12 | LISTRIK
Hari ini dikit dulu, deh.
***
Mia merebahkan tubuhnya yang baru selesai dimandikan di atas sofa. Ia lelah sekali karena seharian hectic di rumah sakit. Anak-anak koas diperbantukan di UGD untuk membantu korban-korban kecelakaan beruntun di tol. Ada dua orang tewas dan seratusan orang luka-luka. Shift paginya berlanjut sampai sore. Tahu-tahu sudah malam saja begitu Mia keluar dari rumah sakit.
Ding. Notifikasi pesan masuk. Mia buru-buru membukanya.
From: Rara
Abah sama mamah marah bgt ke elo. Gue disuruh nyampein klo mulai hari ini lo hidup sendiri. Biaya hidup lo dipending.
From: Rara
Tapi gue udah transfer ke elo pake duit gue. Ntar lo ganti klo Abah udah kirim ke elo.
Pesan ketiga berisi hasil screenshoot notifikasi transfer bank.
Mia mengetik balasan.
From: Meadoobedoo
Thanks, Ra.
Mia menghembuskan napas berat. Firasatnya terbukti, kan?
Seandainya tidak nekat minta Aiden jadi sugar daddy, nasib Mia mungkin sudah terkatung-katung. Masa mau minta Rara terus? Rara kan punya keluarga juga.
Nah, sekarang dia merasa jadi orang paling tak berguna sedunia. Bisanya hanya merepotkan keluarga. Dia belum pernah punya pengalaman kerja apa-apa. Kalau nekat kerja, bisa-bisa koasnya berantakan. Cita-cita jadi dokter forensik hanya sebatas cita-cita.
Kalau sudah suntuk begini, Mia biasanya ingin tidur, sayang matanya belum mengantuk. Mungkin karena kebiasaan begadang.
Karena hari ini dia sedang tidak mood mengerjakan tugas akibat terlalu muak dengan hal-hal yang berhubungan dengan tubuh manusia, jadi ia memilih untuk bersantai sambil membaca buku Sherlock Holmes, kisah detektif legendaris karangan Sir Arthur Conan Doyle. Kalau ingin jadi forensik, buku-buku detektif dan kriminal harus jadi referensinya dalam memecahkan kasus.
Sambil bersantai dengan satu kaki diangkat di atas sofa, Mia baca buku sekaligus makan semangkok besar nanas potong pakai garpu.
Suara klakson mobil terdengar dari depan rumah. Mia hafal suaranya.
Paling si mas Anton mau numpang berak lagi.
"Bunda Maria!!" Anton melompat kaget ketika melihat Mia sedang berbaring terbalik di atas sofa. Kepalanya menggantung ke lantai. Garpu menempel di mulutnya. Wajah cewek itu merah karena darah turun ke kepala. Kakinya terangkat satu di atas sandaran sofa, sedangkan kaki lain sedang split. Anak ini sudah mirip korban pembunuhan. Pembunuhan yang gagal. "Asu! Kamu itu lapo toh ngagetin ae?!" Anton mengelus dadanya, menenangkan jantung yang mencak-mencak.
"Mas Anton ngerti aja sih gue lagi banyak nanas. Tuh sekarung di dapur. Ntar bawa pulang buat tante." Urat di leher Mia muncul saat ia bicara.
"Lungguh sing nggenah talah, dek (Duduk yang bener dong, dek)! Ojok gendeng-gendeng (Jangan gila-gila)! Ndang tangi (Buruan bangun)!"
Sebelum Anton makin ngamuk, lebih baik Mia segera membetulkan posisinya agar lebih manusiawi. Padahal ia berbaring terbalik agar melancarkan sirkulasi darah.
Anton duduk di sofa kosong, memandangi mangkok berisi nanas yang lebih mirip baskom saking besarnya. "Kamu mau gugurin kandungan tah, dek?" Tanyanya penasaran.
"Mulut kalo ngomong suka ngasal!"
"Lah itu? Makan nanas kayak mau gugurin orok. Nggak kurang banyak?"
"This is my dinner (Ini makan malam gue)." Bibirnya agak dimonyongkan agar bisa meniru logat posh keBritish-British an.
"Halah, ngomong aja nggak punya duit buat beli makanan." Cibir Anton.
"Enak aja! Duit gue nyumber tauk, mas!" Mia ingat-ingat kartu debit platinum yang tersimpan cantik di dompetnya, belum sempat digunakan.
"Oh, nggak butuh makanan berarti? Yaudah berarti bungkusan nasinya aku bawa pulang lagi." Anton memamerkan kantong plastik berisi dua nasi bungkus.
Mia langsung gesit merebutnya, "Becanda doang gue, mas. Kebanyakan makan nanas bikin perut panas. Perlu asupan gizi." Ia nyengir manis, mengundang reaksi lucu dari Anton. "Apaan nih, mas?"
"Nasi jagung. Doyan, kan?"
Mia mengangguk antusias. "Rakyat jelata yang lagi merantau kayak gue tidak diijinkan buat pilih-pilih makanan. Dilarang nolak rejeki." Ia bangkit menuju dapur untuk mengambil piring, sendok, sekaligus dua kaleng bir. Saking tidak bisa jauh dari bir, Mia sampai menyetok isi kulkasnya dengan minuman itu. Seakan sudah lupa dengan insiden kamar mayat, dimana ia merengek pada Tuhan minta taubat.
"Abis darimana, mas? Jam segini masih di luar aja."
Anton melirik jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. "Abis dari kliniknya Elsa."
Mia tersenyum lebar, "Wih, ada peningkatan nih kayaknya."
Anton cengengesan. Senang betul dia hari ini. Pantas bawa makanan. Tapi kok cuma nasi jagung? Pelit banget!
"Ada peningkatan dirayain makan enak, kek!" Sindir Mia saat membuka karet pembungkus nasi.
"Eh, masih untung-untung aku inget kamu pas di jalan. Maunya ya makan sendiri. Tapi inget-inget biasanya kamu diurusin Ullie. Jadi sekalian nengokin kamu di rumah, udah mati apa belum."
Mia mendengus sebal, ingin sekali menumpahkan nasi jagung ke atas kepala Anton. Tapi ia mengurungkan niat itu. Cemas nanti diusir oleh pemilik rumah.
"Sambil nyalain TV dong, dek!" Beberapa bulir nasi jagung muncrat dari mulut Anton saat ia bicara sambil makan.
"Sendiko dawuh, juragan (Siap, tuan)." Logatnya kaku tapi dia bodo amat. Mia membungkuk dalam-dalam sebelum berjalan mundur untuk mengambil remot TV, mirip seorang abdi dalem keraton.
Gara-gara Ullie nikah, nih. Jadinya sekarang Mia yang menggantikan posisi korban bully Anton. Sering disuruh-suruh.
Usai menyerahkan remot TV pada tuan Anton, Mia duduk lagi untuk melanjutkan makan. Lauk nasi jagungnya adalah dadar jagung, ikan asin, dan urap-urap.
"Mas, kok dikasih dadar jagung, sih? Udah nasinya jagung, masa lauknya jagung juga?"
"Syukuri apa yang dikasih Tuhan, dek." Anton tak memandang Mia karena ia sibuk mencari-cari chanel yang akan ditonton.
"Ini kan pemberian mas Anton. Kalo pemberian Tuhan ya langsung naik ke akherat lah gue, mas!"
"Banyak orang di luar sana makan nasi pake kuah air doang. Kamu dikasih nasi plus jagung malah cerewet."
Mia makan sambil mencebik. Biarlah. Daripada hanya makan nanas. Masih untung dibawakan nasi bungkusan.
"Dek, ini gambarnya kok banyak semutnya, sih?"
Mia ikut memandang ke arah TV yang memang gambarnya bersemut. "Nggak tau. Jarang nonton."
"Ntar aku benerin, deh. Biar matamu nggak makin rusak nonton kayak gini."
Mia mengernyit tak percaya, "Bisa emang?"
Anton mendecakkan lidah sebelum menjawab, "Gampang."
Selesai makan, Mia jadi asisten Anton untuk membetulkan TV.
"Ngomong-ngomong tadi ngapain ke klinik kak Elsa?"
"Nganter sushi kesukaan dia. Obeng." Mia meletakkan obeng di telapak Anton agak keras sampai cowok itu mengaduh.
"Kak Elsa dikasih sushi, gue dikasih nasi jagung! Kebangetan pilih kasihnya!"
"Kamu kan omnivora, dek. Beda sama Elsa yang cuma doyan makanan tertentu."
"Ya sekali-kali kalo kesini bawain gue makanan mahal juga!"
"Diem, ah! Ganggu konsentrasi aja!"
"Ini nggak dimatiin dulu TVnya?" LED TV yang sedang mereka kerjakan memang masih menyala. Gambarnya muncul hilang.
"Nggak usah. Ntar kita nggak bisa liat TVnya udah bener apa belum. Repot nyalain-matiin. Gini aja sekalian bisa diliat." Anton setengah memeluk LED TV untuk mencari-cari baut agar bisa dibuka di bagian belakangnya.
"Yakin bisa ngebenerin?" Cibir Mia saat Anton kesulitan memutar baut dengan obeng.
"Daripada ngecemes (ngomong) aja mending bikinin aku kopi, sana!"
Dari sejak air belum mendidih sampai dua cangkir kopi jadi, layar TV masih bersemut. Bukannya baikan, layarnya malah makin menjadi-jadi. Kalau tadi hanya bersemut, sekarang ditambah garis-garis.
"Yang ada malah makin rusak TV gue!" Entah sudah ke berapa kalinya Mia protes. Ia gelisah sekali karena khawatir TVnya tidak bisa dipakai lagi.
"Bawel, ah. Ambilin gunting!"
"Eh, jangan motong sembarangan, mas! Itu bukannya power supply?"
"Ini lho ketemu sumber semutnya, ada komponen yang bentuknya aneh, mau dirapihin biar cakep." Anton menggoyangkan kabel yang terhubung ke papan komponen.
"Masa gara-gara itu, sih?"
Teori Anton mulai tak masuk akal bagi Mia.
Karena tak kunjung diambilkan gunting, Anton mengambil sendiri gunting yang letaknya tak jauh dari mereka duduk. Tanpa sengaja ia menyenggol kopi hingga tumpah ke atas stop kontak. Ada percikan api yang timbul dari sana. Layar TV-pun mendadak kedip-kedip.
"Ati-ati, mas!"
Belum sedetik Mia bicara, tangan besar Anton yang masih memeluk LCD TV tak sengaja nyangkut pada kabel power, lalu menyentuh papan komponen. Karena terkejut, Anton jadi menyentuh stop kontak yang mengeluarkan percikan api tadi.
"Aaakkkkk!!!!!" Anton kejang karena kena setrum. Kedua matanya membelalak. Mia yang panik berusaha menyelamatkan Anton dengan menariknya. Otomatis listrik mengaliri tubuh Mia juga.
"Aarrgghh!!!"
Zzzrrttttttt...
Mereka kesetrum bersama-sama, mengakibatkan lampu-lampu di rumah ikut berkedip. Sepersekian detik yang mereka rasakan sudah bagai meregang nyawa. Mereka selamat karena listrik rumah padam akibat konslet.
Anton dan Mia terkapar di lantai, betul-betul lemas.
"D-dek?" Anton berusaha menggapai tubuh Mia yang terbaring tak jauh darinya.
"An-anjir, nye-nyetrum, m-mas!" Mia terbata.
Keadaan rumah gelap gulita.
***
"Loh, mbak Mia ngapain malam-malam di luar?"
"Rambut e jabrik gitu kenapa, mbak?"
"Anton ya podo e! Mari lapo, mas?"
Mia duduk di pos ronda, di sebelah para bapak-bapak yang sedang dinas jaga komplek. Mereka mengelilingi meja karambol berisi kartu domino.
"Habis kesetrum, pak. Sekarang rumah saya gelap. Konslet." Mia melirik sebal ke arah Anton yang rambutnya jabrik seperti dirinya. Cowok itu sedang menghubungi seseorang lewat hp.
"Halo, Lang?"
"Ngapain malem-malem telpon gue?" Galang menguap di seberang telepon. Anton jelas-jelas mengganggu tidurnya.
"Kamu bisa ke rumah Mia sekarang nggak?"
"Mia kenapa?"
"Rumahnya konslet. Mati lampu. Minta tolong benerin."
"Gue mekanik, bego! Bukan teknisi listrik! Telpon PLN sono!"
"Loh, mekanik nggak bisa benerin listrik tah?"
Mia yang jelas-jelas bisa mendengar Anton bicara, reflek memutar bola mata, "Ya nggak bisa lah, mas! Ada-ada aja!" Sahutnya gemas.
"Kenapa bisa mati lampu?" Kali ini Anton bisa mendengar suara Gie.
"Anu, abis ngebenerin TV." Anton menggaruk pelipisnya. Untung alis matanya tidak ikut jabrik juga.
"Gie telponin Aiden aja. Biar dikirimin orang suruhan dia buat ngebenerin."
"Aiden siapa, Gie?"
"Mantan tunangannya Gie."
"Aduh, nggak ngerepotin??"
"Nggak apa-apa. Nanti urusannya sama Gie. Kasihan si Mia gelap-gelapan. Atau kalo mau, Mia nginep di hotel aja biar listrik rumahnya dibenerin besok pagi."
"Tadinya mau tak ajak nginep di rumahku. Dianya nggak mau. Katanya besok mau berangkat subuh ke rumah sakit, takut repot."
"Yasudah, Gie kontak Aiden dulu, ya?"
"Makasih banyak, Gie."
"Oki doki."
Anton menutup teleponnya dan mendapati Mia sudah asik main gaple dengan bapak-bapak komplek. Satu kakinya nangkring di atas, persis gaya teman-teman main kartunya.
"Dek, Gie kirim orang ke rumah. Pulang, yuk!" Anton mencolek pundak Mia.
"Ntar dulu! Satu putaran, nanggung. Lagian nunggu gelap-gelapan di sana ngapain? Ntar didatengin setan." Mia melempar kartu ke atas meja karambol.
Anton langsung bergidik membayangkan demit yang tiba-tiba muncul dari kegelapan.
"Duduk sini aja dulu, mas. Ikut main. Paling ya masih ntaran teknisinya dateng." Sahut Pak Sugik, sang kepala keamanan komplek. Laki-laki berkepala plontos itu membetulkan sarung yang menutupi tubuhnya untuk menghalau nyamuk.
***
"Gue mau TV gue diganti." Mia memberi ultimatum pada Anton yang berjalan di sebelahnya. Mereka berdua sama-sama membetulkan rambut yang mulai kehilangan kejabrikannya.
"Iya nanti aku beliin TV yang sama persis. Eh, dek?"
"Ha?"
"Kita abis kena setrum begitu kok nggak modar (mati), ya?"
Mia mengedikkan bahu. "Pengen modar, emang?"
Anton buru-buru menggeleng. "Bukan gitu." Ia menatap telapak tangannya, sesekali dibolak-balik. "Kalo kita selamat abis kena setrum kayak tadi, kira-kira ada kemungkinan kita punya kekuatan listrik juga, nggak?"
Mia menghentikan langkahnya, memandangi Anton dengan raut wajah melongo.
Anton ikut memandang Mia. Ia menyentuh pundak Mia tiba-tiba.
"Ngapain?" Tanya Mia heran.
"Ngetes. Kamu kena setrum dari tanganku, nggak?"
Mia gemas sekali ingin menoyor kepala Anton kalau saja ia tak melihat sebuah mobil Bentley familiar parkir di depan rumahnya. Tak berapa lama, si pemilik turun dari kursi pengemudi.
"Amelia." Wajah Aiden datar saat memandangi Mia dan Anton bergantian.
"Loh, kok om di sini?" Mia langsung menghampirinya, memilih mengabaikan Anton yang masih sibuk menekuri telapak tangan.
"Gie called me (Gie telepon saya). What happened (Apa yang terjadi)? What's with your hair (Rambutmu kenapa)? You alright (Kamu nggak apa-apa)?" Aiden ganti memandang Mia dari kepala sampai kaki.
Mia buru-buru menggeleng, "Listrik di rumah saya tiba-tiba mati. Konslet gara-gara abis ngebenerin TV." Ia memimpin jalan untuk masuk ke rumah. Aiden mengikuti di belakang. Anton juga.
"Ini mas Aiden, ya?" Anton menepuk pundak Aiden, minta perhatian. Cowok bule itu mengangguk singkat. "Saya kira mas Aiden minta anak buahnya yang dateng. Maaf sampe ngerepotin begini." Lanjut Anton, benar-benar merasa tak enak.
"Nggak apa-apa. Begitu tahu alamat rumah yang dikasih Gie adalah rumah Amelia, saya langsung ke sini. Anda siapa?"
"Itu mas Anton, om. Kakaknya Ullie. Yang nikah kemarin di Swiss." Sahut Mia dari dalam rumah. Cewek itu menunjukkan hasil keributan yang diperbuat Anton di lantai ruang tamu lewat senter dari hpnya.
"TVnya kenapa?" Aiden langsung berjongkok di depan TV. Ia mengeluarkan hpnya sendiri untuk memeriksa.
"Layarnya banyak bintik-bintik. Gambarnya jadi jelek. Terus dibongkar deh sama mas Anton."
Aiden memandangi Mia dan Anton bergantian sebelum berkata, "Kalau gambar di TV nggak jernih, yang harus dicek pertama kali itu antenanya."
Mia langsung menatap Anton dengan tatapan tak percaya. "Antenanya???"
Anton menggaruk leher sambil mengedikkan bahu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top