13 | PERKELAHIAN
Setengah jam kemudian, listrik di rumah Mia sudah kembali menyala berkat Aiden. Selama setengah jam itu pula Mia dan Anton tak henti-hentinya beradu mulut, tidak memedulikan Aiden yang membetulkan listrik sendirian. Begitu tugas listrik selesai, Aiden duduk-duduk di ruang tamu Mia sambil makan nanas dan menonton perdebatan di depannya.
"Belum sebulan, gue udah hampir koit dua kali. Apes banget gue hidup di Surabaya."
"Lupa tah dek aku juga hampir koit?"
"Lah gara-gara siapa, mas?? Kalo situ nggak sok tau kayak tadi, kita nggak bakal kejang kena setrum!" Mia nyolot.
"Masih mending aku mau berusaha, dek! Daripada kamu yang cuma diem-diem aja ngeliatin!" Anton ikutan nyolot.
"Malah nyalahin gue! Tuh, liat TV gue jadi fix rusak gegara mas Anton!"
"Kan udah tak bilangin bakal tak ganti, dek! Minta berapa? Dua? Tiga? Sepuluh?"
"Begaya banget mo beliin gue TV sepuluh. Seratus sekalian!! Biar gue buka toko elektronik. Retribusi mas Anton hampir bunuh gue!"
"Astaga, dek! Aku tadi juga hampir modyar (mati), lho!"
"Makanya jangan sok tau!! Pake bilang mo ngerapihin komponen biar cakep, padahal masalahnya ada di antena!"
"Tak takoni saiki (Sekarang aku tanya), kamu ngerti ora (nggak) kalo masalahnya ada di antena??"
"Ya nggak ngerti!"
"Nah, yawes toh (yaudah, kan)? Podo nggak ngerti ne (Sama-sama nggak taunya)."
Mia mendengus, benar-benar tidak habis pikir bagaimana dua bersaudara Anton dan Ullie sama-sama konsletnya. Dia baru tahu kalau otak konslet itu turunan dan natural, alias bawaan alam.
"Udah malem. Mamaku sendirian ndek rumah. Tak pulang, ya?" Lanjut Anton lagi.
"Ya pulang sana! Bawa tuh nanas sekarung di belakang." Nada suara Mia masih kesal.
"Beneran? Kamu udah nggak doyan?"
"Sisain dua biji."
Anton berjalan ke dapur untuk mengangkat karung berisi nanas setelah menyisakan dua buah di atas meja makan.
"Mas Aid- mister, saya makasih loh dibelain malam-malam dateng ke sini. Ngomong-ngomong mister kenal Mia dimana?" Anton berhenti di depan Aiden, menanyakan hal yang sejak tadi ingin ia tanyakan tapi keburu diajak debat oleh si Mia. Karung nanas ia letakkan di atas pundak.
"Kenal di Swiss." Jawab Aiden seadanya. Ia masih menyantap nanas dengan tenang.
"Jangan banyak-banyak, om. Ntar perutnya panas." Tegur Mia saat menyadari mangkok nanas hampir kosong dalam pelukan Aiden. Kemudian ia memandang Anton yang masih berdiri dengan karung nanas. "Buruan pulang sana!"
"Iya, iya. Duh, pendendam ternyata kamu, dek." Gerutu Anton. Ia mengangguk singkat pada Aiden, "Pulang duluan, mister. Jangan lama-lama di sini, penunggunya barbar." Ia melirik Mia terang-terangan.
"Masih mau ngajak ribut?!" Mia otomatis ngegas sambil mendelik.
Anton ngibrit secepat kilat.
Ketika mobil Anton sudah keluar dari halaman, Mia duduk di sebelah Aiden sambil menghembuskan napas dalam-dalam, menenangkan dirinya.
"You okay (Kamu nggak apa-apa)?" Ini sudah yang kedua kali Aiden menanyakan itu sejak ia datang.
Mia mengangguk, "Makasih om udah mau ngebenerin rumah saya." Ia mengambil garpu dari tangan Aiden lalu menusuk sepotong nanas untuk dibawa ke mulut. Rasa manisnya meredakan emosi Mia. Ia mengambil sepotong lagi.
"It wasn't much (Bukan hal besar, kok)." Saat Mia sibuk mengunyah, Aiden mengambil lagi garpu dari tangan Mia. Ia belum puas makan nanas. "Kelihatannya kalian akrab. Kamu dan cowok yang tadi."
"Sejak saya pindah ke Surabaya, saya dekat sama keluarga Ullie. Sebelum dia nikah, kami tinggal bareng di sini. Rumah inipun punya mas Anton. Saya numpang gratis gara-gara Ullie."
"Gimana ceritanya kamu pindah ke sini?"
"Saya tuh dulu lahir di Kalimantan, terus pas SD kelas dua pindah ke Jakarta ikut abah tugas di sana. Sampe kelas dua SMA, baru saya pindah ke Surabaya. Orangtua saya tetep tinggal di sana sampe kemarin pindah ke Sampit."
"Kenapa kamu sendirian di sini?"
"Terpaksa."
"Karena?" Aiden menyerahkan garpu pada Mia lagi agar bisa gantian makan nanas.
"Waktu masih di Jakarta saya sering ikut tawuran. Kepala sekolah SMA saya udah nggak tau lagi gimana caranya bikin saya kapok. Pilihannya antara dikeluarin atau pindah sekolah. Nama saya sampe diblacklist sama semua sekolah negeri di Jakarta. Pilihan satu-satunya balik ke kampung. Saya nggak mau. Kakak saya nyaranin sekolah di Surabaya aja soalnya waktu itu dia sempat kuliah di sini. Yaudah saya pindah ke sini, deh. Pas kakak saya balik ke Sampit, saya ditawarin Ullie tinggal bareng. Saya sama dia sekelas waktu kelas tiga SMA dan sekampus juga, tapi beda jurusan." Mia bercerita panjang lebar. Suasana hatinya sedang ingin ngobrol dengan seseorang. Efek kelamaan ditinggal Ullie barangkali. Tiba-tiba ia jadi sendu, rindu pada temannya itu.
"Kamu sering tawuran?"
Mia mengangguk, "Kaget, ya?"
Aiden spontan menggeleng. "Nggak kaget sama sekali. Cocok dengan sifat kamu."
Mia berdecak sebal.
Tiba-tiba Aiden bangkit dari duduknya. Ia menyerahkan mangkok kosong pada Mia.
"Kemana, om?"
"Ambil berkas di mobil. Mumpung ingat." Ia berjalan keluar rumah menuju mobilnya. Tak sampai lima menit, dia sudah kembali duduk di sebelah Mia. Cowok itu menyerahkan sebuah map yang berisi dokumen. Mia langsung mengecek apa isinya.
Kontrak perjanjian.
Mia spontan tertawa sumbang.
Perjanjian laknat. Bikin keinget aja kalau Mia punya kerjaan jadi sugar baby.
"Sampe segininya bikin perjanjian segala. Temen saya si Lani bilang, dia sebenarnya nggak bikin kontrak sama sugar daddynya." Mia berani bicara begitu karena kemarin dia tanya Lani lewat pesan singkat.
"To secure our agreement (Untuk mengamankan perjanjian saja, kok). Kamu dan saya bisa sama-sama merasa aman dan terjamin. Sama-sama punya hak dan kewajiban. Jadi hubungan kita terarah."
Mia mengernyit dengan ekspresi bingung. "Hubungan terarah gimana nih maksudnya??"
"Sejujurnya sejak kamu pertama kali membahas ini waktu di Sampit kemarin, saya sudah melakukan riset tentang sugar dating. Saya menjadi sponsor kamu. Kamu jadi pasangan saya supaya bisa menerima hadiah dari saya. Sebagai gantinya, kamu menemani saya ke acara-acara dimana saya membutuhkan pasangan sebagai pendamping." Mia mendengarkan penjelasan Aiden sambil membaca halaman pertama perjanjian mereka. Dia butuh waktu untuk mempelajari ini semua.
"Itu masih draft." Lanjut Aiden. "Kamu boleh menambahkan atau mengurangi pasal yang kamu anggap perlu."
"Berlaku sampai kapan?"
"Sampai kita sama-sama sepakat untuk mengakhiri hubungan."
"Om butuh seks nggak?"
"Terserah kamu."
"Kenapa terserah saya?"
"Saya nggak akan paksa kalau kamu nggak mau."
"Yaudah saya nggak mau."
"Saya tau. Makanya saya nggak masukkan itu di pasal."
"Selain seks, apalagi yang nggak perlu dilakukan?"
"Not much. Saya penganut paham kompromi, privasi, kejujuran, dan kebebasan. Apapun masalahnya, harus dibicarakan baik-baik dengan kepala dingin. Saya menghargai privasi. Saya juga membebaskan kamu untuk punya pasangan lain. Maksudnya pasangan sungguhan karena cinta. Tapi kalau saya sedang butuh kamu, kamu harus menyediakan waktu untuk saya."
"Berarti om juga boleh punya pasangan?"
"Kamu nggak kasih saya kepuasan seks, saya harus cari penggantinya."
Kedua mata Mia membelalak atas keterus-terangan Aiden. "Seks bebas berisiko menularkan penyakit seksual dan HIV!!"
"Saya punya satu wanita yang sering saya hubungi tiap saya butuh. Saya pakai pengaman dan rutin periksa kesehatan di rumah sakit setiap bulan sekali."
Mia melongo dengan kejujuran Aiden sampai kehabisan kata-kata.
Aiden mengangkat sebelah alis, "Jangan bilang selama ini kamu berhubungan seks tanpa pengaman."
Berhubungan seks apanya! Mia masih perawan dan akan tetap begitu sampai dia punya suami nanti! Biar barbar begini, Mia masih penganut paham budaya ketimuran! Dulu dia asal nyeblak saja waktu bilang sudah tidak perawan ke Aiden karena mengira Aiden adalah laki-laki brengsek yang akan cari kesempatan dalam kesempitan.
Mia ingin sekali mengatakan itu, tapi entah kenapa informasi itu terlalu privasi untuknya.
"Pakai kartu debit yang kamu punya untuk rutin check up ke rumah sakit supaya kamu tahu kamu sehat. Seperti yang kamu bilang, seks bebas berisiko menularkan penyakit menular seksual dan HIV."
"Saya sehat-sehat aja, om! Makasih udah perhatian sama kesehatan seksual saya." Ujar Mia dengan nada sebal.
"Good, then (Baguslah kalo gitu). Saya tadi sudah bilang masalah kejujuran, belum?"
"Udah."
"Saya akan selalu jujur sama kamu. Jadi saya harap kamu juga jujur dengan saya."
"Noted."
"Sebenarnya kita perlu sama-sama menyisihkan waktu untuk membahas perjanjian ini. Tapi sekarang sudah hampir tengah malam. Sebaiknya kamu pelajari dulu. Hubungi saya lagi kalau ada yang perlu disesuaikan atau saat kamu ingin tanda tangan."
"Pake perjanjian kayak begini bikin saya inget novelnya Fifty Shades of Grey." Mia setengah bergumam.
"Saya nggak pernah baca buku itu. Tentang sugar dating juga?"
"Bukan. Tentang BDSM."
Aiden agak tergagap saat mengatakannya, "Mak-maksudnya kinky (istilah: tidak biasa, terutama tentang hal-hal berbau seksual)?"
Mia mengangguk acuh, lalu ia tertawa kecil. Untung ini bukal hal seperti itu. Ia akan merasa sangat hina kalau sampai terjadi. Ketika ia mendongak, dilihatnya Aiden masih belum sembuh dari syok karena kata 'BDSM' keluar dari mulutnya.
"Kenapa ya jantung saya berdegup kencang kalau lagi ngobrol sama kamu?" Tanya Aiden lagi.
Mia menaikkan sebelah alis, "Karena jatuh cinta sama saya?"
Aiden menggeleng, "Mungkin bentuk antisipasi atas apa yang akan keluar dari mulut kamu. Nggak bisa diprediksi."
Mia menggaruk pelipisnya, ikutan bingung. "Saya bakal belajar ngontrol mulut saya kalau om ngerasa keberatan."
"It's okay. Just be yourself. Saya hanya belum terbiasa." Aiden menepuk bahu Mia. Ia bangkit berdiri. "Saya pulang dulu."
Mia juga ikut bangkit dan mengantarkan Aiden sampai depan pintu pagar.
"Jangan lama-lama mempelajari kontraknya, ya? Saya ada beberapa acara yang harus dihadiri dalam waktu dekat. Kalau kamu berubah pikiran, tolong kabari saya secepatnya."
"Beres."
***
Mia tersentak bangun ketika mendengar dering hp yang ia letakkan di sebelah bantal. Ia buru-buru mengangkat telepon.
"Halo?"
"Panggilan visum. Buruan!" Suara Dion. Ia memang dipercaya menjadi ketua dalam kelompok stase forensik saat ini.
"Jam berapa, nih?" Mia mengucek matanya.
"Jam dua pagi! Buruan! Pak Panji udah ngomel tuh anak-anak lama dateng. Kita kan kekurangan orang! Lima belas menit lagi otopsinya dimulai."
"Ya ampunnnn!" Meski hatinya tak rela, Mia tetap bangkit dari kasur untuk segera bersiap-siap. "Meninggal atau hidup?"
"Namanya otopsi ya meninggal, pe'ak! Korban mutilasi."
"Astaghfirulloh." Kantuk Mia mendadak hilang begitu mendengarnya. Dia tidak butuh kopi lagi. Mata dan otaknya sudah dalam kondisi ON maksimum.
"Buruan dateng, ya! Aku mau telpon yang lain dulu!"
Telepon langsung dimatikan oleh Dion.
Tak sampai tiga menit, Mia sudah meluncur ke rumah sakit dengan motornya.
***
Berada di stase forensik sama artinya dengan siaga dua puluh empat jam selama tujuh hari seminggu. Apalagi jika peserta koasnya tak sampai lima belas orang. Hampir setiap dua sampai tiga hari sekali mereka kedatangan jenazah untuk divisum. Hanya sedikit yang meninggal akibat kematian wajar. Sisanya, karena kasus kejahatan semua. Mulai dari meninggal karena luka tusuk, diracun, dicekik, dipukuli, sampai kasus yang baru datang ini, mutilasi. Kepalanya hilang dan masih dalam tahap pencarian oleh polisi.
Karena Mia tidak nonton TV, ia tak tahu apa saja yang terjadi di berita, terutama tentang kasus mutilasi ini. Jenazah tanpa kepala di depannya ini sudah hampir membusuk. Tubuhnya penuh luka terbuka. Mia ngeri membayangkan apa saja yang telah dilalui si jenazah sebelum meninggal.
Malam ini, Alisa bertugas untuk mengambil foto penemuan luka. Semua peserta koas hadir di sini. Wajah mereka tegang karena baru pertama kali melihat korban pembunuhan tanpa kepala. Tangan Alisa-pun sampai gemetar saat memegang kamera.
Selain Panji, di sana juga sudah ada dr. Gabriel dan dr. Frans. Seperti biasa, mereka dibagi menjadi beberapa tim. Begitu tiba giliran nama Mia disebutkan untuk masuk ke tim dr. Gabriel, terdengar sebuah protes.
"Pembagiannya nggak adil banget. Kenapa Mia terus yang masuk ke tim dr. Gabriel?" Celetukkan itu berasal dari mulut Clara, peserta koas dari universitas swasta termahal di Surabaya. Gayanya borjuis dan hanya mau bergaul dengan orang-orang satu level dengannya. Dia adalah peserta koas yang paling sering nyinyir pada Mia.
"Lo mau tukeran sama gue? Gue mau aja kok ngerjain PL-an elo." Sahut Mia.
"Saya sengaja pilih Mia karena perut dia lebih kuat daripada kamu, Clara. Terakhir kali kamu masuk tim Pemeriksaan Dalam, kamu muntah di lantai dan hampir pingsan." Kini dr. Gabriel ikut menambahi.
"Saya nggak bilang mau masuk tim Pemeriksaan Dalam."
"Lo kalo ngomong langsung to the point, napa!" Mia mengatakannya karena tidak mengerti maksud Clara.
"Sok banget sih jadi orang?!" Clara tersinggung karena dianggap bertele-tele oleh Mia.
"Makanya jangan pake kode-kodean kalo ngomong! Ribet banget idup lo!"
"Mentang-mentang punya backing-an dr. Irwan, jadi seenak jidat! SOK banget!"
"Nah, apalagi tuh maksudnya pake bawa-bawa dr. Irwan segala?"
"Sudah, sudah! Ini ruang otopsi, lho! Dimana sopan santun kalian?" Tegur dr. Frans karena sudah tak tahan dengan perdebatan anak koas.
Clara mendengus di balik maskernya. Mia juga.
Kali ini giliran dr. Gabriel yang mengambil alih, "Nah, adik-adik. Jenazah yang ada di depan kita ini ditemukan di pinggir sungai beberapa jam yang lalu. Karena kondisinya sudah rusak, kita harus segera melakukan otopsi menyeluruh. Jenis kelamin perempuan, perkiraan usia dua puluh sampai tiga puluh tahun. Berat sekitar 60 kg. Tinggi sekitar 160 cm. Keadaan termutilasi tanpa kepala. Penyebab kematian belum diketahui. Tim pertama akan dipimpin oleh pak Panji untuk melakukan PL atau Pemeriksaan Luar. Sedangkan tim kedua akan dipimpin oleh saya sendiri dan dr. Frans untuk melakukan PD atau Pemeriksaan Dalam. Kita mulai sekarang, ya?"
Mia memperhatikan ekspresi tidak siap di wajah teman-temannya, termasuk Alisa dan Dion. Meski terlindung oleh masker, Mia dapat membedakannya.
***
Matahari sudah condong ke barat begitu Mia dan teman-temannya keluar dari instalasi forensik. Mereka lelah luar biasa. Selesai otopsi jenazah mutilasi, mereka sempat beristirahat dua jam sebelum lanjut stase di kelas dan laboratorium. Ia beruntung karena hari ini tidak kebagian tugas jaga. Kalau sampai kena tugas jaga malam juga seperti Dion, tubuhnya jelas bakal langsung rontok.
Mia hampir terjungkal ke depan saat Clara dan teman-temannya berjalan melewati celah antara dirinya dan Alisa.
"Eh, mata ditaruh dengkul, ya??" Semprot Alisa karena mendapati Clara berjalan cuek tanpa menoleh apalagi minta maaf.
"Udahlah. Kebelet boker, kali." Mia memeluk lengan Alisa untuk menyabarkannya.
"Heran banget sama tuh anak! Hatinya busuk amat gara-gara dengki." Gerutu Alisa tak terima. Tatapannya seakan ingin melubangi punggung Clara yang makin menjauh.
"Kalo diladenin bisa mati lemes kita ntar. Udah pegel begini."
"Kamu juga gitu! Santai banget bawaannya kalo Clara ngajak ribut!"
"Masa kudu diladenin? Ribut di rumah sakit bisa panjang urusannya. Gue kapok berantem-berantem kayak gitu. Jaman sekolah kemarin udah kenyang."
"Ya sekali-kali kasih pelajaran kek ke dia biar bacotnya nggak nyinyir lagi!"
"Gue udah nggak sanggup. Nggak ada tenaga. Pengen tidur."
"Makan dulu, yok!" Alisa mengelus perutnya yang lapar.
"Oh iya, belum makan ya kita?"
Alisa mengangguk dengan wajah memelas. "Makan sambelan di Gubeng, yuk! Lama nggak kesana."
"Oke, oke. Ntar kita bungkusin buat Dion juga, deh. Dikirimin pake ojol."
"Sipp!" Alisa mengangkat kedua jempolnya bersemangat.
***
Karena Mia kebanyakan duit, ia punya ide untuk pergi ke tempat makan dengan naik taksi online karena terlalu pegal untuk sekedar nyetir motor sendiri-sendiri. Mereka sedang menunggu tumpangan mereka datang di halte depan rumah sakit. Suasananya indie sekali karena sambil menonton kendaraan lewat saat hari beranjak senja. Banyak pengunjung rumah sakit atau pasien yang ikut menunggu bus lewat di halte.
Mia dan Alisa berdiri saling membelakangi agar bisa bersandar di punggung masing-masing. Kedua mata Mia sibuk memperhatikan GPS di hpnya, mengikuti taksi online yang sedang dalam perjalanan ke titik jemput.
"Bulan depan kita udah pindah stase radiologi." Gumam Alisa. Suaranya cukup nyaring di telinga Mia.
"Abis lulus lo kemana?"
"Dapet gelar dokter, aku langsung kerja di klinik papah. Kamu? Lanjut pendidikan spesialis?"
"Kok tau?"
"Keliatan. Kamu kan ambis. Hobi belajar. Lanjut ambil apa?"
"Forensik."
"Serius??"
Mia mengangguk.
"Kok forensik?"
"Enak ngurusin mayat, nggak bawel."
"Gila!"
Komentar Alisa membuat Mia terkekeh. "Eh, lo ngerasa nggak kalo selama kita di forensik, ada aja kasus yang masuk. Gue kira dulu kita bakal santai di forensik. Secara, kan stase minor. Ternyata hectic juga, ya?"
Alisa menghela napas berat, "Itu karena kita apes aja. Seminggu ngerjain lima laporan dari lima kasus berbeda. Mana minggu depan musim ujian lagi. Aduh!" Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Referat, responsi, baca jurnal, ughhh!!" Keluhnya. Alisa berbalik untuk menghadap Mia. "Copy paste punya kamu tipis-tipis dong!"
Mia menggeleng, "Bakal ketahuan dr. Frans. Itu orang jeli banget. Selain jago neliti jenazah, dia juga jago neliti plagiarisme."
Alisa langsung mewek karena frustasi.
Sebuah mobil Hyundai merah berhenti di depan mereka. Clara dan dua orang temannya keluar dari mobil. Ekspresi mereka tak bersahabat.
"Kamu ngadu apa ke dr. Gabriel?" Semprot Clara dengan wajah merah padam.
Mia dan Alisa saling pandang. "Apaan nih bocah dateng-dateng langsung nyablak?" Bisik Alisa. Mia mengedikkan bahu tak tahu juga.
Bahu kanan Mia didorong dengan kasar oleh Clara, "Kenapa sih licik banget jadi orang?!" Hardiknya.
Alisa balik mendorong Clara karena tak terima temannya disudutkan. "Ngomong itu yang jelas! Dateng-dateng langsung ngelabrak maksudmu apa, hah??"
Teman-teman Clara yang Mia ingat bernama Stacy dan Renata memegangi Alisa hingga cewek itu tak bisa bergerak. Kini mereka jadi bahan tontonan orang-orang di pinggir jalan. Beberapa bahkan sudah sigap dengan kamera untuk merekam agar bisa diupload ke media sosial.
"Lo ngomong apa, sih? Jelasin dulu masalahnya apa!" Mia coba bicara baik-baik pada Clara. Agak malu juga karena jadi tontonan gratis.
"Laporanku nggak diterima sama dr. Gabriel. Ditolak mentah-mentah! Kamu ngadu apa ke dia??"
Mia coba mengingat-ingat. Nihil. Dia tidak ingat apapun. "Laporan yang mana?"
"Laporan tentang jenazah korban kecelakan minggu lalu. Kita satu tim PL."
Mia baru ngeh, "Ooohh yang itu! Elo kan nggak dateng PL. Masa ngaku-ngaku ikut PL?" Ia keheranan.
"Tapi di absenku udah dicatet hadir, brengsek!!"
"Gue bilang dr. Gabriel kalo elo nggak dateng waktu itu. Salah sendiri malsu kehadiran. Stacy yang tanda tangan absen lo, kan?"
"Taik banget sih!! Kamu tau nggak apa efeknya ke catatanku, hah??"
Mia mengangguk, berusaha tenang selama Clara naik pitam. "Tau, lah. Lo ditandai."
PLAK
Kepala Mia sampai miring ke kiri karena tamparan Clara begitu keras. Ia memegangi pipinya yang perih dan panas.
"Dasar brengsekkk!!" Alisa berontak namun tubuhnya ditahan oleh Stacy dan Renata.
"Minta maaf." Mia memandang Clara. Suaranya mendesis menahan amarah.
"Kamu yang harusnya minta maaf, bangsat! SOK banget jadi orang!" Bentak Clara. Kedua tangannya terkepal.
"Gue bilang sekali lagi. Minta maaf." Desis Mia.
"Nggak bakal! Jangan mentang-mentang sekarang jadi peliharaan direktur muda rumah sakit, makanya bisa seenak jidatmu!"
"Terakhir kali. Minta maaf."
Clara meludah ke tanah. "Kamu yang sebaiknya minta ma-" Ucapan Clara terpotong karena Mia sudah mendorong tubuhnya hingga ia terjerembab ke lantai halte. Bokongnya terasa nyeri.
"Gue udah sabar-sabar dari kemarin dengerin bacotan sampah lo!" Mia menarik blouse merah muda yang dikenakan Clara hingga cewek itu bisa berdiri kembali. Tangan Clara otomatis menjambak rambut Mia dari belakang. Mia berteriak kesakitan. Hpnya terlempar dan tak sengaja terinjak.
Stacy melepaskan Alisa agar bisa membantu Clara. Ia mengalungkan lengannya untuk menjepit leher Mia, namun Mia lebih dulu menarik lengan Stacy dan membantingnya ke tanah. Semua orang memekik.
Kesempatan itu digunakan Alisa untuk mencakar wajah Renata. Ia sudah gregetan sekali.
Stacy cepat pulih. Ia segera berdiri untuk memukul kepala Mia. Dikeroyok dua orang cewek anarkis tidak membuat Mia tinggal diam. Ia menendang perut Clara agar jambakan di rambutnya terlepas. Mia mengaduh karena beberapa helai rambutnya tercabut sekaligus. Stacy membantu Clara yang jatuh terduduk kesakitan di pinggir jalan.
Mia menghampiri mereka dan dihadiahi lemparan tas oleh Stacy. Cewek itu menangkis tas dan terus berjalan mendekati Stacy dan Clara. Tanpa aba-aba ia langsung menonjok wajah Stacy sampai cewek itu pingsan.
"Stacy!!" Clara memekik kaget. Kekagetannya tak berlangsung lama karena rambutnya sudah ditarik oleh Mia dengan beringas sampai ia dipaksa berdiri lagi. "Argh, bangsat!!" Clara membenturkan kepalanya ke hidung Mia hingga ia mimisan. Cengkeraman di kepala Clara terlepas karena Mia sibuk menahan darah yang mengucur deras dari kedua lubang hidung.
Clara menamparnya lagi.
Kadar kemarahan Mia sudah sampai ke ubun-ubun. Mengabaikan hidung mimisan, ia meninju rahang Clara sampai cewek itu terjungkal untuk ketiga kalinya ke aspal. Kini perkelahian mereka telah berpindah ke jalan raya. Suara klakson mobil dan motor yang terpaksa berhenti agar tidak menabrak mereka menjadi latar belakang musik senja itu.
"He cok, tukaran ojok nang dalan (berantem jangan di jalan)!!"
"Minggir, woy!!"
"Cok!"
"Dalan e mbahmu a (Emang ini jalan nenekmu)?!"
Umpatan dan seruan bernada marah dari pengemudi kendaraan tidak dihiraukan oleh mereka.
Penonton makin banyak. Stacy masih tergeletak di aspal, tak sadarkan diri. Sedangkan Alisa dan Renata juga masih saling menjambak dan mencakar. Sesekali mereka berkejaran, mengikuti jejak Mia dan Clara yang membawa perkelahian ke tengah jalan.
Beberapa orang sudah berusaha melerai, namun tenaga keempat cewek itu terlalu besar karena sama-sama disulut oleh emosi yang menumpuk. Mereka saling memukul dan memaki. Bahkan beberapa orang yang coba melerai justru terluka karena tak sengaja kena pukul atau cakar.
Perkelahian mereka belum berhenti saat mobil patwal polisi berhenti di pinggir jalan. Turunlah dua orang polisi yang sedang patroli untuk menghentikan keributan yang sampai membuat jalanan macet itu.
"Tangkep ae, pak!"
"Meresahkan pengguna jalan!"
"Babah lebokno penjara ben kapok (Masukin penjara aja pak biar kapok)!"
"Stop, stop!" Peringatan polisi masih belum disadari oleh keempat orang cewek itu.
Suara peluit yang memekakkan telinga akhirnya mendapatkan perhatian mereka. Keempat cewek itu menutup telinga mereka yang berdengung karena peluit.
Begitu menyadari kehadiran polisi, mereka mendadak pucat.
"Ikut ke kantor. Kalo mau berantem lanjut di kantor polisi." Kedua polisi itu menggiring mereka ke pinggir jalan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top