DUA BELAS
Kenapa WA gue belom dibales dari siang? Tadi pagi waktu gue sarapan masih chating sama dia.
Dimas melempar ponselnya ke kasur karena kesal kemudian mondar-mandir di kamarnya, berhenti sebentar lalu mengulanginya lagi.
Gue telepon juga jarang banget diangkat kalo siang, kalo malem untung-untungan diangkat. Dia liburan di mana? Sibuk banget kayaknya.
Tok tok tok
"Dimas, shalat dulu. Bapak belom liat kamu wudhu dari tadi."
"Iya, Pak, sebentar." Mendengar teguran dari bapaknya Dimas segera menuju kamar mandi setelah mengambil handuk di balik pintu kamarnya. Karena sibuk memikirkan Asha, Dimas sampai lupa mandi sore dan shalat Ashar.
Selesai mandi Dimas segera menunaikan shalat Ashar dengan konsentrasi terpecah karena tidak bisa menghilangkan Asha dari kepalanya walau sejenak. Selesai shalat Dimas melipat sajadah dengan asal kemudian melemparnya ke atas bantal. Tangannya sudah tidak sabar untuk meraih ponsel yang tadi dilempar. Siapa tahu sudah ada balasan dari Asha atau mungkin saja gadis itu meneleponnya. Seharusnya ponselnya dibawa ke kamar mandi.
Tubuh Dimas lemas, semangatnya menguap saat tidak ada pesan baru atau panggilan tak terjawab dari Asha. Untuk membunuh waktu sampai maghrib Dimas membuka status WA, sekadar ingin tahu kegiatan teman-temannya hari ini, apakah mereka sama dengan dirinya yang lelah karena menunggu balasan pesan? Beberapa akan dia komentari supaya tidak bosan.
"Eh!" Dimas langsung duduk tegak saat melihat status Asha. Keterangan waktunya tiga menit yang lalu. Dengan tak sabar tangannya mengklik nama Asha.
Dimas terbahak melihat gambar Asha. Dia lagi ngapain, sih?
Dimas : Gemes banget, Mbak
Seharian ngilang pas muncul malah begini. Haduh, Sha. Kamu bisa banget jungkir balikin hati aku. Dimas tak kuasa menahan perasaannya. Seandainya Dimas tahu keberadaan Asha, dia pasti langsung menyusul tanpa konfirmasi lebih dulu karena ingin memberikan kejutan untuk gadis itu.
Asha : Dari dulu kaleeeee
Dimas : Iya nih. Salah gue banget baru ketemu
Dimas : Bisa dong kita ketemuan pas libur kuliah ini
Asha : Gue lagi gak di Jakarta
Dimas : Lagi di mana?
"Yah! Sekarang malah ceklis satu lagi padahal Asha belom jawab." Dimas mengacak rambutnya frustasi. Karena belum puas memandang wajah Asha Dimas kembali menekan foto yang tadi dia komentari lalu aplikasi pesan secara otomatis ke statsus pesan Asha, saat itulah Dimas menyadari di mana keberadaan Asha.
Dengan tidak sabar Dimas membuka halaman Google lalu mengetik kalimat yang menjadi latar belakang Asha. "Camp 3 Miraculous." Enter.
"Ini dia!" Dimas tidak bisa menahan rasa senang, dia melompat sambil meninju udara. Rasanya tuh seperti baru mendapat undian berhadiah tiket VIP pesawat menuju hati Asha. Dengan cepat dia menekan deretan angka di ponselnya setelah membaca sekilas tentang Miraculous English Course.
"Liburannya anti mainstream banget. Pantes lah jadi IDAMAS, idaman Mas Dimas." Dimas tertawa ketika mengatakan singkatan itu.
Dimas jadi membayangkan Asha, reaksi gadis itu pasti tidak jauh berbeda dengan dirinya. Karena terbawa suasana Asha akan menjawab sambil menyibak rambut panjangngnya ke belakang dengan dramatis. "No wander, Asha is adorable."
"Halo," sapanya saat panggilannya dijawab oleh seorang wanita di seberang sana. "Saya mau daftar untuk program dua minggu tanggal dua puluh lima Februari. Apa masih bisa?"
***
Setelah mandi dan membersihkan wajahnya dari coretan lipstik Asha berbaring sendiri di kamar. Sinta dan Puri masih ada di kelas di lantai bawah.
"Akhirnya gue bisa rebahan juga. Pegel banget punggung gue, kalo di rumah gue tinggal minta Bibi buat pijet. Di sini juga ada kali tukang pijet atau salon, gak mungkin gak ada, entar gue tanya ke Miss April."
Alma : Lo cocok juga jadi badut. Kalo anak gue ultah entar sewa jasa lo aja
Alma mengomentari status WA Asha kemarin. Setelah bertukar nomer telepon di Tansu kemarin Asha tidak menyangka jika Alma akan membalas statusnya. Asha menebak jika Alma meminta nomernya hanya sekadar basa-basi.
Asha : Bayaran gue mahal, Kak
Alma : Free of charge please
Asha tidak membalas pesan Alma. Gadis itu tidak siap mendapat kejutan pesan dari Alma dan bingung harus menjawab seperti apa lagi. Jujur, Asha masih sungkan dengan kedua orang itu.
Saat berbaring sendiri seperti sekarang, pikiran Asha otomatis mengingat masalah yang sedang dia hadapi. Hubungan papahnya dengan Tante Untari lalu Celia, sahabat yang menghindarinya sejak dua bulan lalu. Apa yang harus gue lakuin supaya lo maafin gue, Cel?
Benar yang dikatakan Tedi, ketika memiliki masalah otaknya memang harus dialihkan ke hal lain. Asha baru menyadari kebenaran kata-kata Tedi. Apa gue cerita ke Tedi tentang Tante Untari? Asha menimbang-nimbang. Dia perlu seseorang untuk berbagi. Biasanya orang pertama yang dicari adalah papahnya, tapi untuk masalah ini papahnya adalah urutan terakhir.
Asha menekan nama juragan di ponselnya, pada dering ketiga panggilannya dijawab. "Halo, Pap." Asha menelepon papahnya, tapi bukan curhat tentang Untari.
"Assalamualaikum, Sayang."
"Papah sakit?" tuduh Asha saat mendengar suara papahnya yang serak. Gadis itu langsung duduk karena khawatir.
"Jawab dulu salamnya, Sha."
"Waalaikumsalam. Kenapa Bibi enggak lapor ke aku, sih?!" Asha tidak bisa menutupi kekesalannya. Awas aja, Bi, bentar lagi gue omelin.
"Kamu jangan marahin Bibi." Ari, papahnya Asha bisa menebak isi kepala anak gadisnya. "Papah yang minta supaya enggak bilang. Lagian juga cuma masuk angin dan Papah udah minum obat." Ari tidak memberi kesempatan Asha untuk membantah.
"Sorry, Sha, Papah belom bisa jenguk kamu." Kalimat terakhir Ari semakin membuat Asha merasa bersalah. Padahal yang salah, kan, Asha, tapi kenapa justru papahnya yang minta maaf?
"Emangnya aku sakit sampe perlu dijenguk segala. Yang perlu dijenguk itu Papah."
"Kamu enggak usah jenguk. Belom seminggu kamu di sana, kasian Tedi bolak-balik jemput kamu."
"Di sini banyak travel ke Surabaya kali, Pah. Please, deh."
Tak ada jawabanan dari Ari, Asha malah mendengar papahnya menguap. "Papah ngantuk?"
"Iya, tadi minum obat. Udah mulai ngantuk."
"Kenapa gak bilang dari tadi, Pah?! Ya udah aku tutup teleponnya." Asha semakin merasa bersalah.
"Inget ya, Sha. Jangan omelin Bibi. Jangan marah-marah terus entar cepet tua," pesan Ari. "Asalamualaikum." Lalu sambungan terputus.
"Waalaikumsalam." Asha kembali merebahkan badannya lalu bergumam, "Tua dari mana? Anak Papah imut begini. Orang lain masih ngira aku tujuh belas tahun. Luke contohnya," guman Asha.
Anjir! Asha segera bangkit dari kasur dan terburu-buru menuju pintu kamar, menoleh ke kanan dan kiri berharap tidak ada yang mendengarnya bicara menggunakan Bahasa Indonesia. Dia lupa peraturan nomer wahid 'English Area'. Ketika bicara berdua dengan papahnya tidak akan dihukum, tapi gumaman sebelum dan setelahnya itu yang bahaya.
Untung gak ada orang, gumam Asha.
Asha kembali ke atas kasur. Kali ini dia duduk bersandar di dinding kamar. Kamar kecil yang ditempati tiga orang ini sempit sekali. Kamar itu hanya cukup untuk satu kasur dobel dan satu kasur single. Di ujung kasur dobel dijejali koper Sinta dan Puri yang tidak pernah ditutup, lalu dinding kamar. Sedangkan koper Asha hanya bisa dibuka saat siang hari, karena pada siang hari kasur busa disandarkan di dinding. Saat malam kopernya harus ditutup dan menjadi ganjal pintu supaya tidak terbuka, pintu kamar ini tidak memiliki kunci. Mungkin karena terlalu sering berganti penghuni kuncinya hilang.
Saking kecilnya kamar ini jika ingin menutup pintu saat kasur busa digelar, kasur itu harus diangkat atau digulung setengahnya. Namanya juga kamar tambahan yang hanya digunakan saat peek season, mau tidak mau mereka harus menerima kamar tanpa kunci dan lemari pakaian.
Alhamdulillah ya di camp tiga tidak ada yang panjang tangan, sampai saat ini Asha belum mendengar ada yang kehilangan barang.
Asha mengipasi tubuhnya dengan buku catatan vocab. Tiba-tiba Asha jadi ingat Lukman dan wajah betenya tadi. Untung dia sempat mengabadikannya lengkap dengan lipstik di wajah. Mereka sampai main kejar-kejaran karena keisengan Asha ini. Lukman bermaksud merebut ponsel Asha dan menghapus fotonya, tapi karena terlalu menggunakan tenaga Lukman tidak sengaja mendorong Asha sampai jatuh. Gadis itu tidak mengalami luka sedikit pun hanya saja akibat yang ditimbulkan sangat parah.
Asha menubruk barisan sepeda di camp dua sehingga sepeda yang berdiri di sana roboh seperti efek domino. Saat itu murka tampak di wajah Lukman. Dengan coretan lipstik di wajah Lukman membereskan semua kekacauan itu. Karena hal itu juga Lukman sampai lupa menghapus fotonya dari ponsel Asha padahal dia sudah berhasil merebut benda kecil itu.
Uluran tangan Asha langsung di tolak Lukman. "Gak perlu! Yang ada gue tambah sial."
Apa bener gue bawa sial buat lo, Luke?
***
Tertarik liat foto Luke? Kalo iya aku post di bab depan ^•^
Jangan lupa tinggalkan jejak.
Pagi di Jakarta
Bae
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top