23 | THAT'S IT
Mumpung sempat, jadi dipercepat.
***
Mia berjalan di depan, membelah kerumunan pasar yang ramai. Aiden berjalan di belakangnya, sudah membawa beberapa kantong belanjaan berisi sayur, tempe, dan tahu. Sosok Aiden yang bule dan tinggi besar mengundang decak kagum dan tatapan heran pengunjung pasar. Tidak jarang para penjual meminta Aiden untuk mampir ke lapak mereka. Jika Mia menggeleng sebagai isyarat, Aiden menolak mereka dengan senyuman.
"Makan malam pake kepiting saus padang mau, om?" Tanya Mia. Mereka berhenti di depan penjual kepiting dan udang. Produknya segar-segar.
"Terserah kamu, chéri."
"Sip." Mia mengangguk. "Bang, kepiting sekilo yang ada telurnya." Ia langsung menunjuk kepiting yang jadi incaran.
"Sekilo dapet dikit, mbak. Cuma dua, lho." Ujar si pedagang.
"Ya tau. Cuma buat dimakan berdua, bukan buat sekecamatan." Tukas Mia. Pedagang itu hanya nyengir, niat promosi biar pelanggan beli banyak langsung gagal.
"Saya juga mau udang. Dipanggang." Aiden menunduk agar bisa berbisik di telinga Mia.
Mia jelas merinding karena hembusan napas Aiden menggelitik daun telinganya. Jantungnya berdegup kencang. Om bule ini tidak peka. Dia tidak tahu kalau Mia rentan jatuh cinta.
"Udang juga, bang. Yang gede." Ujar Mia pada si penjual.
"Sekilo, mbak?"
"Kebanyakan. Setengah aja. Kasih murah, biar besok saya beli di sini lagi."
"Beres, mbak." Si penjual menimbang pesanan Mia. "Sama suaminya, mbak?"
"Mana?"
"Lah itu? Bule."
"Bukan. Saya simpenannya."
"Lahh??" Si penjual hampir menjatuhkan kepiting dari timbangan. "Bener, mbak?"
"Kagak. Buruan, ah." Mia mengeluarkan uang dari dalam dompet lalu menyerahkannya pada si penjual.
"Saya doain langgeng, mbak."
"Aminnn!" Benak Mia juga ikut mengamini kencang-kencang.
Aiden hanya mengulum senyum karena mendengar obrolan Mia dengan penjual kepiting.
***
"Buset, buset!" Mia setengah memekik dengan tubuh condong ke depan ketika melihat pagar rumahnya terbuka lebar. Mobil Anton ada di halaman.
Tidak, bukan Anton yang membuatnya terkejut. Anton memang punya kunci pagar rumah Mia.
Yang membuat Mia bereaksi seperti itu adalah karena kedatangan orangtuanya.
Orangtuanya ada di Surabaya!
Saat ini mereka sedang duduk-duduk di teras rumah bersama Anton.
"Mati gue." Mia melepas sabuk pengaman lalu turun dari mobil agak tergesa.
Mia mengamati wajah kedua orangtuanya. Kira-kira mereka datang dalam keadaan marah atau tidak.
"Abah, mamah. Kok nggak telpon kalo nyampe sini?" Mia buru-buru mencium punggung tangan kedua orangtuanya bergantian. Jantungnya hampir melompat-lompat karena mengantisipasi apa yang akan terjadi.
"Habis jenguk orang sakit. Sekalian mampir." Sahut Hj. Uway. "Tadi mampir dulu ke rumah Ullie. Mas Anton yang nganter kami ke sini." Tatapan Mamah Mia tertuju pada sosok di belakang anaknya yang sedang membawa kantong plastik belanjaan.
"Selamat pagi." Aiden agak menundukkan tubuhnya yang tinggi untuk menyapa orangtua Mia.
"Kok barengan? Abis darimana?" Pertanyaan Anton -si manusia paling tidak peka semuka bumi- mengundang kernyit di dahi H. Moris dan Hj. Uway.
Masih pagi loh ini. Kehadiran sosok Aiden sepagi ini di rumah gadis single seperti Mia pantas dipertanyakan.
"Abis jaga malam. Om Aiden jemput Mia di rumah sakit. Terus kita ke pasar." Mia menatap Anton dengan tajam. Ekspresinya langsung berubah ketika memandang orangtuanya lagi. "Mamah sama abah nginep dimana? Kapan nyampe Surabaya?"
"Nyampe tadi malam. Rara bilang kamu lagi jaga malam, jadi takut ganggu. Abah sama mamah nginep di hotel dekat bandara."
Semalam Rara memang sempat mengiriminya pesan singkat tentang pertanyaan seputar jadwal Mia di rumah sakit. Tapi kakaknya itu tidak memberitahunya kalau Abah dan Mamah ke Surabaya. Kebiasaan nggak ada inisiatif.
Mia buru-buru membuka pintu rumah yang terkunci. Anton tidak bawa kunci serepnya, jadi mereka menunggu Mia datang sambil duduk-duduk di teras.
"Kamu siapanya Mia?" Abah, sosok yang sejak tadi diam, memandang Aiden dari kepala sampai kaki.
"Temen Mia, bah." Mia buru-buru menjawab.
Aiden memindahkan semua belanjaan ke tangan kiri agar bisa menjabat tangan H. Moris. "Nama saya Aiden. Saya pacar Amelia."
Astaghfirullohaladzim.
Mia ingin pingsan saat itu juga. Ia sampai bersandar pada pintu agar tidak jatuh merosot ke lantai. Anton memandangi mereka berdua bergantian.
"Pacar?" Abah tidak langsung membalas uluran tangan Aiden. Ia memandang anak bungsunya. "Sejak kapan kamu punya pacar di Surabaya?"
"Belum dua bulan." Aiden yang malah menjawab. Cowok itu menurunkan tangannya lagi. Wajahnya masih tersenyum.
Mia justru ingin menangis.
***
Di dapur, Mia menyiapkan minuman untuk semua orang di bawah tatapan Hj. Uway. Sejak tadi Mia menunduk, tak berani mengangkat kepala. Kacamata hitamnya masih setia bertengger di pangkal hidung.
"Kenapa pake kacamata di rumah?" Akhirnya Hj. Uway bertanya.
"Kalo kacamatanya dibuka nanti pian sarek (mamah marah)." Jawab mia dengan suara lirih. Ia agak salah tingkah, sesekali melirik Aiden yang sedang disidang oleh Abah didampingi Anton di ruang tamu.
"Kenapa memang?"
"Doni belum ngasih tau?" Mia justru balik bertanya.
Hj. Uway menggeleng, membuat Mia memaki Doni dengan sumpah serapah yang dikuasainya dengan fasih dalam hati.
"Ada apa, nak?" Hj. Uway mencium sesuatu yang tidak beres.
Mia menghela napas berat. "Bakal Mia ceritain. Duduk depan yuk, mah!"
Setelah teh panas terhidang di atas meja, dan Mia duduk di sebelah Aiden, barulah pembicaraan dimulai lagi.
"Sekarang abah mulai mengerti kenapa kamu menolak dijodohkan." Ujar H. Moris, wajahnya masih kecut.
Mia sempat mencuri dengar pembicaraan antara Abah dan Aiden. Kebanyakan didominasi oleh wawancara tentang identitas dan asal-usul Aiden. Seperti yang sudah-sudah, Aiden selalu menjawab pertanyaan dengan netral. Ia tidak mengungkit Alois atau gelar bangsawannya sama sekali. Dia hanya bilang kalau dia seorang kontraktor listrik yang berbasis di Singapura.
"Kenapa pake kacamata di rumah?" Abah akhirnya merasa heran dengan tingkah Mia yang tidak biasa.
Aiden memandangnya, dia tidak akan berkompromi lagi. Terserah Mia mau menutupi insiden dengan Doni atau tidak. Apapun keputusan cewek itu, Aiden akan membantunya. Mia melirik Aiden sebentar, mencari dukungan. Cowok itu mengangguk samar.
Setelah menghembuskan napas dalam-dalam, akhirnya Mia menurunkan kacamatanya.
Orangtuanya terkesiap melihat sebelah mata Mia berwarna gelap. Kondisinya sudah tidak bengkak seperti hari pertama. Namun tetap saja memprihatinkan.
"Ya Allah, nak. Kamu ikut tawuran dimana lagi?" Hj. Uway kelihatan hampir menangis, dia kecewa melihat anak bungsunya ternyata belum taubat.
Mia buru-buru menggeleng. "Mia emang berantem tapi bukan tawuran."
"Terus kenapa mukamu begitu? Berantem sama siapa?" Wajah H. Moris sudah memerah, naik pitam.
"Berantem sama Doni. Kemarin gigi Mia rontok satu gara-gara ditampar. Ya Mia bales lah, eh malah kena tonjok. Pelipis Mia dijahit. Om- maksudnya, pacar Mia yang anter Mia ke dokter." Mulut Mia fasih melaporkan apa yang terjadi beberapa hari lalu.
Hj. Uway memegangi dada, mendadak agak sesak. Mia merasa bersalah harus menjelaskan ini pada orangtuanya.
"Kurang ajar..." Tangan Abah sudah mengepal. "Berani-beraninya dia main kekerasan sama anakku?!" Suara H. Moris menggelegar. Wajah Anton juga ikutan mendung.
"Mia udah matahin hidungnya kok, bah." Cicit Mia, keder juga dia melihat Abah ngamuk.
"NGGAK CUKUP!" H. Moris sontak berdiri.
"Tenang dulu." Anton ikut berdiri untuk menenangkan Abah Mia.
"Saya sudah bereskan sisanya." Tiba-tiba Aiden bersuara.
Semua orang menatapnya, menunggu.
"Amelia tidak ijinkan saya untuk melakukan sesuatu yang merugikan kedua keluarga. Saya meminta bantuan seseorang untuk membuat Doni dimutasi ke daerah yang jauh." Lanjut Aiden.
Mia terkejut bukan main. "Kemana?"
Aiden mengedikkan sebelah bahu sambil memandang Mia, "Daerah rawan konflik. Pangkatnya juga diturunkan. Kamu bilang kamu nggak mau membuat karir Doni hancur di Angkatan Laut. Saya nggak menghancurkannya."
"Se-sejak kapan?"
"Sejak tadi malam. Seharusnya hari ini kalian akan dapat kabar tentang mutasinya."
Mia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Entah bagaimana perasaannya saat ini. Ia merasakan bahunya diremas pelan oleh Aiden.
"Kalau ini membuat kalian lebih baik, tadi malam Doni sudah dapat pelajaran dari beberapa seniornya. Ketahuan memukul rakyat sipil cukup memberatkan kasus Doni. Mungkin itu sebabnya Doni tidak sempat menghubungi kalian. Dia sibuk mengatasi masalahnya sendiri."
Abah kembali duduk di atas sofa. Ia geleng-geleng kepala sambil menatap anak bungsunya. "Kami tidak mengira kalau Doni sekasar itu sama kamu."
Mia mengangkat kepalanya. Ia tersenyum sendu. "Mia bisa jaga diri kok, bah. Cuma ya... karena berantemnya sama Angkatan aja makanya muka Mia bonyok begini."
Hj. Uway sudah terisak-isak. Ia membuka kedua lengannya lebar-lebar untuk memeluk Mia. Si bungsu itu merasa tak enak karena membuat orangtuanya sedih.
"Kenapa kada bepadah (Kenapa nggak bilang), nak?" Tanya Hj. Uway sembari mengusap punggung Mia, mengasihani anaknya.
"Mia kira abah sama mamah bakal belain si Doni. Kan kemarin semangat banget jodohin kami."
Mia mengaduh karena kepalanya tiba-tiba dijitak, "Mana ada orangtua yang rela anaknya dibeginikan?!" Omel Hj. Uway, masih sambil menangis tersedu-sedu.
"Perjodohan kalian batal." Abah bertitah.
Mia bersyukur dalam hati mendengar itu. Tapi ia tidak mungkin jingkrak-jingkrak bahagia.
H. Moris menghela napas berat sebelum melanjutkan, "Kami yang akan selesaikan masalah kalian di Sampit. Kamu nggak perlu pulang. Selesaikan saja koasmu. Pokoknya perjodohan kalian batal."
Mia mengangguk. "Mia boleh lanjut sekolah, bah? Jadi forensik, ya?"
"Enggak."
Mia langsung cemberut. Ia menatap Aiden, berharap kalau ATM berjalannya tidak berubah pikiran untuk membiayai sekolah Mia sampai lulus. Aiden mengulum senyum, geli sendiri karena menganggap lucu interaksi mereka.
"Kamu, Aiden." Ujar Abah. Semua orang memandang ke arah H. Moris. "Apa tujuan kamu mendekati anak saya? Saya nggak suka kalian pacar-pacaran."
Nah, loh.
Selama ini orangtua Mia tidak tahu kalau anak bungsunya punya delapan mantan kekasih. Maklum, Mia kan pacaran sembunyi-sembunyi.
"Saya berencana menikahi Amelia. Itupun kalau Amelia dan keluarga tidak keberatan." Jawab Aiden mantap.
Sudah ngaco nih bule. Sinting.
"ARE YOU NUTS (Gila, ya)?!" Mia memekik dalam bahasa yang tidak dimengerti orangtuanya. Senaksir-naksirnya Mia pada Aiden, prospek menikah dengan bule itu belum masuk daftar cita-citanya dalam waktu dekat.
"Calm down, chéri (Tenang dulu, sayang)." Aiden memandangnya.
"We can't get married (Kita nggak bisa nikah)!"
"Yes, we can. It'll go by an agreement (Bisa, dong. Nanti bikin perjanjian)."
"You're crazy (Bener-bener sinting). I'm not doing it (Saya ogah)!" Mia hampir menggetok kepala Aiden dengan sepatunya, biar bule itu lekas sadar.
Aiden masih tersenyum di depan orangtua Mia. "We will do it (Kita akan melakukannya). For your future's sake (Demi masa depan kamu). Forensic, remember (Jadi forensik, ingat)?"
Anton berdeham. Dia jelas paham apa yang sedang Mia dan Aiden perdebatkan.
"Kalian ini ngomong apa, sih? Was wes was wes, kami nggak ngerti. Pake bahasa Indonesia yang baik dan benar!" Tegur H. Moris pada keduanya.
Mia mendengus. Terserah lah! Silahkan urus sendiri!
"Maaf, pak. Mia agak terkejut karena saya melamar dia pake cara yang nggak romantis." Aiden ngeles dengan lancar jaya, membuat Mia makin gencar ingin menggetok kepalanya.
"Bukan cuma anak saya. Kami juga terkejut." Abah memandang mereka berdua bergantian. "Mia hanya boleh menikah dengan laki-laki seiman."
That's it. Bom dijatuhkan. Mia dan Aiden tidak berjodoh.
"Saya akhir-akhir ini sedang belajar tentang Islam." Sahut Aiden.
Astaga. Kualat lo om ngibulin orangtua. Mana bawa-bawa agama, lagi. Mia menatapnya tak percaya.
Abah justru manggut-manggut, tidak menyadari gejolak batin yang sedang anak bungsunya rasakan. "Bagus itu. Saya kagum dengan keinginan kamu."
Mia memandang Anton, meminta pertolongan. Kakak Ullie itu justru mengedikkan bahu. Ia lebih suka menonton. Ini lebih seru daripada sinetron kejar tayang yang sering ia tonton dengan Mamanya di rumah.
"Kamu sudah sunat?" Tanya Abah lagi.
Mia menepuk jidat. Anton membuang muka, kelihatan salah tingkah.
"Sunat?" Aiden memandang Mia. Jelas ia tak mengerti apa itu 'sunat'.
Mia akhirnya membantu Aiden mengerti dengan satu kata, "Circumcision."
"Ahh, I see (Oh, saya ngerti sekarang)." Aiden mengangguk, dia kelihatan agak canggung waktu menjawab, "Saya sudah melakukannya lima belas tahun lalu untuk alasan kesehatan. Kenapa, ya?"
Abah manggut-manggut lagi. "Bagus itu. Laki-laki muslim wajib sunat. Kalau mau menikahi Mia, pindah agama dulu. Itupun kalau kamu yakin sama pilihan hatimu. Jangan hanya karena mau sama anak saya, kamu akhirnya terpaksa pindah agama. Harus dari hati."
Aiden tersenyum, "Awalnya saya penganut Agnostic."
Jawaban itu membuat dahi Abah dan Mamah, bahkan Anton mengernyit tidak mengerti. Mia bertugas menerjemahkan. "Maksudnya, dia mempercayai keberadaan Tuhan tapi nggak percaya sama ajaran agama manapun."
"Oh, Atheist?" Anton ingin mengonfirmasi.
Mia menggeleng, "Kalo Atheist bukan cuma nggak percaya agama, Tuhan juga."
"Syukurlah setidaknya kamu masih punya iman sama Tuhan." Timpal Abah.
Dalem nih urusannya kalo ngebahas agama pagi-pagi gini. Aiden kan belum sarapan.
"Kamu belajar Islam dimana, Den?"
Mia hampir tertawa karena singkatan nama Aiden yang diberikan oleh Abahnya.
"Baru dari buku. Sesekali saya nanya Amelia." Jawab Aiden.
Hj. Uway mendecakkan lidah. Beliau sudah tak menangis lagi. "Nanya agama kok ke Mia, ya sesat kamu." Cibiran Mamah tak berani dibantah Mia. Anaknya itu hanya bisa cemberut. "Nanya sama abah. Sekalian pedekate sama calon mertua." Lanjutnya.
Eh, lah kok? Diacc nih ceritanya? Serius?
"Mah, emang mau punya mantu bule?" Mia ingin memastikan.
"Memperbaiki keturunan." Mamah to the point. "Lagian hati Aiden udah terketuk buat belajar agama kita. Berarti dia serius sama kamu. Mamah sih asal ada yang mau sama kamu, udah alhamdulillah."
"Kalo abah?" Kini Mia memandang H. Moris.
"Lihat nanti."
Terjemahannya: Abah bersedia buka hati.
Mia memandang orangtuanya bergantian. Bagaimana bisa mereka jatuh ke tipuan Aiden semudah ini?
Kini ia memandang Aiden yang juga balik menatapnya.
Daripada sama Doni memang lebih baik Aiden darimana-mana, sih.
Tapi...
Mia tidak siap kalau harus menikah dengan orang yang tidak bersedia mencintainya.
"Ngomong-ngomong, kamu ini libur tah, dek? Tumben jam segini masih di rumah." Celetukan Anton membuat Mia menegakkan kepala. Ia meraih tangan kanan Aiden yang dipasangi jam tangan Audemars Piguet. Mia memegangi kepalanya dan langsung lompat berdiri, lalu lari masuk kamar.
"Aduh, telat-telat-telat." Mia mengambil baju ganti dari dalam lemari dan menjejalkannya ke dalam tas ransel, berniat untuk mandi di rumah sakit saja.
"Saya juga harus pergi kerja." Aiden ikut berdiri untuk pamit.
"Nanti malam ke sini, ya. Makan malam bareng." Ujar Hj. Uway. Aiden langsung mengangguk.
"Anton boleh dateng juga nggak, tan?" Anton ikut-ikutan berdiri.
"Boleh lah. Ajak mamamu sekalian, ya."
"Amelia, saya antar." Aiden mencekal tangan Mia saat cewek itu mengenakan helm.
"Aduh, om saya telat banget ini loh!"
"We need to talk (Kita perlu bicara)."
"Kalo saya telat nanti kena sanksi gimana??" Mia gemas bukan main.
"I own the hospital, remember (Saya yang punya rumah sakit, ingat)? I assure, nobody will punish you (Nggak ada yang akan hukum kamu, saya jamin)."
Mia menghela napas berat. Akhirnya dia mengangguk. Ia mengembalikan helm ke tempatnya, lalu mengikuti Aiden menuju mobil setelah mereka berpamitan pada orangtua Mia.
"Ton, Mia kenapa ya manggil Aiden pake sebutan 'om'? Umurnya Aiden berapa?" Abah mengikuti kepergian Mia dan Aiden lewat tatapan mata.
Anton garuk-garuk kepala waktu dapat pertanyaan begitu, "Nggak tau."
"Nggak seumuran sama kamu? Umurmu berapa, sih?"
"Tiga puluh."
"Berapapun umurnya, kalo Mia-nya doyan ya oke-oke aja. Kelihatannya juga mapan." Timpal Hj. Uway.
"Wah, kalo Aiden sih udah bukan mapan lagi. Dia mantan tunangannya istri temen saya. Nah kebetulan istri temen saya itu crazy rich Surabaya. Keluarganya nggak akan ngejodohin dia sama orang sembarangan. Jadi Aiden pasti selevel sama mereka."
"Sebentar, gimana tadi? Coba diulangin. Tunangan mantan istri-"
"Bukan, tante. Temen saya punya istri. Istrinya mantan tunangan Aiden."
"Oh, jadi Aiden itu tunangan mantan istri temen kamu?"
Anton tiba-tiba pening. Mungkin karena belum sarapan.
***
Gimana, suka?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top