DUA PULUH DELAPAN
***
"Kayaknya gue jelek diujian grammar nanti. Materi satu bulan udah kebayang susahnya," adu Rohman ketika sarapan bersama Asha dan Lukman.
"Enggak ada yang gampang buat kita, Man. Susah semua." Asha mengungkapkan hal serupa. Rohman dan Asha berharap memiliki sedikit saja kemampuan Lukman dalam menghapal. Seandainya saja seperti itu hari-hari mereka di Pare pasti lebih mudah.
"Kayaknya kita perlu les tambahan dari lo deh, Luke."
"Jangan ganggu dia dulu, Man. Lo enggak liat." Asha menunjuk Lukman yang duduk di depannya dengan dagu. Kebiasaan tidak sopan Asha masih belum berubah. Untung saja teman-temannya tidak keberatan.
Rohman menoleh ke kanan setelah mendengar ucapan Asha. "Kenapa?" tanya Rohman. Jika diingat-ingat sejak kemarin Lukman sering melamun, fokus hanya di kelas vocab karena tidak ingin dihukum lagi. Jika belajar materi lain dan di luar kelas ya seperti ini, sering bengong. Seolah-olah beban besar baru saja dijatuhkan di kedua pundaknya.
Asha mengangkat kedua bahunya sebagai jawaban atas pertanyaan Rohman. Walaupun Asha tahu masalah yang dihadapi Lukman, tapi gadis itu tidak ingin membicarakannya dengan orang lain tanpa persetujuan dari si pemilik masalah. Apalagi tebakan Asha belum terbukti benar tentang one sided love-nya Luman, Asha hanya menebak berdasarkan lagu yang didengar Lukman. Keakuratannya masih fifty-fifty.
"Kayaknya dia kurang gula deh. Jadi enggak fokus."
"Beliin jus sana!" Kali ini Lukman menimpali ucapan Asha yang ngawur dengan perintah. Kehebohan Asha dan Rohman berhasil membuyarkan lamunan Lukman.
"Ada juga lo yang traktir gue jus. Dua gelas." Asha tidak terima dirinya diperitah Lukman, tapi tetap saja dia bangkit untuk memesan jus.
"Iya. Gue yang bayar. Lo yang pesen sekalian buat Rohman and yang lain."
"Gue enggak. Udah kenyang sama es teh manis," tolak Rohman.
Sepuluh menit kemudian Asha kembali tanpa jus di tangannya. "Mana jusnya?" tanya Lukman. Sengaja melampiaskan kekesalannya pada Asha karena gadis itu telah menyebutnya kekurangan gula.
"Sabar kali. Emangnya yang beli kita doang. Kayaknya mata lo perlu dibyclin supaya noda-noda di sana luntur." Beli jus dua gelas saja harus menunggu apalagi enam gelas pasti lebih lama, kan?
"Yang ada gue buta."
Teman-teman dari camp empat yang makan satu meja dengan Asha dan Lukman terbahak mendengar debat kusir sejoli camp empat yang sudah tidak terhitung lagi. Dalam satu hari ada saja hal yang mereka debatkan, entah pagi, siang atau sore. Awalnya Rohman risih dengan pertengkaran mereka, tapi sekarang biasa saja malah terasa aneh jika kupingnya tidak mendengar keributan seperti ini.
"Gue talangin dulu. Jatuh tempo hari ini jam empat sore. Bunganya dua setengah persen per hari."
Tawa di meja mereka pecah sampai menarik perhatian dari pengunjing di meja lain. Asha mirip kartu kredit berjalan. Sebenarnya dia tidak keberatan mentraktir teman-temannya. Dia hanya kesal dengan Lukman yang menayakan jusnya saat dia tiba di meja dengan nada perintah yang tidak ditutupi, seolah Asha adalah pembantunya.
Asha yang berniat menghentikan debat kusir tak berguna dengan Lukman jadi terpancing dan terus menyulut api kesabaran Lukman dengan membalas ucapannya. Setelah pesanan jus diantar mereka segera meninggalkan An-Nur karena sudah lewat setengah sepuluh pagi. Minum jusnya di kelas saja lagi pula Mr. Abdul tidak keberatan jika muridnya minum di kelas speaking.
"Lo enggak pake topi?" tanya Lukman ketika melihat kepala Asha polos tanpa topi untuk menahan terik matahari.
"Ketinggalan, tadi pagi gue kesiangan," jawab Asha sambil menendang standar sepeda. Hanya tingal mereka berdua anak camp empat yang masih berdiri di parkiran sepeda An-Nur. Tadi Asha berlama-lama duduk di atas sepedanya karena tidak sabar untuk menghabiskan jus jeruknya, sedangkan Lukman dengan setia menunggu gadis itu. Memastikan semua teman sekelasnya tak ada yang tertinggal di mana pun sepertinya sudah jadi kebiasaan Lukman.
"Nih, sekalian cuci." Lukman melepas topi dari atas kepalanya lalu dipasangkan di kepala Asha.
"Lukman! Kurang ajar banget lo! Topi lo bau! Gue baru keramas." Asha segera membuang topi Lukman ke keranjang sepedanya. "Jangan kabur!"
Asha mengejar Lukman yang meninggalkannya begitu saja. Lukman yakin Asha pasti mengejarnya sampai ke camp empat jadi dia tidak perlu menjadi yang terakhir meninggalkan An-Nur. Sesekali Lukman menoleh ke belakang, melihat Asha yang mengejarnya dengan sepeda. Senyum di bibir Lukman merekah, menampilkan deretan giginya yang putih dan rapih.
Ada sensasi aneh yang Lukman rasakan setelah berhasil membuat Asha kesal dengan keusilannya. Jadi begini rasanya jika berhasil isengin orang. Sedikit rasa senang dan untuk sesaat Lukman melupakan masalahnya.
***
Setelah shalat Maghrib Lukman menjemput Sekar untuk makan malam bersama. Hanya pada saat makan malam mereka bisa bicara lebih lama. Salahkan penyusun jadwal belajar yang membuat jam istirahat camp empat dan camp lima tidak ada yang sama.
Sekar yang sering bilang terserah menurut saja ketika dibonceng Lukman ke warung sate kambing. Dua hari yang lalu dia dan Asha menghabiskan empat porsi sate kambing bersama di sini. Lukman hampir tidak bisa mengayuh sepedanya karena kekenyangan. Asha bilang porsi tambahan dibagi dua, ternyata Lukman dikerjai habis-habisan saat dia harus menghabiskan delapan tusuk sate dan nasi, padahal sebelumnya dia sudah makan dua porsi. Dengan tanpa beban Asha mengatakan, "Luke, gue kenyang. Sisanya lo yang abisin ya."
Seandainya saja bisa mengembalikan sate dan nasi yang sudah dihidangkan, Lukman pasti sudah melakukanya. Kenapa waktu itu gue enggak kepikiran buat dibungkus? Asha pasti ngakak dalam hati waktu liat gue berusaha abisin sate. Bego banget gue.
"Man, satenya dimakan. Entar dingin." Sekar menegur Lukman yang sejak tadi bengong.
"Iya."
"Mikirin apa sih?"
"Grammar."
"Kamu itu belajar terus, Man."
Belajar terus supaya enggak inget terus sama kamu, Kar.
"Ada yang mau aku omongin, Man. Aku ke Pare bukan untuk belajar, tapi pengen deket lagi sama Dimas. Maaf aku bohong kemarin."
"Deket lagi sama Dimas?" Lukman pura-pura tidak tahu tentang status hubungan mereka saat ini.
"Aku sama Dimas udah putus."
"Kenapa?"
"Dimas selingkuh. Aku diputusin. Dia lebih pilih cewek itu." Kemudian Sekar merogoh ponsel dari saku celananya. Setelah jarinya menyentuh layar ponsel beberapa kali, Sekar mendorong ponselnya ke depan Lukman. "Ini foto mereka. Akrab banget, kan? Kalo bukan pacaran apalagi namanya?"
Lukman keselek daging sate ketika melihat foto di ponsel Sekar. Dia berharap penglihatannya terganggu karena asap dari panggangan sate atau matanya mendadak rabun ayam atau layar ponsel Sekar rusak. Terserah. Lukman tidak ingin percaya jika Asha adalah orang yang merusak kebahagiaan Sekar.
Tangan Lukman terulur, meraih ponsel Sekar lalu didekatkan ke wajahnya. Foto itu tidak berubah malah semakin jelas menampakkan wajah Asha. Lukman mengucek matanya karena masih tidak percaya. Matanya sampai perih karena dikucek terlalu keras, tapi foto di wajah itu tidak berubah.
Tangan kiri Lukman mengepal sampai buku-buku jarinya memutih. Asha!
***
Kalo kalian suka. Boleh dikasih tahu ke temen-temen yang lain.
Xoxo
Bae
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top