20 | TERNYATA BENERAN
Ternyata banyak yang tau cerita trouble karena ngikutin dua seri lovers sebelumnya.
Waaaa... sampe kalian ngikutin yang ketiga, berarti kalian tertarik sama jalan ceritanya, yaaa
Aduhh, seneng banget aku tuhh...
Semoga kalian masih betah ngikutin sampai akhir, ya!
Hari ini dikit dulu, aku kena eyestrain.
Kalo suka jgn lupa vote, yak!
Dear silent readers, selamat baca. Muahhh!
***
Bukannya langsung pulang, Mia malah pergi ke rumah sakit. Langkahnya buru-buru dan pasti. Begitu sampai di depan ruang dr. Gabriel, Mia mendobrak tanpa aba-aba.
"Eh, copot!" Dokter forensik itu latah hingga menjatuhkan map dari tangannya. "Mia? Astaga!" Ia kaget melihat wajah Mia berdarah-darah. "Kamu kenapa?"
Mia buru-buru menggeleng. "Saya mau visum sekarang!" Emosinya sudah di ubun-ubun. Dokter itu mendekat ke arahnya, memeriksa keadaan Mia sekilas sebelum menyuruhnya duduk di kursi terdekat.
"Kenapa nggak langsung ke UGD?" Tanya dr. Gabriel heran. Ia sempat memanggil perawat untuk mengambilkan peralatan agar bisa mengobati luka Mia.
"Saya maunya visum!"
"Kamu harus lapor dulu ke kepolisian supaya saya bisa ngeluarin VeR buat kamu. Ke polsek, polres, atau polda. Masa beginian kamu nggak tau?"
Mia terdiam. Kepalanya sudah dipenuhi kabut emosi sampai lupa prosedur dasar untuk meminta VeR ke rumah sakit.
"Tanpa dampingan penyidik dan Surat itu, saya hanya akan anggap kamu sebagai pasien. Sedangkan kalo kamu bawa Surat Permintaan Visum, maka status kamu akan jadi korban. Hasil visum dari saya akan dijadikan alat bukti di pengadilan."
Perawat masuk ke ruangan dr. Gabriel sambil mendorong tray berisi peralatan yang diminta dr. Gabriel.
"Pelipis kamu perlu dijahit sedikit." Ujar dr. Gabriel seraya mencuci tangan dan memasang sarung tangan karet.
"Waduh, saya punya codet dong?" Mia merasa akhir-akhir ini apes karena sering terjebak perkelahian yang tidak diinginkannya.
"Nggak akan kelihatan. Gimana ceritanya kamu babak belur begini?" Sambil bicara, dr. Gabriel mulai membersihkan luka-luka Mia.
"Habis berantem sama orang. Eh, dok. Saya minta foto aja, deh." Mia buru-buru mengeluarkan hpnya. Dia baru sadar kalau hpnya rusak. "Yah... lupa gue!" Dumel Mia kecewa.
Dokter Gabriel meminta perawat untuk mengambilkan hp miliknya di atas meja. "Tolong fotoin luka-luka dia, ya?"
Perawat itu langsung melakukan apa yang disuruh.
"Mata kanan kamu bakal lebam dan hitam besok."
"Iya, dok. Mau begimana lagi?" Mia benar-benar pasrah.
"Ini yakin kamu nggak jadi visum? Kalo mau visum nggak apa-apa, nanti saya anter ke kantor polisi dulu buat laporan."
Mia buru-buru menggeleng, "Nggak, dok. Ribet. Nanti kalo dibawa ke pengadilan gimana?"
"Lah, bukannya kamu minta visum buat alat bukti?" Dokter Gabriel meneruskan pekerjaannya lagi.
"Iya, tapi nggak sampe bawa-bawa polisi sama pengadilan."
***
Habis dari rumah sakit, Mia langsung pergi ke pusat perbelanjaan elektronik terdekat yang masih buka untuk membeli hp baru yang persis seperti yang terakhir dibelikan oleh Aiden. Nomornya masih memakai nomor lama.
Begitu hp barunya dapat beroperasi, ada belasan panggilan tak terjawab dari Aiden. Pesan masuk juga. Isinya kebanyakan menanyakan keadaan Mia. Dugaan Mia kalau Aiden punya kemampuan cenayang sepertinya terbukti.
Di pesan terakhir Aiden, dia bilang kalau dia sekarang sedang berada di Sulawesi. Ia ingin sekali mengirim Alan untuk mengecek keadaan Mia, tapi butler tua itu sedang berada di luar negeri. Pesan Aiden datang bertubi-tubi. Mia hanya membacanya. Ia tak peduli dengan kekhawatiran Aiden. Setidaknya untuk saat ini.
Semalaman Mia sibuk mem-browsing monarki Capéo di kerajaan Alois.
Mia bahkan baru dengar ada nama pulau dan negara bernama Alois. Letaknya ada di lautan Mediterania. Luasnya bahkan hanya separuh dari tetangganya, pulau Corsica di Perancis. Hal itu menjadikan Alois sebagai salah satu negara terkecil di dunia. Populasinya tak sampai seratus ribu jiwa. Populasi Surabaya saja masih dua koma juta penduduk. Mia menggeleng takjub.
Bentuk pemerintahan Alois adalah semi-monarki. Kepala negaranya adalah seorang pangeran, sedangkan kepala pemerintahan dipimpin oleh perdana menteri. Bermata uang Euro dan delapan puluh persen penduduknya berbahasa Perancis. Ibukotanya bernama Aragon. Di sana ada kastil sebagai tempat tinggal keluarga kerajaan.
"Nah, pantes dia jago bahasa Perancis tapi ngaku bukan orang Perancis. Ternyata dari Alois." Gumam Mia.
Pangeran Bastien Capéo naik takhta sejak dua belas tahun yang lalu ketika usianya belum genap empat belas. Mia melewati bagian-bagian yang menjelaskan tentang bentuk pemerintahan atau partai-partai yang ada di parlemen saat ini. Ia lebih sibuk mencari nama 'Aiden Delavega'. Apa hubungan sugar daddy-nya dengan Pangeran Bastien Capéo?
Mia mengganti kata kunci pencarian. Kali ini tentang silsilah keluarga kerajaan Alois.
Nah, ketemu!
Informasi tentang silsilah keluarga Capéo disediakan di sebuah website resmi kerajaan. Aiden Delavega adalah anak dari kakak perempuan tertua ayah Pangeran Bastien Capéo. Ternyata mereka masih sepupu satu darah.
Mia meletakkan hp di atas dada.
Jantungnya berdegup kencang.
"Gila, bangsawan beneran!" Gumamnya pada diri sendiri.
***
From: Meadoobedoo
BATALIN PERJODOHAN KITA! URUS SENDIRI SAMPE KELAR KALO LO NGGAK MAU KARIR LO DI ANGKATAN HANCUR GARA2 FOTO VISUM GUE JADI ALAT BUKTI YG MEMBERATKAN LO DI PENGADILAN MILITER! GW TUNGGU DLM 2x24 JAM, PERJODOHAN KUDU BATAL!!!
Beres mengirimkan pesan dan foto luka-lukanya pada Doni, Mia memasukkan hp barunya ke dalam tas. Usai mematut diri di depan cermin, Mia merasa galau.
Apa hari ini bolos aja, ya?
Matanya hitam sebelah. Pipinya bengkak. Dia ada janji dengan dokter gigi sore nanti agar giginya ditambal lagi dan diberi obat. Mia kesulitan bicara. Rasanya ia ingin menangis. Obat pereda nyeri sudah dia minum, tapi wajahnya masih sakit.
Mia mengambil sebuah kacamata hitam berbingkai lebar dari dalam lemari lalu bersiap pergi.
Tidak peduli babak belur, bolos bukan pilihan terbaiknya.
***
"Kemarin cakep pake baju hasil colongan, hari ini begaya banget koas pake kacamata segala!" Alisa mendekatkan wajahnya ke Mia, ingin melihat lebih jelas. "Muka kamu kenapa bonyok??" Ia memegang kedua pundak Mia, ekspresinya khawatir.
Mia kesulitan bicara, jadi dia mengetik jawabannya di hp baru.
ABIS BERANTEM SAMA BUTO IJO.
"Hah?" Alisa ngeri membayangkan Mia betulan berantem dengan setan.
Mia mengangguk sebagai jawaban, seraya mengangkat kacamatanya sekilas agar Alisa bisa melihat matanya yang bengkak dan hitam. Temannya itu jelas kaget. Mia mengetik lagi.
JGN NGAJAK GUE NGOMONG. SAKIT. BANGUNIN GUE DI KAMAR MAYAT KLO KELASNYA PANJI KELAR.
Setelah itu ia keluar dari kelas, menyerah dengan ketidaknyamanan jiwa dan raga akibat babak belur. Dia sempat titip pesan ke Alisa agar merekam seluruh isi materi yang disampaikan oleh Panji di kelas, serta segera menghubunginya kalau ada panggilan visum.
***
Seharusnya Mia tahu. Seharusnya dia tidak pulang ke rumah hari ini. Seharusnya dia berpikir panjang.
Aiden jelas akan mencarinya ke rumah karena sejak semalam panggilan dan pesan-pesannya diabaikan oleh Mia. Jadi begitu Bentley Aiden terlihat melipir di halaman, Mia jadi panik. Wajahnya babak belur begini, masa mau ketemu Aiden?
"Amelia?" Panggil Aiden dari depan pagar. Ia menghubungi Mia berkali-kali. Awalnya Mia ingin me-reject panggilan dari Aiden lagi, namun hpnya lupa disenyapkan. Aiden pasti mendengar nada deringnya dari depan pagar, karena Mia saat ini sedang mengintip di jendela.
"Amelia, buka pintunya!"
Mia masih kebingungan.
"Saya tau kamu di rumah. Buka pintunya!" Tak sabar menunggu jawaban si pemilik rumah, Aiden memanjat pagar.
Ya, si bule itu memang memanjat pagar rumah Mia.
Pagarnya tak seberapa tinggi, jadi Aiden dapat memanjat dan mendarat tanpa kesulitan berarti. Sepertinya Mia harus minta ke Anton supaya pagar rumah diganti sesegera mungkin. Aiden saja bisa memanjat, apalagi maling?
Mia dikejutkan oleh suara gedoran pintu.
"Open this fucking door, Amelia (Buka pintunya, Amelia)! Or you want me to break it (Ato kamu mau saya dobrak pintu ini)?"
Pintu langsung dibuka oleh Mia. Dia tak berani mengetes kenekatan Aiden.
Aiden terkejut bukan main saat melihat wajah Mia yang bengkak sebelah. Cewek itu mengenakan kacamata hitam. Sebelum Aiden sembuh dari keterkejutannya, Mia sudah berbalik untuk masuk ke dalam rumah.
"Don't turn your back on me like that (Jangan berbalik dari saya)!" Aiden mengikuti Mia masuk ke dalam.
"Amelia, please. Let me see you!" Nada setengah memohon Aiden membuat Mia luluh. Ia berhenti menghindari Aiden. Cowok itu mendekat dan menyentuh kedua bahunya. Perlahan ia melepas kacamata yang Mia kenakan.
"Merde (Shit/Sial)." Aiden mengumpat pelan. "Siapa yang melakukan ini padamu, chéri?"
"Doni." Cicit Mia.
Ekspresi Aiden berubah. Rahangnya mengeras. Iris abu-abunya terlihat dingin. "Tunangan kamu?"
Mia mengangguk singkat.
"Cuma itu yang saya ingin tau." Aiden mengeluarkan hpnya. Mia punya firasat tidak bagus, jadi ia merebut hp itu dari tangan Aiden. "Kembalikan, chéri." Aiden mengatur suaranya agar tidak terdengar kasar.
"Sa-saya udah kasih pelajaran ke dia." Kemarahan Aiden tidak meledak-ledak, tapi Mia sangat takut padanya. Ekspresi Aiden membuat Mia berkeringat dingin.
"Oh, ya? Gimana caranya?"
"Saya matahin hidungnya. Saya juga ngancem dia buat bawa kasus ini ke pengadilan biar dia disidang militer. Karirnya bisa hancur kapanpun."
Aiden menggeleng, "That's not enough (Nggak cukup)." Tangan Aiden terangkat untuk meminta hpnya kembali. "Give it back (Kembalikan). I'll do it my way (Akan saya lakukan pake cara saya sendiri)."
"Keluarga Doni itu teman lama orangtua saya. Kalau karir Doni berantakan, keluarganya akan hancur."
"I don't fucking care with his fucking family (Saya nggak peduli dengan keluarganya)! Pikirkan diri kamu sendiri, Amelia! Berapa kali harus saya bilang?!" Bentakan Aiden membuat Mia terperanjat kaget. Cewek itu langsung mundur selangkah. "Kembalikan hp saya." Suara Aiden lebih tenang sekarang, tapi nada dinginnya masih tajam. Perangai Aiden berubah seratus delapan puluh derajat dalam sekejap.
"Jangan begini, om. Saya takut." Mia menyembunyikan hp Aiden dengan tangan gemetar di balik punggung.
Ekspresi Aiden melunak. Tatapannya jadi lebih lembut.
"Amelia..."
Mia sudah menangis. Perasaannya campur aduk. Sakit di badan karena babak belur, sakit di hati karena habis dibentak, dan pikiran bingung karena cemas tindakan Aiden akan membuat sebuah keluarga hancur. Bagaimanapun, Mia tidak ingin Doni sampai berakhir di penjara militer karena dirinya. Keinginannya hanya agar perjodohan mereka batal. Tidak lebih dan tidak kurang.
"Kenapa om nggak percaya sama saya?" Suara Mia parau, dia menahan nyeri di gusinya. Seharusnya Mia pergi ke dokter gigi sekarang. Dia terlambat sepuluh menit dari jadwal temu.
Aiden mendekat, namun Mia malah mundur.
"Come here (Sini)."
Mia menggeleng.
"I won't hurt you (Saya nggak akan menyakiti kamu). Come here (Kemarilah)."
Mia mengusap air matanya lalu perlahan mendekat pada Aiden. Cowok itu langsung merengkuhnya, membawanya dalam dekapan.
"Are you hurt anywhere else (Sakitnya dimana lagi)?" Bisiknya di telinga Mia.
"Cuma muka doang. Saya harus ke dokter gigi, om."
"Buat apa?"
"Gigi saya rontok satu." Harusnya Mia tidak usah bilang begitu. Sekarang ia merasakan tubuh Aiden menegang. Ia tahu kalau si om bule sedang mati-matian menahan emosi. Lebih baik Mia tidak usah lihat wajahnya. Seram.
"Dan kamu masih memaafkan dia?"
"Saya belum maafin dia. Saya cuma nggak mau om ikut campur masalah saya."
"Kenapa tidak?"
"Saya banyak nyusahin om. Jangan bikin saya merasa lebih buruk kalau sampai gara-gara masalah ini, om keseret juga."
"Tugas saya buat menjaga kamu. Ada di kontrak."
"Saya juga berhak membatasi tindakan om kalau saya nggak nyaman. Ada di kontrak." Timpal Mia.
Aiden menghela napas berat. Ia masih memeluk Mia. "I hate this (Saya benci ini)."
Mia mendongakkan kepalanya. "Anterin saya ke dokter gigi aja, om. Ngilu, nih."
Aiden menelan ludah karena sekarang ia dapat melihat lebih jelas sebengkak apa wajah Mia. Mati-matian ia menekan amarahnya. "If the douchebag ends up marrying you (Kalau sampai bajingan itu akhirnya nikah sama kamu), saya sendiri yang akan bunuh dia." Gumam Aiden penuh ancaman.
Mia menelan ludah. Ia menepuk-nepuk punggung Aiden untuk menenangkannya. "Percaya, om. Percaya."
Aiden masih menggerutu. Kali ini dalam bahasa Perancis yang Mia tak mengerti artinya.
***
Selagi Aiden membayar biaya tindakan dokter gigi di kasir, Mia duduk-duduk di depan ruang tindakan.
"Mbak." Perawat yang mendampingi dokter gigi tadi menghampirinya.
Kepala Mia mendongak. Perawat itu menyerahkan secarik kertas pada Mia. Cewek itu langsung membaca isinya.
Kalau butuh bantuan, pake kode anggukan tiga kali.
Mia mengernyit.
"Maksudnya?" Mia langsung bertanya.
Perawat itu melirik Aiden di meja kasir, memastikan kalau dia tidak melihat interaksi mereka. "Kalo mbak terjebak dalam KDRT, kami bakal langsung bantu." Bisik perawat itu sebelum tergesa kabur seperti tidak terjadi sesuatu.
Butuh beberapa detik bagi Mia untuk mencerna maksudnya.
Ia melihat bayangan dirinya sendiri dari pantulan pegangan besi di dekat dinding.
"Ooohhh...." Mia sekarang mengerti.
Pantas saja semua orang mencuri pandang ke arahnya. Penampilannya babak belur begini. Apalagi dia datang bersama Aiden yang mereka kira adalah pasangannya. Pasti yang terlintas di pikiran mereka adalah Mia jadi korban kekerasan.
Cewek itu langsung tertawa. Obat bius yang disuntik dokter membuatnya tidak merasakan sakit saat membuka mulut lebar-lebar.
Punggungnya disentuh oleh Aiden yang baru datang. "Ada apa?"
Mia buru-buru menggeleng. Perutnya masih terasa geli, ingin tertawa.
***
Alois ini hanya tempat fiktif. Terinspirasi dari Andorra di Perancis dan Liechtenstein, perbatasan Austria-Swiss. Bedanya, Alois terletak di sebuah pulau dan bukan bagian dari negara manapun, alias independen.
Copyright: Shutterstock
Kampungnya Aiden mirip-mirip sama Kefalonia - Yunani.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top