TIGA
***
"Miss! Kamu kenapa, Miss?!"
Sinta, teman sekamar Asha berlari panik menghampiri Asha setelah keluar dari kamar mandi. Dia tidak lagi peduli dengan peraturan camp atau memang lupa karena panik melihat darah di punggung tangan Asha.
Asha tidak membalas kekhawatiran Sinta karena sibuk mengeluarkan tisu dari dalam tas dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya ditempelkan di hidung. Sinta melihat Asha yang kesulitan saat mengambil tisu buru-buru menarik tas Asha untuk membantu. Sinta tidak peduli jika dirinya dianggap cewek kasar karena tangannya menepis tangan Asha dengan kasar saat mengambil tisu.
Saat rebahan di atas kasur, pusing kembali hinggap di kepala Asha kemudian dia mencium bau amis darah di hidungnya. Asha segera bangkit dari posisinya dan duduk tegak bersandar di dinding dengan kepala dicondongkan ke depan. Benar saja perkiraannya, cairan merah meluncur dari hidungnya tanpa bisa ditahan.
Asha menerima tisu pemberian Sinta dan segera melipatnya menjadi bentuk segitiga dengan tangan kiri kemudian benda itu digunakan untuk menyumpal lubang hidungnya. Sinta mengikuti gerakan tangan Asha karena dirinya yakin Asha membutuhkan beberapa lembar tisu lagi setelah melihat tisu yang menggantung di lubang hidung Asha berwarna merah.
"Miss, rebahan aja biar darahnya enggak keluar," saran Sinta dan Asha menggeleng kepalanya sebagai jawaban.
Asha yakin Sinta belum pernah mimisan jika dilihat dari kepanikan dan saran yang dia berikan barusan. Mereka biasanya menyarankan untuk rebahan agar darah tidak keluar melalui hidung, tapi darah itu akan mengalir ke tenggorokkan. Bisa dibayangkan, kan, bagaimana rasanya menelan darah sendiri. Menjijikan. Mencium bau amis darah di hidungnya saja kadang bisa membuatnya muntah apalagi tertelan, pasti muntah dan napsu makannya hilang selama beberapa hari.
Asha menekan hidungnya selama beberapa menit dan bernapas melalui mulut, berharap darahnya segera berhenti jika tidak mungkin dia akan pingsan. Asha berdoa dalam hati agar hal itu tidak terjadi. Dia tidak ingin Sinta cemas sepanjang malam karena tubuhnya ambruk di hari pertama di Pare.
"Aku enggak apa-apa, Miss." Asha berharap jawabannya dapat meredakan kecemasan Sinta.
"Jangan bohong, Miss!"
"Beneran, kalo panas-panasan terus kecapean gue mimisan," Asha berkata lirih.
"Aku panggilin tutor di bawah aja, ya."
"Enggak usah. Bentar lagi juga berenti."
"Beneran?"
Asha mengangguk lagi. Gue lagi mimisan please jangan diajak ngomong dulu, batin Asha jengkel.
Sebenarnya mimisan pasti akan berhenti dengan sendirinya. Sebanyak-banyaknya darah yang keluar, jika tidak ada masalah dengan pembekuan darah pasti berhenti sendiri. Yang jadi masalah, kan, kalau darahnya dibiarkan menetes dan berceceran jadi kesannya jijik, jorok dan bikin orang panik seperti tadi.
"Liat, udah berhenti, kan?" ucap Asha beberapa menit kemudian. Asha melepas tisu dari lubang hidungnya dan tidak ada darah yang menetes.
Tinggal pusing and lemesnya doang, tambah Asha dalam hati. Asha sengaja tidak mengatakannya karena takut Sinta semakin cemas.
Asha memungut tisu bercorak darah yang berserakan di dekat kakinya lalu dimasukkan ke dalam plastik hitam yang di gantung di pegangan pintu sebagai pengganti tempat sampah. "Udah, Miss, aku aja yang beresin." Sinta merebut plastik hitam dari tangan Asha. "Istirahat aja."
"Thanks." Asha menurut lalu merayap ke kamar mandi. Untung saja kamar mandi dapat dicapai dengan beberapa langkah kaki dari kamar mereka di lantai dua, tidak terbayang bagaimana susahnya kalau kamar mandi hanya ada di lantai satu. Asha membayangkan dirinya terjun bebas dari lantai dua ke lantai satu karena tangga menuju kamar mereka tidak memiliki pegangan.
Sayangnya di dalam kamar mandi tidak ada cermin dan meja wastafel untuk menompang berat tubuh Asha seperti kamar mandi di rumahnya. Setelah membilas tangan dan wajahnya dengan air dan sabun Asha kembali ke depan kamar dengan segayung air, kemudian dia duduk di ambang pintu. Membersihkan lubang hidungnya dengan dengan kapas yang telah dibasahi oleh air. Bahaya jika terlalu lama di dalam kamar mandi, kepala Asha terasa melayang saking ringannya. Kalau jatuh dan kepalanya terbentur Asha bisa dikembalikan ke Jakarta malam itu juga.
"Miss, tinggalin aja," pinta Asha saat melihat Sinta membersihkan tetesan darahnya di lantai dengan tisu basah. Jujur saja Asha merasa sangat tidak enak. Mereka baru kenal selama enam jam dan Asha sudah menyusahkan seperti ini. Asha merasa sangat beruntung karena teman sekamarnya bukan tipe cewek yang jijik atau pingsan ketika melihat darah.
Asha tidur di sisi sebelah kanan, dekat pintu. Selama satu bulan ke depan mereka akan berbagi springbed dobel size di kamar ini. Dia sengaja memilih tempat itu karena lebih adem dan jika ingin ke kamar mandi tidak mengganggu tidur Sinta. Dari posisinya Asha mengedarkan pandangan ke seluruh isi kamar, baru kali ini dia mengamati kondisi kamar dengan seksama.
Sore tadi, saat tiba di kamar dan melihat kasur, Asha langsung berguling dan terlelap di atasnya. Saking lelahnya Asha bahkan tidak sempat mengganti sprei dan sarung bantal kasur itu dengan sprei yang dia ambil tanpa izin dari apartemen Tedi. Dia dibangunkan oleh Sinta menjelang Maghrib.
Kepala Asha semakin berdenyut saat melihat bulatan kecil tak beraturan dari cat dinding yang mengelupas sehingga membentuk pola abstrak di sisi kanan dinding, noda besar sisa tetesan air karena atap yang bocor, jendela tanpa gorden, dan tidak ada kipas angin apalagi AC.
Kalo begini gue pasti enggak bisa tidur nyenyak. Kalo ada yang ngintip gimana? Walaupun ini camp cewek tetep aja was-was. Tedi gimana, sih? Enggak bisa cariin gue kamer yang bagusan dikit.
Asha menutup matanya lalu tidur miring ke kanan. Dia malas melihat suasana kamarnya yang tidak layak huni dan berharap segera terlelap supaya besok memiliki tenaga untuk memarahi Tedi.
***
Asha dan Sinta lebih beruntung malam ini dibandingkan teman-teman mereka yang lain, salah satunya Lukman. Lukman mendapatkan camp empat yang jaraknya lebih dekat dari lembaga kursus sehingga dia tidak perlu menyetop becak atau menyewa jasa ojek untuk mengangkut kopernya. Hanya perlu menariknya sekitar tiga ratus meter, tapi perjuangannya menjadi sulit saat dia berbelok ke gang kecil menuju camp empat. Gang tersebut belum di semen sehingga dia harus memanggul koper besarnya.
Sesampainya di camp empat, empat kamar yang ada di camp itu telah penuh, satu kamar bahkan ada yang ditinggali oleh enam orang padahal kapasitasnya hanya untuk empat orang jika dihitung dari jumlah kasur busa yang ada di sana.
Hal ini tentu saja membuat siswa yang baru datang bingung dan kebingungan mereka semakin menjadi saat siswa baru terus berdatangan ke camp itu. Akhirnya Lukman dan seorang yang bernama Aldo mendatangai kantor setelah shalat Maghrib di masjid, jika sholat dengan camp yang penuh dan ribut dia yakin tidak akan khusyuk.
"Pemilihan camp-nya belum pasti. Besok pagi di tempel di camp masing-masing ya," jawab seorang tutor yang tadi siang membuka penerimaan siswa baru di teras lembaga kursus.
"Jadi besok belum belajar?" tanya Lukman memastikan.
"Belum. Lusa baru efektif belajar."
Mereka kembali ke camp setelah mendapat jawaban yang membuat rasa lelah naik tiga kali lipat. "Do, gue mau makan dulu sebelum balik ke camp."
"Ya udah. Kayaknya kita tidur di depan malam ini." Aldo menyuarakan ramalannya. Yang dimaksud depan oleh Aldo adalah ruang tamu camp empat.
"Iya." Lukman membeo.
Lukman tidak pernah membayangkan malam pertamanya di pare akan dihabiskan di ruang tamu camp empat yang dijadikan kelas saat siang. Kemalangan masih setia menemani Lukman malam ini. Tidak ada kasur untuk mereka yang tidur di ruang tamu, malam ini hanya tidur beralaskan tikar. Tapi kalau tidur di kasur sambil berhimpitan juga tidak nyaman, akhirnya pasti pindah juga ke depan karena mencari tempat yang lebih luas.
"Untung aja kita cowok. Gak bisa banyangin gue kalo ada cewek yang nasibnya sama kayak kita."
Iya, apalagi kalo cewek itu Asha. Bisa sampe subuh bibirnya enggak berenti ngomel. Kenapa gue jadi inget cewek itu lagi?
***
Balik lagi ya sama serba-serbi kehidupan di Paredise.
Coba ditebak dong, pengalaman author yang mana dari cerita di atas?
Enggak ada habisnya sih kalo ngebahas Pare tuh.
Semoga Corona segera berlalu, supaya roda ekonomi di sana muter lagi. Karena poros utamanya adalah para siswa yang belajar ini. Kalo enggak ada siswa yang ke sana ya ekonomi warga sekitar sulit.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top