TIGA BELAS

21.00

Sebuah pesan masuk serentak ke WAG kelas camp dua.

Akbar : Speaking class will be held in tansu tomorrow

Akbar : See u there

21.10

Asha : Ada siapa sih di Tansu? Hobi banget kelas di sana. Lo kasih tahu gue besok. Gue mintain nomernya

Akbar : sekate-kate lo kalo ngomong

Akbar : Gue bosen di kelas

Asha : Lo tuh yang sekate-kate. Seminggu ini kita udah dua kali kelas di Tansu

Asha : Bisa tepar gue kalo begini terus

Akbar : Panas bentaran doang juga

Akbar : Jakarta and pare sama panasnya. Jadi jangan lebay

Asha : Jelas beda! Di sini gue ngontel

Pesan Asha di WAG disertai stiker cewek Anime yang sedang kesal. Lalu dia dan Akbar menghilang, tidak muncul lagi di WAG yang mulai ramai oleh anggota grup lain, mereka mencoba untuk mendamaikan Akbar dan Asha.

Dinda : Jadinya besok di mana?

Dinda : WOY jawab!

Lukman : Speaking besok di tansu. Gak enak sama Mr. Abdul.

Lukman : Call it a night. Tidur

Lukman sebagai top dog di camp dua akhirnya turun tangan menengahi keributan di WAG. Ini kelas gak ada tenangnya. Ada aja kejadian yang bikin gue pusing. Kesiram kopi, Rani ke kunci di kamar mandi waktu grammar, sepeda roboh dan sekarang berantem di WAG.

Kejadian semalam kembali terlintas di kepala Lukman ketika melihat hubungan Akbar dan Asha yang belum pulih di kelas grammar pagi ini. Melihat hal itu Lukman langsung membuat WAG khusus untuk grup empat. Pesan pertama yang dikirimnya adalah:

Lukman : Sarapan di Warung Bu Tien

Asha : Di mana lagi itu tempatnya?

Asha : Jangan jauh-jauh. Udah laper

Lukman : Kumpul di depan gang

Lukman : Grup empat WAJIB!

Asha pasrah membaca titah Lukman yang penuh dengan nada perintah tak bisa dibantah. Asha memasang wajah kesal saat keluar kelas supaya bisa meluluhkan Lukman dan mengganti tempat sarapan di sekitar camp dua. Biasanya cara ini selalu berhasil ke papanya yang notabene laki-laki. Seharusnya cara ini ampuh juga ke mereka secara mereka memiliki gender yang sama.

"Asha, lo keluar atau gue dobrak pintu kamar mandi."

Suara Lukman merambat dari balik pintu kamar mandi. Setelah aksi menunjukkan wajah kesal tidak berhasil, Asha langsung pura-pura sakit perut dan kembali ke dalam camp dua. Berlama-lama di kamar mandi sampai Lukman membatalkan rencananya. Tapi bukannya membatalkan rencana malah mau dobrak pintu.

"Ya Allah, sifat Lukman tegas banget. Setegas rahangnya yang keren."

Asha mengaku kalah. Dengan berat hati dia keluar dari kamar mandi, lebih baik menurut daripada dia dan Lukman dituntut karena perbuatan merusak barang milik orang lain dengan sengaja. Pintu rusak bisa diganti, tapi wajah cantiknya mau ditaruh di mana? Dia bisa diusir dari Pare.

Mereka berangkat menuju warung Bu Tien di Jalan Pancawarna setelah berkumpul di depan gang camp dua dengan sepeda masing-masing. Rohman memimpin pasukan di depan sekaligus petunjuk jalan, sedangkan Lukman di belakang untuk memastikan supaya tidak ada yang kabur.

Selama perjalanan ke Warung Bu Tien, Asha beberapa kali menghentikan laju sepedanya. Ada saja yang dilakukan gadis itu, mulai dari mengangkat telepon, jajan pentol bahkan sempat membeli es krim di warung. Lukman yang mengawasinya jadi kesal, dia merasa menjadi baby sitter-nya Asha.

Asha pasti lagi balas dendam. Mau buat gue lebih kesel lagi, batin Lukman.

"Sini kalian bertiga!" Lukman kembali mengeluarkan titah. Dia meminta mereka segera berkumpul setelah memarkir sepeda. "Gue mau ngomong."

"Biasa aja dong! Bossy banget," sahut Asha yang bosan dengan nada memerintah Lukman sejak semalam.

"Ssst, udah yuk masuk." Rohman mencoba menurunkan tensi kekesalan Asha.

"Pesen makan dulu, please deh. Gue laper," keluh Asha sambil mengelus perutnya. "Gak ada tempat yang lebih jauh lagi buat sarapan? Gila hampir ke Tansu. Untung gue masih punya tenaga buat goes."

Sengaja, batin Lukman. Lukman sengaja memilih Warung Bu Tien karena dekat dengan Tansu jadi setelah makan mereka bissa langsung ke sana. Menunggu di gazebo sambil menatap hamparan sawah, selain itu jika berangkat lebih pagi Asha tidak perlu panas-panasan bersepeda menuju Tansu. Meskipun saat kembali ke camp tiga tidak bisa menghindar dari terik matahari, setidaknya frekuensi Asha terpapar sinar UV berkurang beberapa menit.

"Yang bikin lama, kan, lo sendiri. Siapa yang mogok di kamar mandi?"

Asha siap membuka mulut untuk membalas Lukman, tapi tidak jadi setelah melihat gelengan kepala Rohman, karena kasihan dengan Rohman yang berusaha jadi juru damai akhirnya Asha mengalihkan keinginannya dengan membuka bungkus pentol pink. Walaupun sedang kesal, tapi Assha tidak pelit, di membuka bungkusan pentol pink lalu menaruhnya di depan mereka sekalian dengan empat tusukan bambunya. Sambil menunggu makanan utama datang Asha mengganjal perutnya dengan pentol pink.

"Gue bisa bonceng lo kalo emang lo capek." Lukman menjawab dengan jutek.

"Telat. Kenapa gak ngomong dari tadi!" balas Asha sewot. Asha sudah diam, eh ... si Lukman mancing emosi Asha lagi.

"Woy! Jangan pada nyolot! Masih pagi. Tulis pesenan lo di situ." Rohman yang sejak tadi sabar ikut terpancing. Dia mendorong kertas dan pulpen ke depan Asha, meminta gadis itu mencatat pesanannya lebih dulu. "Entar gue yang anterin pesenannya ke dalem."

Lapar bisa membawa bencana untuk mereka berempat. Lihat saja Asha, Lukman bahkan dirinya mudah sekali terpancing emosi. Mulut mereka terkunci saat Rohman meninggalkan meja dan pergi ke dalam untuk memberikan kertas pesanan.

"Katanya lo mau ngomong, Luke. Ngomong sekarang aja kalo entar-entar keburu makanannya dateng." Rohman akhirnya memecahkan suasana hening di antara mereka. Benar perkiraan Rohman, empat gelas es jeruk pesanan mereka diantar setelah dia menyelesaikan kalimatnya.

"Gue-"

"Gue aja yang ngomong." Asha memotong kalimat Lukman. "Gue minta maaf, semalem gue bikin WAG ribut. Sorry, Bar, tapi soal bantuin lo minta nomer telepon itu serius. Serius banget malah."

"Ck." Akbar berdecak kesal. "Itu lagi yang diomongin."

"Lo, kok, nyolot? Gue kan cuma mau dapetin rumah di surga."

"Gue udah punya nomer teleponya dia, tinggal PDKT doang. Gue juga minta maaf, semalem gue kalut banget, takut dibaca dia juga." Akbar menjelaskan alasan dia kesal di WAG semalam.

Takut dibaca dia. "Jadi ...." Senyum jahil muncul di wajah cantik Asha sampai menampilkan kempot di sebelah kiri bibirnya. Otak Asha bekerja seperti komet jika membahas percintaan. "Anak camp dua yang mana yang lo suka? Spill the tea."

"No!" Akbar menggerakkan tangannya dari kiri ke kanan di depan mulutnya seperti menutup resleting. "It's a top secret."

"Jangan malu-malu gitu, deh." Asha mencolek dagu Akbar dengan ujung sedotan yang dicabut dari gelas es jeruk miliknya. Terus berusaha supaya Akbar keceplosan.

"Eh! Tangan lo jangan kegenitan!" Akbar reflek menepak tangan Asha. "Kalo Dinda lewat berabe."

"Ooh ... namanya Dinda." Mereka bertiga tidak bisa menahan mulutnya untuk menggoda Akbar saat dia keceplosan. Sedangkan yang digoda hanya bisa menunduk pasrah, menyembunyikan wajahnya yang memerah karena malu.

Pare dan segala kisah cintanya menjadi hal yang tak dapat dipisahkan. Seperti ponsel dengan kuota internetnya yang saling melengkapi. Perjalanan di Kampung Inggris kurang semarak tanpa cinta lokasi. Cinta lokasi di sana tidak hanya antar pelajar saja, tapi pelajar dengan tutor bahkan pelajar dengan pemilik lembaga kursus.

Awalnya Lukman tidak percaya hal ini saat dia membacanya di beberapa blog dua bulan yang lalu. Saat itu Lukman sedang mencari tambahan informasi, memantapkan hati memilih lembaga kursus ini sebelum datang ke Pare. Lukman tidak menyangka akan menyaksikan hal yang menurutnya mustahil itu tepat di depan matanya, dari teman satu kelompoknya yaitu Akbar. Hal yang mustahil terjadi dalam hidup Lukman.

Ya ampun, suka cewek padahal baru kenal satu minggu.

"Bagus kalo kalian udah baikan. Gue gak mau kerja sama grup kita hancur di vocab kayak kemaren." Akhirnya Lukman mengucapkan kekalutannya.

"Gue juga gak mau. Lo kira gue mau ngorbanin lipstik gue lagi."

"Lipstik doang sampe segitunya. Di pasar juga bayak," balas Lukman tak mau kalah.

"Gak ada."

"Siapa bilang?"

"Gue barusan. Lo gak denger gue ngomong?"

"Ya udah di mall, kalo gak ada di pasar."

"Gak semua mall jual lipstik gue."

"Pesen online, langsung nyampe camp lo."

"Takut palsu entar bibir gue rusak lagi."

"Terserah lo beli di mana. Ribet banget hidup lo. Lipstik doang sampe segitunya," jawab Lukman dengan kesal lalu dia menggigit ayam bakarnya dengan ganas. Melampiaskan kekesalannya pada ayam itu.

"Asal lo tahu ya, Luke. Make up tuh cocok-cocokan sama kaya jodoh. Ngomongin make up sama lo bikin gue darting. Udah lah gak usah dibahas." Asha mengibaskan tangannya ke samping. "Beda frekuensi."

Rohman dan Akbar menggeleng melihat tingkah keduanya. Jika dingat sejak awal bertemu mereka sudah seperti anjing dan kucing. Jarang akur. Sekalinya damai itu artinya gencatan senjata.

Gimana caranya supaya mereka bisa akur? Gak nyolot terus. Lagian juga si Lukman aneh. Cuma sama Asha doang dia galak, kalau di depan cewek lain dia diem.

***

Sumpah! Ini bab terlama yang diketik. Sempet buntu di tengah jalan.

Tapi eh tapi masih on schdule ya. Tetep update Senin dan Kamis. Alhamdulillah.

Jangan lupa tinggalkan jejak.

Subuh
Bae

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top