16 | DATE (?)
Tubuh Mia berasa seperti diremukkan begitu ia membuka mata. Jam dinding sudah menunjukkan pukul tiga sore. Dia terserang demam ringan, efek dari luka-luka yang ia dapatkan sejak berkelahi dan jatuh ke selokan. Semua tulangnya terasa nyeri. Ia bangkit duduk dengan perasaan buruk.
Ketika memeriksa hp, sudah ada lima panggilan tak terjawab dari Aiden. Ia menelepon balik. Panggilan itu diangkat pada dering kedua.
"Chéri?"
"Ha-" Mia berdeham sekali untuk melumasi tenggorokannya yang kering, "Halo?"
"You sound weird (Suaramu aneh). You okay (Kamu nggak apa-apa)?"
"Saya baru bangun, om."
"Oh. Maaf mengganggu istirahat kamu, chéri."
"Nggak apa-apa. Om mau jemput jam berapa?"
"Terserah kamu. Kamu terdengar capek sekali. Kita bisa ketemu lain kali kalau kamu masih ingin istirahat."
"Saya nggak apa-apa, om. Berangkat jemput saya sekarang juga boleh. Saya siap-siapnya cepet, kok."
"Yasudah kalau begitu."
"Emang kita mau kemana, om?"
"Tergantung kamu. Ada ide?"
"Nonton film? Saya lagi nggak mood jalan-jalan." Mia memijat kakinya yang sakit.
"Sure. Saya jemput sekarang, ya?"
"Okay."
Usai menutup telepon, Mia memaksakan diri untuk bangkit dari kasur dan mandi. Lesu sekali badannya, mirip orang yang puasa lima hari lima malam. Bawaannya ingin rebahan terus. Tapi Aiden pasti kecewa kalau Mia membatalkan rencana mereka secara mendadak. Padahal tugas utamanya kan menyenangkan hati Aiden.
Biasanya Mia paling semangat kalau pergi main ke luar. Dia akan dandan habis-habisan. Namun hari ini, mau pakai baju karung beras-pun rasanya tidak masalah.
Akhirnya ia memilih sebuah tank top jumpsuit motif floral berwarna merah muda. Rambutnya ia cepol ke atas karena malas mencatoknya. Make up juga hanya sebatas primer, bedak, maskara, dan lip tint warna natural. Pokoknya tidak kelihatan pucat saja, beres.
Nah, sekarang parfum. Ia mengeluarkan parfum mahal andalannya. Ia menyemprotkan sedikit ke udara lalu berjalan di bawah hasil spray. Baunya harum dan menyenangkan.
Sedangkan untuk alas kaki, Mia memilih untuk mengenakan sandal biasa. Toh tumitnya belum sembuh benar.
Terdengar suara klakson mobil di depan rumah. Mia buru-buru mengambil tas berisi dompet, hp, dan sebotol air. Kalau dalam keadaan tidak fit begini, dia harus minum air banyak-banyak agar tidak dehidrasi.
"Hai, chéri." Sapa Aiden begitu Mia masuk ke dalam mobil. Si om bule kelihatan santai dengan kaos polo warna biru muda dan celana pendek serta sepatu kets adidas. Gayanya persis anak muda.
Mia tersenyum manis untuk membalas sapaan sugar daddynya. Ia mengambil cermin kecil dari dalam tas untuk memastikan bekas cakaran di leher dan dadanya sudah tercover sempurna oleh foundation.
"Kamu kelihatan cantik hari ini." Puji Aiden setelah mengamati penampilan cewek di sebelahnya. Pujian bernada manis itu membuat dahi Mia berkerut.
"Om belum liat saya dandan berarti."
"Sudah pernah. Kita pertama ketemu waktu kamu jadi bridesmaid, ingat?" Aiden mengemudikan mobilnya keluar dari halaman Mia.
"Oh, iya juga. Tapi hari ini saya nggak banyak dandan, om. Masa cantik?"
Aiden mengangguk. "Nggak berlebihan. Saya suka."
Mia mengulum senyum. Girang sekali hatinya dipuji Aiden begitu.
"Hari ini mau nonton film apa?" Lanjut Aiden.
"Tadi saya liat ada film horror, romantis komedi, sama action. Tayangnya barengan sekitar dua jam lagi. Om suka yang mana?"
"Romantis komedi."
Hidung Mia berkerut tanpa sadar, "Dih. Serius??" Badan segede Aiden suka film menye-menye?
"Becanda."
"Terus sukanya apa?"
"Kamu."
Mia menutupi kegirangan hati dengan sebuah dengusan, "Serius, om!"
"Iya, maaf. Horror?"
"Nggak takut emang?"
Aiden menggeleng, "Biar nggak ketiduran."
"Om nggak suka nonton, ya?"
"Bukan nggak suka. Kurang menikmati aja."
"Kita nggak harus nonton, kok."
"Nggak apa-apa. Saya juga sedang nggak pengen terlalu banyak jalan. Book tiketnya sekarang, ya."
"Siap, bos!" Mia langsung membuka aplikasi yang menyediakan pemesanan tiket bioskop.
***
"Kenapa jalanmu begitu? Kakimu sakit?" Aiden merasa aneh dengan cara berjalan Mia sejak mereka turun dari mobil. Miring ke kanan kiri seperti orang pincang.
"Kemarin jatuh." Mia reflek memeluk lengan besar Aiden untuk membantunya berjalan. Cowok itu terpaksa harus mengikuti tempo jalan Mia yang lambat.
"Jatuh?"
Mia mengangguk singkat. "Pas jaga malem, denger orang lagi mesum di gudang. Saya teriakin, eh nggak taunya kepleset masuk got. Untung gotnya kering."
Aiden menghentikan langkah mereka. Padahal mereka belum masuk ke gedung mall, masih di parkiran mobil yang sepi. Tiba-tiba Aiden berjongkok dan mengangkat kain jumpsuit yang menutupi kaki Mia. Cowok itu terkejut melihat banyak luka di kulit Mia. Bukan hanya luka, di beberapa tempat juga muncul lebam kebiruan. Ia buru-buru mengecek kaki satunya. Kedua betis Mia dipasangi koyo cabe super hot.
Aiden mendongak untuk menatap Mia. Wajahnya mendung. "What the hell is this?!"
Mia menggaruk kepala. "Gara-gara masuk got, om." Ulangnya.
Aiden bangkit berdiri. "Kenapa nggak cerita? Kita nggak perlu keluar hari ini dan membuat kamu berjalan kemana-mana pake kaki yang luka begitu!"
Yah, Mia kena semprot.
Aiden menyentuh dahi Mia yang hangat.
"Kamu demam. Ayo, pulang!" Aiden sudah menarik tangan Mia. Namun cewek itu menahannya.
"Sudah minum obat, kok."
Aiden menatapnya tak percaya, "Kamu sekurang kerjaan apa sampai meneriaki pasangan mesum saat jaga malam? Membiarkan diri kamu terluka begini!" Aiden terdengar amat kesal. Iris abu-abunya terlihat sangat gelap kalau sedang emosi. "Ada pasal dalam perjanjian yang menyebutkan kalau kamu harus bisa menjaga dirimu sendiri kalau saya tidak ada!"
Lagi-lagi Mia menggaruk kepalanya. Ia ingat pasal itu. Kemarin ia baru membacanya.
"Kemarin kamu bilang sedang memandikan mayat. Kamu bohong sama saya?"
Mia meringis. Baru tanda tangan kontrak, Mia sudah melanggar aturan nomor tujuh tentang kejujuran.
Aiden mendesah frustasi.
Mia menggoyangkan lengan Aiden dengan gaya manja, "Saya mau nonton film, om."
"Seharusnya saya sadar kalau dibodohi! Mana ada orang memandikan mayat sambil balas pesan!" Aiden menggerutu, mengabaikan rengekan Mia.
"Om kalau lagi marah ganteng, deh!" Meski takut karena sedang dimarahi, Mia tetap nekat membuat Aiden luluh. Ia harus segera mengembalikan suasana hati si sugar daddy agar tak marah lagi padanya.
"You talk nonsense (Kamu bicara omong kosong)!"
Mendengar itu, Mia mendengus kesal. Ia menyentak lengan Aiden lalu berjalan menuju mobil secepat yang ia bisa dengan keadaan kaki terluka. Tentu saja Aiden dengan mudah mengejarnya. Cowok itu lebih dulu sampai mobil dan membukakan pintu untuk Mia.
Mia mendadak makin kesal. Ia berubah pikiran dan langsung balik badan menuju mall. Kalau mau pulang terserah! Mia akan nonton film sendirian! Lagipula dia pegang kartu debit platinum yang tak akan habis meski ia memborong belanjaan semall!
"Where do you think you're going (Kamu mau kemana, hah)?"
"Naik haji!!" Teriak Mia asal. Kesal sekali hatinya.
"Get back here (Balik ke sini)!"
"Nggak mau!!" Mia masih jalan pincang. Tinggal beberapa langkah lagi sampai ia masuk ke dalam mall.
"Amelia!"
"Bodo amat! Gue budek! Nggak denger om ngomong apaan!" Kalau emosi, sopan santunnya hilang.
"Get your ass back in here (Kembali kesini kubilang)!"
"Nggak mau! Saya mau nonton film! Pulang aja sono sendiri! Saya cari sugar daddy baru!"
Aiden membanting pintu mobilnya lalu mengejar Mia. Dia gemas sekali dengan cewek itu. Sudah tahu kaki penuh luka, masih saja keras kepala. Mana pake mengancam mau cari sugar daddy baru segala.
"Kakimu sakit, Amelia!"
"Mana?" Mia menggoyangkan kakinya dengan sengaja untuk membuat Aiden makin marah. "Kaki saya yang sakit, tapi situ yang repot. Aneh!"
"Seriously?" Aiden baru tahu ternyata Mia sangat kekanakan. Kata-katanya sama sekali tidak diindahkan. Terbukti dengan menghilangnya Mia ke dalam mall.
Sekarang Aiden mulai memikirkan kembali keputusannya untuk memilih Mia sebagai sugar baby-nya.
***
Mia memeluk sebaskom besar popcorn. Tangan kanannya membawa minuman. Botol minumnya disita oleh petugas keamanan yang berjaga di depan bioskop. Dia lupa tidak menyelundupkannya dulu tadi. Mia kelihatan repot, namun hatinya senang. Perdebatan dengan Aiden di parkiran tidak membuat mood Mia terus-terusan memburuk. Sambil tertatih ia mencari tempat duduk kosong yang bisa ia gunakan selagi menunggu pintu teater dibuka. Masih ada setengah jam lagi sebelum filmnya dimulai.
Seseorang mengambil minuman dari tangannya.
Ternyata Aiden.
Ia memeluk pundak Mia untuk menuntunnya menuju sofa kosong di dekat teater mereka. Aiden tak mengatakan apa-apa sampai mereka duduk. Mia-pun sedang tidak ingin bicara. Ia lebih memilih ngemil popcorn sambil memperhatikan sekeliling, ke arah pengunjung bioskop yang kebanyakan datang berpasang-pasangan.
Perhatian Mia tertuju pada satu sosok, ah bukan! Maksudnya dua sosok orang yang baru masuk bioskop. Mereka sedang mengantri di tempat pembelian tiket. Mia reflek menutupi wajahnya dengan baskom popcorn.
"Kamu ngapain?" Tanya Aiden yang melihat tingkah aneh Mia.
"Ada Clara. Sama dr. Irwan." Bisik Mia.
Kepala Aiden terangkat untuk melihat sosok yang dimaksud Mia. Cewek itu buru-buru menarik tangannya agar kepala Aiden tidak celingukkan.
"Kalo ada mereka terus kenapa?" Aiden heran dengan reaksi Mia.
"Pasangan mesum yang kemarin saya teriakin itu mereka!"
Aiden baru ngeh. Kedua alisnya terangkat tinggi. "Mereka liat kamu?"
Mia menggeleng, "Nggak tau." Ia mengintip dari balik baskom. "Kalau Clara tau saya jalan sama om, bisa jadi gosip ntar!"
Aiden justru memeluk pundak Mia dengan satu lengannya yang berat.
"Sana, om! Jangan dekat-dekat! Kita nggak kenal!" Usir Mia. Gelisah sekali dia. Cemas kalau ketahuan.
"Kamu malu jalan sama saya?"
"Aduh, pengertian dikit kek!"
"Saya kurang pengertian apa lagi? Kamu bersikeras nonton film dengan kaki begini-" Aiden menepuk lutut Mia hingga membuat cewek itu mengaduh, "-saya turutin."
"Loh, saya ini lagi bekerja keras bikin om senang, lho!"
"Bukan gini caranya bikin saya senang." Aiden mengangkat satu alisnya.
"Terus gimana?"
"Kamu nurut apa kata saya."
"Yaelah, tiketnya udah dibeli. Kan rugi kalo nggak jadi nonton! Lagian mumpung saya libur, nih. Ngalah aja kenapa sih, om!"
Kok malah Mia yang marah-marah?
"Fine." Aiden mendengus. Ia sempat melirik ke arah dua sosok yang dihindari oleh Mia. "Mereka sudah pergi, tuh."
Mia mengintip. Benar. Clara dan dr. Irwan sudah tidak kelihatan dimana-mana. Semoga mereka tidak nonton film yang sama dengan mereka. Sejauh yang Mia tahu, dr. Irwan penyuka film genre action. Sedangkan Clara jelas sukanya komedi romantis.
"Kenapa kemarin kamu meneriaki mereka?"
Pertanyaan Aiden membuat Mia menoleh. "Mereka lagi ena-ena sambil ngomongin saya."
Dahi Aiden berkerut tak mengerti, "That's sick (Itu buruk)!"
Mia mengedikkan bahu, "Nggak apa-apa. Jadi sekarang saya tau kenapa kemarin dr. Irwan mutusin saya."
"Kenapa?"
"Nggak bisa diajak bobok bareng. Saya kan maunya mantab-mantab kalo udah nikah."
"Wait a second (Tunggu sebentar)." Aiden menegakkan tubuhnya. "You're still virgin (Kamu masih perawan)?"
Mia merutuki dirinya sendiri karena keceplosan. Mulutnya memang perlu disekolahkan supaya tidak nyeplos macam rem blong.
"Jawab saya." Ulang Aiden.
"Dih. Penting banget emang?"
"Buat perjanjian kita? Of course!"
"Apa pentingnya?"
"Selama ini saya berencana untuk tidur sama kamu karena berpikir kamu akan mulai menerima saya."
"Makanya otak tuh rutin divacuum cleaner biar nggak kesitu terus arahnya!"
"Kamu kan sugar baby saya-" Mia memotong ucapan Aiden dengan sebuah sikutan keras di perut hingga membuat Aiden mengaduh, tapi cowok itu masih ingin melanjutkan. "-meskipun saya nggak mau maksa, saya tetap berusaha!"
"Jangan kenceng-kenceng, astaga!!" Mia mendelik galak.
Aiden merendahkan suaranya, "Kalo tau begini, saya jadi nggak bisa ngapa-ngapain kamu."
"Walopun badan saya lebih kecil dari om, saya masih bisa ngasih bogem sampe mata om biru, lho." Mia memberi peringatan.
Aiden mendengus. "Saya lupa kamu masih orang Indonesia. Seks bebas cukup tabu di sini. Tapi banyak yang melakukannya. Kok kamu enggak, sih?"
"Belum pasti dinikahin kenapa mau dibobokin? Kalo tek dung gimana?"
"Apalagi itu istilah tek dung?"
"Hamil, om. Pregnant. Prego. Bunting." Mia memberi isyarat perut puncit dengan kedua tangan.
"Terus apa gunanya kondom sama pil pencegah kehamilan?"
"Orang sini otaknya banyak yang nggak dipake. Maunya enak doang, beli kondom nggak mampu. Apalagi kepikiran pil pencegah kehamilan. Kecuali orang-orang yang punya duit sendiri kayak om gini. Baru deh mikirnya jauh."
"Kamu sendiri kan sudah lebih dari mampu buat ngerti cara mencegah kehamilan, kenapa masih nggak-"
"Keluarga saya religius, om." Potong Mia cepat. "Meskipun saya bentukannya begini, masih ngerti dosa. Orangtua saya bakal kecewa kalau tau saya melakukan seks bebas sebelum menikah. Saya emang nggak sereligius keluarga saya, tapi saya bakal tetep ngerasa bersalah kalo ngelakuin hal yang dilarang sama agama." Mia berpikir sebentar, "Minum alkohol juga nggak boleh, sih. Tapi saya minum tujuannya bukan buat mabok-mabokan. Otak saya jadi kerasa lebih slow jalannya kalo lagi minum. Kalo dalam keadaan biasa, contohnya kayak gini, otak saya sering tegang. Mikirin tugas, ngafalin isi jurnal, nginget-nginget otopsi yang udah pernah saya lakuin buat dipelajari, ngobrol sama om. Otak saya sibuk."
"Kalo ngerokok?"
"Ngerokok nggak dilarang agama. Cuma cap masyarakat aja yang jelek kalo liat cewek ngerokok."
"Saya nggak peduli masyarakat. Saya peduli kesehatan kamu."
Mia mendecakkan lidah, "Om ini ngomongnya udah kayak saya pecandu rokok yang sehari habis lima bungkus aja. Saya cuma nyebat, om. Paling banyak sehari dua batang. Itupun nggak tiap hari!" Ia mengeluarkan jurus ngelesnya.
"I don't care. Kalau di depan saya jangan ngerokok. Kalau mau ketemu saya juga. Cuci mulutmu, sikat gigi, kumur pake mouthwash. Baru ngobrol sama saya."
Mia mengerucutkan bibir. Ingin rasanya mendebat lagi, tapi ia tahu bakal sia-sia.
"Udah dibuka, tuh. Masuk, yuk!" Mia bangkit berdiri begitu pintu teater dibuka. Aiden membawakan popcorn dan minuman mereka, selagi cewek itu berjalan di depan untuk memberikan tiket nonton pada pegawai bioskop yang berjaga di pintu.
***
Setelah sepuluh menit jadi penonton pertama di dalam bioskop, akhirnya teater itu terisi penuh juga. Dua kursi di samping Mia masih kosong. Padahal film sudah mau mulai.
"Eh, buset! Ade Ray Jawa ngapain di sini?" Gumam Mia begitu melihat sosok Anton sedang menaiki tangga. Di belakangnya ada perempuan berambut hitam lurus yang nampak familiar. "Lah? Kencan beneran mereka??" Mia mencondongkan tubuh ke depan, ingin memastikan.
"Siapa?" Aiden jadi penasaran juga.
"Mas Anton, om. Sama bakal calon ceweknya."
Anton dan Elsa berhenti di samping deretan kursi Mia. Mereka kaget melihat Mia. Cewek itu buru-buru mengangkat kedua kakinya di atas kursi milik Anton dan Elsa, menghalangi siapapun duduk. Mirip bocah.
"Di sini nggak boleh pacaran!" Ujar Mia.
Anton kelihatan salah tingkah.
Elsa maju ke depan dan melempar wajah Mia dengan dua butir popcorn. "Minggir!"
Mia takut pada wajah galak Elsa, jadi ia menurunkan kakinya.
"Kok bisa sih di sini?" Tanya Mia penasaran dengan kebetulan yang terjadi.
"Emang ini bioskop bapakmu? Suka-suka kita lah mau nonton dimana!" Anton duduk di kursinya, bersebelahan dengan tangga. Elsa duduk di antara Anton dan Mia, bertugas melerai jika mereka berdua ribut.
Aiden mengulurkan tangan pada Elsa.
"Loh? Kamu tunangannya Gie kemarin, kan?" Elsa membalas uluran tangan Aiden. Ia keheranan.
Aiden mengangguk. "Kamu saudara kembar suami Gie, betul?"
Giliran Elsa yang mengangguk. Ia memandang Aiden dan Mia bergantian. "Kok kalian bisa barengan gini? Saling kenal?"
"Kemarin mister ini yang bantuin kami waktu rumah Mia konslet." Celetuk Anton.
"Oh iya, TV gue belum diganti!" Sahut Mia.
"Udah aku beliin. Ntar kalo nggak sibuk aku anter ke rumah."
"Berapa inch, mas? Gue minta yang segede layar bioskop ini, ya?"
"Cangkemmu (Mulutmu)! Rumahmu gedenya seberapa minta layar TV segede ini, hah?" Anton melempari Mia dengan popcorn. Mia balas melempar.
"Nggak mau tau lah gue!"
"Udah, dong! Jangan berisik! Nanti dimarahin orang! Filmnya mulai, nih!" Keputusan Elsa untuk duduk di antara Anton dan Mia memang sudah benar. Kalau duduk mereka bersebelahan, bisa-bisa mereka diusir keluar karena terlalu berisik.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top