2 | BERMALAM
Mia sedang memijat kakinya di atas sofa depan perapian saat Aiden mengulurkan sebotol bir padanya. Botol itu masih tersegel. Aiden sengaja tidak membukakan botol Mia karena khawatir Mia mengira dirinya memasukkan obat bius di sana. Mia mengamati botol itu lekat-lekat. Bir Gambrinus. Merk bir yang paling banyak dikonsumsi di Swiss.
Aiden baru akan menyerahkan pembuka tutup botol ketika Mia sudah membuka tutup botol birnya pakai gigi. Aiden tertegun.
Cewek itu langsung menenggak bir seperti orang kehausan.
"Ah!" Mia mengelap mulutnya dengan punggung tangan. Ia menyandarkan punggungnya dengan mata terpejam, menikmati efek bir di dalam tubuhnya.
"Kamu bisa tidur di kamar mana saja." Aiden duduk di sebelah Mia dengan jarak agak jauh. Mia mengangguk tanpa membuka mata. Ia minum bir lagi, menghabiskan sisanya dalam sekali tenggak.
"Kamu kuat minum?" Aiden malah baru membuka botol miliknya sendiri.
Lagi-lagi cewek itu mengangguk. Kali ini dia memandang Aiden. "Minta lagi."
Aiden menyerahkan botol miliknya yang masih utuh.
"Aduh, pengen sebat." Gumam Mia. Minum bir enaknya sambil sebat. "Om ada rokok?"
"Saya nggak ngerokok. Kamu ngerokok?"
"Kadang-kadang."
"Kamu minum dan merokok. Masih kuliah, kan?" Aiden betul-betul penasaran dengan cewek yang dibantunya ini. Punya mulut tanpa filter, suka minum, dan merokok. Cewek seperti apa sebenarnya dia ini? Cewek Indonesia rata-rata pemalu dan selalu jaga image. Mereka juga santun dan murah senyum. Setidaknya kesan itu yang didapat Aiden sejak datang ke Indonesia. Sedangkan Mia?
"Nggak penting. Kita orang asing. Saya cuma numpang semalam doang, besok langsung cabut." Mia menenggak botol kedua. "Saya suka ini. Masih ada lagi?"
Aiden mengangguk. "Tunggu." Ia beranjak untuk mengambilkan Mia lebih banyak bir. Tak sampai lima menit, ia sudah kembali dengan setengah lusin botol bir di pelukannya. Mia bertepuk tangan. Dia tidak pernah bisa minum dengan leluasa saat di rumah karena ada Ullie. Teman serumahnya itu selalu ngomel kalau Mia ketahuan membawa pulang bir. Pernah suatu waktu, stok bir di kulkas Ullie berikan cuma-cuma ke pertugas kebersihan yang sering mengangkut sampah pakai truk. Membuat Mia gondok setengah mati. Dia belinya kan pakai duit!
Kali ini dia bisa minum puas-puas. Sebuah sendawa keras lolos dari mulutnya.
"Sori." Ucap Mia tanpa penyesalan.
Aiden hanya tertawa kecil sambil geleng-geleng kepala. "Saya senang ada teman minum."
"Om tinggal sendirian di sini?"
"Saya nyewa tempat ini. Cuma sampai besok saja."
"Dibelain buat ikut kondangannya Ullie?"
"Siapa Ullie?"
"Maksud saya Fabian."
"Siapa Fabian?"
Dahi Mia berkerut. "Om dateng kondangan karena kenal pengantin yang mana?"
"Saya diundang keluarga Tan."
"Siapa keluarga Tan?" Giliran Mia yang bertanya.
"Gie. Regie Tan. Regina yang tadi kita bicarakan."
"Ohhhh..." Mia membuka botol ketiga. Lagi-lagi dengan gigi supaya praktis. Aiden sampai heran bagaimana gigi Mia belum keropos kalau punya kebiasan buka tutup botol begitu. "Saya lupa. Padahal baru tadi om bilang jadi tunangannya mbak Regina."
Aiden meminum birnya sendiri sambil memperhatikan Mia. Ia baru menyadari sesuatu. "Saya punya baju ganti kalo kamu gerah pake baju itu." Tawarnya.
Mia malah mendengus. "Saya tidur telanjang nggak masalah, kali."
Aiden sebaiknya harus terbiasa dengan sikap santai Mia. "Terserah. Asal kamarnya dikunci aja."
"Kenapa? Om mau gerayangin saya?"
"Siapa tau kamu curiga. For your information (Sekedar info), kamu bukan tipe saya."
Sekarang Mia tertarik. Ia meletakkan satu tangannya di atas sandaran sofa untuk menumpu dagu, lalu memandang Aiden dengan kilatan jenaka di matanya. "Oh, ya? Kirain semua cowok tipenya sama. Cantik, gampang dirayu, bisa dipake ena-ena."
"Ena-ena?" Baru kali ini Aiden mendengar bahasa itu.
"Sex." Jawab Mia to the point.
"Oh. Nggak semua laki-laki begitu. Saya lebih suka perempuan yang berkarakter."
"Emang ada manusia yang nggak punya karakter?"
"Ada." Jawab Aiden. "Saya menyebutnya bunglon. Mereka mudah berganti karakter tergantung situasi."
"Bagus, dong. Mudah menyesuaikan diri dengan keadaan."
"Jadi nggak tulus."
"Pfftt..." Mia menenggak birnya lagi. "Kayaknya saya bunglon, deh."
"Kok bisa?"
"Kalo di rumah sakit saya nggak sesantai ini."
"Ah, kamu kerja di rumah sakit?"
Mia keceplosan. Karena tidak mau mengonfirmasi, ia memilih untuk menghabiskan birnya. Lalu ia bersiap untuk membuka botol keempat.
"Let me (Biar saya saja)." Aiden mengambil alih botol baru di tangan Mia, membuka tutupnya dengan alat pembuka seperti orang beradab. Ia agak ngeri membayangkan gigi Mia jadi patah karena keseringan dipakai buka tutup botol dengan gaya bar-bar.
Mia sudah menghabiskan delapan botol Gambrinus dalam waktu kurang dari dua jam sambil ngobrol dengan Aiden. Sedangkan Aiden baru habis dua. Cewek itu kelihatan mulai merasakan efeknya. Matanya sudah setengah terpejam. Perutnya jadi agak kembung. Dia baru ingat kalau belum makan selama di resepsi tadi. Keduluan gondok sama Elsa, Anton, dan Galang sih.
"Saya antar ke kamar, ya?" Aiden meletakkan botolnya ke atas meja untuk membantu Mia berdiri. Cewek itu hanya mengangguk sebelum mengulurkan kedua tangannya ke atas minta digendong.
"Umm... Sepertinya kamu bisa jalan sendiri." Aiden memperhatikan kedua kaki Mia yang kelihatan baik-baik saja.
"Pusing. Mulai teler, nih."
Bagaimana tidak teler? Minum delapan botol bir tanpa jeda begitu.
Aiden menghela napas. Ia mengangkat tubuh Mia semudah ia mengangkat botol bir. Tubuh Mia memang tidak seberat kelihatannya. Gaunnya saja yang bikin agak ribet. Mia mengalungkan kedua lengannya di sekeliling leher Aiden, lalu menyandarkan kepala di dadanya. Sesekali kepalanya terantuk ke depan dan ke belakang karena sudah tidak kuat menahan kantuk.
Aiden membawa Mia ke salah satu kamar tamu di lantai dua. Ia meletakkan tubuh Mia ke atas tempat tidur dengan hati-hati. Ia ingin langsung pergi, tapi merasa terganggu dengan keadaan Mia yang tidur dengan gaun panjang super ribet begitu. Kelihatannya tidak nyaman. Ia berinisiatif untuk melepaskan gaun itu. Mia tadi bilang mau tidur telanjang juga tidak masalah, kan? Aiden cukup melepaskan gaun ini saja, tanpa perlu menelanjanginya.
Kedua lengan Mia ia tarik hingga cewek itu berpindah ke posisi duduk. Aiden mencari-cari zip di bagian belakang gaun Mia. Membuat kepala Mia jadi bersandar di bahunya.
"Saya mau lepasin gaun ini. Maaf." Aiden menurunkan zip agar gaun itu mudah dilepaskan.
"Hmm." Mia mau bekerja sama. Ia membantu Aiden melepaskan gaun tanpa membuka mata. Tiba-tiba ia cegukkan.
"Mau minum air putih?" Tawar Aiden.
Mia menggeleng. "Tolong hapusin make up saya. Ini muka bisa tambah ancur besok kalo nggak dihapus dulu."
Aiden menggaruk kepala. "Dihapus pakai apa?" Bagian atas gaun Mia sudah turun sebatas dada. Aiden agak kurang fokus dengan bahu telanjang Mia.
"Make up remover."
"Saya nggak punya."
"Air, deh. Air anget. Pake lap ato anduk. Terserah." Mia menghempaskan badannya ke atas kasur lagi. Ia menggumam tidak jelas.
Aiden merasa dirinya kurang beruntung hari ini karena bertemu dengan cewek ajaib yang tidak tahu malu seperti Mia. Meski begitu, Aiden tetap melakukan apa yang disuruh cewek ajaib itu.
Setelah mengambil handuk kecil yang sudah ia basahi dengan air hangat, Aiden mulai menghapus make up di wajah Mia.
"Ada yang nempel di mata kamu."
"Bulu mata palsu. Cabut aja."
"Eh? Nggak sakit?"
"Udah biasa disakitin." Gumam Mia.
Aiden mendengarnya dan tidak tahu apa maksud Mia. Ia ragu-ragu untuk mencabut bulu mata palsu di kelopak mata cewek itu. Kalau sakit bagaimana?
"Harus dicabut? Nggak dibiarin aja?"
Mia tidak menjawab.
Aiden menghembuskan napas berat. Ia mulai menyentuh bulu mata Mia, menariknya sedikit lalu berhenti. Ia menunggu respon Mia. Cewek itu masih bergeming dengan kedua mata terpejam. Dalam sekali hentakan, Aiden menarik bulu mata palsu sebelah kanan Mia. Lagi-lagi ia menunggu reaksi. Nihil. Ia lanjut mencabut bulu mata satunya.
Sungguh, baru kali ini Aiden menyadari keribetan cewek dalam berdandan. Sudah punya bulu mata tapi dipasangi bulu mata palsu lagi. Buat apa? Toh Mia sudah cantik begini.
Eh?
Aiden mengernyit. Kenapa dia jadi memperhatikan wajah tidur cewek ini? Lebih baik dia segera menyelesaikan pekerjaannya lalu beristirahat di kamarnya sendiri. Aiden melanjutkan pekerjaan untuk mengelap wajah Mia agar bersih dari make up. Semakin ia bersihkan, semakin kelihatan pula wajah natural Mia. Tidak salah kalau dia menganggap Mia menarik.
Beres dengan make up, Aiden menarik lengan Mia lagi agar cewek itu bisa duduk. Dengan begitu Aiden dapat melepaskan gaunnya dengan benar.
Tiba-tiba Mia membuka matanya. Wajah mereka berdekatan. Terlalu dekat. Mia memandang kedua mata Aiden lekat-lekat. Tanpa aba-aba, tubuh Mia sudah condong ke depan untuk mengecup bibir Aiden. Cowok itu tidak terkejut sama sekali. Ia justru heran. Mia ini sungguhan mabuk atau tidak.
"Kamu mab-"
Mia sudah melumat bibir Aiden. Cowok itu mengerjapkan mata, tidak tahu harus bereaksi apa. Ciuman Mia menuntut dan agak ceroboh. Aiden tidak berusaha melepaskannya. Setelah beberapa detik berdiam diri untuk memberi kesempatan Mia berubah pikiran, akhirnya Aiden menyerah. Cewek ini duluan yang menciumnya. Dia hanya menyambut.
Direngkuhnya tubuh Mia. Dibalasnya ciuman Mia. Ciuman Mia menuntut, maka Aiden memberikannya. Bibir mereka saling melumat dan menggoda. Lidah mereka bertemu tanpa tahu siapa duluan yang memulai. Tubuh Mia mulai panas. Aiden bisa merasakannya lewat sentuhan ke permukaan kulit cewek dalam dekapannya. Sesekali mereka menarik diri untuk mengambil napas sebelum melanjutkan lagi. Jambang tipis di wajah Aiden membuat kulit Mia agak kemerahan. Cewek itu tidak peduli.
Tangan keduanya sudah liar menjamah satu sama lain. Tidak ada malu-malu dalam diri Mia. Semuanya terjadi begitu saja. Kalau ini efek dari bir Gambrinus yang tadi diminumnya, maka Aiden beruntung ada yang menghangatkan tempat tidurnya malam ini. Mau dia cewek random yang baru bertemu tadi, tidak masalah. Anggap saja ini one-night stand.
Ciuman mereka bergairah. Tangan Mia sudah bergerak untuk membuka seluruh kancing kemeja Aiden. Sedangkan tangan Aiden berusaha menarik gaun bagian atas Mia. Ternyata nyangkut. Aiden mengerang frustasi. Dirobeknya gaun itu dalam sekali hentakan. Suaranya cukup nyaring hingga memenuhi kamar.
Sensasi panas yang ditimbulkan oleh robekan kain di kulitnya membuat Mia mendesah pelan. Aiden menurunkan bibirnya ke dagu dan rahang Mia. Meninggalkan ciuman-ciuman basah dari jejak-jejak bibirnya. Kedua tangan cewek itu terangkat ke belakang kepala Aiden, sesekali menarik rambutnya agak kasar. Aiden menggeram senang.
Tangan Aiden bergerak untuk menarik lagi sisa gaun Mia dengan tidak sabar. Suara robekan kain lebih nyaring daripada yang pertama. Kini yang tersisa hanya celana dalam Mia. Cewek itu tidak mengenakan bra karena di dalam gaunnya sudah ada bantalan untuk payudara. Aiden mengagumi tubuh cewek itu. Payudara Mia penuh dan ranum, mengemis minta disentuh. Aiden menelan ludah.
Tubuh Mia indah. Semuanya nampak pas. Tidak terlalu kurus. Tidak gemuk. Berbeda dengan tubuh perempuan-perempuan yang dikencaninya selama ini. Entah itu karena alkohol atau memang sifatnya, Mia kelihatan benar-benar percaya diri dengan tubuhnya sendiri. Aiden menganggap hal itu sebagai poin keseksian seorang cewek. Lengan Mia kenyal sekaligus lembut. Ada sedikit lemak di sana. Aiden mengecupnya. Ia menghadiahi setiap jengkal kulit dengan kecupan ringan. Sebuah penghargaan kecil karena bersedia dilihat dan disentuh olehnya.
Ciuman Aiden semakin turun. Dada, perut, paha, tidak ada yang luput darinya. Terutama pangkal paha ini. Aiden mengagumi segaris selulit yang ada di pangkal paha Mia. Tubuh Mia benar-benar sempurna dimiliki oleh seorang perempuan.
Mia mengerang keras. Suara erangan yang dikira Aiden sebagai sebuah bukti gairah. Namun mendadak, Mia menendang dadanya hingga Aiden terjungkal ke belakang sampai jatuh dari tempat tidur.
"Fuck, Amelia! What the-"
Mia menjulurkan kepalanya ke tepian ranjang lalu, "Hoekk!" Ia muntah di lantai.
Muntahannya berisi cairan. Berbotol-botol bir yang tadi diminumnya ia tumpahkan keluar dari dalam perut.
Aiden hanya bisa membelalak. Tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Puas habis mengeluarkan isi perut, Mia menghempaskan kepalanya ke atas bantal. Ia menggumamkan sesuatu yang tidak jelas sebelum jatuh tertidur.
***
Mia terbangun karena dering suara hp di dekat telinganya. Ia sampai terlonjak hingga melompat duduk dengan jantung berdebar. Seorang wanita bule berambut pirang berdiri di ujung tempat tidur. Ia tersenyum saat melihat Mia sudah bangun.
"Guete Morge (Selamat pagi)." Sapa wanita itu.
"Hah?" Selain karena cowok cakep, Mia juga mendadak goblok kalau baru bangun tidur. Setidaknya sampai dia kena asupan kafein.
Dering hp masih terdengar nyaring. Asalnya dari dalam clutch di atas tempat tidur. Mia tidak ingat ia menaruh clutch-nya di situ. Buru-buru ia mengambil hp dari dalam sana. Nama Elsa tertera di layar. Ia langsung mengangkat panggilan itu.
"Halo, kak?"
"Dek, lo dimana? Nggak balik hotel ya semalam?"
"Hah?" Mia menggaruk kepala. Merasakan semilir udara menerpa kulitnya, Mia menunduk dan mendapati ia bertelanjang dada. Tergesa ia menutupi tubuhnya dengan selimut. Hampir saja ia memekik kalau tidak sadar ada orang lain di kamar asing ini. "Kak Elsa dimana??"
"Di hotel. Barusan nyampe dan liat lo nggak ada."
"Gue lagi di..." Mia menutup mic hpnya lalu memandang si wanita bule. "Excuse me, where are we (Maaf, kita lagi dimana, ya)?"
Wanita yang sedang menghisap debu dengan vacuum cleaner mengernyit. "Könne Sie Schwitzerdütsch reede (Bisa bahasa Swiss-Jerman, nggak)?"
"Hah? Aduh, I don't understand (Gue nggak ngerti lo ngomong apa)."
"Bitte schwätze Sie langsamer (Tolong bicara pelan-pelan). Ich verstand nit (Saya nggak ngerti)."
Mia mengerang frustasi. Ia bicara di telepon lagi. "Kak, gue nggak ngerti ada dimana sekarang. Jemput gue, please."
"Lo share loc, gih. Gue jemput lo sama Anton."
"Oke, oke. Gue tunggu, kak." Mia langsung menutup telepon lalu mengirim lokasinya ke nomor Elsa.
Mia coba mengingat-ingat apa saja yang terjadi semalam. Otaknya macet. Dia butuh kafein biar kecerdasannya kembali. Ia mengerang keras-keras.
"Where's the toilet (Toiletnya mana, ya)?" Mia masih mencoba untuk berkomunikasi dengan wanita bule yang mungkin adalah pengurus rumah ini. Cewek itu turun dari tempat tidur berbalut selimut agar tubuhnya tertutupi. Gimana ceritanya dia telanjang begini sedangkan ia tidak ingat apa-apa??
"Oh, d'Toilette? Graad uus (Oh, toilet? Lurus aja, noh)." Sambil menjelaskan, wanita bule itu memberi isyarat untuk jalan lurus.
Mia mengangguk berkali-kali. "Danke, danke (Makasih, makasih)." Cuma satu kata itu saja yang dihafal oleh Mia. Sebelum ia sempat pergi, wanita itu menyerahkan sepasang baju dan celana untuknya. Di atas lipatan baju itu juga ada secarik kertas.
"Das ist von Herrn Delavega (Ini dari tuan Delavega)." Wanita itu beralih ke bahasa Jerman, berharap lebih mudah dimengerti oleh tamunya. Padahal tidak ada pengaruhnya juga buat Mia.
Delavega?
Dimana ya Mia pernah mendengar nama itu?
Delavega. Aiden. Aiden Delavega. Nah loh?
Memori Mia langsung terpicu. Ia ingat om-om bule yang membawanya kesini semalam. Lalu mereka minum bir sambil ngobrol, lalu mereka... Argh! Mia tidak ingat.
Daripada kebanyakan mikir, Mia lebih memilih untuk segera membaca pesan yang ditinggalkan oleh Aiden sambil setengah berlari ke toilet.
Maaf saya harus kembali ke Zurich pagi ini. Semoga baju ini dan branya cukup untuk kamu. Terima kasih untuk yang semalam. Saya cukup puas. Tolong hubungi saya di nomor ini (xxxxxxx), supaya kita bisa makan malam bersama setibanya di Indonesia.
Love,
A.
Mia tercengang. Benar-benar tercengang. Si kampret ini ngomong apa, sih? Apanya yang puas?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top