Part 6- Ikhtiyar


❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤

Sabar itu proses yang tak cukup hanya untuk detik ini, menit ini, atau pun hari ini. Tapi sabar itu sebenarnya butuh usaha terus, apalagi saat hati mulai terusik lagi. Disitulah memang sebuah titik penentu, jika sabar bukanlah hal yang mudah dan harus kita usahakan terus menerus. Dengan keyakinan dalam hati, bahwa apa pun ketentuan-Nya itulah yang terbaik buat kita.

❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤

Waktu terus berlalu, hari berganti pekan, kemudian berganti bulan. Purnama terus merangkak dan terus berputar dengan teratur. Tak bisa memundurkan waktu barang sedikit pun.

Tak terasa, sembilan purnama telah terlewati. Namun, tak kunjung jua hati Alfi bisa tegar menghadapi apa yang sering lewat di depan mata. Seperti pagi ini, hari ini ia libur mengajar. Setelah cuci pakaian, tampak kini ia sedang menjemurnya.

Belum juga semua pakaian ia jemur, tak sengaja netranya melihat ke arah bawah dan mendapati dewi sedang menyapu halaman rumahnya. Hatinya kembali seakan tercubit saat melihat perut sang adik ipar semakin membuncit.

'Ya Allah ... kenapa hati ini masih saja seakan tak rela. Bukankah seharusnya aku ikut berbahagia. Dia adalah adik iparku, yang sudah pasti anak dalam kandungannya adalah cucu orang tuaku. Kenapa masih saja hati ini merasa iri? Padahal, aku telah sadar jika ini semua karunia dari-Mu. Ini adalah ketetapan-Mu yang tak ada kuasa selain-Mu. Maafkan hati hamba yang masih kotor dengan rasa iri dan cemburu atas nikmat-Mu yang engkau anugerahkan kepada orang lain, bukan untukku. Ternyata ... sabar dan ikhlas itu sangatlah sulit. Hanya mudah terucap, tetapi sulit untuk tersemat.'

Tak terasa, bulir cairan bening langsung mencelos dengan lancangnya. Bergegas tangan Alfi menepis cairan itu sebelum di susul cairan berikutnya. Tampak gadis itu menghirup udara cukup panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Berulang kali ia melakukan hal yang sama. Sampai akhirnya ia merasa rongga dadanya tak sesak lagi dan hatinya lebih tenang.

"Sabar, Fin. Sabar. Semuanya pasti kan indah pada waktunya," ucapnya lirih, kemudian melanjutkan aktivitasnya menjemur pakaian.

'Dewi hamil aja aku sering dipojokin karena nggak hamil-hamil. Gimana rasanya nanti kalau aku lihat ponakanku lahir dan pasti banyak keluarga yang akan berkunjung. Apakah posisiku akan semakin terpojok dan terhakimi?'
Keasyikan melamun sembari menuruni anak tangga, membuat Alfi tak fokus ke sekitarnya. Ia hampir saja terjatuh kalau saja Alfa tak menangkapnya.

Kebetulan Alfa baru saja akan melintas saat dirinya dari kamar mandi, saat melihat sang istri oleng, sontak membuatnya bergerak cepat menangkap tubuh sang istri.

"Allahuakbar!" pekik Alfi terkesiap.

"Jalan kok melamun. Hati-hati dong, Sayang." Alfi menampakkan giginya yang berjajar rapi, seakan mengaku salah dengan apa yang ia lakukan barusan.

"Mikirin apa?" tanya Alfa sembari mengiringi langkah sang istri.

"Aku malu mau cerita sama, Mas."

"Kok malu?"

"Yang mau diceritain ya itu-itu aja."

Alfa yang mulai mengerti arah pembicaraan sang istri, ikut duduk di dekat Alfi. "Itulah ujian buat kita, Sayang. Sabar itu proses yang tak cukup hanya untuk detik ini, menit ini, atau pun hari ini. Tapi sabar itu sebenarnya butuh usaha terus, apalagi saat hati mulai terusik lagi. Disitulah memang sebuah titik penentu, jika sabar bukanlah hal yang mudah dan harus kita usahakan terus menerus. Dengan keyakinan dalam hati, bahwa apa pun ketentuan-Nya itulah yang terbaik buat kita."

"Iya, Mas. Alfi setuju itu. Makanya, Mas jangan bosan, ya kalau Alfi ngomongnya bab hamil dan anak melulu."

"Besok, insyaAllah kita periksa ke dokter ya."

"Emang uang tabungannya udah cukup?"

"Cukup, insyaallah." Alfi pun tersenyum, merasa bahagia akhirnya ia bisa periksa ke dokter spesialis kandungan.

Meski baru akan periksa ke dokter spesialis, bukan berarti sepasang suami istri ini tak berusaha selama ini. Keduanya juga usaha lewat bidan, pijat dan vitamin serta konsumsi makanan sehat sebagai bentuk ikhtiyar lahir. Untuk ikhtiyar batin, keduanya tak berhenti berdoa meminta kepada Sang Penguasa Alam.

---***---

Tepat pukul empat sore, Alfa dan Alfi menuju kota pasuruan untuk periksa ke dokter spesialis. Alfa sudah mendaftarkan diri dengan cara telepon dan mendapatkan urutan nomor tujuh. Praktek dokter itu baru dibuka pukul setengah lima sore.

Jarak dari rumah menuju kota membutuhkan waktu bekisar setengah jam perjalanan dengan mengendarai motor. Benar saja, setibanya di lokasi, ternyata pemeriksaan sudah di mulai dan kini masih giliran antrian nomor dua.

"Atas nama siapa, Bu?" tanya seorang wanita yang bertugas di samping pintu masuk.

"Nur Alfaini."

"Oh iya, nomor urut tujuh ya, Bu. Silakan timbang dulu."

Alfi berdiri di atas timbangan itu, ia cukup kaget melihat berat badannya kini bertambah menjadi 57 kg. Iya, semenjak menikah berat badan Alfi semakin naik. Dulu, saat dirinya masih sendiri berat badannya hanya bekisar di angka empat puluhan. Namun, semenjak menikah banyak orang bilang jika dirinya memang semakin berisi.

"Usia berapa, Bu?"

"Dua puluh Enam."

"Baik, silakan ditunggu dulu ya, Bu."
Alfi mengangguk, kemudian berlalu dari hadapan wanita itu.

"Mas."

"Hmm." Alfa yang sedang asyik dengan ponselnya menoleh. Sejak tadi ia duduk sendiri menunggu sang istri yang diwawancarai oleh wanita tadi.

"Lihatn deh, Mas." Alfi menyerahkan kertas catatan hasil data dari wanita tadi.

"Kenapa?" tanya Alfa saat melihat nama dan angka-angka yang tertera.

"Masak BB aku udah sampai angka segitu?"

Alfa terkekeh, "Itu namanya kamu makmur hidup sama aku, Yank." Alfi langsung menutup mulutnya, menahan diri agar tak terbahak di tempat yang mulai ramai itu.

"Tanda bahagia juga kali, ya, Mas?"
Alfa mengangguk dengan cepat seraya mengangkat jempolnya.

Alfa dan Alfi saat menikah berperawakan sama-sama kurus dengan beda tinggi bekisar dua puluh senti. Namun, semenjak menikah, seakan kompak perawakan keduanya berkembang sedikit demi sedikit, meski tanpa program penggemukan sedikit pun. Entahlah, keduanya juga tak tahu bagaimana bisa berat badan terus bertambah, padahal porsi makan pun seperti biasa. Bedanya, keduanya selalu makan sepiring berdua.

Selang waktu hampir dua puluh menit, akhirnya nama Alfi dipanggil. Alfi mengikuti langkah sang suami, ia tak mau periksa ke dalam ruang seorang diri. Karena malu dan memang yang lain pun demikian.

Setibanya di ruangan. Alfa pun mengatakan kepada sang dokter jika mengantar sang istri untuk periksa dan menjelaskan jika keduanya belum kunjung dikaruniai keturunan.

"Sudah menikah berapa lama?"

"Kurang lebih dua tahun, Dok."

"Sudah pernah periksa sebelumnya?"
Keduanya menggeleng kompak.

"Ya sudah, silakan Bu berbaring di sana, saya periksa dulu."
Alfi pun beranjak, lalu berbaring di bed--tempat tidur pasien.

Seorang perempuan yang menemani dokter tadi, memasangkan sebuah cairan di perut Alfi. Setelahnya, barulah sang dokter mengarahkan alat seperti tongkat yang berbentuk transduser ke arah perut Alfi.

"Gimana, Dok hasilnya?" tanya Alfa, sepertinya tak sabar menunggu sang dokter yang memang tak kunjung bersuara. Padahal dalam monitor telah tampak gambar dua dimensi bagian dalam perut sang istri.

Bersambung
_______________
Pasuruan, 29 Agustus 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top