jalan ke Alois. Baru deh bisa ngintip kehidupan Aiden yang selama ini jarang dibahas.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top