10 | SEBUAH IDE

Mereka melewati bundaran nanas dalam perjalanan menuju pelosok desa di kecamatan Cempaga. Perjalanan kesana membutuhkan waktu tak sampai satu jam. Namun Mia memutuskan mereka harus mampir ke Kota Besi, lokasi bundaran nanas yang baru mereka lewati.

"Biar saya tebak. Banyak nanas di sini." Kata Aiden begitu mereka turun dari mobil. Sebenarnya tidak perlu ditebak juga, toh banyak penjual nanas di sini.

Mia tertawa sambil mengangguk. "Nanasnya enak. Manis-manis. Buat dibawa pulang ke Surabaya."

Tujuan mereka adalah sebuah kebun nanas yang letaknya tak jauh dari jalan raya. Di sekeliling mereka nampak banyak kios kecil atau pondok kayu tempat nanas-nanas yang baru dipetik dijual.

"Baunya enak." Aiden mengendus udara yang dipenuhi aroma nanas. Manis.

Mereka bertemu rombongan ibu-ibu yang juga kebetulan sedang berkumpul untuk menikmati nanas di sebuah pondok kayu.

"Mister! Mister!" Aiden hanya tersenyum saat diteriaki rombongan ibu-ibu itu.

"Aduhai, bengkengnya (Aduh, gantengnya)! Handak kucium biar anakku kena bengkeng jua (Pengen kucium biar anakku ntar ikutan ganteng)!" Seorang ibu hamil mengelus-elus perutnya sambil memperhatikan Aiden dengan decak kagum.

"Mister handak bakawin wan ulun lah (Mister mau ngawinin saya nggak)? Hanyar ditinggalakan laki ulun neh (Baru ditinggal suami, nih)!"

Mia tertawa karena mengerti maksud celetukan mereka. Tiba-tiba ia berbelok ke arah rombongan itu, mengundang reaksi heran Aiden. Walaupun heran, cowok itu tetap mengekor.

"Meolah apa pian, cil (Lagi pada ngapain, tante)?"

"Memencok (Ngerujak). Handak, kah (Mau)?" Salah satu dari mereka menawarkan nanas potong kepada Mia. Cocolannya berupa garam yang diberi kecap manis dan potongan cabe rawit. Tanpa basa-basi Mia langsung mencomot satu.

Aiden baru tiba di sebelahnya, memperhatikan Mia yang sedang makan nanas. Ia menelan ludah saat melihat ekspresi nikmat di wajah Mia.

"Manis banget!" Mia langsung menyuruh Aiden ikut mencoba juga. Tanpa diminta, ibu-ibu itu langsung berebut menawarkan nanas potong pada si bule.

"Lakinya, kah (Suaminya)?" Salah satu dari mereka bertanya pada Mia.

Cewek itu menggeleng sebelum menjawab, "Turis."

Ibu-ibu itu kompak ber-ohh. Tatapan mereka masih tak lepas dari Aiden.

"Darimana turisnya? Bisa bahasa Indonesia?"

Kali ini Aiden sendiri yang menjawab, "Saya bisa, kok."

Ibu-ibu itu langsung heboh mengajak bicara ini-itu. Aiden meladeni pertanyaan mereka satu persatu. Mulai dari negara asalnya. Tinggal dimana. Ke Sampit untuk keperluan apa. Sampai status pernikahan. Mia serius mendengarkan sesi wawancara itu sambil makan nanas.

Setengah jam kemudian, mereka kembali ke mobil. Batal petik nanas. Mereka memutuskan untuk membeli saja banyak-banyak. Terlalu kekenyangan gara-gara pencok nanas yang dibagi oleh ibu-ibu tadi.

"Orang di sini ramahnya luar biasa." Aiden mengulurkan kedua tangan pada Mia agar dituangi hand sanitizer juga. Tidak ada air untuk membersihkan kedua tangan mereka yang lengket.

"Memang. Apalagi kalo sama bule kayak om."

"Emang saya kenapa?"

Mia mengedikkan bahu, enggan menjawab.

Mereka melanjutkan perjalanan lagi, menyeberangi jembatan Bajarum yang membelah sungai. Mobil membawa mereka menyusuri jalan kecil beraspal yang diapit lebatnya hutan dan kebun. Tak banyak kendaraan yang lalu lalang di sini. Suasana masih asri dan mata dimanjakan oleh pemandangan hijau di kanan kiri jalan.

"Kalau malam gelap, ya?" Tanya Aiden saat memperhatikan tak ada lampu di sepanjang jalan.

"Iya, gelap. Nggak tau nih, belum ada pemasangan lampu jalan, kali."

"Kalo ada, biar saya yang masang."

Mia mencibir, "Bisnis terooosss!" Aiden tertawa.

***

Mobil Aiden berhenti di sebuah perkampungan yang tanahnya masih berupa tanah merah, agak masuk ke dalam hutan. SUV Aiden terasa agak sesak di jalanan kecil itu. Untung Aiden jago mengendalikan.

"Kamu tau tempat ini dari mana?" Mereka sedang berjalan kaki mengikuti jalan setapak yang dikelilingi pepohonan.

"Om saya dulu sering ngajak ke sini buat ambil durian." Mia menunjuk pohon-pohon durian yang belum berbuah di sekeliling mereka.

"Terus kita mau kemana?"

"Ke rumah nini (sebutan: nenek) yang punya kebun. Orangnya baik. Suku dayak asli. Dayak Ngaju."

"Ada berapa suku di sini?"

"Banyak. Tiap daerah di Kalimantan didiami suku Dayak yang berbeda-beda. Bahasanya juga beda."

"Kamu bisa bahasa Dayak juga?"

"Sedikit. Bahasa Banjar juga nggak lancar. Kalo ngedengerin doang paham. Tapi kalo ngomong kaku banget. Lidah saya sering kesleo." Mia menghentikan langkah. "Nah, itu rumah nini!" Ia menunjuk sebuah rumah panggung berbahan kayu di depan mereka. Ada asap sisa pembakaran daun kering di halaman. Mia memimpin jalan menuju rumah itu.

Nini yang dimaksud Mia sedang duduk-duduk di teras rumah kayunya sambil menginang (bersirih/makan pinang). Mulut Nini berwarna oranye kemerahan.

Mia bercakap-cakap dengan sang Nini menggunakan bahasa Dayak yang sama sekali tak Aiden mengerti artinya. Jadi ia hanya memperhatikan interaksi mereka setelah dipersilahkan duduk di atas lantai kayu. Nini mendorong sebuah tempat sirih yang terbuat dari kuningan bernama Balaga. Wadahnya mirip peti harta karun dengan ukiran-ukiran khas Dayak di sekeliling permukaannya. Isi Balaga yang terdiri dari mangkok-mangkok kecil kuningan berukir, penuh oleh bahan-bahan menginang seperti sirih, kapur, tembakau, dan bahan-bahan lain yang tidak Aiden mengerti.

"Disuruh nyoba, om." Mia menoleh pada Aiden.

"Nggak mau. Nanti mulut saya begitu juga." Tolak Aiden dengan kedua alis menyatu. Ia tak mau mulutnya berubah warna. "Ada manfaatnya?"

Mia mengangguk. "Bikin gigi kuat. Di sini kan nggak ada dokter gigi."

"Saya coba kalau kamu coba juga."

Tanpa basa-basi, Mia mengambil sirih dan mengisinya dengan bahan-bahan menginang. Aiden menirunya. Begitu jadi, mereka mencoba bersama-sama. Wajah Aiden langsung mengernyit. Ia memuntahkan lagi sirihnya.

"Pahit." Dia tidak bermaksud tidak sopan. Hatinya sudah gelisah sekali, khawatir menyinggung si empunya rumah.

Bukannya marah, Nini justru tertawa.

"Cupu." Ledek Mia dengan wajah mengernyit. Ia tak tahan dengan rasa pahitnya, tapi ia tak mau menyerah seperti Aiden. Setelah beberapa detik mengunyah, ia memuntahkan sirihnya juga karena sudah tak tahan. Aiden tertawa mengejek.

"Loh, kakak Mia." Seorang laki-laki yang usianya lebih muda dari Mia datang dengan bertelanjang kaki. Satu tangannya memegang sebuah parang dengan ukiran sederhana.

"Endri!" Mia langsung melompat berdiri untuk menyambut laki-laki itu. Mau tak mau Aiden juga ikut berdiri.

"Daritadi kah pian (sebutan lain 'kamu'-untuk orang lebih tua), kak?"

"Kada (Enggak). Barusan sampai. Darimana?"

"Dari kebun."

"Nggak ada durian yang jatuh?"

Endi menggeleng, "Belum musimnya. Mau makan sagu bakar?"

Kedua mata Mia membulat. "Ada pohon yang busuk?"

"Ada." Endi mengangguk, "Ayu am (Ayo)!"

Mia menarik lengan Aiden agak terlalu bersemangat. Mereka berdua meninggalkan rumah Nini untuk mengikuti Endri yang sudah berjalan lebih dulu masuk ke hutan di sebelah rumah.

Mia ngobrol dengan Endri selama perjalanan mereka. Aiden sibuk memastikan tidak ada tanaman berduri yang melintang dan mencelakai Mia. Cewek itu cuek saja mengobrol dengan Endri yang berjalan di depan sambil menebas tanaman.

Kaos Aiden sudah basah oleh keringat. Hawa rimba amat lembab dan panas. Nyamuk-nyamuk juga bermunculan di siang hari. Ia heran karena hanya dirinya yang digigiti nyamuk, sedangkan Mia dan Endri tidak. Apa karena hewan di sini pada penasaran dengan rasa darah bule?

Mereka berhenti di depan sebuah sungai kecil yang di pinggirannya ditanami pohon sagu. Endri memilih pohon sagu yang sudah rusak alias busuk. Dalam sekali tebas, ia membelah batang sagu itu.

"Nah, sudah tuh! Ulun nyalakan api dulu lah."

Mia mengangguk, lalu memetik sebuah daun berpemukaan lebar tak jauh dari tempatnya berdiri.

"What are you up to (Mo ngapain)?" Tanya Aiden heran saat dilihatnya Mia berjongkok di depan batang sagu yang terbuka, lalu sibuk mencari sesuatu di sana.

"Nyari cemilan enak. Om bakal suka yang ini." Jawab Mia seraya menunjukkan sesuatu mirip belatung putih di telapak tangannya.

Aiden otomatis mundur selangkah.

"What the fuck is that (Apaan itu)? Put it down (Taruh)!" Cowok itu membelalak ngeri saat Mia justru tersenyum lebar. Bukankah mereka tadi berencana makan sagu bakar?

"Ulat sagu, om. Enak. Bener, deh!"

"That's fucking maggot (Itu kan belatung), Amelia!"

"Bukan! Belatung kan lalat. Kalo yang ini larvanya kumbang. Serius, enak. Apalagi kalo di bakar." Mia mengamati ulat gemuk berwarna putih kecoklatan di telapak tangannya. "Ayo bantuin panen!"

Aiden menggeleng tegas. "Manusia nggak makan itu!"

"Saya bukan manusia, dong?"

"Bukan. Kamu alien." Kini Aiden mengernyit jijik pada Mia.

"Yaudah, awas kalo minta!" Ancam Mia. Ia berjongkok lagi untuk meneruskan kegiatannya. Kali ini Endri juga ikut membantu setelah pekerjaannya membuat api selesai. Karena dikerjakan bersama Endri, pekerjaan Mia cepat selesai. Tak butuh waktu lama sampai daun lebar di tangan Mia dipenuhi oleh makhluk menggeliat dan gemuk itu.

Aiden hampir muntah saat melihatnya. Betul-betul jijik dan geli.

Mia hanya mendecakkan lidah karena melihat ekspresi Aiden. Cewek itu duduk di sebelah Endri, mengelilingi api. Aiden agak jauh dari mereka.

Sambil menusuk ulat sagu di ranting kecil, Mia asyik mengobrol dengan Endri pakai bahasa campuran, mengabaikan Aiden yang hanya bisa menonton dari jauh.

Tak hanya ulat sagu, Endri juga membawakan buah cempedak untuk Mia. Dengan parangnya, Endri membelah buah itu. Aroma harum cempedak langsung menguar dari dagingnya. Aiden menelan ludah. Tiba-tiba perutnya keroncongan.

Mia sengaja memamerkan ulat sagu bakar pada Aiden. Ia menggigit ulat pertama dan mengunyah dengan nikmat sampai-sampai harus memejamkan mata. "Hmmm." Begitu membuka mata lagi, cewek itu melirik Aiden. Si om bule sedang tertegun menatapnya.

"Kalo pengen, nggak usah gengsi." Cibir Mia.

Aiden mengalihkan pandangannya pada burung-burung di atas pohon. Siang hari mereka dilatar belakangi suara kicauan burung dan suara aliran sungai. Perut Aiden tiba-tiba jadi lapar. Mengalahkan gengsi, ia berjalan mendekati Mia dan Endri. Bule itu setengah berjongkok di depan Mia. Ia mengamati sate ulat itu dengan serius. Bentuknya sudah tidak separah saat mereka hidup.

"Kalo nggak tahan sama bentuknya bisa makan sambil merem."

Aiden tak merespon. Ia minta sate ulat sagu di tangan Mia. Cewek itu mengulurkan sate agar bisa langsung digigit oleh Aiden. Jarak mereka amat dekat. Meski berkeringat, Mia hanya mencium bau harum dari tubuh Aiden. Dipandanginya lekat-lekat gurat ekspresi Aiden saat mengunyah ulat sagu bakar. Cowok itu tak menutup mata. Mia mengacunginya jempol karena kagum dengan mental Aiden.

"Gimana?"

Aiden masih mengunyah, lama-kelamaan ekspresinya berubah. "Kok bisa enak?" Ia mencondongkan tubuhnya lagi ke arah tangan Mia sedang memegang sate. Mia menurutinya. Kali ini, Aiden makan tiga ulat bakar sekaligus. "Manis. Gurih. Really delicious." Ia manggut-manggut seperti seorang kritikus makanan.

***

Kenyang makan ulat sagu dan buah cempedak, mereka kembali ke rumah Nini. Hati Aiden senang. Pengalaman berkeliling dengan Mia jauh di atas ekspektasinya.

Mereka duduk di tangga kayu depan rumah Nini untuk istirahat, kelelahan habis berjalan jauh. Mia mengipasi wajahnya dengan tangan. Sedangkan tangan yang lain diletakkan di atas bahu Aiden sebagai tumpuan.

"Capek." Keluh Mia.

Aiden menyuruhnya untuk meluruskan kaki. Mia menurut. Kaki kanan Mia diletakkan Aiden di atas pahanya. Ia memijat betis Mia yang pegal-pegal.

"Jarang olahraga, ya?" Tanya Aiden.

Mia menggigit bibir. Jantungnya melompat-lompat begitu kulitnya disentuh tangan Aiden. "Saya seringnya olahraga otak." Jawab Mia untuk menutupi kegugupannya.

"Olahraga badan juga penting, biar nggak gampang capek." Aiden memberi petuah seperti orang tua. Memang dia sudah tua, sih. Itu menurut Mia.

Bahu Mia ditepuk oleh Nini. Mia langsung menarik kakinya dari Aiden.

Nini menyerahkan dua buah kalung bertali hitam pada Mia. Keduanya memiliki liontin menyerupai kuku binatang.

Mia mendengarkan dengan seksama apa yang dikatakan Nini padanya.

Aiden menyentuh lutut Mia. Sentuhan itu terasa intim sampai Mia terkejut, namun cewek itu dapat mengendalikan diri.

"Nini bilang apa?" Tanya Aiden penasaran.

Mia menyerahkan satu kalung pada Aiden. "Dari cakarnya harimau. Nini kasih ini buat kita. Kenang-kenangan."

Kedua mata Aiden membulat takjub, "Tiger? Sungguh?" Ia langsung mengalungkan benda itu ke lehernya.

"Cocok." Puji Mia. Jujur saja, Aiden makin nampak hot dengan tubuh berkeringat dan sebuah cakar harimau di lehernya.

"Sini, biar saya pasangin." Aiden menawarkan diri. Mia buru-buru menggeleng. Alih-alih memasangnya di leher, Mia melilitkannya di pergelangan tangan sebelah kiri untuk jadi gelang.

Aiden menyentuh pergelangan tangan Mia, mengangguk setuju. "Looks nice on you (Keliatan bagus kamu yang pake)."

Sekarang mereka punya token yang sama.

***

Sebelum pulang, mereka mampir makan siang dulu di sebuah restoran dekat rumah Mia. Lokasinya bagus karena tempat makan mereka berupa gazebo kayu di atas kolam ikan. Seluruh tempat ini terbuat dari kayu, dari pintu masuk sampai gazebonya. Serasa berada di Maldives atau Maladewa, tapi dengan kearifan lokal.

Mereka sedang menunggu pesanan datang sambil menikmati semilir angin sepoi-sepoi.

Mia memainkan sedotan di gelas jus, melamun. Aiden menyentuh lengannya.

"Mikirin apa?"

Mia menggeleng. "Nggak ada."

"Saya cukup tau dari ekspresi kamu kalau kamu lagi gelisah mikirin sesuatu."

"Keliatan, ya?"

Aiden mengangguk. Mia langsung menghela napas berat. "Saya lagi galau, om."

"Apa yang digalauin orang seperti kamu?"

Mia cemberut. "Emang saya nggak boleh punya masalah hidup?"

Aiden mengedikkan bahu.

"Mau denger saya cerita, nggak?" Lanjut Mia lagi.

"Boleh."

"Saya galau, om. Saya kan dijodohin. Nikah tahun depan. Kalo nggak mau nikah, sekolah saya nggak dibiayain."

"You can work (Kan kamu bisa kerja)."

Mia buru-buru menggeleng, "Saya mau ngelanjutin sekolah forensik. Nggak ada waktu. Kalo saya kerja dulu, nanti otak saya keburu keropos. Mumpung masih muda. Mau langsung lanjut sekolah."

Aiden manggut-manggut. "Sudah coba bicara dengan orangtua kamu?"

"Udah. Nggak ada pengaruhnya. Rencana pernikahan tetap jalan."

"Padahal kamu masih muda sekali. Sayang kalau menikah, sedangkan kamu sudah punya rencana panjang." Di negeri asal Aiden, perempuan baru memikirkan pernikahan saat usia mereka di atas tiga puluh. Seharusnya Aiden maklum, Indonesia dan beberapa negara berkembang lain masih menganggap normal usia dua puluhan untuk menikah.

Mia menepuk tangannya sekali, "Itu dia. Om ngerti perasaan saya sekarang."

"Sekolah sambil jadi istri emang nggak bisa?"

"Nggak mau. Ribet. Belum ngurus suami, anak, duh... nggak kebayang."

"Terus rencanamu apa?"

Bahu Mia merosot. "Nggak tau, om. Pasrah dulu sampe dapet inspirasi kudu apa."

Aiden memandangi Mia yang kelihatan lesu. Ia juga tidak tahu bagaimana cara menghiburnya.

Mereka mendengar suara gelak tawa seseorang. Perhatian mereka langsung tertuju pada gazebo seberang, tempat sepasang kekasih sedang bercanda sambil makan. Aiden tidak kenal mereka siapa, namun Mia jelas kenal. Kedua mata cewek itu menyipit saat mengamati mereka.

"Ah, dasar bedebah." Gerutu Mia sebelum menyedot jus dari gelas.

"Siapa mereka?"

"Yang cowok calon suami saya. Yang cewek namanya Edna. Masih pacaran rupanya." Mia jelas kelihatan kesal.

"Kamu cemburu? Kamu mau saya bawa cowok itu kesini?"

"Nggak usah! Ngapain? Saya tuh kesel pemandangan indah begini jadi rusak gara-gara liat mereka."

Aiden keheranan, "Kamu nggak ingin kasih tau orangtua kamu kalau calonmu ini ternyata brengsek?"

Mia menggeleng, "Biar ajalah. Nggak penting."

"Kan bisa dijadikan alasan buat membatalkan pernikahan kalian."

"Orangtua kami udah sepakat, om. Ada bukti Doni pacarnya banyak, nggak akan merubah pikiran mereka buat ngebatalin pernikahan. Pamali. Saya pasti disuruh sabar, terus maafin, terus nerima kekurangan dia, terus pasrah, terus bla bla bla. Kalo bukan saya mati duluan gara-gara depresi, pernikahan itu bakal tetep jalan."

Aiden mengernyit, "Kok aneh begitu?"

Mia mengedikkan bahu cuek.

"Kamu sendiri bagaimana?"

"Gimana apanya? Kan om tau saya ogah kawin sama dia tapi bingung gimana nolaknya. Pendidikan saya dijadikan taruhan." Mereka saling terdiam.

Mendadak Mia mendapat ide cemerlang. Secemerlang langit siang ini. "Saya mau jadi sugar baby aja, deh!"

Aiden sukses tersedak minumannya. "WHAT?"

Mia mencondongkan tubuhnya ke depan. Wajahnya cerah sekali. "Temen saya –si Lani- jadi sugar baby. Nemenin om-om doang tapi langsung dapet tas, sepatu, motor. Kuliahnya juga dibiayain." Mia menepuk dahinya sendiri. "Kok nggak kepikiran dari kemarin." Ia tertawa.

Lain halnya dengan Aiden yang masih terkejut.

"Om jadi sugar daddy saya mau nggak?"

Aiden masih memandangnya.

"Om kan udah tua. Jauh dari keluarga. Pasti kesepian, kan? Saya aja yang temenin. Tapi upahnya bayarin saya sekolah, ya?"

Aiden masih terpaku, terlalu terkejut.

"Nggak pake seks. Kalo om butuh diangetin di kasur, mending bayar PSK aja. Saya nggak bisa."

"Saya bisa dapat gratis kalo saya mau." Akhirnya Aiden bersuara.

"Nah! Bagus, dong! Jadi bukan job desc saya buat ngelayanin yang 'itu'."

Aiden baru akan protes saat pelayan datang untuk membawakan pesanan mereka. Obrolan mereka otomatis tertunda.

Sepiring udang galah bakar, ikan gurami goreng dengan taburan bawang putih, tumisan sayur, dan aneka sambal terhidang di atas meja. Mia mengambilkan nasi untuknya. Mood cewek itu mendadak baik.

"Doni!" Mia melambaikan tangan saat pasangan yang tadi mereka perhatikan melintas di depan gazebo. Cowok yang disapa Mia itu langsung kikuk. Dia kelihatan terkejut bertemu Mia di sini.

"Eh, bu dokter! Kapan dateng?" Edna mampir.

Mia memutar duduknya agar bisa berhadapan dengan Edna. "Dari kemarin, sih. Nggak dikasih tau Doni, ya?" Saat Edna menoleh ke arah kekasihnya, alis Mia bergerak naik turun. Ekspresi wajahnya penuh konspirasi ketika memandang Doni yang tergagap.

"Abang ju-juga baru tahu inya bulik (Abang juga baru tau kalau dia kesini)." Jawab Doni. Wajahnya dipenuhi keringat dingin.

Aiden mengamati kejadian itu sambil makan, merasa terhibur dapat tontonan gratis.

"Alaaah! Pakai bohong segala. Kan kita kemarin ketemuan. Dua keluarga besar, lagi! Nggak inget kalo tahun depan kita-" Doni buru-buru menutup mulut Mia dengan satu tangan. Gerakannya agak kasar, sampai wajah Mia seketika memerah. Aiden reflek bangkit dan mencengkeram pergelangan tangan yang digunakan untuk membekap wajah Mia. Doni mengaduh kesakitan. Tubuh Aiden jauh lebih besar dari Doni, tenaganya juga. Jadi tidak heran kalau cengkeraman Aiden serasa seperti sedang meremukkan tulang belulang Doni. Bekapan di wajah Mia terlepas.

"Lepasin, om." Bisik Mia.

Aiden melepaskan cengkeramannya dalam satu hentakan kasar.

Edna hanya bisa berdiri dengan ekspresi ngeri. "Apa apa sih ini?"

Doni tak memberikan kesempatan pada Mia untuk menjawab karena ia keburu menarik Edna untuk segera pergi dari sana.

"Dadah! Hati-hati di jalan!" Mia melambaikan tangan melepaskan kepergian pasangan yang kini sedang berdebat itu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top