DELAPAN BELAS

"Hei-hei! Yang bener dong berdirinya." Asha menegur anggota camp dua yang menurutnya sulit diatur. Bukannya berbaris dengan rapi mereka malah sibuk selfie dengan ponsel masing-masing. "Akbar lo jangan jauh-jauh berdirinya. Sana! Lo berdiri di sana."

Asha menunjuk sisi kanan barisan. Mengatur supaya teman-temannya berbaris rapi dan wajah mereka semua tercetak jelas di foto. Sedangkan Lukman sebagai juru foto malah berlagak menjadi seorang pengawas lapangan, duduk di sisi kanan Old Building sambil mengamati kinerja Asha.

Lukman menatap ke arah telunjuk Asha yang menunjuk sisi kanan barisan. Sudut bibir Lukman seketika terangkat ke atas, jadi ini yang direncanakan Asha sejak tadi. Pantas saja gadis itu dengan semangat empat lima mengatur barisan. Sampai saat ini Lukman tidak bisa menebak pikiran Asha. Tidak menyangka tujuannya menghebohkan WAG camp dua semalam demi Akbar dan Dinda. Kejadian semalam dan tadi pagi saat membonceng Asha kembali berputar di kepala Lukman.

Asha : Kita udah mau dua minggu di Pare. Besok bikin foto kenangan yuk.

Asha : Di Old Building. Selagi lengkap nih.

Asha : Kalo entar-entar gak bakalan jadi. Alesan belajar mau ujian lah, tahu-tahu udah pada balik aja.

Ajakan Asha dalam waktu singkat mendapatkan respon positif terutama dari anak-anak yang mengambil program belajar dua minggu. Setelah kehebohan WAG camp dua di sini lah mereka berada. Di Bangunan Tua Tulungrejo atau lebih dikenal sebagai Old Building. Tempat ini menjadi salah satu tempat yang wajib dikunjungi oleh pelajar di Kampung Inggris. Mereka bilang belum lengkap ke Kampung Inggris kalau belum foto di Old Building. Entah siapa yang memulainya. Hal ini menjadikan Old Building selalu ramai apalagi hari Sabtu atau Minggu. Di dua hari itu jangan harap bisa berfoto dengan tenang tanpa kehadiran  siswa lain. Ambil foto di dua hari itu pasti ada wajah tak di kenal dari lembaga lain muncul difoto.

Setelah kelas grammar berakhir pukul setengah sembilan pagi, mereka semua segera memacu sepeda melewati Jalan Brawijaya ke arah tenggara, melewati Jalan Yos Sudarso, belok kiri di Jalan Mayang kemudian belok kanan ke Jalan Pancawarna. Lukman meminta mereka semua untuk berboncengan supaya tidak banyak sepeda yang terparkir di sana.

Mereka sengaja lewat jalan Brawijaya dibanding mengelilingi bagian dalam Kampung Inggris supaya sampai ditujuan lebih cepat. Seperti biasa Rohman memimpin jalan setelah bertanya ke Mr. Rui rute tercepat ke Bangunan Tua supaya mereka masih sempat sarapan setelah berfoto. Begitu pula dengan Lumkan, dia berada di baris terakhir untuk mengawasi teman-temannya supaya tidak ada yang tertinggal sambil membonceng Asha.

"Sha."

"Iya."

"Gue minta maaf buat yang kemaren." Lukman tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk minta maaf.

"Udah gue maafin. Lupain aja."

"Serius."

"Serius. Ngapain juga gue marah. Kesel gue juga udah ilang."

"Omongan gue kemaren emang kelewatan. Nuduh lo bulimia and hamil."

"Asal jangan sering dilakuin aja, Luke. Gue enggak seburuk yang lo pikir."

"Iya. Sekali lagi sorry."

"Gue bilang lupain, malah lo ungkit lagi."

Dalam hati Lukman bersyukur karena Asha dengan mudah memaafkannya. Sepertinya gadis di belakangnya ini adalah tipe yang cepat memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain. Berbeda sekali dengan dirinya. Lukman tidak akan dengan mudah memberikan maaf pada orang yang dianggapnya bersalah.

"Lo ngapain aja di Surabaya kemaren? Thanks juga buat Spikoenya."

"Bilang makasihnya sama Tedi. Gue beli pake duitnya dia. Kemaren gue cuma ke salon and ngemall aja sih."

Basa-basi ge basi banget. Kemaren di mobil Kak Tedi banyak tas belanjaan seharusnya gue udah bisa tebak.

Rohman menghentikan sepedanya di pinggir sawah yang tengah ditanami tebu, tepat di seberang area pemakaman. Pelajar perempuan tampak tidak nyaman karena tiba-tiba saja sampai di tempat di luar perkiraan mereka.

"Di mana Old Building-nya." Asha menarik bagian belakang kaus Lukman. Dia tidak beranjak dari boncengan sepeda pria itu. Perasaan Asha tidak karuan saat ini, tidak nyaman karena berada di pemakaman dan takut salah merekomendasikan tempat ke teman-temannya. Gadis itu memindai seluruh tempat yang dapat dijangkau netranya, tapi tetap saja tidak ada Old Building di sekitar mereka.

"Ini salah tempat atau enggak, Luke? Kenapa pas keluar jalan malah sampe di makam?" Asha bertanya ke Lukman yang berdiri sambil memegang stang sepedanya, sedangkan Lukman hanya tertawa pelan menanggapi pertanyaan Asha yang penuh dengan kebingungan.

"Emangnya lo enggak tahu di mana Old Bulding?"

"Enggak." Asha menggeleng. "Yang gue tahu cuma deket Tansu. Enggak ada yang bilang deket makam."

"Kita enggak salah tempat. Lo ikutin Rohman di depan aja."

Asha menoleh ke depan. Dengan perlahan teman-teman pria menuntun sepeda melewati jalan setapak yang di kelilingi pohon tebu tinggi dan mereka yang di bonceng mengekor dari belakang hingga menyisakan Lukman dan Asha. Kenapa mereka langsung jalan, sih? Enggak tanya gue. Yang cewek juga. Tadi kayaknya mereka keliatan takut, tapi malah pergi juga.

"Lo yakin mau ke sana?" Asha memastikan keyakinan Lukman. "Enggak ada ular, kan,  atau apa gitu di sana?"

"Yakin. Semoga aja enggak ada. Yang lain udah masuk tinggal kita berdua."

"Gue parno, nih. Di deket makam terus lewatin pohon tebu. Mana tinggi-tinggi banget lagi."

"Kebanyakan nonton film horor, lo."

Bukannya Asha kebanyakan nonton film horor, tapi siapa pun pasti parno dan merasa tidak nyaman berada di tempat seperti ini. Teman-teman perempuan Asha juga tadi seperti itu. Hanya saja rasa takut Asha satu tingkat di atas mereka.

"Ya udah gue masuk sendiri. Lo turun dulu. Gue enggak bisa parkir kalo lo enggak bangun."

"Kok lo gitu sih. Masa gue ditinggal sendiri." Gadis itu mulai merajuk. Asha kembali menoleh ke arah pemakaman umum. Apa dia berani menunggu sendirian di sini atau mengikuti teman-teman menyeruak pohon tebu? Keduanya sama-sama menyeramkan, tapi kalau ikut ke sana setidaknya dia tidak sendirian. Jika takut ya takut sama-sama begitu juga sebaliknya. Jika senang ya senang sama-sama.

"Inget, kan, kalo gue foto grafernya." Lukman menunjuk kamera di keranjang sepedanya.

"Ya udah deh." Asha menyerah karena tidak memiliki pilihan lain. "Gue jalan duluan."

Untung semalam tidak hujan sehingga jalan setapak yang mereka lewati tidak becek dan membuat mereka lebih sulit melewatinya. Seandainya saja becek, bisa dibayangkan sepanjang apa keluhan Asha. Asha berjalan di depan Lukman sambil memeluk tas pink kesayangannya di tangan kiri, sedangkan tangan kanannya sibuk menghalau daun tebu yang menghalangi jalan. Di situasi seperti ini Asha masih sempat melindungi tas pink kesanyangannya.

Asha meneguh salivanya dengan susah payah lalu beralih memandang Lukman yang telah berdiri di sampingnya. Kini di hadapan mereka berdiri bangunan tua yang terlihat rapuh dengan dinding yang menganga tanpa atap. Sebagian besar dindingnya menghitam karena lumut, kesan terbengkalai tampak jelas, tak bisa ditutupi oleh apapun. Asha tidak tahu bangunan ini sengaja dihancurkan atau hancur karena termakan usia. Satu hal yang pasti bagunan ini eksotis dengan kehancurannya. Pasti indah sekali jika diabadikan ke dalam foto.

"Lukman!" Lamunan Lukman buyar saat Asha memanggilnya. "Cepetan! Kita udah siap. Kalo lo lama bisa rusak lagi nih formasi."

Lukman melihat teman-temannya berbaris rapi, sebagian berdiri dan sebagian lagi duduk. Lukman sengaja meminta mereka berdiri tidak terlalu ke belakang bangunan tua agar bagian atas dinding-dinding keropos yang mirip seperti roll film ikut terfoto.

"Akbar lo jangan jauh-jauh. Entar enggak masuk frame." Suara Asha kembali terdengar kemudian gadis itu menarik Akbar dan menempatkannya di sebelah Dinda.

"Yang bagus ya ekspresi kalian. Awas aja kalo jelek terus diulang-ulang lagi," ancam Asha.

Lukman mencoba beberapa jepretan di kameranya setelah dirasa cocok dia mengatur waktu sepuluh detik di kameranya. "Sepuluh detik!" teriak Lukman kemudian dia berlari ke arah teman-temannya. Ketika hendak berlari Lukman melihat Asha melambaikan tangan padanya sehingga dia berlari ke arah Asha.

"Udah relax kayaknya sekarang," ucap Lukman ketika tiba di samping Asha.

"Maksud lo."

"Udah bisa ngatur orang di sana-sini. Bagus lah. Seenggaknya lo enggak parnoan lagi."

"Justru karena parno gue ngatur mereka supaya cepet cabut dari sini. Pokoknya nanti kita duluan yang keluar, gue enggak mau paling terakhir. Entar lo aja yang mimpin jalan. Biar Rohman yang di belakang.

"Roger, Madam."

"Gue kira ngoceh bisa ngilangin keparnoan gue, ternyata enggak. Gue udah enggak nyaman banget di sini."

Asha berkata lirih, tapi Lukman yang berdiri di sebelah Asha mendengar ketakutan gadis itu. 

***

Happy Monday night.

Menurut kalian penilaian Lukman ke Asha berubah atau enggak?

Di atas kasur
Bae

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top