TIGA PULUH ENAM

***

Setelah tinggal satu minggu di Pare, Sekar mulai terbiasa naik sepeda ke mana-mana dan hapal jalan. Seperti saat ini dia tidak ingat nama jalannya, tapi tahu jalan yang sedang dilewatinya menuju ke ATM. Tinggal belok kanan dan mengayuh sebentar.

Sekar memarkirkan sepeda kemudian mengantri. Di depannya masih ada tiga orang yang ingin mengambil uang tunai. Untuk membunuh waktu Sekar mengalihkan pandangannya ke berbagai tempat makan di sepanjang jalan dekat ATM. Memilih menu makan malamnya hari ini.

"Sekar."

Sekar menoleh ke arah si pemilik suara. Dimas, untuk apa dia memanggilnya? Seharusnya dia cuek saja dan segera pergi setelah urusannya di ATM selesai. Sekar tidak ingin bertemu dengan Dimas lagi, menyesal telah datang ke Pare dan sempat-sempatnya berharap dia berharap bisa kembali menjalin kasih dengan Dimas.

Harapan Sekar yang melambung tinggi dibanting begitu keras oleh kenyataan bahwa Dimas ke Pare untuk menemui selingkuhannya. Dan Lukman, sahabatnya yang dianggap akan memberikan bantuan paling besar dalam melancarkan rencananya malah berkhianat karena berteman dengan Asha.

"Makan bareng yuk, Kar."

Sekar masih diam. Alih-alih menjawab Sekar masuk ke dalam bilik ATM setelah antrian di depannya kosong. Sekar berharap sikap diamnya bisa mengusir Dimas ternyata mantannya itu masih menunggunya.

"Gimana?" Dimas kembali bertanya.

"Mendingan kamu makan sama selingkuhan kamu."

***

Selasa pagi Asha kembali beraktifitas di Pare. Kemarin dia sampai pukul dua siang tanpa diantar Tedi karena setelah dari salon Asha langsung ke Pare dengan taksi. Asha masih sempat mengikuti kelas vocab dan pronunciation. Selama dua hari Rohman terus menghubunginya, dia merasa bersalah karena memaksa Asha main ke rumahnya padahal dia sedang sakit dan berulang kali juga Asha mengatakan jika maag-nya kambuh karena salahnya sendiri yang tidak bisa menahan napsu makannya ketika melihat sambal dan bakso.

"Beneran udah sembuh, Sha? Rohman kembali bertanya sambil memasukkan buku ke dalam tasnya.

"Iya, Man. Kalo enggak gue enggak ada di sini. Udah ya. Gak usah tanya itu lagi. Bosen gue."

"Ya, kan, gue khawatir."

"Ya, kan, gue udah sehat sekarang."

"Oke, perlu gue kawal sampe ke camp?"

"Enggak usah! Cepetan pergi! Jangan sampe gue bete sama lo."

"Oke-oke, peace baby girl. Gue duluan, Sha." Rohman berteriak sambil sambil mendorong sepedanya keluar.

Asha menyusul Rohman mendorong sepedanya. Anak-anak camp dua sering mengadakan kelas di Tansu ketika bosan dengan suasana camp dua yang begitu-begitu saja. Banyak pilihan tempat makan yang bisa dijadikan kelas, tapi tempat favorit mereka tetap saja Tansu karena murah dan paling hits di Pare. Asha juga tidak pernah mengomel lagi jika teman-temannya menyarankan kelas di luar. Lebih baik dia kepanasan sebentar daripada bosan di kelas.

Ketika sudah duduk di atas sepeda dan siap mengayuh alat transportasi andalannya selama di Pare, Asha melihat Lukman membelokkan sepedanya ke kanan, ke arah bangunan tua. Tumben Lukman lewat sana, biasanya kan dia sama seperti anak-anak lain yang selalu belok kiri jika kembali ke camp dua atau empat. Justru camp tiga, tempat tinggal Asha yang lebih dekat jika lewat jalan itu, tinggal lurus saja setelah belok kanan di dekat pemakaman, tapi Asha tidak pernah melewatinya karena takut.

Kebetulan Lukman sedang sendiri. Asha segera memutar sepedanya untuk menyusul Lukman. Ada hal penting yang ingin Asha bicarakan dengan pria itu.

"Lukman, tunggu!" Asha berteriak sambil mengayuh sepeda.

"Lukman!" ASha kembali berteriak. Dia pasti lagi pakai headset makanya jadi tuli. Dipanggil dengan suara keras sampai tenggorokkan Asha sakit tidak menoleh sama sekali.

"Tunggu, Luke." Kedua kaki Asha bekerja lebih keras supaya bisa menyusul Lukman.

"Tunggu!" cegah Asha setelah dia berhasil menyusul dan sepedanya menghalangi jalan Lukman. "Ada yang mau gue omongin."

Lukman melepas headset di telinganya dengan kasar kemudian berkata, "Mau apa lagi? Membela diri?"

Asha berdecak kesal. Tidak menyangka Lukman masih berpikir jika Asha adalah the one to be blame atas berakhirnya kisah romantis Dimas dan Sekar. Padahal Asha sudah memancing Lukman dengan pertanyaan supaya pikirannya terbuka. Mencari info yang berimbang dari dua belah pihak.

"Enggak! Karena gue enggak salah. Lagian juga seinget gue, gue enggak pernah bilang nama cowok gue di depan lo."

"Enggak penting. Sekarang udah ketahuan Dimas, kan, pacara lo itu."

"Kayaknya lo ngarep banget gue pacaran sama Dimas. Kenapa? Supaya lo bisa jadi knight in shining armor buat Sekar," ucap Asha dengan nada menghina.

"Bukan urusan lo!"

"Gue juga males ikut campur cinta sepihak lo. Gue cuma mau tanya kenapa lo ogah-ogahan di kelas vocab kemaren?! Sampe kita dihukum ngamen."

Asha turun dari sepedanya kemudian mendekati Lukman. Tenggorokkanya sakit karena sejak tadi mengeluarkan suara dengan volume keras. Mereka tidak bisa terus begini. Bicara berjauhan dengan suara nyaring bisa menyulut emosi lebih cepat ditambah terik matahari yang melelehkan tenaga Asha.

Asha menghapus peluh yang menetes di pelilisnya dengan tangan lalu menggaruk kepalanya yang gatal karena panas dan baru sadar tidak ada topi di sana. Tiba-tiba saja Asha ingat ketika Lukman meminjamkan topinya agar dia tidak kepanasan, tapi sekarang saat dia sudah kepanasan malah diam saja. Tidak ada niat sedikit pun untuk membantu. Apa Asha sangat buruk di mata Lukman sekarang? Apa yang harus Asha lakukan agar Lukman kembali menjadi temannya?

Mau punya teman saja susah. Jika tahu hari-hari terakhirnya di Pare akan seperti ini lebih baik Asha tetap di Jakarta. Liburan sendiri di rumah atau pergi ke Pulau Seribu atau setiap hari nongkrong di mall juga tidak masalah daripada seperti sekarang. Di mana Asha kembali mendapat predikat pelakor dan dijauhi teman. Apa ada kebetulan seperti ini? Di dua tempat yang berbeda, tapi mengalami masalah yang serupa. Asha tidak ingin percaya kebetulan semacam ini, tapi kejadian ini benar adanya.

"Bisa, kan, Luke masalah ini cukup kita aja yang tahu. Jangan sampe anggota grup empat dan temen sekelas tahu."

"Lo playing victim di depan gue?"

"Justru gue lagi lindungin lo dari playing victim. Gue berusaha supaya enggak ada yang tahu kalo kita lagi ada masalah, tapi lo malah sengaja mau tunjukin semua ini!" Asha menarik napas panjang untuk menenangkan debaran jantungnya yang meningkat karena emosi yang meluap. Dia mengira Lukman akan ikut tenang setelah Asha menurunkan nada bicaranya. Eh ... malah sama saja dan Asha terpancing.

"Buat apa? Supaya temen-temen simpati sama lo dan ngejauhin gue? Sikap diam lo itu bikin orang penasaran terutama Rohman. Dia pasti nimbrung di masalah kita, seenggaknya dia berusaha supaya kita baikan lagi."

Setelah Asha mengeluarkan unek-uneknya mereka berdua terdiam. Asha menunggu respon Lukman, tapi Lukman sendiri ... entahlah. Sejak tadi pria itu tidak membalas lagi ucapan Asha malah mematung di sepedanya dan pandangan mata si muka boros diarahkan ke pohon tebu di sebelahnya. Lukman sengaja menulikan telinga dan tidak melihat lawan bicaranya. Semua ucapan Asha dianggap angin lalu. Ini sih sama saja dengan tidak menganggap keberadaan Asha.

Ok. It's time to give up, batin Asha ketika melihat reaksi Lukman.

Asha menyerah, dia kembali ke sepedanya kemudian meninggalkan Lukman sendiri tanpa menoleh lagi. Jika berakhir seperti ya sudah, mau bagaimana lagi. Setidaknya Asha telah berusaha menjelaskan dan menutupi masalah ini dari teman-temannya. Mungkin Lukman akan luluh setelah Asha minta maaf. Tapi maaf saja, Asha tidak akan minta maaf untuk kesalahan yang tidak dia lakukan.

There is nothing she can do about it. Their friendship is over.

***

Jangan bosen ya kalo update tiap hari ^_^

Xoxo
Bae

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top