25 | KATA ABAH HAJI

Peserta makan malam hari ini memang tidak sebanyak saat acara lamaran dengan Doni waktu itu, namun entah kenapa malah berhasil membuat Mia berkeringat dingin lebih daripada kemarin. Semua orang ngobrol akrab, hanya dirinya yang diam seribu bahasa.

Mama Ullie-Anton dan Mamah Mia saling bercerita tentang anak-anak mereka, sesekali dicampur dengan pembahasan tentang makanan khas daerah masing-masing. Anton makan lahap sambil main hp dan senyum-senyum sendiri, kelihatannya sedang bertukar pesan teks dengan Elsa. Lain halnya dengan Abah dan Aiden yang sedang membahas tentang budidaya ikan Arwana. Belakangan Abah suka sekali dengan ikan itu. Beliau berencana untuk membudidayakan ikan Arwana sebagai pengisi waktu luangnya selama pensiun.

Mia hanya memutar-mutar sendok di piring. Dia tidak nafsu makan. Padahal Hj. Uway sudah memasakkan kepiting saus padang kesukaannya. Jumlah kepitingnya juga sudah bertambah. Pasti tadi siang Abah dan Mamah ke pasar. Udang yang dipesan Aiden tidak jadi dipanggang, melainkan dimasak dengan mentega serta bawang putih. Aiden sudah habis lima ekor. Dia benar-benar suka udang.

Mia menghela napas berat.

"Ada apa?" Aiden yang duduk di sebelahnya langsung bertanya. Ia sadar kalau Mia tiba-tiba diam sejak pulang dari rumah sakit.

Mia menggeleng. "Nggak nafsu makan. Ngantuk. Pengen bir." Bisik Mia.

Anton menyenggol lengannya, "Orang ngantuk minum kopi. Kamu malah bir, kebiasaan."

Mia menghela napas berat lagi. "Dibuang, mas?"

Anton menggeleng, "Tak simpen di bagasi mobil."

"Kena panas ntar meledug lah, mas!" Mia heran dengan cara berpikir Anton yang suka nyendat-nyendat. "Kan ada alkoholnya!" Mereka ngobrol sambil berbisik, takut ketahuan H. Moris.

"Iya nanti aku keluarin, tenang aja." Anton balas berbisik.

"Apa yang dikeluarin?" Mama Ullie bertanya.

Jantung Mia hampir copot saat mendengarnya. Seisi meja makan jadi hening. Semoga mulut Anton bisa diajak kerjasama dan tidak asal nyeplos terlalu jujur seperti Ullie, adiknya.

"Nggak, ma. Si Mia anu..." Anton gelagapan.

Mia menunduk dalam-dalam, otaknya lagi tidak ada inspirasi untuk menciptakan sebuah kebohongan.

"Oleh-oleh." Ujar Aiden tiba-tiba. Semua orang menatapnya. "Tadi saya minta tolong Anton untuk ngeluarin oleh-oleh buat kalian semua dari mobil."

"Ohh..." Mama Ullie melanjutkan makan.

Mia masih memandang Aiden. "Kapan beli oleh-oleh?" Ia heran karena tadi mereka tidak mampir kemanapun untuk beli oleh-oleh.

"Saya minta asisten saya untuk beli kue tadi siang. Terus saya baru ingat sekarang."

"Waduh, mah." Kedua mata H. Moris agak menyipit saat melihat layar hp di tangannya. "Penerbangannya lebih cepat besok. Jam lima pagi." Lanjut Abah.

"Wah, nggak sempat beli oleh-oleh." Hj. Uway kelihatan kecewa.

"Ada kue di mobil, itu aja oleh-olehnya." Cetus Mia.

"Biar saya ambilkan." Anton sigap berdiri, menganggap itu adalah waktu yang tepat untuk memindahkan bir-bir Mia ke tempat lain.

"Ngomong-ngomong, Aiden kapan mau bawa keluarganya ke Sampit?" Tanya Hj. Uway.

Mia menggaruk pelipisnya. Sejujurnya sampai detik inipun dia masih bingung harus menerima lamaran Aiden atau tidak. Dia memang suka Aiden, tapi perbedaan mereka berdua agak mustahil untuk diabaikan. Mia tidak mau terlena hanya gara-gara cinta. Jadi budak cinta dr. Irwan seperti kemarin sudah cukup jadi pelajaran. Tidak akan ada kedua kali.

"Saya berencana untuk mengajak Amelia ke kampung saya dahulu." Jawab Aiden.

"Singapura?" Kali ini Abah yang bertanya.

Aiden tersenyum kecil, "Bukan. Alois."

Mia sontak menoleh. Terkejut.

Ini Alois, lho. Kok Aiden buka asal-usulnya?

"Alois itu dimana, ya?" Tanya Abah lagi. Semua orang selain Mia saling pandang.

"Di dekat Perancis. Itu pulau kecil, kok. Memang jarang yang tahu."

"Are you serious (Om serius)?" Tanya Mia dengan nada rendah.

"You need a proof of my sincerity (Kamu butuh bukti ketulusan saya). I give my all to you (Saya kasih semua ke kamu)." Jawab Aiden dengan ekspresi yang sulit diartikan. Mia agak terperangah karena kali ini sepertinya Aiden serius. Kalau sampai membahas Alois ke orang asing, tandanya Aiden sudah benar-benar serius. Gawat.

Mia menelan ludah.

Sekarang bagaimana?

"Kapan rencananya kalian berangkat? Mia nggak boleh pergi sendirian."

"Saya berencana mengajak Amelia ke Alois kalau dia sudah pindah ke stase radiologi, supaya nggak terlalu sibuk ngurusin tugas. Keluarga besar saya tidak sabar ingin bertemu dengan Amelia. Saya juga berencana menawarkan ke Anton untuk menemani Amelia, mengingat mereka berdua dekat seperti kakak adik. Itupun kalau tidak ada yang keberatan."

Anton? Dapat kesempatan liburan gratis?

"Loh ya jelas mau dong, aku! Tinggal bilang kapan berangkat!" Anton nyengir lebar.

"Tempatnya jauh?" Kali ini Hj. Uway yang bertanya.

"Dari sini butuh waktu sekitar dua puluh jam perjalanan naik pesawat komersil. Saya ada pesawat pribadi, kok. Jadi transitnya nggak lama-lama."

Kedua mata Mama Ullie dan Hj. Uway membelalak.

"Wong sugih tibak e (Ternyata orang kaya)." Komentar Mama Ullie.

"Rejeki anak bungsu." Gumam Hj. Uway.

"Harus ada perempuan yang menemani." Ujar H. Moris dengan nada datar, terlihat keberatan kalau harus melepas anak bungsunya pergi ke negeri asing sendirian.

"Bawa Ullie gimana?" Tawar Anton.

"Aduh, jangan! Pamali bawa pengantin baru! Masa ninggal suaminya. Kasihan." Hj. Uway buru-buru menolak.

"Kalo Elsa?"

"Nah, iya bener. Elsa aja! Elsa itu saudara kembar sahabatnya Anton. Psikolog. Mia juga kenal akrab kok sama dia." Mama Ullie sumringah dengan ide itu.

Kalau ini sih, si Anton yang cari-cari kesempatan.

"Gimana, bah?" Hj. Uway meminta keputusan akhir suaminya.

"Yasudah, boleh. Tapi jangan pergi lama-lama. Mia belum selesai koas." Ujar H. Moris akhirnya.

Sedari tadi Mia hanya mengamati mereka. Batinnya masih bergejolak.

***

H. Moris dan Hj. Uway tidak menginap. Mereka berdua kembali ke hotel karena takut besok bangun kesiangan dan ditinggal pesawat. Aiden yang mengantarkan mereka berdua sampai ke hotel.

Anton dan Mamanya juga sudah pergi dari tadi.

Hanya tinggal Mia seorang di rumah itu.

Ia mengunci pagar lalu menutup pintu rumah sambil mendesah lesu. Galau sekali hatinya. Lepas dari Doni, malah diajak nikah om-om bule yang jadi sugar daddynya. Padahal mereka belum lama kenal. Latar belakang Aiden juga masih banyak yang patut dipertanyakan. Segala hal tentang Aiden masih misterius. Ditambah, Mia belum siap menikah.

Hpnya berbunyi tanda notifikasi pesan masuk. Saat Mia mengecek ternyata sebuah pesan dari Abah yang berisi bukti transfer uang bulanannya. Mia hanya membalas singkat dengan ucapan 'terima kasih'.

Mia pergi ke dapur untuk mencuci piring kotor bekas makan malam. Dapurnya tidak berantakan karena Hj. Uway adalah orang yang paling anti ribet saat memasak.

Saat membuka kulkas, Mia melongo karena mendapati isinya penuh bahan makanan. Ada berkotak-kotak jus dan susu di sana. Sayuran, buah, vitamin, kue, telur, frozen food yang mudah dimasak juga ada. Mia menutup kulkas untuk mengecek sekeliling. Ada beras sekarung yang baru dibeli. Galon air juga penuh, bahkan ada tambahan satu galon baru lagi sebagai jaga-jaga kalau yang satunya habis tapi tidak sempat beli. Ada lima kotak sereal berbeda merk tersimpan di dalam kabinet untuk sarapan jika Mia tidak sempat masak. Bumbu masakan juga lengkap.

Mia terharu. Ia langsung menangis karena orangtuanya begitu perhatian.

Tak lama, ia sudah sesenggukkan sambil berjongkok di depan kulkas. Perasaannya benar-benar campur aduk.

***

Aiden menyalakan lagu dengan volume rendah di mobilnya selagi ia menyetir. Semata-mata agar suasana di dalam mobil tidak terlalu sunyi. Tanpa bisa dicegah, ia merasa agak gugup juga.

"Kalian sudah kenal lama?" Tanya Abah di sampingnya.

"Baru hitungan bulan." Jawab Aiden jujur.

"Kok yakin amat mau nikahin Mia?"

Aiden tersenyum kecil, "Saya sudah suka dia sejak pertama kali bertemu. Kepribadiannya menarik. Karena sering bergaul, akhirnya timbul rasa sayang. Saya nggak bisa cegah perasaan saya sendiri. Saya serius dengan Amelia karena saya khawatir dia dijodohkan lagi."

"Kalian bertemu dimana?"

"Di Swiss. Waktu resepsi adiknya Anton."

Abah menoleh ke belakang, ke arah istrinya. "Mia pernah ke Swiss, mah?" Istrinya menggeleng tidak tahu.

"Nggak pernah pamit, tuh." Jawab sang istri.

Pasangan itu geleng-geleng kepala. Sifat Mia yang semaunya sendiri memang masih belum hilang. Aiden yang baru sadar telah melakukan kesalahan karena keceplosan tidak tahu lagi harus mengatakan apa. Mau berbohong kok rasanya terlalu kurang ajar.

"Mia itu anaknya keras. Susah diatur. Kalau kamu mau jadi suaminya, harus siap dengan sifat dia yang itu." Lanjut Abah pada Aiden.

Aiden mengangguk.

"Intuisi Mia kuat. Dia diberkahi otak yang cerdas dan intuisi yang tajam. Mia selalu yakin dengan pilihannya." Abah memandang Aiden, "Jadi kalo suatu saat saya melihat ada keraguan dari sikap anak saya terhadap kamu, tanpa dimintapun kami akan mengambil lagi anak kami, apapun yang terjadi. Mengerti maksud saya?"

Aiden menelan ludah, "Iya, saya mengerti."

"Kemarin kami kecolongan dengan Doni. Padahal Mia sudah bersikeras tidak mau dijodohkan dengan dia."

Aiden tidak merespon. Tidak tahu juga mau merespon apa.

"Kalau kalian menikah, dimana rencananya kalian akan tinggal? Kewarganegaraanmu sebenarnya Singapura atau Alois?" Lanjut H. Moris.

"Sejujurnya saya masih punya paspor Alois. Saya tinggal di Singapura untuk bisnis saja."

"Jadi Mia harus jadi penduduk Alois dulu, atau kamu yang pindah jadi orang Indonesia?"

"Saya belum bicarakan itu dengan Amelia. Tapi saya punya keinginan pribadi agar Mia pindah kewarganegaraan. Kondisi keluarga saya agak rumit."

Abah sontak menoleh, "Saya nggak suka ada drama keluarga. Nanti anak saya susah beradaptasi bagaimana?"

Aiden menghela napas, "Kami akan bicarakan secepatnya. Apapun hasilnya, bapak dan ibu akan segera dikabari."

"Keluargamu memangnya kenapa?" Kali ini Hj. Uway yang penasaran.

"Alois itu negara yang masih bersistem semi-monarki. Kepala pemerintahannya Perdana Menteri, sedangkan kepala negaranya adalah seorang Pangeran. Kebetulan saya adalah sepupu tertua Pangeran Bastien."

"Ya Allah, maksudnya kamu ini anggota kerajaan??"

Jantung Aiden berdegup kencang. Ia cemas sekali kalau orangtua Mia batal merestuinya. Tapi tidak ada gunanya berbohong atau menutupi tentang silsilah keluarganya. Cepat atau lambat mereka semua akan tahu. Lebih baik tahu sekarang daripada nanti. Meminimalisir keterkejutan.

Aiden hanya bisa mengangguk kaku.

"Nikah sama bangsawan bukannya ribet, pah?" Ekspresi Hj. Uway sudah nampak gelisah.

"Saya sudah berjanji pada Amelia untuk meminimalisir kerumitannya. Jadi saya harap bapak dan ibu tidak perlu khawatir." Jantung Aiden berdegup makin kencang.

"Apa pendapat Mia mengenai status kamu?" Kali ini Abah Mia yang bertanya.

"Dia tidak kelihatan terkejut, karena Amelia mencari tahu sendiri tentang latar belakang saya."

"Yasudah kalau begitu."

"Ya sudah gimana, pah? Mamah nggak siap punya besan dari keluarga kerajaan." Hj. Uway masih kelihatan gelisah.

"Nggak apa-apa, mah. Mia pasti tahu resikonya. Buktinya dia bersedia dinikahin. Jadi pasti dia sudah mempertimbangkan pilihannya matang-matang."

"Waduh, Mia ini punya amalan apa kok sampai nemu calon dari keluarga bangsawan. Mamah kada tahu inya neh ketulahan atau malah perejekian (Mamah nggak ngerti Mia itu sebenarnya kena karma atau malah dapat rejeki)." Hj. Uway ngomel sendiri.

Lagi-lagi, Aiden tidak tahu harus merespon apa.

***



Kerasa dikit, ya?
Makanya hari ini aku kasih 2 bab.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top