Chapter 2 : Aerith and Bob
"Hei, ngapain kamu tidur?"
Hmm?
BRAKK!!
Pukulan telak tepat mengenai mejaku. Aku langsung bangkit, menoleh ke mana-mana. Shotaro dan Jane memandangku heran. Eh, kelas? Aku pasti tertidur.
Di depanku, Pak Yoyo—guru Matematika kami—meninju telapak tangannya sendiri sambil tersenyum menyeramkan.
"Tidur di kelas, apa yang kau pikirkan, Anak Muda?"
Aduh, apa alasan yang harus kuberikan? Pak Yoyo termasuk guru yang tidak segan-segan melemparkan muridnya ke sarang hiu kalau dia berpikir itu akan membuat mereka 'lebih baik'. Shotaro pernah mengalami nasib seperti itu, dan efeknya adalah ... dia menjadi lebih terkenal.
"Wah, Pak," kataku hati-hati. "Banyak anak-anak yang tidur di kelas, dan itu tidak mengganggu nilai mereka."
"SALAH BESAR!" Pukulannya mengenai mejaku, lagi. Aku melonjak ke meja belakang. Gadis pemilik meja itu tampak tidak senang.
Tiba-tiba, Pak Yoyo seperti melupakanku dan kembali ke mejanya. Aku melirik Jane.
Terima kasih, pikirku. Aku tahu dia bisa mendengar.
'Lain kali jangan tidur lagi. Aku tidak akan menolongmu,' kata Jane. 'Mempengaruhi pikirannya akan lebih sulit untuk kali kedua.'
Aku mungkin lupa menceritakan kalau Jane adalah seorang esper, tipe Pembaca dan Mempengaruhi Pikiran. Aku mungkin juga akan lupa menceritakan kalau teman-temanku ada yang mempunyai kekuatan spesial, tapi baru kuingat saat plot demands it. Satu yang pasti, aku dan kembaran-tapi-bukan-saudaraku Shotaro tidak memiliki kemampuan istimewa seperti Jane.
"Huh, belum mengabsen sudah ada yang membuat ulah," gerutu Pak Yoyo. Dia duduk kembali ke meja guru, sementara aku kembali ke bangkuku. Sekali lagi aku tersenyum minta maaf pada cewek yang mejanya sempat kuinjak tadi.
"Brenda Fox!" seru Pak Yoyo.
"Saya!" Brenda mengangkat tangan.
"Craig Patterson!"
Seorang siswa mengangkat tangan.
"Damien Zaros!"
Seorang pemuda berkulit putih pucat dan berpakaian serba hitam mengangkat tangan. Dia menatap kami semua dengan malas. Auranya seolah mengatakan, "Jangan sesekali mendekatiku! Aku dingin dan misterius." Tapi, aura seperti itu saja gagal membuat seperempat populasi cewek di Academy menghindari Damien. Mereka malah menjadi fans-nya.
"Deanna Downs!"
"Ada!"
"Glenn Hansen!"
"Helena McKinney!"
"Iqbal Al Zulfiqar!"
Dengan malas aku mengangkat tangan. Sepertinya aku tidak perlu menambahkan apa-apa tentang diriku.
"Jane Cyres!"
Jane mengangkat tangan dengan manis. Aku langsung menggeleng. Hilangkan dia dari pikiranmu, bodoh, kata akal sehatku.
Aku tahu. Diamlah!
'Aku bisa mendengar itu, Al,' kata Jane.
'Maaf.' Untung lah aku telah terbiasa dengan suara Jane dalam kepalaku.
"Laerdya Auriel Wysacaryn!"
Seorang gadis—yang jelas sekali merupakan seorang elf, tapi berusaha berpakaian manusia—mengangkat tangan.
"Lance Swordarrow!"
"Hadir!" Seorang pemuda besar mengangkat tangan. Aku tersenyum senang. Lance Swordarrow merupakan salah satu temanku. Dia suka menyebut nama orang dengan lengkap, dan berharap orang menyebutnya dengan nama lengkapnya juga. Lance memiliki mata elang, dia bisa melihat sampai tiga km tanpa bantuan alat atau sihir. Semua itu sangat kelihatan saat dia menggunakan senjata andalannya, sebuah ketapel dengan pegas elektromagnetik, untuk menembak sebuah piring terbang alien yang menyerang Tropeca dulu.
"Maximus Alexius!" Alexius mengangkat tangan sambil 'melototi' catatannya. Aku tidak yakin apakah dia memang 'melototi' catatan itu, karena mata dan dahi Alexius selalu ditutupi topeng perak. Sama seperti Shotaro, dia juga mempunyai banyak penggemar cewek. Bagaimana tidak, dia mengendarai mecha bernama GNDM-Centurion untuk pergi ke Academy. Siapa pun yang mempunyai mecha pasti akan mendapat instant fangirl dan fanboy, sepertinya. Walaupun moral orang bersangkutan bisa dipertanyakan.
"Milana Kalanianioli!"
"Hai hai!" lambai Oli di barisan belakang. Oh, sepertinya kami sekelas juga.
"Rudolf Wolfbang!"
Pintu kelas terbuka lantang. Seorang pemuda masuk dengan gagah. Dia berhidung mancung, wajah yang—menurut para cewek—sangat ganteng, asap rokok keluar dari mulutnya. Dia memakai jaket kulit berwarna hitam, celana jeans dengan rantai, dan kelihatannya mengendarai sebuah Harley Davidson yang di parkir di depan pintu kelas.
"Datang!" serunya mantap. Seperempat siswi di kelas kami melihatnya dengan mata berbinar (kutulis seperempat, karena seperempat lainnya memandang Shotaro, seperempat menatap Damien, seperempat sisanya melirik Alexius). Rudolf menatap Jane dan Auriel yang tidak peduli dengan kedatangannya, pasti berpikir kalau dia akan menaklukkan mereka berdua. Aku tidak tahu dengan Auriel, tapi sia-sia saja Rudolf mau menggoda Jane. Aku yang telah puluhan kali menyatakan cinta padanya tidak pernah ditanggapi dengan serius.
"Shotaro Masayuki!"
Shotaro mengangkat tangan.
"Thramotir Broadminer!"
"Saya!"
Seluruh kelas mencari dari mana asal-muasal suara itu. Tapi kami tidak menemukannya.
"Saya! Saya!"
Untuk pertama kalinya, aku melihat Pak Yoyo tampak kebingungan. Pasti dia juga tidak tahu dari mana asal suara itu.
"Hah, seorang Dwarf," tunjuk Rudolf pada kursi paling belakang. Aku tidak melihat siapa pun di sana, kecuali sebuah tangan kecil yang terangkat.
"Oh, baiklah," kata Pak Yoyo. "Jadi ada Brenda, Craig, Damien, Deanna, Glenn, Helena, Iqbal, Jane, Lance, Laerdya Auriel, Maximus Alexius, Milana, Rudolf, Shotaro dan Thramotir.... Ckk," gerutu Pak Yoyo. "Dewan Sekolah mengatakan mau diversitas ras dan klan di kelas. Ini apa?" Pak Yoyo memandang kami semua, seolah kami semua bersalah atas sesuatu. "Kecuali Auriel dan Thramotir, semua siswa kelas ini berasal dari ras manusia, klan Mongoloid yang tertutup itu lagi!"
Klan Mongoloid ditandai dengan rambut hitam, kulit agak putih sampai kuning langsat, dan iris mata berwarna gelap. Harus kuakui, semua siswa di kelas ini mempunyai karakteristik seperti itu, kecuali Auriel dan Thramotir. Auriel cepat-cepat menyihir penampilannya jadi seperti kami.
Well, setidaknya Oli punya teman dalam praktek sihirnya.
Pak Yoyo membalikkan buku absensi. "Lho, mengapa cuma lima belas nama? Lima belas lainnya mana?"
Alexius berseru kesal, "Kapan pelajaran dimulai? Dan lagi pula, bukannya saat lewat pintu kita sudah absensi DNA? Mengapa harus manual segala?"
Eh, masa sih? Aku tidak tahu itu. Pasti gara-gara tidur di kelas.
"Hmm," kata Pak Yoyo seolah-olah tidak mendengar Alexius. "Ke mana perginya yang lima belas?"
BRAK! Alexius langsung memukul meja. "Mereka tidak penting! Hanya tambahan agar kelas ini pas tiga puluh!"
"Hei!" balas seorang teman sekelas yang tidak kuketahui namanya.
"Diam, Kau-yang-Tak-Bernama!" teriak Alexius.
Aku mendesah. Alexius dan yang tidak kuketahui namanya itu terus berdebat. Shotaro menggeleng sedih. Damien tidak peduli dengan sekitarnya. Thramotir masih mengangkat tangan. Yang lain seperti tidak peduli dengan pertengkaran itu. Aku agak heran mengapa Jane tidak melerai Alexius. Biasanya dia selalu menjaga keamanan kelas. Ternyata gadis itu sedang ngobrol dengan Auriel si cewek elf seperti best friend forever. Apa mereka telah berkenalan sebelumnya?
Dari belakang, Rudolf memperhatikan mereka berdua. Rudolf merupakan sainganku dalam mendapatkan Jane. Sepertiku, pernyataan cintanya terus ditolak Jane. Tidak sepertiku, Rudolf tidak tahu kalau Jane bisa membaca pikiran.
Aku dan seperempat populasi cewek memperhatikan Rudolf; aku berusaha memperkirakan apa yang ada di kepalanya, dan seperempat populasi cewek ... ya cuma memperhatikan saja.
Pelajaran akhirnya dimulai, setelah Alexius dan yang namanya tidak kuketahui itu diusir Pak Yoyo. Alexius terlihat menerbangkan GNDM-Centurion ke luar atmosfer. Pasti dia mau menembak koloni-koloni luar angkasa untuk melampiaskan kekesalannya.
Mei 2016
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top