17 | KENCAN KASUAL

Aiden sebenarnya ingin sekali tidur karena sadar ia tak akan bisa menikmati film. Selama ini, film genre apapun belum ada yang berhasil menarik minatnya. Bagi cowok itu, film yang ditayangkan tidak ada bedanya seperti gambar bergerak yang diberi suara. Berhubung Mia kelihatan sangat ingin nonton, Aiden oke-oke saja. Tapi bagaimana ia bisa tidur kalau Mia terus-terusan berteriak di sebelahnya?

Aiden lebih kaget karena mendengar suara Mia daripada dengar jumpscare film yang sedang ditayangkan.

Cewek itu sudah meringkuk di kursinya sendiri. Dia bingung bagaimana cara menutupi matanya sedangkan ia penasaran dengan jalan cerita film. Mau memeluk Elsa di sebelah, tapi sudah duluan dimonopoli oleh Anton.

Cowok berbadan besar itu ternyata lebih pengecut daripada Mia. Kedua kakinya sudah memanjat kursi. Tiap ada jumpscare, teriakan Anton yang paling kencang. Sesekali ia berlindung di bawah ketiak Elsa. Wajahnya pucat dan kelihatan ingin segera pulang.

"Mas Anton, kak Elsanya dibagi, dong!" Mia merengek setengah berbisik. Ia sudah hampir menangis karena teror film.

Mendadak Mia menjerit, mengagetkan semua orang.

"Maaf." Aden merasa bersalah karena mengejutkan Mia lewat sebuah tepukan di bahu.

"Resek banget sih, om!"

"Saya mau nawarin badan saya. Daripada kamu gangguin Elsa dan Anton."

Tanpa ba-bi-bu, Mia langsung merapatkan tubuhnya pada Aiden sambil memeluk lengan cowok itu erat-erat.

"Udah tau takut kenapa milih film horror?" Tanya Aiden sambil berbisik.

"Olahraga jantung. Biar mental saya nggak letoy-letoy amat." Mia balas berbisik. Ia menyembunyikan wajahnya di balik lengan Aiden karena jumpscare akan dimulai lagi. Merasa tidak nyaman dengan posisi mereka, Aiden melepaskan pegangan Mia agar ia dapat memeluk cewek itu dengan satu tangan. Pembatas kursi yang biasa dipakai untuk tempat minum ia naikkan ke atas. Jadi sekarang sudah tidak ada sekat di antara mereka.

"Om kok nggak takut, sih?" Mia mendongak tipis-tipis.

"Saya lebih takut kamu diusir sama petugas bioskop gara-gara teriak terus."

Aiden merasakan perutnya dicubit oleh Mia. Rasanya sakit sekali, tapi ia menahan diri agar tidak berteriak. Ia tak mau dianggap seperti Anton. Si pengecut berbadan besar, berteriak karena nonton film horror.

***

"Badan gede tapi nyali kayak curut!" Mia terbahak-bahak sambil memegangi perutnya yang kram karena kebanyakan ketawa sejak tadi.

Anton tidak terima, "Teriakanmu juga yang paling cempreng sestudio, dek!"

"Bukan suara gue, dihhh!" Mia ngeles, seperti biasa.

"Suaramu! Aku loh hapal cemprengnya berapa oktaf!"

"Jangan ngada-ngada, deh! Itu kan suara mas Anton sendiri! Bikin malu aja! Tau gitu tadi pura-pura nggak kenal!"

"Kapan aku teriak, heh? Jelas-jelas suaramu, kok!"

Elsa dan Aiden berjalan mengekor di belakang dua bocah yang sedang berdebat itu. Mereka baru keluar dari bioskop dan berniat untuk mencari tempat makan.

"Padahal dua-duanya pengecut." Gerutu Elsa sambil memijat lengannya yang sakit habis ditarik-tarik Anton sepanjang nonton film. Cowok itu butuh perlindungan karena takut.

Aiden tertawa kecil, "Kalau bergaul dengan mereka, saya jadi awet muda. Mereka berkelahi seperti anak kecil. Saya suka menontonnya."

"Mereka emang sering berantem nggak jelas begitu. Nggak peduli tempat juga. Jodoh, kali!"

Aiden sontak menoleh ke arah Elsa, ia penasaran. "Memangnya kamu sama Anton bukan pasangan?"

"Ya bukanlah! Kita akrab dari kecil. Nggak tau deh akhir-akhir ini Anton ngebet banget minta ditemenin nonton. Film milih sendiri, eh malah takut." Elsa kelihatan sebal karena tidak bisa menikmati film sama sekali. "Ngomong-ngomong, kok bisa akrab sama Mia?"

Aiden tersenyum kecil, "Iya. Saya suka bergaul dengan dia."

"Mia memang anaknya supel. Tapi kalian kapan akrabnya? Setau gue kalian nggak saling kenal."

"Kami bertemu pertama kali di Swiss. Waktu itu Amelia mengejar kalian sampai sepatunya rusak."

"Ngejar?" Kedua mata Elsa membulat. "Dia ngejar kami sampe heliport?"

"Nggak sempat. Ketemu saya waktu di jalan. Saya tawarin tempat menginap."

"Ooohhh. Jadi rumah yang waktu itu rumah elo?"

Aiden mengangguk, "Saya dengar dari asisten rumah tangga di sana, kamu sama Anton yang menjemput Amelia."

Elsa mengangguk, "Iya, dia ngirim lokasi. Jadi deketnya dari situ?"

Aiden tersenyum lagi.

Di lain pihak, Anton yang sudah tiba-tiba akur dengan Mia mengajak cewek itu berjalan agak jauh di depan. Ia merangkul pundak Mia agar bisa bicara dengan suara rendah.

"Aku kira kalo nonton film horror, cewek takut terus nempel-nempel sama cowoknya. Ternyata rencanaku gagal, dek." Ujar Anton.

"Mas Anton geblek banget! Nggak ada obat! Sebelum ini nggak pernah nonton horror emang?"

"Nggak pernah nonton film di bioskop, dek."

"Astaghfirulloooh, makanya jangan kerja mulu, mas!"

"Kalo nggak kerja, pom bensinku nggak bakal ada empat, dek! Kontrakanku nggak bakal ada dimana-mana!" Anton membela diri. "Bantuin napa, dek! Mamaku udah nyuruh aku nikah tiap hari. Aku pengennya nikah sama Elsa."

Mia menoleh ke belakang, ke arah Aiden dan Elsa yang sedang mengobrol sambil berjalan mengikuti mereka berdua.

"Kalo gue bantuin, upahnya apa?"

"Kebacut (Keterlaluan) kamu, dek!"

"Upah dulu, baru kerja."

"Yaudah kamu mau minta apa?"

Mia berpikir sejenak. "Gue belum tau pengen apa, mas."

"Terus kalo kamu nggak tau mau dikasih upah apa, nggak kerja-kerja, dong?" Wajah Anton memelas, "Yah, keburu mamaku gendong cucu dari Ullie sama Bian, dek! Beneran jadi jomblo karatan kalo Elsa dicaplok orang duluan!"

Mia merasa kasihan, "Tenang, tenang, mas. Urusan beginian perlu taktik dan strategi. Bakal gue bantuin, kok. Lo udah kayak keluarga gue sendiri." Mia menepuk bahu Anton yang kekerasannya mengalah-ngalahi beton. "Pasti gue bantu. Gue nyusun rencana dulu, ya?"

"Tapi jangan lama-lama, ya?"

Mia mengangkat satu jempolnya. "Gue haus. Beliin gue boba, mas."

Anton mengacak rambut Mia. "Minta berapa? Dua? Tiga? Sekasir-kasirnya ntar aku kasih buat kamu."

"Sombong amat itu bacotnya! Udah sana beliin. Seret, nih!"

Anton menoleh ke belakang, "Elsss! Minta boba, nggak??"

Elsa mengangguk, "Yang biasa!"

"Siap!"

"Cieleeehh, udah hapal nih kesukaan calon istri." Goda Mia sambil berbisik. Anton senyum-senyum najis.

***

Karena Aiden tidak ditawari boba oleh Anton, jadi Mia menawarkan miliknya selagi mereka menunggu makanan dihidangkan ke meja mereka. Anton dan Elsa sudah tidak bersama mereka lagi. Anton mencari alasan agar mereka tidak terkesan seperti sedang double date. Lagipula kelamaan berkumpul dengan Mia bisa membuatnya gagal fokus untuk pedekate dengan Elsa gara-gara keseringan ribut.

"Kenapa kita nggak makan bareng mereka?" Tanya Aiden sebelum menyedot minuman Mia. "Ini enak, loh." Ia menyedot lagi. Beberapa boba masuk sekaligus ke mulutnya.

"Nggak peka amat! Mas Anton tuh lagi pedekate sama kak Elsa. Pendekatan. Masa digangguin?"

"Kayaknya Elsa nggak tau kalau lagi didekati." Aiden mengembalikan minuman Mia yang tinggal separuh.

"Cerita apa aja tadi?" Mia menghabiskannya dalam sekali minum karena makanan mereka sudah datang.

"Dia nggak sadar dengan maksud perubahan sikap Anton. Kenapa Anton nggak langsung terus terang aja, ya?"

"Mereka kenal sejak kecil, om. Kan kita nggak tau gimana perasaan kak Elsa ke mas Anton. Kalo gegabah, bisa-bisa kak Elsa kaget. Iya kalo perasaan mas Anton dibalas, kalo enggak? Bisa canggung seumur hidup ntar mereka." Mia menyandarkan kepalanya ke lengan Aiden. Untung cowok itu memilih tempat duduk di pojok, jadi mereka kebagian kursi empuk dan juga privasi.

"Kamu pengamat juga ternyata."

"Om nggak risih minum dari sedotan yang sama? Kayak lagi ciuman nggak langsung, nih." Mia mengamati sedotan bekas minumnya, tiba-tiba kepikiran.

"Kita udah pernah ciuman. Nggak inget?"

Mia menegakkan punggungnya, "Masa dihitung sih itu? Kan saya lagi teler!"

Aiden mengedikkan bahu cuek, "Bagi saya sama saja."

Mia mendengus, lalu menyandarkan kepalanya lagi di lengan besar Aiden. Cowok itu ganti memeluknya supaya Mia bisa duduk dengan nyaman. Aiden bisa merasakan suhu tubuh Mia yang makin meningkat.

"Badan kamu tambah panas. Habis makan kita langsung pulang, ya?"

Mia mengangguk. "Suapin dong, om! Saya mager, nih." Ia memainkan sedotan, kelihatan malas dan lesu. Wajahnya juga lebih pucat.

"Manja banget!" Meski bilang begitu, Aiden tetap menyiapkan tempat makan mereka.

"Namanya juga sugar baby. Kudu manja-lah! Biar disayang. Dapet hadiah banyak, deh." Mia to the point. Hari ini dia ingin nempel-nempel pada Aiden. Bawaannya mau manja terus. Dulu waktu masih serumah dengan Ullie, Mia selalu manja ke Ullie biar diurusin kalau sakit. Berhubung adanya Aiden, ya... syukuri apa yang ada.

Aiden mengalah. Ia memindahkan tubuh Mia agar cewek itu bersandar di tempat duduk, jadi ia bisa menyuapinya.

"Mau makan yang mana dulu?"

"Umm..." Mia mengamati satu persatu makanan di meja mereka. Ada sup jagung, mapo tofu, udang asam manis, tumisan baby buncis, dan kwetiau. Ia memilih restoran makanan Cina yang porsinya selalu banyak untuk sekeluarga. "Kok mendadak nggak nafsu makan, ya?"

"Kamu sendiri lho yang pesan makanan segini banyak."

"Efek nggak enak badan kali ya, om? Bawaannya pengen rebahan terus." Mia memeluk lengan Aiden, tiba-tiba merasa pusing. Aiden menyentuh dahi Mia dengan telapak tangannya.

"Kita pulang aja, ya?"

"Makanannya diapain, nih? Sayang kalo dibuang. Bungkus aja."

Aiden mengangkat satu tangannya ke atas untuk memanggil pelayan. Begitu pelayan datang ke bilik mereka, Aiden meminta agar semua makanan yang belum sempat disentuh itu segera dibungkus.

***

Mia menghela napas berat. "Om, saya ada obat di rumah. Nggak usah ke rumah sakit, lah. Dibawa tidur juga sembuh." Entah untuk yang ke berapa kali Mia mencoba untuk mengubah pikiran Aiden agar tidak membawanya berobat ke rumah sakit.

"Ke klinik saja kalau begitu."

"Aduh, sama aja!" Mia merengek, "Saya pengen tidur, om. Makan, minum obat, ngoles salep, terus masang koyo, udah beres. Besok pasti sembuh." Lanjutnya.

"Kamu tinggal sendirian, Amelia. Nanti kalau di rumah terjadi sesuatu sama kamu, saya yang khawatir."

"Terus masa om mau nginep di rumah saya? Nanti digrebek warga disuruh kawin paksa, gimana?"

"You talk nonsense again (Kamu ngaco lagi)."

Mia menghela napas untuk yang ke sekian kalinya. Kursinya sudah ia turunkan agar ia bisa tiduran dengan nyaman.

"Menginap di rumah saya bagaimana?" Lanjut Aiden.

"Duh, repot amat."

"Kalau gitu kita ke rumah sakit. Pilihannya antara dua itu aja."

Mia gemas tapi dirinya terlalu lesu untuk membantah. "Terserah lah!"

"Good. Kita pulang ke rumah saya."

Mia memutar bola mata. "Ada kamar kosong, kan?"

"Ada."

"Oke kalo gitu."

"Kemarin mau ngomong apa?" Pandangan Aiden masih fokus pada jalan di depan.

"Kemarin?"

"Yang kamu minta ketemu sama saya malam-malam."

"Oh." Mia langsung ingat. "Waktu itu saya mau nanya, kenapa om beli rumah sakit tempat saya lagi tugas?"

Ada jeda agak lama sebelum Aiden menjawab. Untung Mia penyabar kadang-kadang. "Sudah lama saya tertarik beli rumah sakit."

"Kenapa harus rumah sakit itu? Bangun sendiri nggak bisa?"

"Lebih praktis. Kebetulan kamu ada masalah di sana. Masalahmu bisa dijadikan bahan negosiasi."

Mia geleng-geleng kepala. "Pantes tajir, licik ternyata."

Padahal Mia bermaksud menyindir, tapi Aiden malah mengulum senyum.

"Emang urgency-nya apa sih sampe kudu punya rumah sakit sekarang?" Lanjut Mia lagi. Rasa penasarannya masih tinggi.

"Orthopedi (spesialis tulang) sama fisioterapi (terapi fisik untuk menghindari cacat akibat cidera atau penyakit) di sana terkenal bagus. Jadi saya bisa ngebenerin tulang saya yang geser kapanpun saya mau."

"Tulang om geser kenapa dah?"

"Sering pegal. Rasanya mirip kayak tulang digeser."

Mia memandangi Aiden dengan tatapan tak percaya, "Kalo sultan sehari-harinya emang gini, ya?"

"Kenapa?"

"Rakyat jelata kalo pegel perginya ke tukang urut. Situ malah ngebeli rumah sakit. Sengaja ya nggak ngikutin trend biar keren?"

"Menurut kamu saya keren?"

"Pas lagi royal sama saya jelas keren. Apalagi pas ngeluarin saya dari penjara kemarin. Wah, itu kerennya nggak ada obat! Makanya saya mau berterima kasih. Om udah banyak bantu saya."

Aiden tertawa kecil. "Sama-sama. Lagipula itu tugas saya sebagai sugar daddy kamu."

"Perjanjiannya banyak nguntungin saya. Om nggak rugi?"

"Bagi saya perjanjiannya adil, kok."

"Adil begimana? Om ngeluarin banyak duit buat saya, ngurusin saya juga."

"Sebagai gantinya, kamu ngasih saya hiburan. Bergaul sama kamu bikin saya senang. Saya merasa lebih hidup dan santai kalau kamu ada di sekitar saya. Worth it."

"Emang biasanya om nggak santai?"

"Mirip kamu. Sering tegang. Untung sekarang udah ketemu obatnya."

Mia tertawa, "Ada ya ternyata kasus begitu?"

Aiden mengangguk.

***

Sejak dari keluar mobil menuju lantai unit apartemen Aiden, Mia terus memeluk lengan cowok itu. Selain agar bisa menempel dan bermanja-manja, ia juga butuh tumpuan agar tidak jalan oleng. Salah-salah jalan, bisa nyungsep lagi.

"Ingat-ingat sandinya." Aiden menekan enam digit angka lalu membuka pintu.

"Boleh emang?"

Aiden mengangguk, "Saya percaya kamu. Kamu boleh kesini kapanpun kamu mau."

Mia dituntun masuk ke dalam apartemen yang setengah kosong. Tak banyak perabotan di sini, memberi kesan luas. TV-pun tak ada. Di ruang tamu hanya ada sofa kulit berwarna hitam dan lemari buku kecil di sampingnya. Jendela besar yang menawarkan pemandangan kota tidak ditutupi tirai. Kalau mau, Mia bisa salto sambil kayang bolak-balik di sini tanpa hambatan. Paling hanya patah tulang.

"Rumah om kok kosong melompong gini?" Tanya Mia heran.

"Saya baru pindah. Belum sempat belanja." Aiden meletakkan kunci di atas meja samping rak sepatu. Ia melepas sepatunya agar bisa diganti sandal.

"Nyuruh orang kan bisa buat ngurus interiornya."

Aiden menggeleng, "Saya nggak suka rumah saya dimasukin orang asing."

"Pak Alan?"

"Alan sibuk. Saya nggak mau nambah beban pekerjaannya. Kasihan, sudah tua."

"Ngegaji asisten baru?"

"Asisten saya kerjanya di kantor. Bukan buat ngurusin saya."

Otak Mia langsung teringat hubungan bos-asisten antara Fabian dan Ullie. Ia tertawa. "Bos yang bener emang yang kayak om begini."

"Emang ada yang nggak bener?"

"Ooh, jelas ada!" Mia tersenyum kecil, membuat Aiden penasaran. "Saya tidur dimana, om?" Mia buru-buru mengalihkan topik.

"Di atas. Makan dulu, minum obat. Baru istirahat." Cowok itu menggandeng Mia menuju dapur.

Sepanjang perjalanan ke meja makan, Mia terus-terusan memandangi kedua tangan mereka yang saling terkait. Ini bukan pertama kali Mia digandeng cowok. Tapi kenapa yang ini rasanya mendebarkan, ya?

Aiden menarik kursi untuk Mia, lalu mendudukkan cewek itu di sana selagi ia menyiapkan makanan yang mereka bungkus dari restoran.

"Disuapin?" Tawar Aiden.

Mia buru-buru menggeleng, berubah pikiran. "Makan sendiri." Bisa meledak jantungnya kalau disuapi Aiden.

Cowok itu duduk di depan Mia, menyiapkan makanan.

"Om duduk sebelah saya aja, dong!"

"Kenapa?"

"Saya deg-deg an kalo liat om sambil makan. Nanti makanannya langsung jadi ampas, nggak sempat diserap jadi nutrisi."

"Ngaruh?" Aiden keheranan.

"Ngaruh. Sama omongan calon dokter kayak saya, om nggak percaya? Saya lulusan cum laude lho waktu wisuda kemarin." Mia menepuk kursi di sebelahnya. Dia ngibul tanpa rasa bersalah. Wajahnya dipasang flat agar Aiden percaya.

"Oke, oke. Saya percaya." Aiden bangkit agar bisa duduk di sebelah Mia.

Tuh, kan. Aiden gampang dibohongi.

Mereka makan dalam diam dan penuh ketenangan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top