Part - 4 Antara dua hal

#Baper2u
#Bab4

Judul = Triple P (Penantian Pasca Pernikahan)
Nama Penulis = Akhwatul Iffah
Jumkat = 1039

Link Part 3
https://m.facebook.com/groups/291426671038978/permalink/1880288882152741/

Berkumpul dengan manusia memang bisa menepis kesepian. Yang sedih menjadi bahagia, yang gundah menjadi tawa, yang mempunyai beban pikiran menjadi lega akibat telah tertuang dalan obrolan curahan hati antar teman. Namun dibalik itu, terkadang yang dialami malah sebaliknya. Jika yang menjadi pembahasan mereka adalah persoalan yang saat ini menjadi beban pikiran salah satu di antara mereka, maka obrolan itu akan menjadi beban.

Alfi, memiliki sepuluh rekan yang menjadi tenaga pendidik di Madrasah--delapan perempuan dan dua laki-laki. Seringnya berkumpul hampir setiap hari, membuat ikatan yang terjalin di antara mereka layaknya keluarga.

"Kenapa Bu Heni? Kok kayaknya suntuk dan ngantuk gitu?" tanya Alfi yang kini duduk di sebelah Heni yang menjadi wali kelas tiga. Ia baru saja keluar dari kelas satu, sekarang jam ngajar kosong dua jam pelajar. Barulah, setelah jam istirahat nanti ia ada jam mengajar lagi di kelas empat.

"Semalam anak aku rewel, Bu. Badannya panas, nangis mulu," ucap Heni sembari sesekali menutup mulut saat menguap. Alfi menatapnya dengan sesekali menyungging senyum.

"Kamu enak ya, Bu. Enggak pernah ngalamin yang namanya direwelin, diribetin, bawel sama anak-anak. Kayak hidup yang santai nan tentram gitu, ya. Tapi kesepian nggak, sih, Bu? Menurutku, punya anak, kan jadi pengrame rumah tangga."

Alfi tersenyum hambar, hatinya sedikit tercubit mendengar keluhan itu. Entah sebab iri atau tersinggung, ia pun tak tahu apa yang kini hatinya rasakan. Namun yang jelas, dalam hati Alfi saat ini bukanlah rasa syukur seperti yang diungkapkan Heni.

"Hehehe, tergantung situasi dan kondisinya, sih Bu. Adakalanya memang kesepian, adakalanya juga memang bisa nikmatin waktu santai."

"BTW udah setahun lebih nikah kan, Bu? Belum isi?"

Alfi menggeleng. "Malah sekarang lagi haid."

"Emm, udah pernah periksa ke dokter?"

Alfi menggeleng lagi. "Masih rencana, Bu. Entah kapan, ngumpulin duit dulu." Maklumlah, suami Alfi bukanlah karyawan tetap sedangkan dirinya hanya guru honorer yang honor bulannya alhamdulillah cukup tambahan keperluan sehari-hari.

Bukankah ke dokter spesialis, sekali saja pasti membutuhkan biaya ratusan ribu atau bahkan bisa mencapai angka yang nol di belakangnya ada enam?

"Segeralah, Bu. Tak ada anak tak ada hiburan di rumah."

Alfi menatap Heni dengan kening berlipat. Namun, ia memilih diam setelahnya, tak ingin berdebat meski ia tak setuju dengan pendapat itu sepenuhnya. Karena menurutnya, kehadiran seorang anak adalah sebuah amanah yang kita sendiri jangan sampai lalai dalam mengembannya. Bukankah salah mendidik anak tak hanya berakibat di dunia, bahkan tanggung jawab kita sampai akhirat kelak?

---***---

Langit gelap, peran mentari kini telah tergantikan oleh sang dewi malam. Tepat tanggal lima belas menurut kalender hijriyah, rembulan tampak bulat sempurna, begitu indah dengan sinarnya yang menerangi hamparan langit.

Seorang gadis yang kini tengah rebahan di atas karpet, tampak sibuk dengan gawainya. Sepertinya ia sedang asyik berselancar dengan berbagai aplikasi yang tersedia dalam benda pintar itu.

Ya, ponsel saat ini termasuk benda kecil dan tipis, tetapi kecanggihannya seakan bisa menembus ruang dan waktu. Yang kata orang dekat, saat ini seakan dekat.

Orang yang memegangnya pun seakan tak kenal waktu, karena saking asyiknya berselancar ke mana pun yang ia mau. Banyak aplikasi yang bermanfaat, banyak pula yang hanya sebagai hiburan. Bahkan, ada pula yang berbahaya. Maka, sebagai manusia berakal, kita harus pandai-pandai memilah mana yang bermanfaat untuk digunakan dan tetap mengontrol diri agar tak keasyikan main ponsel hingga lupa kewajiban.

Kini Alfi tampak asyik tukar pesan dengan sahabatnya. Belum juga usai mengetik balasan. Tiba-tiba ponselnya berdering, ada panggilan video masuk dari Zaujiy--nama kontak suaminya.

Bibir gadis itu sontak tesenyum lebar. Ia merubah posisinya yang tadinya terngkurap, kini duduk bersandar. Setelah menekan gambar telepon tombol warna hijau, ia pun menyapa sang suami dengan ucapan salam.

Gambar sosok Alfa pun muncul di layar pipih itu, tampak tersenyum setelah menjawab. "Ngapain, Sayang?"

"Rebahan aja, Mas. Nunggu video call dari Mas."

'Sudah salat Asar?' Alfi mengangguk.

'Sudah ngaji?' Alfi mengangguk lagi.

'Sudah makan?' Kali ini Alfi menggelengkan kepala.

"Lupa ya?" tanya Alfi.

'Astaghfirullah, maaf-maaf, Sayang. Kamu puasa kan ya.'

Alfi mengangguk dengan bibir tersenyum.

'Tinggal berapa hari lagi hutang puasanya?'

"Alhamdulillah tinggal satu hari lagi, Mas. Insyaallah hari kamis Alfi lunasinnya."
Alfa tampak menganggukkan kepala, seraya tersenyum bahagia. Ia merasa senang, melihat istrinya begitu semangat beribadah dan tak mau mengulur-ulur waktu untuk mengganti puasa ramadannya tanpa menunggu bulan rajab, yang kata orang sekalian bisa dapat sunahnya.

"Sayang."

'Hemm.'

"Aku malu lo, Mas. Kemarin-kemarin udah nangis-nangis dan sempet seakan protes sama Allah tentang keadaan kita."

'Kenapa tiba-tiba malu?'

"Itu ... temen aku yang lebih dulu menikah, ternyata sampai sekarang juga belum punya anak, Mas."

'Iya makanya, kita harus lebih bersabar ya, Sayang. Jangan sampai kita salah dalam membandingkan dua hal.
Sebab jika kesalahan itu terjadi, akibatnya kita akan menjauh dari perbuatan syukur dan berpikir bahwa diri ini yang paling tersungkur."

"Kok tersungkur?"

'Iya, kan hanya bahasa kiasannya, Sayang. Maksudnya jangan sampai kita merasa, kitalah yang paling menderita atas apa yang Allah timpakan kepada kita. Kita berpikir bahwa Allah tak adil, karena dia yang begitu cepat memiliki anak meski belum ingin, sedangkan kita yang telah lama ingin belum juga terpenuhi.'

"Emmm iya, iya, Mas. Alfi paham sekarang. Alfi akan usahakan nggak akan kayak gitu lagi." Istri Alfa itu tampak menatap sang suami dengan pandangan teduh, begitu terlihat jika ia merasa bersalah.

Alfa tersenyum. 'Ya sudah, kita berusaha sama-sama ya, Sayang. Berusaha menjadi hamba Allah yang sabar dan ikhlas menerima segala ketentuan-Nya'

Alfi tersenyum lalu menganggukkan kepala. "Oh iya, Mas. Alfi juga dikasih tahu temen Alfi buat beli vitamin E, penyubur, bisa buat promil juga. Besok mampir ke apotek tolong beliin ya, Mas."

'Iya, insyaallah, Sayang. Kamu juga jangan lupa, makan sayur tiap hari.'

"Hehehe siap insyaallah, Mas."

'Tadi udah belanja sayurnya?'

"Hehe lupa. Besoklah minta sama Ibu."

Alfa hanya menggeleng-gelengkan kepala. Ingin rasanya mencubit pipi sang istri karena gemas. Memang untuk perintah yang satu ini--setiap hari makan sayur--Alfi agak susah di atur jika dirinya sedang tak pulang ke rumah.

Obrolan keduanya pun terus berlanjut dengan saling berbagi cerita tentang apa saja yang dialami keduanya. Meski tak bertemu nyata setiap hari dan jarak memisahkan keduanya. Tak luput setiap sore, malam dan pagi sebelum kerja keduanya akan melakukan video call. Jadi, tidak kalah dengan resep anjuran dokter yang dikonsumsi tiga kali sehari. Alfa dan Alfi pun punya cara tersendiri untuk mengobati malarindu yang mendera dengan saling bertukar kabar tanpa mengenal kata bosan.





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top