19 | GIGI COPOT
Dokter Irwan membawanya ke balik pilar koridor yang agak tersembunyi.
"Ada apa, dok?" Mia mengatur wajahnya agar nampak biasa-biasa saja.
"Kamu jaga malam kemarin?"
Mia menggeleng. "Saya libur kemarin."
"Bukan kemarin. Tapi kemarinnya lagi."
"Iya saya jaga malam kemarin kemarinnya lagi."
"Kamu ke gudang logistik?"
Mia menggeleng. "Ngapain saya kesana?"
"Aku nanya kamu. Jangan balik nanya!" Ekspresi dr. Irwan agak kesal.
"Kan udah geleng kepala tadi. Artinya enggak."
"Kamu nggak bohong?"
"Kurang kerjaan banget ngibulin situ!" Mia menutupi gugupnya dengan memaksakan sebuah tawa.
"Terus kenapa aku nemu ini, ya?" Laki-laki itu mengeluarkan sebuah name tag dari dalam saku jasnya. Sebuah name tag bertuliskan 'Amelia Bintang P. M.'.
Mia menelan ludah. Kenapa name tagnya ada di tangan dr. Irwan?
"Haha... kenapa ada di dokter?" Akting Mia buruk sekali.
Ia menerima name tag dari tangan dr. Irwan tanpa memandangnya.
"Aku tau kalau kamu bohong."
Mia tidak tahu harus merespon apa.
"Hubunganku sama Clara nggak seperti yang kamu bayangkan." Lanjutnya.
"Emang dokter tau saya ngebayangin apa?"
"Kamu berpikir kalau aku dan Clara punya hubungan khusus."
"Apa pengaruhnya ke saya kalo kalian ada hubungan khusus?"
"Siapa yang tau? Bisa aja kamu bilang ke orang-orang tentang apa yang kamu lihat dan dengar waktu di gudang kemarin."
Mia memiringkan kepala sedikit, mengamati ekspresi dr. Irwan lekat-lekat. "Saya nggak sekurang kerjaan itu."
Rahang dr. Irwan mengeras, "Aku cukup kenal kamu untuk bisa nebak jalan pikiranmu, Mia."
Mia mendengus, "Harusnya dokter minta maaf ke saya."
"Kamu nggak terima diputusin kemarin?"
"Saya sih nggak masalah diputusin ama dokter. Tapi ego saya ini lho yang nggak terima. Pake ngatain saya ngebosenin segala padahal gara-gara saya nggak mau tidur sama dokter. Alus banget modusnya!"
"Mia, jaga mulut kamu! Ini rumah sakit!"
"Justru karena ini rumah sakit, dok. Harusnya dokter yang lebih bijak! Masa begituan di gudang logis-" Ucapan Mia terpotong karena dr. Irwan keburu membekap mulutnya. Mia menggigit tangan dr. Irwan hingga bekapan di mulutnya terlepas. "Dasar munafik! Macarin saya kemarin gara-gara nafsu doang ternyata."
"Jangan sembarangan kalo bicara! Aku bisa aja ngeluarin kamu dari sini dan nggak membiarkan kamu diterima oleh rumah sakit manapun." Ancam dr. Irwan sambil memegangi tangannya yang sakit habis kena gigit.
Mia tertawa setengah mendengus. Coba saja kalau berani! Dia cuma direktur muda rumah sakit, tapi sombongnya selangit! Pake ngancem-ngancem segala! Gue tinggal ngadu ke om Aiden lah! Bisa langsung dimutasi ke rumah sakit pedalaman nih dokter belagu!
Sayangnya Mia cuma berani memaki dalam hati. Dia tak akan menjual nama Aiden di sini atau dimanapun.
"Udah deh, dokter tenang aja! Saya nggak akan bilang siapa-siapa. Pengaruh dokter ke hidup saya nggak sebesar itu kok. Jangan ganggu saya lagi, ya!" Mia berbalik ingin pergi.
"Tunggu dulu, Mia! Aku belum selesai bicara!"
"Yaudah buruan mau ngomong apaaa? Perut saya laper ini, lhooo!" Mia gemas luar biasa.
"Aku dengar kemarin kamu terlibat keributan di depan rumah sakit."
"Terus kenapa?"
"Kalian ngeributin apa?"
"Tanya aja sama Clara! Ngapain nanya ke saya?" Begitu Mia mengatakannya, sosok Clara muncul. "Nah, baru juga diomongin! Tuh, tanya sendiri! Saya mo makan." Sambil menghentakkan kaki, Mia berbalik menuju kantin. Kali ini lengannya dicekal oleh Clara. "Aduuuh, apalagi sih? Gue laper, nyet!" Mia membentak Clara tepat di depan wajah cewek itu.
"Kalian lagi bahas apa?" Kedua bibir Clara membentuk satu garis lurus.
"Tanya sono sama cowok lo! Kenapa sih kalian nggak saling nanya satu sama lain? Kudu gue juga yang jawab?" Mia mendecakkan lidah sebal, "Pacaran itu yang berkualitas! Komunikasi dua arah! Jangan mesum aja bisanya, ah elah!"
Sebelum Clara sembuh dari keterkejutannya atau dr. Irwan bisa mencegahnya, Mia sudah berjalan cepat untuk kembali ke kantin.
***
Mia senang bisa pulang ke rumah. Selama perjalanan pulang, Mia sudah membuat rencana kencan dengan diri sendiri. Mulai dari luluran, maskeran, berendam air hangat sambil mainan bath bomb. Aduh, pasti menyenangkan. Sayangnya rasa senang itu tak berlangsung lama. Begitu ia sampai rumah, Doni sudah menunggu di depan pagar. Cowok itu naik mobil baru. Kelihatan dari nomor platnya.
"Ngapain lo di sini?" Mia turun dari jok belakang ojeknya.
"Nunggu kamu." Jawab Doni malas.
"Ngapain nunggu gue?"
"Mbak?" Panggilan tukang ojek diabaikan oleh keduanya.
"Kak Rara nyuruh kita kencan."
"Hidiiih!" Hidung Mia berkerut. "Ogah gue. Mau tidur!" Mia membuka kunci pagar rumahnya.
"Mbak?" Tukang ojek itu sudah seperti bayangan tembus pandang. Tidak dilihat maupun dipedulikan.
"Rara minta laporan foto kalo kita keluar bareng!" Tukas Doni.
Kini Mia berdiri di hadapan Doni, "Lo juga ngapain sih mau-maunya disuruh kawin sama gue? Udah jelas-jelas kita nggak cocok!"
"Bisa nggak ngomong di dalem aja?"
"Rumah gue haram buat lo!"
"Yaudah ngomong di mobil!"
"Mbak?"
"Hadoh, apaan sih mbak mbak mbak mulu?! Kan tadi udah dibayar!" Mia menyemprot tukang ojek yang masih betah ngetem di depan rumahnya.
"Anu, maaf mbak. Helmnya masih dipake." Tukang ojek itu keder melihat Mia yang sekarang berwajah garang. Padahal selama perjalanan tadi mereka ngobrol akrab membahas naiknya harga minyak dunia yang berimbas pada mahalnya harga bensin juga.
Mia yang baru sadar kalau sedari tadi masih mengenakan helm buru-buru melepasnya. "Sori, sori, mas. Saya punya hipertensi, jadi gampang naik darah. Nanti saya kasih tip gede, deh!" Ia mengembalikan helm itu pada tukang ojek.
"Iya, mbak. Jangan lupa bintang limanya, ya!"
"Beres, beres! Makasih ya. Hati-hati di jalan!"
Mia mengantar kepergian abang tukang ojek dengan lambaian tangan.
"Masuk mobil!" Suara Doni dipenuhi nada perintah.
Perut Mia keroncongan. Dia belum makan malam. "Yaudah, traktir gue makan. Terus kita foto buat lo kirim ke kakak gue. Abis gitu pulang." Ia masuk ke kursi penumpang sebelah supir.
***
"Cowok bule yang kemarin sama kamu di Sampit itu siapa?"
"Pacar." Jawab Mia cuek sambil scroll-scroll media sosialnya. Ia tiba-tiba ingin stalking Aiden. Siapa tahu ada.
"Jadi kamu punya pacar?"
"Nggak usah sok kaget gitu, ah. Lo kan juga. Bahkan pacar lo lebih banyak dari gue." Mia melirik Doni sekilas.
"Aku mau nikah sama kamu." Timpal Doni nggak nyambung.
"Gue nggak mau, sob. Sori."
Mia mengetik nama Aiden Delavega di kolom pencarian. Banyak akun muncul, namun tidak satupun milik Aiden yang dicarinya. Pencariannya ia persempit dengan menggunakan tagar. Muncul banyak artikel berita bisnis yang ada sangkut pautnya dengan Delavega Enterprises. Tentu saja ada foto Aiden. Kebanyakan berasal dari sampul majalah bisnis luar negeri. Mia masih belum puas. Ia scroll terus ke bawah.
Ada beberapa tautan berita yang menarik perhatiannya. Hanya beberapa.
Aiden Delavega of Alois (Aiden Delavega dari Alois).
Delavega Is The Long Lost Regent of Alois (Delavega adalah wali raja yang hilang dari Alois).
Aiden Delavega Has Always Been Regent for His Cousin Sovereign Prince Bastien Capéo (Aiden Delavega menjadi wali dari sepupunya, Pangeran Bastien Capéo).
Should Delavega Return to Alois (Haruskah Delavega kembali ke Alois)?
"Apa-apaan, nih??" Pekik Mia. Ia tak sanggup menutupi keterkejutannya.
Doni lebih terkejut lagi karena mendengar pekikan nyaring Mia. Diliriknya cewek itu sedang serius dengan hp di tangan.
"Kamu dengerin aku ngomong nggak, sih??" Hardik Doni.
"Hah? Apa, Don?" Mia mendongak dari hpnya dengan wajah syok. Syok karena artikel berita yang baru dibacanya.
Doni mengerem mobilnya secara mendadak sampai tubuh Mia terantuk ke depan. Untung dia pakai sabuk pengaman.
"Lo gila, nyet?!" Semprot Mia. "Kalo ditubruk dari belakang gimana?? Nggak ada otak lo!"
"Kamu yang nggak ada otak!" Doni balas membentak.
"Minggirin mobil lo, kampret! Ini tengah jalan!"
"Jawab dulu pertanyaanku!"
"Lo nanya apaan?"
"Yang tadi! Kamu setuju nikah awal tahun, nggak?"
"Ha?" Wajah Mia berkerut tak mengerti. "Gue kan nggak mau nikah sama lo!"
"Jangan bodoh lah! Kan udah lamaran kemarin."
"Lamaran model apaan? Nanya gue bersedia aja enggak!"
"Jangan becanda, Mia!"
"Ngapain gue becanda masalah ginian, Don?"
"Orangtua kita udah setuju!"
"Guenya nggak setuju lo mau apa, heh?"
Doni mendelik ke arah Mia, dia kelihatan sedang menahan amarah.
Mia menghela napas berat, "Gue nggak suka elo, Don. Di mata gue, lo tuh udah cacat banget. Ya kali lo itu cowok baik-baik, mungkin gue masih mau buka hati buat elo. Lah ini, pacar lo banyak. Apa sih yang lo banggain?" Ia mengatakannya dengan suara yang lebih tenang.
Terdengar suara klakson di belakang mereka. "Don, minggirin mobilnya!"
Doni bergeming.
"Ah elah, kampret banget!" Mia melepas sabuk pengaman lalu membuka pintu, namun terkunci. "Gue mau keluar. Bukain! Kalo lo mau mati dilindes mobil, mati aja sendiri! Gue masih pengen umur panjang!"
Meskipun Mia mengomel dengan penuh emosi, Doni masih bergeming.
"Don! Ya ampun! Bukain pintunya!" Kali ini kedua mata Mia melotot agar Doni takut.
"Aku bukan anak kecil yang bisa kamu bully lagi kayak dulu waktu kita TK."
"Yaudah, buka dulu pintunya! Kita ngobrol tentang masa lalu kalo lo mau. Lo dulu TK kan sering ngompol di celana. Mau bahas yang mana lagi? Gue siap dengerin lo! Tapi pindahin mobilnya dulu!"
Suara klakson terdengar lagi.
"Ya Allah, Don! Buruan minggirin mobil lo! Ato kalo enggak biar gue turun, deh! Lo tinggal gue di sini nggak apa-apa!"
Doni mendengus. Kedua tangannya kembali memegang kemudi. Ia menginjak gas untuk melanjutkan perjalanan. Mia buru-buru memasang sabuk pengamannya lagi, cemas kalau tiba-tiba Doni ngerem mendadak.
***
Mereka makan di sebuah restoran padang yang lokasinya tak jauh dari komplek rumah Mia. Doni memesan banyak makanan, padahal Mia sudah bilang kalau dia tak nafsu makan.
"Biar kelihatan kalo kita bahagia." Doni beralasan.
"Emang kalo makan banyak tandanya bahagia?"
Doni mengedikkan bahu. Ia mengeluarkan hp dan membuka kamera. Ia mengarahkan kameranya agar mereka berdua bisa selfie.
"Pose yang bener!" Perintah Doni.
Mia langsung senyum ke kamera sambil mengacungkan satu jari tengah. Doni keburu mengambil gambar. Begitu melihat hasilnya, Doni jelas marah. "Kenapa sih pake ngangkat satu jari tengah segala?"
"Sori, sori." Kini Mia mengangkat dua jari tengah pada Doni. Wajahnya flat. "Kirim aja ke Rara foto yang tadi. Biar dia tau kalo gue bahagia."
Doni memandangi Mia. Emosinya betul-betul diuji hari ini.
"Lo kenapa mau dijodohin ama gue, Don?" Tanya Mia penasaran.
"Biar bisa balas dendam ke kamu."
"Dendam dibully waktu TK?" Cewek itu mengernyit heran.
"Bukan itu aja. Kamu nggak inget kalo kamu udah nolak aku tiga kali?"
Mia terkejut bukan main, "Eh buset, kapan woy?"
"TK. SD. Sama waktu kamu SMA di Surabaya."
"Bentar, bentar. Gue nggak inget."
Doni menegakkan punggungnya, "Waktu TK kita pernah main nikah-nikahan. Kamu lebih milih Miko daripada aku."
Dahi Mia berkerut. Dia tak ingat sama sekali. Siapa juga yang ingat momen tidak jelas begitu?
Doni melanjutkan, "Waktu SD kamu lebih milih duduk sebangku sama Andari daripada aku."
Kerut di dahi Mia makin dalam.
"Terakhir waktu SMA. Waktu kamu mudik, kita semua ngumpul di kafe Miko. Kita main truth or dare. Aku dapet tantangan buat nyatain rasa ke kamu, yang notabene cewek tukang bully waktu SD."
"Tapi waktu itu-"
"Aku udah nyatain. Tapi kamu ketawa. Kamu bilang mukaku lucu waktu nyatain perasaan." Potong Doni cepat.
"Ya emang muka lo lucu, Don."
"Sekarang aku mau balas dendam dengan bikin kamu terjebak sama aku seumur hidup."
"Serem amat, Don!" Mia merinding. "Terus Edna gimana? Ghea? Gebetan-gebetan lo?"
"Aku masih bisa jalan sama mereka meskipun jadi suami kamu."
Mia tertawa geli, "Lo kira kita lagi main sinetron? Drama amat hidup lo, Don!"
"Aku serius. Jaman sekarang mana ada yang bisa nolak cowok berseragam kayak aku?"
Mia geleng-geleng kepala, perutnya sampai kram karena menahan tawa. "Lo kira lo tuh keren banget, gitu? Sadar, woy! Di atas langit masih ada langit! Pangkat lo masih letnan aja udah sebegini belagunya, apalagi kalo ntar jadi laksamana? Bisa-bisa lo bangun harem di Sampit buat selir-selir lo!"
Kedua alis Doni bertaut. Uh oh, emosi lagi dia.
"Mulutmu itu sering bikin orang sakit hati, nyadar nggak?"
"Sadar. Orang yang sakit hati karena denger bacot gue berarti mereka nggak nyadar sama realita tentang diri mereka sendiri. Harus ada orang yang ngingetin. Contohnya kayak elo gini."
"Maksud kamu apa??"
"Tuh, kan. Otak lo aja nggak nyampe buat cerna omongan gue barusan, sok-sok an mau bikin gue terjebak sama lo seumur hidup. Yakin lo kuat?" Cibiran Mia membuat Doni makin naik pitam. Cewek ini mulutnya sangat pedas. Hati Doni sudah sangat panas hanya dengan mendengarnya. Ia mengepalkan kedua tangan di atas meja. Mia tersenyum sinis karena melihat kabut amarah di wajah Doni. Ia masih ingin meneruskan. "Kalo diinget-inget, gue kapan hari pernah nemenin anak kecil visum gara-gara dilecehin sama guru sekolahnya. Namanya Doni juga. Kayak elo. Gue sampe mikir, masa iya yang namanya Doni itu bejat semua?"
Pipi Mia ditampar keras.
Suaranya mengejutkan seisi restoran yang sedang sepi pengunjung. Karyawan di sana langsung mendongak karena penasaran dengan apa yang sedang terjadi.
Tamparan Clara kemarin tidak ada apa-apanya dengan tamparan barusan.
Mia meludahkan darah ke lantai. Bukan hanya darah, gigi gerahamnya juga copot satu. Untung itu hanya tambalan karena gigi gerahamnya dulu pernah keropos kena desakan gigi bungsu yang baru tumbuh. Meski hanya tambalan, nyerinya tidak terkira. Sakit sekali. Kepala Mia sampai pusing akibat tamparan tak manusiawi barusan.
"Gigi gue copot." Mia meraba gusinya dengan lidah. Darah masih mengucur deras dari sana.
"Kamu yang cari gara-gara!"
"Minta maaf, gih. Siapa tau gue maafin."
"Harusnya kamu yang minta maaf!"
"Elo nabok muka gue sampe gigi rontok, nyet! Nggak kebalik?"
Seorang pegawai restoran menghampiri meja mereka. "Mbak nggak apa-apa?" Ia menawarkan tisu pada Mia. Wajah pegawai itu nampak khawatir.
Mia mendesis karena nyeri gigi yang membuat kepalanya sampai berdenyut hebat.
Doni bangkit berdiri. Ia melemparkan dua lembar uang seratus ribuan ke atas meja sebelum menarik tangan Mia dengan kasar. Mia masih sibuk mengatasi rasa nyeri giginya sampai ia tak berkutik saat diseret Doni keluar dari restoran. Batal makan.
Mia masih pasrah-pasrah saja sampai mereka sudah berada di luar pintu restoran.
"Don!" Ketika Doni menoleh, Mia maju ke depan untuk menendang selangkangan Doni sekuat tenaga. Cowok itu langsung membungkuk kesakitan sambil memegangi selangkangan.
"Bangsat!" Maki Doni emosi.
"Gigi gue copot, njing!" Mia menarik rambut Doni agar ia bisa membenturkan wajah cowok itu ke lututnya. Darah langsung mengucur dari hidung Doni.
"Aarrghh!!" Teriak Doni.
"Kalo mau ribut, ayo ribut sekalian!" Mia melempar tasnya ke tanah. Ia melakukan pemanasan ringan. Bagaimanapun, Doni ini adalah Angkatan Laut. Dia mendapat pelatihan khusus selama pendidikan. Cewek mantan pegiat tawuran seperti Mia bukan lawan sebanding untuk Doni.
Doni lekas pulih dari rasa sakit. Ia menghambur ke depan untuk meninju wajah Mia sekuat tenaga. Cewek itu sampai terpental ke tanah. Pelipisnya berdarah kena buku-buku jari Doni. Satu matanya sampai nyeri dan buta sesaat. Mia menggeram. Dia tak mau kalah begini.
Mia bangkit berdiri dan menyerbu Doni. Cowok itu tak mengantisipasi adanya serangan acak dari Mia. Tubuhnya terjerembab ke tanah. Mia menindih dan memiting lengannya.
"Aaarrrggghh! Lepas, bangsat!!"
Mia mengeratkan pitingan kakinya ke leher Doni. Biar mampus sekalian.
"Gue lepas biar lo bisa ngebunuh gue, gitu? Mimpi lo!" Mia menarik lengan Doni, berniat mematahkannya.
"Lepasss!! Arrghhh!!!"
Mendengar ribut-ribut perkelahian, karyawan restoran berhambur keluar untuk memisahkan mereka.
"Lepas, mbak! Aduh, gustiii!!"
"Mbak, yang tenang, mbak!"
Tubuh Mia dipaksa untuk melepaskan Doni. Cewek itu berontak karena menganggap perkelahian mereka belum usai.
"Cewek gila!" Doni ingin menyerang Mia lagi, namun tubuhnya ditahan oleh tiga orang laki-laki pegawai restoran.
"Maju sini, lo bangsat!!" Mia juga ingin menyerang Doni namun tubuhnya ditahan oleh pegawai lain.
"Tenang, mbak! Ya Allah! Nyebut, nyebut!"
"Dasar bajingan! Mentang-mentang lo Angkatan terus gue cewek, lo bisa seenaknya ngegampar gue! Banci lo!" Mia meludah ke tanah. Ludahnya masih berwarna merah, pekat oleh darah segar. Matanya juga perih terkena darah yang keluar dari pelipis.
Doni ditarik masuk oleh para pegawai restoran meski tubuhnya berontak heboh.
Melihat Doni menghilang dari pandangannya, Mia berubah lebih tenang. Pegangan di tubuhnya melonggar.
"Mbak mau diantar pulang?" Salah seorang pegawai yang memeganginya tadi bertanya pelan.
Mia menggeleng, "Gue bisa pulang sendiri." Ia merapikan bajunya lalu memungut tas di tanah. Hpnya tergeletak tak jauh dari tas. Hp itu tak bisa dinyalakan. Layarnya retak.
"Ah elah, hp baru rusak lagi!" Gerutunya kesal.
***
Kapan-kapan aku kasih bonus lagi kalo mataku kuat buat ngetik depan layar lama-lama, ya.
Eh, gimana ceritanya sih kalian nemu cerita 'trouble' ini?
Cerita, dong.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top