15 | JAGA MALAM
"Makasih ya pak, udah repot-repot datang kemari buat ngirimin saya makanan dan hp baru." Mia berjalan di sisi Pak Alan menuju tempat parkir.
"Saya datang kemari bukan hanya untuk itu. Mr. Delavega juga mengutus saya untuk melakukan hal lain."
"Umm, biar saya tebak. Ngambil obat insomnia titipan om Aiden, ya?"
"Itu juga."
"Loh, ada lagi?" Kini mereka sudah tiba di depan mobil Pak Alan.
"Mr. Delavega ingin memastikan miss Amelia tidak terkena masalah di rumah sakit. Jadi saya bertemu pimpinan di sini. Negosiasi."
Kedua mata dan mulut Mia membulat. "Serius??"
Pak Alan mengangguk, "Sebenarnya saya tidak boleh mengatakan ini pada miss Amelia. Tapi pimpinan rumah sakit hampir mengeluarkan miss Amelia karena dianggap mencemarkan nama baik rumah sakit. Mereka dapat surat teguran tadi pagi dari kepolisian setempat karena dapat aduan dari masyarakat."
Mia hampir menangis. "Terus gimana, pak?"
"Pimpinan rumah sakit tidak mau menerima sumbangan besar dari Mr. Delavega, terlalu keras kepala. Sudah sejak pagi saya di sini, dan baru bisa dapat kesepakatan tadi sebelum bertemu miss Amelia."
Mia mengusap air mata yang jatuh ke pipi. Pikirannya sudah macam-macam. Tinggal satu stase yang perlu ia lewati. Kalau sampai gagal, dia tak akan memaafkan dirinya sendiri. "Kesepakatan apa, pak?"
"Jangan menangis, miss. Mr. Delavega tidak akan suka mendengar laporan kalau saya membuat anda menangis." Kedua ujung bibir Pak Alan ditekuk ke bawah.
Mia berusaha menenangkan dirinya. "Ma-maaf. Jadi gimana tadi pak kesepakatan sama pimpinan rumah sakitnya?"
"Mr. Delavega membeli rumah sakit ini."
Wajah dan otak Mia mendadak blank.
"Kebetulan Mr. Delavega sudah sejak lama tertarik untuk memiliki sebuah rumah sakit. Kami hanya tidak menyangka kalau keinginannya terwujud secepat ini." Lanjut Pak Alan.
Wajah dan otak Mia masih blank.
"Miss Amelia, are you okay?" Pak Alan cemas dengan ekspresi Mia yang menurutnya mengkhawatirkan.
"Ta-tadi katanya pimpinan rumah sakit nggak mau terima sumbangan, kok mau-maunya rumah sakit dibeli?" Mia benar-benar tak mengerti.
"Kami dapat informasi kalau rumah sakit ini sedang kesulitan dana karena hutang asuransi kesehatan belum dibayar oleh pemerintah. Pasien VIP-pun tidak banyak. Sumbangan tidak akan menyelesaikan masalah keuangan mereka. Rumah sakit ini butuh penyokong dana tetap. Lewat akuisisi, rumah sakit punya kesempatan untuk mendapat lebih banyak investasi."
Mia tidak mengerti ilmu perbisnisan. Bukan bidangnya.
Pak Alan tersenyum, "Jangan merasa terbebani. Mr. Delavega melakukan ini bukan semata-mata karena miss Amelia saja. Ini salah satu bentuk win-win solution bagi kami dan pihak rumah sakit." Orang tua itu meraih tangan Mia, menepuk-nepuknya. "Justru saya ingin berterima kasih pada miss Amelia. Kalau tidak ada masalah ini, impian Mr. Delavega untuk memiliki rumah sakit sendiri harus tertunda lebih lama."
"Apa ini sebabnya rumah sakit adem-ayem daritadi? Saya nggak dapat teguran atau hukuman sama sekali." Pikiran Mia mengawang ke angkasa.
Pak Alan mengangguk. "Itu salah satu isi kesepakatan kami. Meminimalisir efek kejadian kemarin sore."
***
From: Meadoobedoo
Om, nanti malam bisa ketemu?
Mia menunggu balasan dengan cemas. Ia duduk di bawah pohon beringin. Begitu ingat sekarang baru selesai adzan magrib, ia buru-buru bangkit. Pohon beringin kan angker. Mana ditanamnya di depan instalasi forensik pula. Pasti udah jadi kos-kosan jin di situ. Nongkrong magrib-magrib bukannya ayem, malah digodain genderuwo sambil diketawain kuntilanak.
Hidih. Ngebayangin aja bikin Mia merinding.
Ia langsung pindah ke koridor.
Tak berapa lama, hpnya berdering. Nomor yang sudah dihafal Mia di luar kepala sebagai nomor Aiden tertera di layar hp barunya. Mia berdeham sebelum mengangkat panggilan itu.
"Amelia, ini kamu?"
"Iya, om."
"Ada apa, chéri? Apa yang terjadi?" Nada suara Aiden agak mendesak. Terdengar seperti sedang cemas. Mia menggigit bibir bawahnya.
"Nggak terjadi apa-apa kok, om. Aman."
"Sungguh?"
"Iya, aman."
Mia bisa mendengar Aiden mendesah lega di seberang, "Ada yang mau kamu bicarakan?"
"Iya. Itupun kalo om nggak repot atau lagi capek."
"Nggak bisa lewat telepon aja? Saya lagi di Jakarta sekarang."
"Ohh..." Mia tidak memperhitungkan kemungkinan kalau Aiden ini laki-laki sibuk yang tidak hanya tinggal di Surabaya seperti dirinya. "Yaudah, nanti aja kalo om balik ke Surabaya."
"Kalau mendesak, kita bisa bicarakan sekarang. Saya keluar dari ruang rapat sebentar untuk telepon kamu."
Mia makin merasa tak enak. "Aduh, nggak usah om. Bisa diomongin kapan-kapan, kok."
"You sure?"
"Iya 100% sure."
Aiden terdengar seperti sedang menghela napas sebelum menjawab, "Yasudah, besok saya pulang. Kamu libur, kan?"
"Iya saya libur."
"Kita ketemu besok, ya?"
"Oke, deh."
"Saya jemput kamu agak sore. Supaya kamu bisa istirahat. Kan habis jaga malam."
Aww... pengertian sekali sugar daddy Mia ini.
"Terserah om aja." Wajah Mia sudah terasa panas, padahal baru dikasih perhatian sedikit oleh si om bule.
"Kamu sudah makan malam?"
Senyum Mia makin lebar. Berdebar rasanya ditanya sudah makan atau belum oleh lawan jenis begini. Mirip orang lagi pacaran.
Eh, kan Mia sugar baby-nya. Ya wajarlah!
Mia menggetok kepalanya sendiri.
"Amelia?"
"Iya, om. Sudah, sudah makan. Tadi kelar koas makan di kantin. Terus mandi, terus lanjut jaga malam, nih."
"Jangan terlambat makan. Saya perhatikan gaya hidup kamu sangat tidak sehat. Lama-lama kamu bisa sakit."
Sekarang Aiden terdengar seperti Abah.
"Om nggak lanjut meeting?" Mia berniat mengingatkan daripada dengar khotbah lagi.
"Ah, iya. Saya lupa. Take care, chéri."
"Bye, om."
Setelah mematikan panggilan dengan Aiden, tiba-tiba Mia merasakan hawa dingin lewat. Ia memegangi tengkuknya sendiri sambil memperhatikan pohon beringin di seberang. Mia mendecakkan lidah.
"Iya, iya gue sholat! Setan kok baik amat ngingetin ibadah. Kuatir gue jatuh cinta terus lupa sama Tuhan, ya?" Mia menggerutu sendiri. Setelah beberapa minggu bertugas di stase ini, sekarang ia merasa makin akrab dengan setan dan jin penunggu instalasi forensik.
***
Usai beribadah, Mia ingin sekali nyebat. Barang sebatang atau dua batang pasti lumayan. Ia memeriksa hpnya. Group chat stase forensik masih sepi-sepi saja. Mau berkeliling rumah sakit juga malas. Apa lagi yang bisa ia lakukan selain cari tempat untuk nyebat tipis-tipis? Sebungkus rokok dunhill sudah tersimpan di saku jas snellinya.
Kakinya melangkah menuju gudang logistik, dimana ada tempat agak tersembunyi di halaman belakang. Tepatnya di bawah tandon air. Tak akan ada yang melihatnya di sana.
Ketika melewati gudang, ia mendengar ada suara kasak-kusuk, mirip suara orang sedang berbisik.
"Yaelah, dasar setan! Nggak peduli tempat amat ganggu gue. Mau nyebat doang gue, nih. Ntar aja disambung lagi." Ia menggerutu. Mia merasa rajin menggerutu sendiri kalau sedang kebagian tugas jaga malam. Mungkin itu sebabnya ia sering merasa merinding sendiri. Setan-setan tahu mereka sedang diajak ngobrol oleh Mia.
Suara kasak-kusuknya makin keras. Mia berhenti berjalan, ingin mendengarkan lebih jelas. Ini setan atau bukan, ya?
Bisikan. Lenguhan. Desahan. Apaan, nih?
Mia mendekatkan kepalanya ke pintu gudang. Asalnya dari sana.
"Jangan di sini, dok!" Lirih sekali suaranya. Tapi Mia yakin itu suara perempuan.
"Nggak apa-apa, sayang. Di sini nggak akan ada orang, kok." Kali ini suara laki-laki. Mia mendengarkan dengan lebih seksama intonasi dan nadanya. Mirip suara dr. Irwan.
Suara desahan lagi.
"Ah, kampret! Si Irwan lagi mesumin siapa, nih?" Gumam Mia. Ia ingin mengintip sedikit-sedikit lewat jendela. Toh lampu gudang menyala. Pasti kelihatan kalau Mia berjinjit. Penasaran sekali dia.
"Dokter sering begini sama anak koas lain?"
Anak koas?
"Enggak, sayang. Aku cuma tertarik sama kamu."
Mia mengernyit jijik.
Perempuan itu terkekeh kecil, "Bohong, ah! Terus Mia gimana?"
Loh, ngapain bawa-bawa gue??
"Mia? Kami nggak pernah ada hubungan apa-apa. Dia membosankan."
"Ngebosenin gimana?"
"Nggak bisa diginiin kayak kamu."
Perempuan itu tertawa kecil, "Jangan, dok! Geli." Apapun yang dr. Irwan lakukan, pasti membuat perempuan itu makin kegelian.
Mia bergidik. Selama pacaran dengan dr. Irwan, kontak fisik paling intim yang pernah mereka lakukan hanya ciuman. Tangan dr. Irwan waktu itu memang liar kemana-mana, tapi Mia selalu bisa menahan dan mencegah agar tidak makin jauh. Meski dia tertarik pada dr. Irwan, Mia tidak benar-benar yakin apakah dia secinta itu pada dr. Irwan sampai merelakan kesuciannya sendiri.
"Ini kenapa?" Tanya dr. Irwan.
Perempuan itu mengaduh kecil, "Sakit, dok. Abis berantem kemarin sama Mia. Dipukulin."
Ehh?
Mia makin penasaran siapakah perempuan yang ada di dalam gudang bersama si babang mantan pacar. Ia melompat kecil agar bisa melihat wajah pemilik suara.
"Kok bisa?" Tanya dr. Irwan lagi.
"Dia ngaduin aku ke dr. Gabriel. Biasa, anak ambis sukanya cari muka. Kalo sama dokter senior, dia itu ngejilat banget! Pasti dulu waktu di pediatri sama dokter, dia juga begitu!"
Ngaduin ke dr. Gabriel? Kemarin berantem? Ini Clara??
Mia memelototi jendela. Kaget bercampur syok bercampur jijik.
"Menjilat?" Ada jeda sebentar, "Kayak gini?"
Suara desahan lagi. Kali ini Mia tidak salah. Itu benar-benar suara Clara.
Ingin sekali dia mensterilkan telinganya, sekaligus menghipnotis dirinya sendiri agar lupa ingatan. Obrolan dan suara-suara mesum itu tak bisa hilang dengan cepat dari kepalanya.
Mia buru-buru melepas sepatunya sendiri. Satu tangannya menekan hidung. Ia berdeham kecil untuk memastikan suaranya tidak dikenali. Ia bersiap untuk ambil ancang-ancang kabur.
BRAK BRAK BRAK
Mia memukulkan sol sepatunya ke pintu dengan sekuat tenaga.
"DOKTER IRWAN SAMA CLARA MESUM TEROOOSSSSSS! CARI HOTEL, WOYYY!"
Usai berteriak begitu, Mia langsung balik badan dan lari dengan kaki setengah telanjang. Sepatu yang ia gunakan untuk memukul pintu gudang, ia peluk erat-erat. Karena panik, ia sampai terpeleset di koridor dan nyungsep ke selokan. Untung selokan itu kering karena salurannya sudah lama tak digunakan lagi.
Sambil menahan sakit, Mia bangkit dan memanjat selokan supaya bisa lanjut melarikan diri. Ia harus segera kabur sebelum dr. Irwan atau Clara memergokinya mengintip perbuatan mereka di gudang logistik.
***
Mia hampir menangis karena tulang keringnya nyut-nyutan. Ia sedang duduk mojok di sebelah kamar mayat. Tempat yang tidak mungkin didatangi siapapun selain petugas kamar mayat, -Tejo dan Musa.
Celana jeansnya robek sampai lutut. Tumitnya berdarah karena tergores sudut selokan. Lututnya juga luka. Sekarang ia sedang berusaha membersihkan pasir yang menempel di sana dengan bantuan alkohol. Luka bekas berkelahi kemarin belum sembuh, sekarang ditambah luka baru.
Tubuhnya tak akan masuk kualifikasi untuk ikut pemilihan Putri Indonesia.
Ingin sekali ia mewek dan mengadu pada Aiden. Ingin dikhawatirkan dan dihibur. Dipukpuk juga makin bagus. Tapi mana bisa? Aiden kan lagi di Jakarta. Bisa-bisa malah ia menyuruh Pak Alan yang datang.
Hpnya berdering.
Pucuk dicinta ulampun tiba.
Nomor Aiden yang menghubungi, minta video call pula.
Entah kenapa Mia malah me-reject panggilan itu. Mia benar-benar keheranan. Aiden ini cenayang atau bagaimana. Dia baru saja memikirkan Aiden, lalu cowok itu langsung menghubunginya. Sekalipun hp baru ini dipasangi alat penyadap, tetap tidak mungkin Aiden bisa menyadap hati dan pikirannya, kan?
Ia buru-buru menggeleng. Mia putuskan untuk mengirim pesan pada Aiden.
From: Meadobedoo
Sori, lagi mandiin mayat. Kenapa, om?
From: +62 813 xxxxxx
Nothing. Just do what you do.
From: Meadobedoo
Klo nothing knp telpon segala?
From: +62 813 xxxxxx
Perasaan saya tdk enak. Jd mau ngecek keadaan kmu.
Dagu Mia bergetar menahan tangis haru. Sugar daddy-nya perasa sekali. Tapi dia tak mau membuat Aiden mengirim Pak Alan malam-malam ke rumah sakit karena melihat benjol di dahinya.
From: Meadobedoo
I'm okay.
Suara brangkar yang didorong mengagetkan Mia. Ketika ia mendongak, Tejo sedang mendorong brangkar berisi jenazah yang ditutupi selimut. Ia mengamati wajah Tejo lekat-lekat, memastikan dia pucat atau tidak. Biasanya penunggu rumah sakit suka mengganggu anak koas dengan menyamar jadi petugas rumah sakit kalau sedang iseng. Mia sebenarnya tidak ingin percaya hal klenik semacam itu. Tapi mau bagaimana lagi, sering terjadi sih.
"Mas Tejo!" Panggil Mia. Karena was-was, Mia bangkit berdiri. Ia bersiap kabur kalau orang di depannya ini adalah Tejo jadi-jadian.
Tejo berhenti di depan Mia. Tatapannya kosong.
Mia mengecek kaki Tejo, siapa tahu melayang.
"Mas, kalo manusia jawab, dong!" Kaki Mia yang sakit sudah gemetaran.
"Mbak Mia ngapain mojok depan kamar mayat?"
Mia menghela napas lega. Tubuhnya merosot ke lantai lagi.
"Saya kira tadi mbak Mia setan, lho!" Tejo menghampiri Mia yang selonjoran di lantai.
"Saya juga ngira mas Tejo tadi setan." Mia melihat brangkar di belakang Tejo, "Jenazahnya nggak dimasukin dulu, mas?"
"Mana jenazah?"
"Lah itu?" Tunjuk Mia pada brangkar.
"Oh, bukan. Itu Musa lagi rebahan. Katanya capek. Yaudah saya biarin tidur sebentar."
"Kenapa pake diselimutin segala kayak orang mati?"
"Dingin katanya. Biar nggak digigit nyamuk juga."
CEPLAK
Mia melihat sosok Musa sedang memukul nyamuk di lengannya. Petugas kamar mayat yang sedang tidur itu tidak merasa terusik sama sekali padahal sedang dibicarakan.
***
POIN TERPENTING PERJANJIAN SUGAR DATING MIA DAN OM AIDEN:
1. Kencan minimum sekali seminggu, tergantung situasi dan kondisi masing-masing.
2. SD (Sugar Daddy) menanggung semua biaya pendidikan SB (Sugar Baby).
3. SD menanggung segala materi yang timbul akibat perjanjian ini. Contoh: Kencan dan biaya hidup SB.
4. SB berkewajiban untuk menyenangkan SD. TUGAS UTAMA.
5. Tidak melibatkan perasaan selain tanggung jawab dan perhatian. Berarti dilarang jatuh cinta atau cemburu.
6. Menghargai ruang privasi masing-masing.
7. Jujur.
8. Segala hal yang belum ada di perjanjian harus dinegosiasikan berdua (termasuk seks).
Mia memutar-mutar pena di tangannya sambil menghela napas. Dari sepuluh lembar halaman perjanjian, Mia sudah menulis delapan poin terpentingnya agar tidak lupa. Jika dipikir-pikir, isi perjanjian ini justru banyak menguntungkannya. Kecuali poin nomor empat. Tugas utama Mia sebagai sugar baby Aiden adalah membuat om bule itu senang.
Bagaimana caranya?
Bagaimana cara menyenangkan cowok bule usia tiga delapan tahun?
Mia belum pernah berpacaran dengan cowok dengan age gap empat belas tahun. Dia mana ada pengalaman?
Ingin konsultasi dengan Lani, -temannya di Sampit-, khawatir dicurigai. Kalau sudah dicurigai, nanti Lani akan membahasnya dengan teman-teman setongkrongan. Wah, bisa ribet urusannya. Apalagi kalau sampai si Miko cerita macam-macam ke Rara lalu didengar oleh orangtuanya.
Waaahh, bisa tambah kacau.
Terdengar adzan subuh berkumandang. Jam jaga malam Mia sudah selesai. Ia segera bangun dari atas brangkar. Dilihatnya Tejo dan Musa masih tidur di brangkar di sampingnya. Group chat stase forensik masih sepi. Tidak ada jenazah yang harus divisum hari ini. Jadi Mia bisa santai-santai di kamar mayat sambil memikirkan perjanjiannya dengan Aiden.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top