Part 5 - Sensitif

#Baper2u
#Bab5

Judul = Triple P (Penantian Pasca Pernikahan)
Nama Penulis = Akhwatul Iffah
Jumkat = 1020

Link Part 4
https://m.facebook.com/groups/291426671038978/permalink/1881620265352936/

Semilir angin terasa membelai kulit wajah, jilbab panjang yang menjuntai tampak berkibar tak tenang mengikuti arah angin yang  cukup kencang.

Alfi yang sedang menyapu halaman rumah tampak kesal, saat melihat daun-daun yang tadinya ia sapu kembali berantakan ke sembarang tempat.

"Astaghfirullah, baru ditinggal ambil cikrak bentar, udah berantakan lagi," gerutunya sembari kembali menyapu dan langsung diarahkan ke cikrak dan segera membuangnya ke tempat sampah.

Selang beberapa menit kemudian, helaan napas lega keluar dari mulut Alfi. Ia duduk di teras rumah sembari tangannya menyeka keringat yang membasahi kening.

"Eh, Al. Denger-denger Dewi hamil, ya?"
Alfi menoleh saat mendengar seseorang yang tiba-tiba duduk tak jauh dari sampingnya.

"Alhamdulillah iya, Mak."

"Wah cepet ya. Perasaan baru bulan kemarin nikahnya.".

"Hehe, iya."

"Lah, terus kamu kapan? Masak kalah sama Dewi."
Sebuah pertanyaan yang sukses membuat kepala Alfi seketika menoleh ke arah tetangganya yang memang masih saudara dengan neneknya itu.

"Hehehe kalau ditanya kapan, aku juga nggak tahu, Mak. Sedikasihnya aja sama Allah." Alfi tak ingin tertawa sebenarnya menjawab pertanyaan ini. Namun, ia bingung harus bagaimana meresespon. Pasalnya, yang ia hadapi bukanlah sosok seumuran yang bisa saja ia maki-maki karena sebenarnya ia cukup tersinggung mendengar pertanyaan yang seakan menyalahkan dirinya. 

Lagian, perkara hamil atau tidak hamil bukanlah sebuah ajang perlombaan yang bisa dikalah atau dimenangkan oleh pihak tertentu. Namun, karunia kehamilan seorang wanita merupakan suatu rezeki yang hanya Allah berkuasa mengkaruniakannya.

---***---

Datang bulan, menjadi sebuah keadaan yang begitu sensitif untuk seorang wanita, mudah marah dan tersinggung. Mendengar omongan tak enak dari saudaranya tadi, membuat Alfi tak henti-hentinya terbeban dengan pikirannya sendiri.

Hatinya tersinggung, ingin mengumpat akan tetapi tak sopan. Ingin menjelaskan akan tetapi segan. Posisi dia yang lebih tua, membuat Alfi berceramah panjang lebar, bahwa hamil itu bukan manusia yang berkuasa mewujudkan.

Kalau saja kehamilan bisa dipesan kepada manusia, pasti Alfi rela antri dan menebus berapapun harganya dengan menabung untuk memesannya. Namun apalah daya, terkadang manusia hanya bisa menghakimi padahal dirinya sama sekali tak punya kuasa.

---***----

Setengah jam sebelum waktu maghrib tiba, Alfa tiba di rumah. Alfi yang sudah rapi sehabis mandi tengah siap menunggu kedatangan sang suami.

"Assalamu'alaikum," ucap Alfa sembari membuka kaca helm, netranya memandang ke arah sang istri.

Alfi berusaha tersenyum, meski hatinya masih resah akibat tetangganya yang berulah. Ia raih tangan sang suami lalu mengecupnya penuh takzim.

Usai memarkirkan motor di ruang tengah, Alfa tampak duduk di atas karpet dengan kaki yang terjulur ke depan. Alfi tampak menghampiri dengan membawa sebuah gelas yang telah berisi air putih.

"Minum, Mas?" Alfa menerima gelas itu, lalu menenggaknya setelah mengucapkan basmalah.

"Mau dipijitin kakinya, Mas?" tawar Alfi yang memang biasanya Alfa saat merasa lelah, ia meminta tolong sang istri untuk memijat telapak kaki dan jari-jarinya.

"Nggak usah, Sayang. Kamu kenapa? Kok kayak lesu gitu?"

Alfi terdiam. 'Ah, kenapa masih ketahuan aja, sih. Padahal kan niat hati mau disembunyiin. Ternyata suamiku ini kelewat peka.'

"Emang keliahatan banget ya, Mas?" Bukannya menjawab, Alfi malah kembali melempar pertanyaan. Karena ia tak habis pikir, jika suaminya ini terlalu peka, atau dirinya yang tak pandai berpura-pura.

"Dari sini, nih. Udah kelihatan," ucap Alfa yang langsung mengecup bibir Alfi setelah jari telunjuknya tadi menempel sesaat terebih dahulu.

Alfi sontak mengerjap-erjap kedua netranya. Bulu matanya yang lentik tampak cepat bergerak naik turun. Bibirnya mengatup rapat akibat terkesiap dengan apa yang dilakukan sang suami.
"Iiih, Mas Alfa bikin kaget aja, sih," keluh Alfi tampak sedikit kesal, terlihat bibirnya menahan senyum.

"Ya tapi seneng, kan? Atau malah mau lagi? Sini."

"Ish, apaan, sih, Mas. Alfi ke belakang dulu."

"Hahaha."
Bukan Alfa namanya jika membiarkan sang istri menyembunyikan rona di pipinya. Ia pegang lengan Alfi yang hendak bangkit. "Jangan lari nyembunyiin ini, karena Mas bahagia melihat rona pipi kamu, Sayang."

Pipi Alfi semakin menghangat. Ia sama sekali tak berkutik saat membalas tatapan teduh Alfa. Apalagi detik kemudian ia merasakan tangan sang suami mengelus pipinya yang pasti kini semakin kemerah-merahan. Dirinya semakin membeku dan hanyut dalam silih pandang yang terjadi di antara keduanya.

Memang hampir selalu begitu, padahal telah lebih satu tahun keduanya hidup bersama. Namun, tetap saja efek tersipu malu itu tak menghilang saat sang suami memperlakukannya seromantis ini. Bagaimana bisa ia menghindar dari sebuah rasa cinta yang membuatnya semakin jatuh cinta kepada laki-laki tampan di hadapannya saat ini.

"Alfi!"

"Eh, Mas. Ibu manggil, Alfi ke belakang dulu ya."

Alfa pun menganggukkan kepala. Tak bisa mencegah Alfi untuk meneruskan aksi saling memandang, menyelami samudera kerinduan yang tertahan selama tiga hari ini. Iya, Alfa kali ini menuntaskan kerja dan menginap di rumah orang tuanya kemarin. Karena besok tanggal merah yang otomatis ia libur kerja.

---***---

Sepekan kemudian

Alfa merasa beruntung memiliki istri seperti Alfi. Sosok wanita yang sangat penurut, cerdas dan rajin dalam ibadahnya. Berakhlak baik dan memiliki suara yang merdu saat melantunkan lagu selawat.

Meski sebagai imam dalam rumah tangga, Alfa tak segan atau gengsi mengikuti amalan sunah yang sudah sang istri lakukan semenjak belum menikah dengan dirinya. Begitu pun sebaliknya, Alfi juga ikut melakukan ibadah sunah yang Alfa lakukan. Intinya, keduanya saling menyemangati dalam setiap kebaikan yang dilakukan, apalagi jika hal itu termasuk amal saleh. 

Prinsip keduanya dalam pernikahan bukan menghujat kekurangan dan memuja kelebihan. Namun dalam prinsip pernikahan yang disepakati sepasang suami istri itu adalah jadikan kelebihan yang dimiliki pasangan untuk saling melengkapi kekurangan, agar bisa saling mengisi dan mengerti satu sama lain.

"Shodaqollahul'adzhim." Lafal pertanda lantunan bacaan Al Quran ini dengan kompak terucap dari lisan Alfa dan Alfi. Keduanya baru saja usai membaca surat Al Mulk usai salat Isya berjemaah.
Surat Al Mulk yang mempunyai keutamaan sebagai pelindung kelak dari azab kubur dan pensyafaat bagi orang-orang yang istikamah membacanya setiap malam. Sangat sayang jika ditinggalkan bukan?

Alfi yang baru saja usai melipat mukenanya, tampak meraih tangan sang suami lalu mengecup punggung tangan Alfa dengan takzim.

Alfa pun tak melupakan kebiasaannya. Kala usai punggung tangan dikecup, kini giliran dirinya mengecup kening sang istri.

"Oh iya, Mas. Besok bisa kan anter Alfi belanja? Stok barang-barang dapur dan kamar mandi mulai menipis.

"Iya insyaAllah Sayang. Sekalian beli buah-buahan ya." Alfi tersenyum lalu menganggukkan kepala. Ia pun segera membereskan mukena beserta sajadah, kemudian meletakkan ke lemari kecil yang tak jauh dari keberadannya saat ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top