SATU
***
"Lo yakin, Kak, mau ninggalin gue di sini?"
Untuk kesekian kali Asha memelas pada Tedi supaya kembali membawanya ke Surabaya, tapi sang sepupu tidak bergeming. Dia malah asik sendiri membalas pesan dari pacarnya. Bukan karena tidak sayang dengan Asha dia bersikap begini, tapi karena dia bosan karena sejak tadi semua pertanyaan Asha hanya memiliki satu jawaban yaitu, iya. Diputar-putar seperti apapun jawabannya tetap 'iya'.
"Tedi!" Asha bangkit dari duduknya dan berkacak pinggang di hadapan Tedi, kesal karena Tedi tidak menghiraukannya sejak tadi. Koran pagi itu yang dialihfungsikan untuk mengusir panas dilempar ke paha Tedi.
"Gue bilangin bokap lo kalo lo gak sopan ke gue," ancam Tedi. Asha duduk kembali setelah mendengar ancaman Tedi. Kini, mereka duduk berhadapan dan Asha berusaha mendapatkan ketenangannya dengan menarik napas dalam-dalam. Gadis itu tidak mau Tedi berbalik arah, dan tidak membantunya lagi. Satu kalimat Tedi bisa membuatnya kembali ke Jakarta saat itu juga, padahal kota itu dan beberapa warganya adalah hal yang ingin dijauhi Asha sekarang.
"Udah deh balik ke Surabaya, yuuuk. Gue gak bakal betah di sini. Mendingan gue ke Bali. Gak masalah sendirian juga. Gue bisa jaga diri, kok." Asha kembali meyakinkan Tedi dan meraih koran yang tadi dilempar.
"Ga masalah buat lo, masalah buat gue."
Tedi menghela napas lelah menghadapi sifat manja sepupunya. Segala keinginan Asha selalu dipenuhi oleh keluarganya, terutama papanya dan Tedi. Karena itu sejak tadi Tedi menulikan telinga dan megeraskan hatinya agar tidak luluh.
"Kak, gue capek."
Sejak Asha mengatakan itu di telepon tiga hari yang lalu, Tedi memutar otak supaya Asha bisa menghabiskan libur kuliah di luar kota dalam waktu yang lama. Selama liburan pergantian semester kalau bisa. Jika Asha datang ke tempatnya, izin yang diberikan oleh papanya paling lama hanya satu minggu lalu sisa liburannya dihabiskan di Jakarta.
Setelah tiga hari memutar otak akhirnya Tedi menemukan tempat yang tepat untuk Asha mengabiskan liburan, lalu di melancarkan serangan bujuk rayu dan melakukan persentasi dadakan tentang kelebihan tempat ini melalui video call. Meyakinkan paman Ardi, papanya Asha bahwa ini adalah tempat terbaik untuk Asha mengabiskan liburannya.
Dan hasilnya di sini lah mereka sekarang. Tanpa menunggu lebih lama lagi karena waktu yang mepet Asha langsung terbang ke Surabaya dengan penerbangan terakhir semalam. Untung saja lembaga kursus yang dipilih oleh Tedi masih menerima siswa di saat terakhir.
Tedi mengelus kepala Asha dengan sayang, dia merasa lega karena bisa membantu Asha, sepupu satu-satunya. Rambut panjang Asha yang biasanya terurai dan bersinar karena selalu mendapatkan perawatan rutin di salon kini lepek, dicepol asal-asalan karena kegerahan. Wajah putihnya kini kemerahan, bukan karena memakai blush on, tapi karena terlalu lama terkena sinar matahari.
Entah karena keringat yang mengucur dari pori-pori kulitnya atau badannya yang bertambah gemuk, skinny jeans yang terasa nyaman saat dipakai di Jakarta kali ini memberikan sensasi seperti sedang memakai korset di kedua kakinya. Lapisan kain itu menempel erat, menunjukkan kualitas terbaiknya untuk membuat kaki Asha yang jenjang semakin terlihat menawan.
Satu-satunya penampilan Asha yang bertahan lama tanpa terganggu sinar matahari adalah kukunya yang berwarna hijau. Asha tidak perlu repot harus menghapus si hijau dari kukunya karena cat kuku asal Turki ini memiliki label halal, wudhu friendly istilah bekennya breathable sehingga aman untuk shalat. coba dibayangkan seandainya Asha pakai fake nails mungkin beberapa saat lagi Tedi harus menyediakan air hangat supaya kuku palsu itu bisa lepas sebelum adzan dzuhur.
"Lo pasti betah liburan di sini, percaya sama gue."
Betah apanya! Hari pertama saja sudah seperti ini. Asha putus asa memandang sekelilingnya sambil menggaruk kepalanya yang gatal karena keringat.
"Lo liat gue, apa gue keliatan nyaman?"
Sedikit rasa bersalah timbul di hati Tedi, tapi dia segera menepisnya jauh-jauh. Asha pasti kepanasan karena salah kostum, sweater yang dipakainya memberikan rasa hangat yang belebih di Pare yang terkenal panas saat siang hari. Asha sempat ingin melepas sweter itu, tapi dengan cepat dicegah oleh Tedi karena Asha hanya memakai kaus tanpa lengan di baliknya. Tedi tidak ingin Asha dianggap tidak sopan di hari pertamanya di Pare.
Asha memang terbiasa dengan suasana riuh pasar, mall, terminal dan bandara. Tapi suasana tempat yang Asha sebutkan tadi terorganisir dan pasti lebih nyaman untuknya karena dilengkapi AC lalu mereka tahu tujuan mereka. Berbeda dengan tempatnya berada saat ini, di sini ... kacau. Dalam pandangan Asha saat ini mereka tidak tahu apa yang harus mereka perbuat dan berapa lama lagi menunggu tanpa kepastian seperti ini.
"Lo mau ke mana?" Tedi menahan tangan Asha saat dia kembali berdiri.
"Mau tiduran di dalem. Kipasnya pasti nyala, kan?"
"Eh! Jangan!" Tedi menarik tangan Asha sampai dia terduduk kembali di depannya lalu berkata, "Lo jangan seenaknya gitu dong. Sembarangan tidur di masjid orang."
"Gue gak tidur. Cuma ngadem di bawah kipas," Asha meralat ucapannya.
Tiduran, tiduran. Siapa yang bisa jamin gak tidur beneran? ucap Tedi dalam hati.
"Udah di sini aja!" perintah Tedi.
"Berapa lama lagi sih, Kak." Asha kembali merengek lalu tanpa permisi merebahkan kepalanya di pangkuan Tedi. Dia tidak merasa risih sama sekali dengan pandangan orang lain yang terdampar seperti ikan paus kepayahan di teras masjid. Asha yakin mereka maklum karena sama seperti dirinya. Lelah. Yang terpenting bagi Asha saat ini adalah rasa dingin yang diberikan oleh teras masjid di punggungnya.
"Nih! Kipasin." Asha menyerahkan koran yang sejak pagi tidak lepas dari tangannya ke Tedi. Kalau kipas angin tidak boleh ya Tedi yang harus mengipasinya karena dia yang melarang Asha ngadem di dalam.
***
Lukman yakin gadis yang ada didekatnya tidak bisa menahan mulutnya untuk mengeluh jika melihat keadaan saat ini. Untung saja dia sekarang tertidur di pangkuan kakaknya.
Lukman tidak bisa membayangkan jika menjadi kakak gadis itu. Telinganya tidak akan sanggup menerima rentetan keluhan tanpa jeda dan pasti hubungannya dengan sang adik tidak akrab sewajarnya saudara karena Lukman sibuk menghindar.
Tadi, Lukman sempat mendengar helaan napas lelah kakaknya yang dipanggil Tedi saat mendapatkan tatapan heran dari pelajar lain di tempat ini. Hal itu wajar saja karena jika tidak mendengar perdebatan mereka sejak awal orang lain bisa saja salah paham dan menganggap mereka sebagai pasangan kekasih yang tidak tahu sopan santun. Mengumbar kemesraan di mana pun, apalagi di masjid. Rumah Tuhan.
Lukman tiba lebih dulu di teras masjid lalu dia memilih istirahat di pojok teras masjid yang tidak terkena cahaya matahari secara langsung. Jadi siapa pun yang datang setelahnya pasti duduk di dekat Lukman. Sial bagi Lukman karena yang datang kemudian adalah gadis itu dan kakaknya.
Jengah dengan keluhan yang didengarnya, Lukman pergi meninggalkan teras masjid menuju rental sepeda. Setelah mendapatkan sepeda yang akan digunakan selama satu bulan ke depan Lukman kembali ke teras masjid dan menemukan gadis itu telah terlelap. Alhamdulillah ... kata Lukman dalam hati.
"Sha, bangun! Sha." Tedi mengguncang bahu Asha pelan. "Bangun! Azan."
"Ngantuk, Kaaak," balasnya tanpa merubah posisi.
"Entar lanjutin lagi tidurnya di mobil. Shalat dulu. Lo bawa mukena, kan?"
"Mobil lo pasti panas kayak oven. Udah yuk kita buka kamer aja, tadi gue liat ada hotel."
perdebatan tidak penting merambat sampai ke telinga Lukman.
"Enggak usah. Bentar lagi juga mulai. Tadi, gue denger jam dua." Tedi mendorong bahu Asha dan memaksanya untuk duduk. "Lo bawa mukena, kan?" Tedi mengulang pertanyaannya.
"Di koper, gue males ah kalo bongkar koper di sini yang ada berantakan semua. Kemarin gue gak sempet ngatur isi koper. Mendingan pake punya masjid aja. Enggak kotor dan bau, kan, mukenanya, Kak."
"Mana gue tahu Asha sayaaang. Udah deh cepetan." Tedi mulai tidak sabar lalu meninggalkan Asha menuju tempat wudhu.
Begitu pun Lukman. Lebih baik segera menjauh sebelum kupingnya kembali memanas.
***
Selamat datang di cerita baru aku teman-teman.
Tetep jaga kesehatan dan jangan lupa pake masker.
Ada yang bisa tebak mereka lagi di mana?
Angkot Jaklingko
Bae
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top