Part 22 Obat Rindu
Orang rindu itu sebab tak bertemu. Maka bisa dipastikan jika obat rindu itu adalah sebuah pertemuan. Apa yang dirasakan jika tabungan rindu dalam hati telah membuncah dan kini siap untuk dicurahkan? Tentunya hati berdebar kencang, rasa tak sabar terus menghimpit agar waktu tak berputar lambat.
Iya, begitulah yang dirasakan Alfi saat ini. Jarum jam dinding dipersalahkan karena bergerak lambat menurutnya. Padahal kenyataannya, jarum jam berputar sebagaimana biasanya. "Ish, lama banget, sih. Nih jam muternya, apa kehabisan baterai, ya?" Alfi mengecek jam digital di gawainya, ternyata cocok dengan jam yang bertengger di dinding.
'Astaghfirullah Alfi. Ngapain, sih kamu nyalahin jam. Kamunya sendiri tau, kamu yang dandannya kecepetan. Perjalanan dari kejayan ke sini itu normalnya 45 menit. Eh, kamu langsung siap-siap selang sepuluh menit saat suami ngabarin pulang. Berarti kan masih dua puluh menit lagi.' Kata hati Alfi yang mengomel pada dirinya.
"Huh, ternyata aku yang terlalu semangat. Hehe." Alfi terkekeh dengan apa yang dilakukannya sendiri.
Detak jarum jam terus berputar, dua puluh menit serasa begitu lama berlalu jika hanya diisi dengan berdiam diri.
Rindu oh rindu.
Kenapa kamu begitu menyiksa kalbu? Menghimpit segala rasa hingga keinginan semakin menggebu.
Sehingga tak sabar hati ini ingin segera bertemu.
Ooohhh suamiku. Aku sangat merindukanmu.
Alfi membaca ulang hasil tulisannya yang ia ketik di kolom chat. Setelah merasa tulisannya sudah pas, bibirnya mengulas senyum seraya jari jempolnya menekan tombol bergambar pesawat kertas. Secara otomatis kalimat yang ia rangkai tadi akan terkirim ke nomor kontak sang suami.
"Hmmm, lama amat, sih, Mas," gerutu Alfi yang kembali menatap jam tetap bertengger di dinding. Ia pun akhirnya memilih bangkit, ternyata penantian kedatangan sosok yang dirindukan bisa membuat tenggorokannya kering. "Minum dulu, ah," ucapnya melenggang ke belakang. Mengambil gelas lalu menyalakan tombol pengisi air.
"Bismillahirrohmanirrohim," ucap Alfi setelah mengambil posisi dulu, lalu menenggak air itu sampai tandas. Baru saja ia beranjak untuk meletakkan gelas. Tiba-tiba terdengar klakson motor berbunyi dua kali.
"Mas Alfa," ucap Alfi seketika membalikkan tubuh lalu melongok ke arah pintu. Benar saja, akhirnya laki-laki itu datang.
Langkah kaki Alfi pun bergegas ke depan, membukakan pintu untuk sang suami. Tampak Alfa yang tersenyum dibalik kaca helm yang tampak gelap dari luar terdengar mengucapkan salam. Alfi pun menjawab salam dengan raut wajah sangat sangat bahagia seraya mencium punggung tangan sang suami.
Bagaimana Alfi tak bahagia, jika enam hari ia menahan rasa ingin bertemu, merasakan sesak di dada, gelisah di hati, jenuh di pikiran. Kini ... semua itu terhempas, karena telah memenuhi kata bertemu.
Rumah yang kini tampak bersih, rapi, rapi dan wanita cantik yang kini menyambut kedatangan Alfa, benar-benar menyiram kesejukan hati laki-laki itu, selain juga sebagai obat penawar atas rasa rindunya.
Sengaja Alfa tak langsung membuka kaca helm saat dirinya tiba di dalam rumah dan turun dari motor. Ia ingin menatap sang istri dengan puas sebelum Alfi melihat wajahnya dengan jelas, dibalik kaca helm.
Alfi yang mendapati Alfa tak kunjung membuka helm langsung mengerucutkan bibirnya. "Helmnya kenapa nggak dibuka juga, sih, Mas? Curang, nih." Tangan Alfi bersedekap dan memalingkan tubuhnya, sebagai tanda jika dirinya sangat kesal saat ini.
Alfa tak kuag menahan tawa, ia pun membuka helm dan meletakkan di meja, lalu kedua tangannya memutar tubuh sang istri agar berhadapan. Tanpa kata Alfa merengkuh tubuh sang istri. "Mas kangen banget, Sayang."
Alfi yang tadinya berniat merajuk akhirnya urung. "Alfi juga kangen, Mas," ucapnya seraya membalas pelukan sang suami.
Bahagia, lega, berdebar-berdebar dan penuh syukur kini bercampur aduk menjadi satu. Pelukan yang enggan terlepas seakan menjadi isyarat bahwa keduanya saat ini sama-sama menyelami samudera kerinduan yang akhirnya kini bermuara pada sebuah pertemuan.
"Mau minum air putih atau mau dibikinin yang manis-manis?" tanya Alfi begitu pelukan keduanya terurai.
Alfa hanya tersenyum, manik matanya masih enggan beralih menatap wajah sang istri. Alfi yang juga menatap wajab sang suami lama kelamaab menjadi canggung. Tampak wanita itu menunduk dan salah tingkah.
"Kenapa aku jadi keinget pertemuan saat setelah ijab kabul gini ya, Mas." Alfi tetap menunduk, melihat kaki kanannya sendiri yang kini bergerak maju mundur.
Alfa terkekeh, ia tangkup wajah sang istri dengan kedua tangannya. Lalu mengecup kening sang istri. "Itu tandanya, kita ini masih pengantin baru, Sayang," tutur Alfa lalu mengecup singkat bibir sang istri.
Alfi sempat melotot, tetapi detik kemudian dia menunduk lagi, menyembunyikan pipinya yang kini merona.
Alfa kembali terkekeh. "Mas mau minum air putih aja ya, Sayang. Karena yang manis udah ada di depannya Mas sekarang."
Kepala Alfi sontak mendongak, senyumnya tertahan menatap sang suami. Semburat di pipinya kini tampak semakin memerah. "Iiihhh ... Mas apaan, sih." Alfi bergegas mengambil langkah ke dapur, menghindar dari tangan Alfa yang akan menyentuh pipinya. Ia malu, tetapi bunga-bunga kebahagian saat ini benar-benar memenuhi relung hatinya.
Baru bertemu, eh sudah di gombalin, siapa yang nggak akan tersipu malu kan?
Segelas air putih yang diambilkan Alfi langsung tandas ditenggak Alfa setelah mengucapkan basmalah. "Alhamdulillah ... Makasih ya, Sayang." Alfi mengangguk dan mempersembahkan senyum manisnya kepada sang suami.
"Oh iya, Mas punya hadiah buat kamu."
"Hadiah apa, Mas. Sekarang kan Alfi nggak lagi ulang tahun."
"Emang hanya saat ulang tahun baru boleh ngasih hadiah?"
"Hehe ya nggak juga, sih."
"Tolong ambilis tas Mas di meja ya."
Alfi mengangguk lalu bangkit untuk mengambil tas warna hitam milik Alfa. Sesaaf kemudian tampak ia kembali duduk dan menyerahkan tas itu kepada sang suami.
Alfa tampak mengobrak-abrik isi tasnya, lalu mengeluarkan kotak kecil dan langsung menyodorkannya ke arah wanitanya.
Kening Alfi sempat berkerut melihat kotak beludru itu. 'Masak iya cincin?'
Melihat istrinya tetap bergeming dalam keterkejutannya. Alfa pun berinisiatif membuka kotak kecil itu perlahan.
Detik kemudian tampaklah benda berbentuk lingkaran yang terdapat satu mata berwarna putih.
Alfi menutup mulut dengan kedua tangannya. Tak mengira jika apa yang ia lihat benar-benar sebuah cincin indah yang pernah diinginkannya. Ia teringat beberapa bulan lalu, saat menjual cincin pernikahannya karena hilang mata putihnya. Ia menginginkan cincin yang saat ini berada di hadapannya. Saat itu, uang Alfa belum cukup untuk membeli cincin itu.
"Maaf waktu itu Mas belum bisa membelikan cincin ini untuk kamu. Dan sekarang, gaji pertama Mas, sengaja Mas belikan cincin ini untuk kamu, Sayang." Alfi benar-benar terharu mendengat penuturan sang suami. Matanya tampak berkaca-kaca lalu menghambur ke pelukan Alfa.
"Jazakallah Khoir, Sayang. Tapi seharusnya Mas nggak perlu repot-repot beliin ini buat Alfi."
"Enggak apa-apa, Sayang. Ini, kan Mas beliin juga karena uang Mas udah cukup beliin buat kamu. Kamu seneng, kan?"
Alfi melepas pelukannya lalu mengangguk-anggukkan kepala seraya mengusap air mata bahagia yang sempat membasahi wajahnya.
Alfa pun tampak tersenyum bahagia, lalu memasangkan cincin itu ke jari manis tangan kanan istrinya.
"Cincin ini bentunya bulat ya, Sayang?"
Alfi mengangguk.
"Nggak ada ujungnya, kan?"
Alfi mengangguk lagi, meski pertanyaan Alfa dirasa aneh.
"Kamu tahu?" Alfi menggeleng.
"Ish, pertanyaannya belum seleai kenapa kamu udah geleng aja, Sayang. Diem dulu, dong. Jangan angguk geleng-geleng. Mas mau kasih tahu." Alfi terkekeh dengan protesan suaminya.
"Nah ... gini. Kamu tahu nggak kenapa simbol pernikahan itu selalu ada cincin?" Alfi menggeleng.
"Karena cincin itu berbentuk lingkaran sebagai simbol cinta yang tiada akhir. Nah ... begitu juga cinta Mas buat kamu, Sayang. Cinta Mas untuk kamu juga tak ada ujungnya seperti cincin yang saat ini telah bertengger manis di jari kamu. Cinta Mas untukmu tiada pamrih dan tuntutan, sebab Mas mencintaimu karena Allah." Alfi kembali terharu, tak menyangka jika suaminya akhirnya bisa melontarkan kalimat romantis yang berhasil membuatnya terenyuh.
"Hmmmm romantisnya suamiku, aku juga mencintaimu karena Allah, Sayang," ucap Alfi merengek manja lalu menghamburkan diri ke dada Alfa yang kedua tangannya direntangkan, siap memeluk sang istri.
"Eh, ngomong-ngomong. Tumben Mas Alfa bisa bikin kata romantis kayak tadi?" tanya Alfi tampa melepas pelukannya, tetapi kepalanya mendongak dan hanya bisa melihat jenggot tipis sang suami.
"Seriusan kamu mau tahu, Sayang?"
Mendapati isrinya mengangguk, Alfa pun mengurai pelukannya. "Tapi jangan ketawa ya?" Alfi mengangguk ragu.
"Mas cari di google. Hehehe," ucap Alfa terkekeh sembari menggaruk-garuk belakang kepala.
Ingin sebenarnya Alfi terbahak, tetapi ia tahan mati-matian karena sudah terlanjur janji.
"Jangan ditahan ketawanya, entar malah keluar dari belakang. Hahaha." Alfa pun ngacir, segera berlalu dari hadapan Alfi dan langsung menaiki tangga.
.
.
.
.
Bersambung
Pasuruan, 17 September 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top