TIGA PULUH TIGA

***

"Mas, gue haus, nih. Kita mampir beli minum dulu bisa, kan?" Asha merayu Dedi, kakaknya Rohman yang sedang mengemudi untuk mampir membeli minum di mini market.

"Iya, Mas, gue juga haus. Cuma Lukman doang yang enggak haus. Ket mau meneng ae," timpal Rohman.

Wajar saja tenggorokan Asha dan Rohman minta disiram air, sejak setengah jam yang lalu mereka non stop karoke di dalam mobil yang akan membawa mereka ke malang. Hanya Lukman yang sejak tadi diam, entah karena dia tidak hapal liriknya atau karena sariawan. Apapun alasan diamnya Lukman berhasil membuat suasana tidak nyaman.

Asha sudah mencolek lengan Lukman, menarik lengan bajunya bahkan menggelitik pinggang si muka boros di sebelahnya, tapi tetap saja tidak reaksi. Entah sengaja atau tidak Lukman sempat menepis tangan Asha. Sejak tadi yang dilakukan Lukman hanya menatap keluar kaca jendela. Jika memang Lukman tidak ingin ikut, kenapa tidak bilang dari kemarin?

Jangan bilang Lukman tidak tega menolak ajakan Rohman untuk main ke rumahnya kemudian ke Bromo bersama. Sejak dua minggu yang lalu Rohman mengatakan minggu ketiga di Pare, sebelum ujian harus datang ke rumahnya untuk mengisi ulang tenaga, liburan supaya tidak penat dan siap ujian. Asha yakin dia juga tidak akan tega menolak ajakan itu, tapi jika mengatakan Lukman sakit dan diganti dengan Rui bisa, kan?

"Bisa pake Bahasa Indonesia, kan, ngomongnya. Inget ya gue bukan Jawa." Asha menimpali percakapan mereka. Biar saja Lukman yang diam, Asha tidak ingin terpengaruh suasana buruk hati Lukman. Seandainya tahu akan seperti ini, Asha pasti duduk di depan menemani Dedi. Biar Rohman yang membujuk Lukman.

"Yang lo tahu cuma meneng doang ya, Sha."

"Udah tahu pake tanya lagi." Asha memutar bola matanya ke atas. Jengah dengan pertanyaan tidak penting Rohman.

"Baru sebulan di Pare belagu. Udah pake lo gue sekarang?" ejek Dedi ke adiknya.

"Kalo gue pake aku kamu sama Asha entar Lukman cemburu, Mas."

"Mereka pacaran? Kenapa diem-dieman dari tadi? Lagi berantem?" tanya Dedi heran sambil menatap mereka dari kaca spion di dalam mobil.

"Kita enggak pacaran," jawab Asha dan Lukman kompak.

"Tuh, kan, kompak. Pasti jodoh ini." Rohman tidak melewatkan kesempatan untuk menggoda penghuni jok belakang.

"Sha, bisa tahan hausnya sebentar?" tanya Dedi. "Di sekitar sini jarang ada warung pingir jalan, kalo ada gue langsung berenti."

"Iya, Mas."

Setelah mengatakan itu Asha mengikuti tingkah Lukman, diam dan mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Berusaha meredam haus yang dirasa. Sejak lima menit yang lalu jalur yang mereka lewati berkelok-kelok dan menanjak dengan jurang di sebelah kiri. Pemandangan yang dilewati pun berubah. Rumah penduduk semakin jarang, jika pun ada jaraknya berjauhan. Selebihnya adalah pepohonan hijau yang rindang. Apa tidak ada yang berniat membuka warung atau mini market di pinggir jalan?

Melihat pemandangan hijau di luar dan udara sejuk di dalam mobil membuat mata Asha diserang kantuk. Sejak melewati jalur berkelok ini seluruh penghuni mobil sepakat untuk diam karena tidak ingin mengganggu konsentrasi Dedi. Suasana yang tenang dan kemampuan Dedi melewati tiap tikungan dengan mulus membuat mata Asha semakin berat. Beberapa kali dia menutup mulutnya untuk menguap dan mengucek matanya. Berharap kantuk itu pergi, tapi tidak berhasil.

***

Sisa perjalanan menuju Batu dihabiskan dengan tidur oleh Rohman, Asha dan Lukman. Mereka dibagunkan ketika sampai di Bakso Song yang ada di dekat alun-alun kota Malang. Sesampainya di warung bakso Asha segera menyambar botol minuman teh manis dingin kemudian menyedotnya sampai habis. Menuntaskan dahaga yang sejak tadi ditahannya.

"Haus banget, Mbak? Sorry tadi gue enggak berenti. Lo tidur nyenyak banget."

"Iya, enggak masalah, Mas." Jika sedang tidur dibangunkan yang ada kepala Asha jadi pusing. Haus dan pusing adalah kombinasi paling buruk yang tidak Asha inginkan selama melakukan perjalanan. Lebih baik tidur saja karena selama tidur dia bisa melupakan dahaganya sebentar.

Saat ini hanya ada Lukman dan Asha yang sedang duduk menunggu pesanan bakso mereka diantarkan. Dedi baru saja beranjak untuk menjawab telepon, sedangkan Rohman sejak tadi belum kembali dari kamar mandi. Atas permintaan Rohman, Dedi membawa mereka ke bakso malang Song untuk makan siang. Asha sumringah setibanya di warung bakso dengan konsep garasi rumah ini, siapa sih yang tidak mau makan bakso malang di kota asalnya? Dan kebetulan siang itu tidak ramai jadi rasanya seperti makan bersama di teras tetangga.

"Luke, lo kenapa? Dari tadi cuma diem." Asha kembali mencoba berbicara dengan Lukman.

Lukman masih diam.

"Lo bisa, kan, lupain sebentar masalah, lo. Nimbrung atau nyaut kalo ditanya sama orang. Gue sama Rohman udah tahu banget sifat jelek lo yang ini, dan kita enggak keberatan." Asha mulai mengoreksi sikap menyebalkan Lukman. Tidak pantas saja, kan, diundang ke rumah orang, tapi malah bersikap tidak sopan.

Asha berhenti sebentar, menunggu dan mengamati wajah Lukman. Siapa tahu dia bereaksi mendengar ucapan Asha. Jika marah Asha akan segera mengunci mulutnya, ternyata di luar dugaan. Lukman diam saja seolah ada biji kedondong yang tersangkut di tenggorokannya. Kemudian Asha melanjutkan ucapannya karena beranggapan Lukman tidak marah.

"Bisa, kan, lo hargai sedikit Mas Dedi."

Setelah itu hanya ada keheningan di antara keduanya. Asha lelah mencoba, terserah Lukman mau bagaimana setelah ini. Sejak turun dari mobil kepala Asha pening, mungkin dia masuk angin karena tadi pagi melewatkan sarapan, melewati jalanan berkelok membuat perut kosongnya seperti dikocok dan salahnya juga yang langsung menenggak minuman dingin alih-alih minuman hangat. Asha berharap peningnya hilang setelah menyantap semangkuk bakso hangat ekstra pedas.

Meskipun sedang perang dingin Asha dan Lukman tetap kompak, terbukti saat keduanya mengucapkan terima kasih pada pramusaji yang mengantar bakso pesanan mereka. Tanpa menunggu lebih lama Asha segera menyendok lima sendok sambal untuk baksonya, kuah bakso yang bening berubah merah setelah Asha mengaduknya. Asha sempat mencicipi kuahnya sebelum ditambahkan sambal, walaupun bening kaldunya terasa sekali. Membuat lidahnya bergoyang tidak sabar ingin segera melahap semuanya.

"Rohman sama Mas Dedi lama banget?" Asha menoleh ke jalan raya di belakang punggungnya, mencari keberadaan Dedi yang belum kembali.

"Bakso lo enggak pake kecap, Sha?" Rohman langsung mengomentari bakso malang di mangkuk Asha setelah kembali dari kamar mandi.

Asha menghela napas lega karena Rohman telah kembali. Acara makan baksonya bisa segera dimulai. "Gue tim bening."

"Bakso malang kalo enggak pake kecap kurang maknyus." Dengan seenaknya Rohman menuangkan kecap ke dalam empat mangkuk bakso malang. "Cepetan makan. Gak enak kalo dingin. Mas Dedi tinggalin aja."

Pembicaraan dia atas meja bakso mengalir setelah Dedi datang karena sebelum itu mereka bertiga terlena dengan nikmatnya bakso malang hangat di tengah udara dingin kota Malang. Bayangkan saja bagaimana lezatnya bakso yang terbuat dari sembilan puluh persen daging sapi. Dagingnya berasa banget kemudian kenyalnya pas, tidak terlalu lembek atau keras. Pantesan bakso ini terkenal dan sering masuk artikel berita online.

Hangatnya kuah bakso berhasil meloloskan biji kedondong di tenggorokan Lukman. Beberapa kali dia menimpali ucapan Dedi dan Rohman kemudian terlibat sepenuhnya ketika membahas tempat wisata di Malang. Sampai ... akhirnya Asha menyadari satu hal. Sejak tadi Lukman tidak menjawab atau menimpali ucapan Asha satu pun, awalnya Asha mengira pria itu tidak mendengar apa yang diucapkan Asha karena terlalu fokus dengan Dedi dan Rohman.

Selera makan Asha menguap dibawa udara dingin kota Malang. Bakso yang yang dipuji kelezatannya seketika menjadi hambar. Asha meletakkan garpu di atas sendok membentuk sudut empat puluh lima derajat, menyudahi makan siangnya lebih dulu dibanding yang lain padahal di dalam mangkuknya masih ada gorengan dan siomay.

Salah gue apa?

***

Siapa yang suka bakso malang?

Waktu nulis ini malem-malem jadi ngebayangin bakso itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top